BoyzForum! BoyzForum! - forum gay Indonesia www.boyzforum.com

Howdy, Stranger!

It looks like you're new here. If you want to get involved, click one of these buttons!

Selamat datang di situs Boyzforum yang diarsipkan oleh Queer Indonesia Archive. Forum untuk komunitas gay Indonesia yang populer ini didirikan pada tahun 2003, dan ditutup pada tanggal 15 Desember 2020.

Forum ini diabadikan untuk kepentingan sejarah. Tidak akan ada konten baru di forum ini. Silakan menikmati forum ini sebagai potongan dari sejarah queer Indonesia.

MATEMACINTA?! [ UPDATE EPISODE 17 ]

17810121378

Comments

  • Ketawa lu -_-
  • kagak q senyum2 gara2 ukelele
    @Akang_Cunihin
  • kagak q senyum2 gara2 ukelele
    @Akang_Cunihin

    Jngn senyum2 bang, ntar dikira .. .. ehm
  • Lucu aja dek si ukelele....cieeeee adeeek cemburu hehehehe sm @Akang_Cunihin
    @Aurora_69
  • Lucu !?

    Di kira aku badut.
  • km kyk jerry yang hehehehe
    @Akang_Cunihin
  • Kamu kyk Tom, sayang :p
  • Iyaaa2 dah yang...aku mau update nih soalnya likenya byk
    @Akang_Cunihin
  • Sip, ntar aku kasih kesal.
  • edited August 2015
    EPISODE 2 - SENIN YANG HEBAT

    HARI senin ini terasa dua kali lebih nyebelin daripada senin-senin biasanya. Selain karena ada tiga pelajaran berhitung di jadwal pelajaran hari ini___Matematika, Fisika, dan Kimia___hari ini hari pertama puasaku nonton TV dan tidak keluar rumah jika tidak ada keperluan

    "Hei, Hedy!" sambut Angga begitu aku tiba di bangkuku. Umum, pintar, tapi agak pemalu dan tertutup. Sikapnya lemah lembut dan sopan. Pokoknya cowok teladan deh. Beda banget sama aku yang cuek, kasar selalu hobi bikin ulah.

    Tapi, walau beda karakter kami kompak banget lho. Kami juga kompak soal dapat "panggilan" guru. Angga sering dipanggil buat urusan sekolah, misalnya dipanggil buat ikut lomba mewakili sekolah atau kepilih jadi siswa teladan.

    Sementara aku sering dipanggil karena ketahuan bolos atau bikin masalah di kelas. Makanya, para guru nggak asing dengan kami berdua. Seperti biasa, Angga datang lebih awal daripada aku.

    Dia tampak rapi sekali pagi ini. Rambut hitamnya yang pendek halus dengan kacamata minus bertengger di hidungnya, dan seragamnya yang tersetrika rapi kelihatan kinclong.

    Beda banget dengan penampilanku. Rambutku pendek yang acak-acakan "nggak jelas", seragamku kadang-kadang kusut karena nggak sempat disetrika, dan aku juga sering kelihatan berantakan karena biasanya berangkat buru-buru kalau bangun kesiangan.

    "Kenapa muka lo kusut gitu, Hedy?"

    Angga memerhatikanku.

    "Lo nggak tahu, ya? Ini kan hari pertama dia dapat hukuman bersihin kelas lantaran bulan lalu berhasil mencahin rekor jadi murid yang paling sering telat," jelas Sony yang duduk di bangku sebelah mengingatkanku pada hukuman itu.

    Badanku terasa lemas. Sekarang, hari Senin ini jadi tiga kali lebih buruk dibandingkan Senin-Senin sebelumnya. Sony juga sahabatku. Dia tipe cowok yang berbeda dari aku atau Angga.

    Sony itu cowok modis yang fashionable abis. Dia peka banget sama yang namanya trend.

    Nggak heran kalau dia punya cita-cita jadi desainer. Tapi menurutku, dia lebih cocok jadi model. Tubuhnya jangkung, dengan rambut kecoklatannya yang tergerai agak panjang.

    Bentuk wajahnya oval dan cantik banget mirip seperti cewek. Banyak cowok belok yang naksir Sony, tapi sampai sekarang dia belum punya pacar.

    Mungkin lantaran dia terlanjur kecantol sama seorang cowok. Namanya Steve, dia vokalis Alkali, band SMA yang cukup beken di kota ini.

    Banyak cewek yang bilang Steve itu keren, cakep, dan sebagainya. Tapi menurutku, dia cuma cowok kurus cerewet yang kadang nyebelin banget. Steve itu sahabatku. Ngerti, kan?

    "Lo udah bikin PR matematika, Hedy?" tanya Angga.

    Dia adalah Weker pengingat PR-ku. Pernah suatu kali dia nelepon aku jam satu malam buat ngingetin soal PR kimia karena siangnya dia lupa menelepon.

    Akhirnya, aku begadang ngerjain PR itu. Aku nggak tahu harus bersyukur atau nyesel karena sudah diingatkan.

    "Bu Karuni kan mulai hari ini cuti melahirkan. Jadi ngapain kita ngerjain PR statistika ribet itu? Jawabku malas.

    "Tapi guru pengganti Bu Karuni datang pagi ini," lapor Angga.

    "Alah, guru baru. Hari pertama paling sibuk memperkenalkan diri dan nyeritain keluarganya, ngebanggain anak-anaknya, "ujarku meremehkan.

    "Semoga aja begitu. Mudah-mudahan dia nggak kayak Bu Karuni yang hobi memangsa murid yang nggak ngerjain PR," lanjut Sony.

    Bel berdering. Kami beranjak menuju lapangan untuk upacara bendera. Sinar matahari pagi yang menyengat seolah nggak bertoleransi dengan keadaanku sekarang.

    Pak Bakti, kepala sekolah kami memperkenalkan guru baru pengganti Bu Karuni. Aku nggak tertarik dan sibuk memikirkan kedua hukumanku yang di rumah dan di sekolah, sambil menunduk memandang rumput.

    "Selamat pagi, Anak-anak! Hari ini kita kedatangan guru baru yang akan menggantikan Bu Karuni. Yah, sekalian saya beritahu mulai hari ini Bu Karuni cuti melahirkan."

    Pak Bakti memulai pengumumannya. Kata-kata selanjutnya nggak kutangkap karena aku sibuk memikirkan rayuan buat Ibu biar aku bisa bebas bersyarat dari hukumanku, atau paling nggak aku dapat keringanan.

    Tapi karena nggak ada ide yang terbayang di benakku malah senyum mengejek cowok tengil keponakan Pak Karta itu.
    Nyebelin!

    "Gue nggak nyangka wali kelas kita masih muda," ujar Sony yang berbaris di sebelahku mengusik lamunanku.

    "Hah?"

    Aku menoleh padanya nggak ngerti. Sony tampak antusias memandang ke podium, begitu juga teman-teman sekelasku yang lain.

    Aku jadi ikutan melihat ke depan ingin tahu kenapa guru baru itu begitu menarik perhatian. Setelah memfokuskan pandangan kepada orang yang berdiri di samping Pak Bakti, mataku membesar.

    Aku nggak percaya dengan siapa yang kulihat.

    "Selamat pagi, Anak-anak!" sapa guru itu.

    "Nama saya Mario Hendra Saputra. Panggil saja Pak Mario.

    Saya akan mengajar matematika di kelas dua dan jadi wali sementara di kelas 2-F untuk menggantikan posisi Bu Karuni selama beliau cuti."

    "Cakep ya, Hedy?" komentar Sony ganjen. Cakep apanya? Protesku dalam hati. Coba aja liat orang itu waktu baru bangun tidur dengan rambut berantakan dan mata merah.

    Walaupun sekarang dia memakai kacamata, rambutnya dipotong rapi, dan mungkin dia bercukur (aku nggak bisa ngeliat wajahnya dengan jelas dari sini), tetap aja dia keponakan Pak Karta yang sudah merampas mangga-manggaku dan membuatku dihukum sama Ibu.

    Dia bakal kubenci? Oh, tidak! Rasanya hari Senin ini jadi berkali-kali lebih mengenaskan.

    ***

    Bel masuk untuk pelajaran keempat berdering. Dengan kecepatan penuh, Sony menyalin PR Angga.

    "Kok lo tenang-tenang aja belum bikin PR, Hedy?" tanya Angga cemas.

    "Guru baru, masih muda. Nanti paling sibuk ngoceh tentang dirinya sambil godain murid-murid cewek," ucapku meremehkan.

    Tidak lama kemudian, Pak Mario masuk kelas.

    "Selamat siang, Anak-anak!"

    Dia meletakkan buku-bukunya di meja kemudian berdiri di dekat meja guru.

    "Seperti yang kalian tahu, saya di sini jadi pengganti Bu Karuni. Jadi saya harap kita bisa bekerja sama. Kalau kalian punya masalah dalam pelajaran matematika atau hal lain, saya akan mencoba bantu sebisanya.”

    Huh! Janji-janji klise guru baru. Kurasa dia nggak bakal peduli kalau salah satu dari kami menangis frustasi karena patah hati, cibirku dalam hati.

    "Saya sudah mengenal kalian dari daftar absen dan foto di denah kelas. Karena di kelas ini ada dua siswa dengan nama yang sama, saya akan memanggil kalian dengan cara berbeda."

    Aku yang sejak tadi nggak mengacuhkan guru itu, jadi sedikit menaruh perhatian karena namaku disebut. Aku menoleh ke arah Martabak teman sebangku Sony, yang ternyata juga sedang menatapku.

    Martabak menatapku dengan pandangan sinis tentunya, seolah kesamaan nama kami adalah salahku dan dia korbannya.

    Nama lengkapnya Marhedy Taura Bakti yang kusingkat jadi Martabak. Panggilan sebenarnya sih Bakti. Dia putra bungsu Pak Bakti, kepala sekolah.

    Dia pangeran kelas 2-F. Memang sih, dengan wajah manis , tubuh jangkung dengan wajahnya yang manis dengan mata sipitnya, juga rambutnya yang selalu rapi sempurna, dia pantas untuk itu. Tapi sikapnya yang kadang angkuh dan sok penting itu bikin dia jadi nyebelin banget.

    Jujur aja, aku nggak terlalu suka sama Martabak dan kayaknya dia juga gitu. Semuanya berawal waktu aku mulai dekat sama Sony yang juga sahabat Martabak. Mungkin dia nganggap aku ngerebut Sony darinya atau gimana, makanya dia jadi sentimen sama aku.

    Selama ini Sony bersikap netral terhadap kami. Pasti sulit berada di posisinya. Tapi mau gimana lagi? Aku terlanjut nggak suka sama Martabak yang suka seenaknya itu. Kurasa dia lebih memilih berenang di kolam penangkaran piranha daripada jadi temanku.

    Pak Mario menoleh kepada Martabak. "Untuk Marhedy Taura Bakti, saya akan panggil kamu dengan nama Marhedy."

    Martabak langsung memamerkan dengan senyuman mautnya.

    Please deh! Kemudian Pak Mario menoleh ke arahku. ".....dan Marhedy Mutahar Sakti, kamu akan saya panggil dengan nama lengkap yang disingkat.

    Aku mengerutkan dahi. Apa maksudnya tuh?

    "Marmut...."

    Tawa seisi kelas meledak, dan Martabak tampaknya yang paling bersukacita atas lelucon konyol ini. Marmut? Yang benar aja! Enak aja guru tengil itu, sembarangan ganti nama orang. Serta-merta aku mengangkat tangan.

    "Panggil saya Sakti saja, Pak."

    Saya tidak mau memanggil murid dengan nama panggilan teman-temannya," jawab Pak Mario sambil duduk lalu membuka-buka bukunya.

    "Panggil saya Mutahar...."

    "Kepanjangan," komentarnya.

    Aku berpikir sejenak.

    "Atau panggil dia Martabak, dan saya yang Marhedy," usulku, yang disambut tatapan "enak-aja-lo" dari Martabak.

    Pak Mario nggak bereaksi.

    "Panggil dia Bakti, Pak. Memang itu namanya. Kalau saya Marhedy."

    "Cukup. Kita nggak akan membahas soal panggilanmu lagi. Bukan masalah penting. Kamu tetap Marmut."

    Tawa teman-teman kembali terdengar. Aku membuka mulut, tapi kemudian mengurungkan niat memperjuangkan nama panggilanku.

    Pak Mario memalingkan pandangan dariku ke seluruh kelas.

    "Kita lanjutkan dengan PR minggu lalu dari Bu Karuni, halaman 57. Keluarkan pekerjaan kalian!"

    Langsung saja kejengkelanku soal "Marmut" tadi berubah jadi kepanikan. Ternyata Pak Mario bukan tipe guru genit yang suka ngoceh dan itu bikin aku mendapat masalah.

    Ooh, I'm in trouble! Pak Mario berkeliling kelas kemudian berhenti di bangkuku.

    "Marmut, mana pekerjaanmu?"

    Tawa tertahan teman-teman terdengar pelan.

    "Sa....saya....PR saya ketinggalan di rumah, Pak." Kataku sambil terbata-bata.

    Pak Mario mengambil buku tulis di hadapanku. Dia menunjuk sampel depannya.

    "Di sini ada tulisan 'Buku PR'. Di mana lagi kamu bikin PR? Di diary?"

    Aku menunduk.

    Dasar tolol! Kok aku ngasih alasan gitu sih? Kataku dalam hati.

    "Kenapa kamu tidak mengerjakan PR?" tanya Pak Mario, masih belum beranjak dari mejaku.

    Aku membisu.

    "Kalau ada alasan, bilang saja. Memang kamu sibuk mengerjakan apa kemarin sampai tidak sempat bikin PR?" tanya Pak Mario dengan nada menyindir.

    Nyebelin! Ternyata dia masih dendam padaku soal pencurian mangga itu.

    "Saya lupa, Pak."

    "Alasan klise, nggak kreatif. Cepat kerjakan soal nomor satu depan!" perintahnya.

    Bakalan nggak enak banget nih, berdiri di depan jadi tontonan satu kelas, mematung nggak harus nulis apa. Jadi, mendingan aku ngaku deh.

    "Saya nggak bisa ngerjain soal itu, Pak."

    "Apa kamu nggak bisa mengerjakan hal yang nggak ada unsur kriminalnya, Marmut?"

    Tawa teman-teman menyambut sindiran Pak Mario. Kemana perginya solidaritas di kelas ini? Mungkin mereka pikir Pak Mario sedang membicarakan pelanggaran peraturan sekolah yang sering kulakukan.

    Tapi aku tahu pasti apa maksud ucapan guru tengil itu.
    Pak Mario kembali ke meja guru lalu duduk.

    "Siapa yang sudah mengerjakan soal nomor satu?"

    Angga dan beberapa anak lain angkat tangan.

    Akhirnya Angga yang ditunjuk. Aku menghela nafas lega. Sepertinya aku sudah selamat dari masalah ini.

    "Marmut, kerjakan soal serupa di bagian akhir buku ini. Serahkan besok!"

    Aku membalik halaman-halaman buku sampai bagian akhir. Lima belas soal statistika menyambutku hangat. Hari Senin ini benar-benar jadi hari sialku.

    ***

    Dengan gontai aku menyeret kaki masuk rumah. Badanku pegal setelah membersihkan kelas sendirian, belum lagi beban mental yang kutanggung karena kenyataan bahwa cowok nyebelin keponakan Pak Karta itu sekarang jadi wali kelas dan guru matematikaku.

    Ada banyak jenis pekerjaan, kenapa dia harus jadi guru? Di SMA-ku, lagi. Oh tuhan jangan kutuk hambamu yang sengsara ini.

    Aku membuka pintu dan terkejut melihat keadaan kamarku. Koleksi komikku tergeletak tak berdaya di tempat tidut, dan mainan-mainanku tersebar luas di seluruh penjuru kamar.

    "Aargh......! Siapa nih yang ngeberantakin kamarku?!" teriakku frustasi.

    Ibu berjalan tergesa ke arahku dengan nampan berisi segelas susu dan kue cokelat.

    "Kenapa, Hedy?"

    Tanpa ekspresi, aku menunjuk-nunjuk kamarku. Perasaanku nggak enak.

    Jangan-jangan..... Sebelum Ibu membuka mulut, pertanyaanku terjawab.

    Edwin muncul dari belakang Ibu dengan senyum nakal tanpa ada rasa bersalahnya.

    Sekarang aku merasa hari Senin ini benar-benar hebat!

    BERSAMBUNG

    BERIKAAN LIKE MINIMAL 14 YA GUYZ DAN KOMENTAR BANYAK :)

  • Nanti q tdk mention km ukelelele
    @Akang_Cunihin

    Udh update tuh bang
    @Daser
Sign In or Register to comment.