It looks like you're new here. If you want to get involved, click one of these buttons!
Copyright 2021 Queer Indonesia Archive. See our Privacy Policy. Contact us at [email protected]
Dengan menggunakan situs ini berarti Anda setuju dengan Aturan Pakai.
BoyzForum.com adalah situs anti pedofilia!
Comments
Aku tersentak dari tidur saat merasakan cipratan air dingin di wajahku. Kepalaku terasa berat. Tidak terdengar suara hujan, dan aku yakin atap kamarku tidak bocor tetapi kenapa bisa ada cipratan air wajahku?
"Bangun, Singa Masai!" teriak suara anak kecil. Aku mengucek-ucek mata dan memfokuskan pandangan.
Dan setelah kulihat siapa yang menyemprotku aku berteriak histeris, "Ya ampun....! Edwin!!!"
Edwin ini sepupuku, anak tunggal dari Tante Ema, adik Papa yang paling kecil. Umurnya delapan tahun dan kelas 2 SD tahun ini.
Sekolahnya nggak jauh dari rumah. Dia sering dititipkan di rumahku oleh orangtuanya kalau mereka harus keluar kota karena urusan bisnis.
Ayah dan Ibu sayang banget sama Edwin. Memang sih, Edwin tampak seperti bocah lucu menggemaskan dengan kulit putih, tubuh gempal, dan rambut rada cokelatnya.
Begitu melihatnya, orang bisa langsung suka sama dia. Tapi aku nggak bakal ketipu sama tampang imutnya. Bagiku dia tetap perusuh kecil yang selalu bikin kacau, bocah nakal penganggu, alien yang nggak diterima di planetku.
Edwin melompat-lompat di atas kasur dengan pistol air di tangannya. Aku menutup kepalaku dengan bantal. Aku lebih memilih atap bocor plus hujan badai daripada kehadiran bocah nakal ini di sini sekarang.
"Edwin, keluar kamu! Cepat!" seruku.
Tiba-tiba suara deringan jam-jam weker yang bersahutan terdengar. Aku mengangkat bantal, dan kulihat Edwin sedang mengeluarkan jam weker yang berdering-dering dari saku piamanya.
Sudah ada empat weker di atas kasur dan Edwin sedang berusaha mengeluarkan satu beker lagi dari saku piamanya yang kesempitan.
"Edwin....!!!" teriakku, menyaingi suara kelima weker itu.
Aku yakin, anak bandel ini mengumpulkan beker dari seluruh kamar.
"Matiin nggak?!!! Kalo nggak, aku jitak nanti! Berisik, tau!"
Edwin melompat-lompat girang, tidak menghiraukan ancamanku. Aku menyingkap selimut dengan kesal dan bersiap menyerangnya.
Tapi dengan cepat dia mengacungkan pistol airnya di depan wajahnya.
Aku mengangkat kedua tanganku. "Oke, aku nyerah! Jangan tembak!
" Tetapi.....Crot!
Mukaku basah dalam sekejap.
"Kata Ibu, bangun tidur harus cuci muka dulu!" seru Edwin sambil berlari ke luar kamar. Sebelum menutup pintu, anak itu melemparkan bebek mainannya yang berkwek-kwek memekakkan telinga ke tempat tidurku kamarku benar-benar meriah pagi ini.
Dasar bocah kurang ajar! Dengan kesal aku mematikan kelima weker dan bebek mainan itu, dan kuletakkan di atas meja belajarku.
Memang sudah waktunya aku bangun, mandi, dan berangkat sekolah, tapi mataku kok masih mengantuk, ya?
***
Setelah memaksakan diri mandi dan memakai seragam, aku menyiapkan buku-buku untuk pelajaran hari ini. Dengan kepala pening kurapikan PR Matematika yang kubuat sampai jam dua pagi tadi.
Siang kemarin aku sibuk bertengkar dengan Edwin karena dia mengacak-acak koleksi komik dan mainanku. Setelah itu aku ke toko buku karena ada komik yang baru terbit.
Sorenya, baru aku kepikiran nelepon Angga untuk menanyakan apakah dia mau membantuku bikin PR.
Sayangnya, dia bilang akan mengantarkan kakaknya ke bandara.
Akhirnya, aku jadi malas mengerjakan tugas itu sendiri. Terus kepikiran baca komik-komik baru. Sekitar jam sebelas malam, aku baru selesai baca.
Waktu melihat buku matematikaku di atas meja, aku terhenyak. Aku lupa mengerjakan PR! Sejenak aku sempat memikirkan alasan buat Pak Mario biar aku bisa bebas dari tugas ini, tapi aku nggak menemukan satu ide pun.
Mau nggak mau, terpaksa semalaman aku begadang buat ngerjain soal-soal ribet itu. Aku turun ke ruang makan dengan lingkaran hitam samar di sekitar mataku. Tubuhku lemas.
Ayah, Ibu, dan Edwin sudah duduk mengitari meja makan.
"Masih pagi kok udah lemas gitu, Hedy?" tanya Ayah yang sudah terlihat rapi dengan pakaian kerjanya.
Ayah adalah akuntan di sebuah bank swasta. Orangnya penuh perhitungan, agak pendiam, dan tidak terlalu suka mempersoalkan hal-hal kecil.
Sifat terakhirlah yang paling kusuka dari Ayah. Jadi, Ayah nggak pernah ambil persoalan tentang kebiasan-kebiasaan jelekku, seperti suka bangun siang, nggak rapi, dan malas.
Soal masalah-masalah yang kubuat di luar rumah, Ayah juga menanggapinya santai-santai saja. Prinsip Ayah selama ulahku nggak membahayakan diri sendiri atau orang lain,
NO PROBLEM.
Jadi cuma Ibu yang biasanya stres berat dan sibuk ngomel kalau aku bikin ulah. Omong-omong, masalah pencurian mangga dua hari lalu ternyata masalah besar lho.
Soalnya Ayah ngomel panjang-lebar padaku setelah mendapatkan laporan dari Ibu.
"Semalam dia nyelinap ke luar buat nonton TV," lapor Edwin.
Ibu langsung memandang curiga ke arahku. Rupanya bocah ini tahu soal hukumanku seminggu ini. Pasti Ibu yang bilang, biar mereka bisa bersekongkol mengawasiku.
Benar-benar tante dan keponakan yang kompak!
"Nggak kok. Semalam aku begadang ngerjain tugas," aku membela diri.
Gimana aku sempat mikirin TV? Bisa ngeliat garis lurus aja udah syukur. Dasar bocah gendeng, ngomong sembarangan!
"Bu, ngapain sih bocah ini ngungsi di rumah kita? Ngerepotin aja!" ujarku saat kami mulai sarapan.
"Hedy, jangan ngomong gitu!" tegur Ibu marah.
"Kamu nggak kasihan sama Edwin yang jauh dari Ayah dan Ibunya? Harusnya kamu sayang sama dia kayak adik sendiri, bukannya selalu berantem dan marah-marahin dia."
"Dengar itu, Spongebob!" Edwin menjulurkan lidah mengejekku.
Adik? Yang benar aja? Dia nggak pernah nganggap atau manggil aku "kakak".
Edwin selalu memanggilku seenaknya. Singa Masai-lah, Tazmanian-lah, Spongebob-lah, atau tokoh-tokoh kartun yang nggak ada lucu-lucunya, gitu.
Pokoknya nggak ada hormat-hormatnya tuh bocah sama aku.
"Bu, Edwin mau roti yang itu." Edwin menunjuk roti bertabur meises cokelat di tengah meja makan.
"Ibu? Edwin manggil 'Ibu'?" aku nggak yakin dengan pendengaranku.
"Papa yang menyuruh Edwin manggil gitu biar dia merasa seperti di rumah sendiri," Papa menjelaskan.
"Aku nggak mau" protesku.
Nggak, aku nggak terima. Cuma aku yang boleh manggil orang tuaku ''Ayah dan ''Ibu''. Cuma aku anak mereka. Kataku
"Jangan kekanakan gitu, Hedy. Apa bedanya Edwin manggil 'Ibu atau 'tante'?'' Mama mengambilkan roti untuk Edwin sambil membersihkan sisa susu di sekitar bibirnya.
Manja banget sih nih anak! Kataku kesal dalam hati
"Aku nggak suka Edwin merebut Ibu dan Ayah."
"Merebut?" Papa melihatku seolah aku anak kecil yang nggak mau berbagi mainan dengan anak lain.
"Iya, dari dulu Ayah dan Ibu lebih sayang Edwin daripada aku. Apalagi sekarang dia manggil 'Ayah-Ibu'. Jangan-jangan nanti Ayah sama Ibu lupa mana yang anak sendiri dan mana yang bukan."
"Hedy, kok kamu ngomong gitu? Jangan berlebihan ," ucap Mama.
Aku tak bisa melanjutkan argumenku. Aku melirik Edwin dengan kesal. Bocah itu menjilat meises cokelat di atas rotinya.
Coba aku melakukannya, bisa-bisa Ibu membawaku ke psikiater karena khawatir aku mengalami gangguan mental.
Padahal kan aku juga maniak cokelat.
Huh, Ini sungguh Tidak adil! Aku merasa, mulai sekarang bukan cuma komik dan mainan yang harus kuperebutkan dengan pengacau kecil ini, tapi juga orangtuaku.
***
"Maaf ya, Hedy kemaren gue nggak bisa bantuin," ujar Angga begitu aku masuk kelas.
"Nggak apa-apa. Lagian hitungnya gampang. Gambar grafiknya aja yang ribet," ucapku nyantai seolah tugas itu nggak bikin aku kurang tidur dan pening sampai sekarang.
Aku membuka tas dan mengeluarkan baju olahragaku.
"Ya ampun!" aku kaget saat melihat robot Gundam-ku terselip di antara tumpukan buku.
Pasti Edwin yang memasukkan robot ini biar aku dapat masalah. Dasar bocah bandel!
"Kenapa, Hed?" tanya Sony yang baru sampai. Dia nggak langsung ke bangkunya.
"Ada yang naruh ini di tasku, dan kalian pasti bisa nebak siapa." Aku memamerkan robot Gundam-ku pada Angga dan Sony.
"Edwin," jawab mereka serempak.
Kejadian seperti ini pernah terjadi. Beberapa minggu yang lalu, waktu Edwin dititipkan di rumahku di tasku ada cicak.
Cicak hidup! Waktu menemukannya aku kaget dan nggak sengaja melempar cicak itu.
Melihat cicak lari ke sana kemari di atas meja, teman-teman cewek di kelasku berteriak histeris dan kelas jadi gempar.
Karena keributan itu, aku dihukum membersihkan ruang guru sendirian.
Setelah kuselidiki, Edwinlah yang memasukkan cicak itu untuk ngerjain aku.
Awas tuh anak! Kalau aku dapat masalah lagi gara-gara dia, aku akan kasih pelajaran biar dia kapok!
"Wah, jagoan kita sekarang bawa pengawal nih ke sekolah," komentar Martabak saat lewat di dekat bangkuku.
Dia merebut robot Gundam itu waktu aku akan memasukkannya ke tas.
"Boneka apaan nih?"
"Ini bukan boneka, dodol! Ini robot Zero Wing Gundam limited edition yang nggak bisa didapat sembarang orang," jelasku bangga.
Martabak dan beberapa teman sekelas yang mendengar ucapanku tertawa kecil.
Aduh, kenapa aku malah membanggakan Zero di depannya?
Aku menyesali ucapanku. Ini memang salah satu kebiasaan aneh, suka banget ngebanggain mainan atau komik yang kupunya. Kayak anak kecil aja.
"Kedengarannya sih penting," Martabak menatapku sinis, "tapi cuma buat orang kayak elo," cibirnya.
Aku merebut robot itu kemudian memasukkannya ke tas. Bel tanda masuk berbunyi. Kami beranjak ke ruang ganti karena jam pertama adalah olahraga.
Setelah pemanasan Pak Putra, guru olahraga membagi kami jadi dua kelompok putra dan putri untuk main basket bergantian. Sambil duduk menunggu giliran main, aku dan teman-teman menonton menunggu giliran cewek selesai.
Setelah itu giliran cowok mataku melihat pada satu cowok yang paling sering memegangi bola. Dia adalah Tommy Ferdian, ketua kelas yang juga cowok paling beken di SMA Girindra ini.
Orangnya kayak cowok idola kebanyakan deh. Cakep, putih, punya senyum mematikan, juga bertubuh jangkung dan atletis.
Dia pemain basket jagoan sekolah kami. Sudah lama aku suka Tommy, tapi aku nggak pernah berani mendekatnya.
Aku minder karena reputasi jelekku di sekolah. Apalagi sejak naik kelas dua kami sekelas, jadi dia bisa ngeliat langsung gimana malu-malunya aku kalau lagi kena marah setelah bikin ulah.
Dia pasti ilfeel sama tingkahku dan nggak punya niat jadi temanku apalagi yang lebih dekat dari itu.
Setelah olahraga, kami cuma punya waktu sepuluh menit buat ganti pakaian dan istirahat. Belum habis Coca-Cola dingin dalam kalengku, bel untuk jam pelajaran ketiga berdering.
Kami kembali ke kelas untuk pelajaran matematika.
Orang bodoh mana yang menyusun jadwal sekejam itu?
Matematika setelah olahraga. Please deh! Dengan malas, aku beranjak dari kantin bareng teman-teman lain.
Di kelas, Pak Mario sudah duduk di depan.
Nafsu banget sih tuh orang buat ngajar! Batinku dalam hati.
Tiba-tiba mataku melotot melihat sesuatu di atas meja di depan Pak Mario. Robot Zero Wing Gundam kebanggaanku berdiri gagah di sana.
Wah, gawat! Aku duduk dibangku dengan perasaan waswas.
Angga dan Sony melirikku cemas. Pasti ada yang mengambil robot itu dari tasku dan meletakkannya di depan biar aku dapat masalah.
Siapa pun orangnya, akan berurusan serius denganku.
Setelah semua anak masuk kelas, Pak Mario berdiri.
"Sebelum kita mulai pelajaran, Bapak ingin tahu siapa yang membawa mainan ini ke sekolah."
Bisik teman-teman terdengar di seluruh kelas, tapi bisa kurasakan sebagian dari mereka melirik atau malah terang-terangan melototin aku.
Ya ampun, kenapa ini terjadi? Kenapa aku harus selalu berurusan dengan guru nyebelin ini? Padahal tugas kemarin saja belum kuserahkan.
Sial! Dengan enggan, aku mengangkat tangan. Pak Mario tertegun.
"Jadi kamu yang bawa boneka 'lucu' ini ke sekolah?"
"Bukan boneka lucu, Pak. Itu Zero Wing Gundam limited edition," ujarku tiba-tiba tanpa direncanakan.
Tawa teman-teman meledak. Aku menutup mulut seketika dengan tanganku yang tadinya terangkat.
Ya Tuhan, kenapa kesombonganku nggak bisa ditahan dalam keadaan gawat begini?
"Jadi kamu yang bawa Zero Wing Gundam limited edition ke sekolah?" ulang Pak Mario dengan nada mengejek membuat teman-teman tertawa lebih keras.
Pengen banget aku melemparkan baju olahragaku yang basah dan bau keringat kepada guru rese itu. Tapi aku menahan diri.
Lebih baik sekarang aku nggak berulah, biar nggak nambah masalah. "Iya, Pak."
"Ya ampun, Marmut. Kamu lagi kamu lagi. Nggak bosan-bosan juga kamu bikin masalah di kelas ini?" Pak Mario berjalan menuju bangkuku.
Aku deg-degan menanti hukuman, omelan, atau ejekan Pak Mario untukku.
"Kamu mendapat kehormatan untuk bebas dari pelajaran dan berdiri di depan kelas selama jam matematika."
Aku nggak percaya Pak Mario menghukumku sekejam itu cuma karena aku bawa mainan ke sekolah.
Jahat banget guru tengik itu! Teman-teman ada yang memandang kasihan padaku, tapi ada juga yang senang karena lelucon konyol ini.
Aku nggak berani menoleh ke arah Tommy, walaupun aku ingin tahu dia masuk kategori yang mana.
"Pak...." suara dari bangku belakanga terdengar. Tommy mengangkat tangan.
Semua mata tertuju padanya.
"Sebaiknya Marhedy Mutahar Sakti, diberi kesempatan menjelaskan kenapa dia membawa mainan itu. Jangan langsung dihukum begitu aja Pak.”
" Hah?! Ini lagi di dunia nyata, kan? Bukan di alam mimpi?
Tommy tahu nama lengkapku dan sekarang dia membelaku. Ingin rasanya aku ingin melompat keliling kelas dan berteriak-teriak girang.
Pak Mario berpikir sejenak.
"Baiklah, kalau gitu kita dengar pembelaan terdakwa." Candaan Pak Mario membuat suasana hatiku yang berbunga-bunga kembali berduri-duri.
"Saya membawanya ke sekolah karena nggak tega ninggalin dia sendirian di rumah, Pak" jawabku datar.
Seisi kelas jadi riuh. Mungkin Tommy kecewa mendengar jawabanku. Sia-sia tadi dia membelaku. Aku nggak berani meliriknya di bangku pojok belakang.
Kurasa dia nggak ikut tertawa seperti teman-teman lain.
"Ya sudah. Kalau begitu kamu temani Zero Wing Gundam limited edition kamu ini berdiri di depan selama jam pelajaran saya," Pak Mario memvonis hukuman.
Terpaksa, aku menyeret kaki ke depan kelas. Beginilah jalan hidupku selanjutnya, jadi tontonan teman-teman sekelasku.
Dan sayangnya, di antara mereka ada cowok pujaanku yang tadi sempat mencoba menyelamatkanku dari monster mimpi buruk yang sudah mulai menjelaskan pelajaran histogram statistika di depan kelas.
***
Membersihkan ruang kelas sendirian saat siang terik begini benar-benar nggak asyik.
Aku menyesal menolak tawaran Angga dan Sony untuk menemaniku.
"Hei!" sapa seseorang membuatku kaget.
Aku mengangkat kepala dan melihat Tommy sudah berdiri di hadapanku.
"Sendirian nih? Boleh gue temenin, nggak?" tanyanya sambil tersenyum
"Eh.....nggak.....iya..... Eh, maksud gue, kenapa nggak?" Aku langsung gugup ketika melihat senyuman mautnya
Tenang Hedy, dia cuma ketua kelas yang kebetulan luar biasa menarik secara fisik, aku menenangkan diri. Otakku berpikir, mencari bahan pembicaraan.
"Lo nggak pulang, Tom?"
Tommy duduk di bangkuku. "Nggak, gue mau nemenin lo dulu."
Halo? Tes.....tes! Satu.....dua.....tiga! Apa ada yang salah dengan sistem tata surya? Fenomena alam apa yang bikin Tommy punya pikiran untuk ada di sini sekarang?
" Nemein gue? Buat apa?" hatiku berdebar-debar. Norak banget deh aku!
"Pengen aja. Lo keberatan?"
"Ng....nggak sih." Aku salah tingkah, lalu berlagak sok menyapu dengan gaya cool padahal lagi pusing nyari bahan obrolan.
Aku pernah dengar, cowok pasti akan kelihatan keren kalau bisa melontarkan lelucon cerdas. Tapi lelucon yang kupunya cuma: "Lo tahu nggak kalau Fidel Castro, mantan presiden Kuba itu, aslinya orang Indonesia? Soalnya, Dian Castro tuh anaknya, dan main film di Indonesia."
Mana unsur cerdasnya?
"Eh, by the way, makasih ya, tadi lo udah belain gue soal robot mainan itu," ucapku.
"Nyantai aja. Kita kan teman sekelas, masa gue ngebiarin elo dihukum begitu aja. Tapi, gue jadi penasaran nih kenapa elo nggak jawab serius waktu ditanya Pak Mario?"
"Sori gue nyia-nyiain bantuan lo. Gue cuma nggak ingin beralasan macam-macam sama dia, toh akhirnya gue kena hukuman juga. Kayaknya dia nggak suka sama gue."
Aku merasa nggak perlu menjelaskan tindakan pemanfaatan hasil bumi yang menjadi awal pertikaianku dengan Pak Mario.
"Perasaan lo aja kali. Kalau lo nggak salah, lo nggal bakal dihukum, kan?"
"Gue kan bukan murid teladan kayak Angga yang nggak pernah bikin ulah."
"Lo nggak harus jadi kayak Angga kok. Menurut gue, lo keren jadi diri lo yang sekarang."
Ayunan sapuku terhenti.
"Eh, omong-omong, lo suka Gundam, ya?" lanjut Tommy. "Gue juga. Gue ngoleksi mainannya sampai satu rak, tapi robot seri ini gue belum punya. Lo dapat dari mana?"
Tommy mengambil robot Gundam di atas tasku.
"Untung nggak di sita." Benakku mencerna kata-kata Tommy.
Tadi aku dengar dia sempat bilang aku keren, kemudian pembicaraan beralih ke robot Gundam-ku yang belum dia punya.
Jadi, dia tertarik pada Zero dan ingin merampasnya dengan cara merayuku dulu.
"Gue nggak akan ngasih robot itu ke elo dengan alasan apa pun," tegasku.
Tommy bengong. "Maksud lo?"
"Elo suka robot gue jadi elo ngerayu gue biar gue ngasih, kan?"
"Gue emang suka robot lo tapi gue nggak niat minta kok. Kapan gue ngerayu lo? Gue cuma nanya dari mana elo dapat robot seri ini," jelas Tommy sambil tertawa.
Mukaku memerah, Aku jadi malu. Kenapa sih aku punya pikiran bodoh kayak gitu?
"Sori, gue nyangka yang nggak-nggak."
Aku aneh aku seperti kayak cewek sekarang. Kataku dalam hati
"Gue dikasih om gue yang waktu itu lagi tugas kerja di Jepang.
" Omong-omong, om yang kumaksud adalah papa Edwin. "Lo punya seri lain?" tanya Tommy antusias.
"Ada tujuh buah lagi. Harga mainan kayak gitu biarpun nggak orisinal, mahal banget. Gue harus nabung mati-matian buat membelinya, " jelasku.
Tommy itu anak orang kaya, jadi dengan mudah dia bisa memiliki barang-barang yang diinginkannya. Benar-benar Mr. Perfect. Takdir kadang terlalu berpihak pada seseorang.
"Seri mana aja yang punya? Eh, gimana kalau kita ngobrol sambil makan siang? Gue yang traktir deh. Lo udah lapar, kan? Gue mau kok nunggu lo sampai selesai," ucap Tommy semangat.
Aku nggak percaya dengan apa yang kudengar. Aku dan Tommy? Makan siang? Cuma berdua? Mungkin sekarang takdir mulai berpihak padaku hehehehe
***
Sore harinya aku pulang sambil bernyanyi riang. Ibu yang sedang membaca majalah di ruang tengah menatapku curiga.
"Aku baik-baik aja, Bu. Nggak ada gegar otak atau gejala gangguan saraf lainnya. Aku cuma lagi bersukacita," jelasku sebelum Ibu bertanya macam-macam.
Aku berjalan dengan langkah riang ke arah Edwin yang bengong ngeliatin aku. Mungkin tadi dia mengira sampai di rumah aku akan langsung menghajarnya karena robot itu.
"Buat adik manisku yang ganteng dan tersayang, kakak hadiahkan cokelat kesukaanmu."
Aku menyerahkan sebatang cokelat padanya. Edwin yang sedang duduk di antara mainannya yang berserakan di lantai cuma menatapku keheranan. Aku meletakkan cokelat di dekatnya lalu beranjak ke kamar.
Percakapanku dengan Tommy di mall tadi saat dia mentraktirku makan masih terngiang-ngiang di telingaku. Suaranya, senyumnya, juga tawa renyahnya, memenuhi kepalaku.
Aku sempat terkejut mendengar pengakuan Tommy bahwa tadinya dia pikir aku nggak suka sama dia lantaran aku nggak pernah ngomong atau menyapanya padahal kami sudah beberapa bulan jadi teman sekelas.
Aku beralasan bahwa aku enggan memulai pertemanan dengan cowok beken kayak dia. Padahal sih alasan sebenarnya adalah aku takut kalau dia sampai tahu aku ada "rasa" sama dia dan juga aku takut kalau dia tidak sama seperti aku.
Tetapi sekarang aku berubah pikiran. Aku ingin mendekati Tommy.
Aku akan berusaha jaga image dan terlihat keren di depannya. Kupikir aku bisa berusaha jadi anak baik dan nggak bikin ulah lagi.
Dan itu berarti aku harus berhenti membuat masalah dengan guru matematikaku.
BERSAMBUNG
Akhirnya Tommy @Aurora_69 cowok yang disukai Hedy, muncul
Bagaimana kisah cinta Hedy kita lihat saja ....
Dan Edwin @Daser adik sepupunya muncul
BERIKAN LIKE MINIMAL 15 DAN KOMENTAR YA
@akina_kenji
Udh update tuh bang, abang muncul hahahaha
@Daser
Aku suka karakternya...
@Daser
Lucu, imut, masih muda, ahahahaha....
@Daser
Nyenengin abang sekali2.. wkwkwk
gw kasih saran ya. Kalo bangunin si Hedy jngan pke pistol air tpi pake air comberan bekas berak.
@Daser
gw kasih saran ya. Kalo bangunin si Hedy jngan pke pistol air tpi pake air comberan bekas berak.
T_T ukelelelelele....beginilah nasib TOP ditindas
kasih like ukelelele
@Akang_Cunihin
@Akang_Cunihin