It looks like you're new here. If you want to get involved, click one of these buttons!
Copyright 2021 Queer Indonesia Archive. See our Privacy Policy. Contact us at [email protected]
Dengan menggunakan situs ini berarti Anda setuju dengan Aturan Pakai.
BoyzForum.com adalah situs anti pedofilia!
Comments
awaaas, ati2 sama taylor
awaaas, ati2 sama taylor
Ts nya kapan lanjut
Kami disini semua rindu updatetannya
Vincent menoleh padaku saat Taylor, Patricia dan The Braindead Baker Boys mulai menghampiri kami.
"Ayo kita pergi Scotty"
Aku mengangguk dan langsung masuk kedalam mobil Vincent. Sayangnya kami tak dapat langsung pergi saat mereka muncul duluan didepan kami. Dari dekat, aku bisa melihat mata Taylor masih berair akibat emosinya tadi dan untung saja dia bisa menyembunyikannya dengan baik. Dan dia menatap Vincent dari atas ke bawah dengan senyuman kecil di wajahnya yang tak dapat kuartikan apa maksudnya.
"Well, siapa sangka? Vincent Hunter ternyata cuman pecundang kecil. Mungkin kau sekarang tak lagi berkuasa saat fakta yang sebenarnya terbongkar?"
Aku melihat tangan Vincent mengepal berang. Patricia lalu muncul dibelakang Taylor dengan sikap biasanya yang kasar dan juga tengil.
"Hey beritahu kami... siapa yang di entot diantara kalian? Atau kalian berdua bergantian ya dientotnya? Hahaha"
Kedua Billy dan Bobby Baker tertawa dengan idiotnya, diikuti oleh cekikikan dari Patricia dibelakang mereka. Sedangkan Taylor tetap saja tersenyum kecil sambil melirik Vincent. Aku tak percaya sekarang Taylor malah menjadi homophobic. Apa mereka tak tahu bahwa yang sedang mereka tertawakan sekarang sebenarnya adalah wajah asli dari pemimpin mereka sendiri yang sekarang sedang menyalahkan kami?
Aku bisa melihat amarah terpancar dari Vincent. Dia jelas sekali tampak sedang menahan diri dan menghindar dari kemungkinan dia akan dikeluarkan dari sekolah, tapi jika Taylor dan gang nya terus terusan seperti ini, dia pasti tak akan bisa menahan diri lagi. Aku menyentuh lengannya lembut, dan menenangkannya agar tidak terpancing emosi, lalu beralih pada Taylor.
"Taylor... kau dan Patricia bisa menggunakan kata kata busuk itu untuk mencemooh kami, tapi jelas sekali kalau kalimat itu adalah cerminan dari diri kalian sendiri. Sekarang ini aku benar benar bahagia dan aku tak peduli dengan semua omong kosong kalian"
Wajah Taylor langsung menjadi merah padam dan mulut Patricia seketika membentuk O besar. Vincent menggenggam tanganku dan kemudian tersenyum padaku.
"Kalimat yang bagus Scotty, sekarang ayo kita pergi. Aku sudah cukup muak berurusan dengan orang bodoh hari ini"
Patricia langsung berpura pura jijik.
"Eww!! Menjijikkan! Mereka saling bersentuhan! Cari kamar sana, menjijikkan!! Aku tak mau membayangkan kalian saling mengentoti pantat masing masing!"
Dia terus membuat suara suara seperti itu, dan membuat Braindead Baker dengan senangnya juga ikut mencemooh kami. Vincent melepaskan tanganku dan kemudian berjalan kearah Patricia.
"Kau jelas sekali tertarik dengan kehidupan sex kami. Kenapa? Apa Taylor nggak oke di ranjang? Kalau begitu biar kuberi dia beberapa tips nanti saat kau tak ada"
Aku langsung menutupi wajahku, terkejut. Aku tak percaya kalau Vincent baru saja mengatakan itu! Patricia sekarang tampak terperangah sedang Taylor malah seperti akan meledak saat itu juga karena amarah. Dan dibelakang mereka, aku menyadari kalau Braindead Baker sedang menahan tawanya. Lihat? Bahkan sekutu mereka sendiripun menertawakan mereka!
Menemukan kesempatan yang sempurna untuk bisa keluar dari situasi ini, Vincent lalu masuk kedalam mobil dan membawanya keluar. Baru saja kami pergi, Taylor langsung berlari kearah kami dengan membawa tas olahraga yang dibawakan oleh Patricia tadi.
"For fuck's sake!!" Pekik Vincent, melihat isi dari tas tersebut. "Dia bawa telur!!"
Dan kemudian, aku melihat ada sekarton penuh telur didalamnya. Taylor pasti berencana untuk melempari kami dengan telur telur itu di parkiran ini, hanya saja sekarang situasinya sangat berbeda jauh dari apa yang mereka bayangkan.
Aku terperanjat saat sebuah telur menghantam jendela sampingku. Kuning dan putih telur itu menetes netes di kaca jendela. Vincent mencengkram stir mobil lebih kencang hingga punggung tangannya menjadi putih.
"Ini konyol, aku harus keluar dan melakukan sesuatu!"
"Itu yang mereka mau" jawabku. "Mereka ingin membuatmu terlibat perkelahian, jangan sampai mereka mendapatkan tujuan mereka. Lagian ini hanya telur. Bisa dibersihkan kok"
Dan telur telur yang lainnya berterbangan dan menghantam bagian belakang mobil Vincent. Sepertinya sekarang Patricia juga ikut ikutan. Vincent tetap menahan diri dan kemudian dengan terpaksa menghidupkan mobil lalu pergi meninggalkan tempat parkir sekolah dengan berang.
Taylor mengikutiku kami, berlari mensejajarkan tubuhnya dengan mobil sambil membawa telur yang ada di tangannya. Vincent menurunkan kaca jendela dan berteriak padanya.
"Seriously Taylor, hentikan sikap kekanak kanakanmu ini atau aku akan menghajarmu!"
Taylor tak merespon dan tersenyum licik. Ia kemudian melemparkan telur yang ada ditangannya.
Yang terjadi kemudian, tampak bagai sebuah slow motion. Pertama, Vincent menginjak rem yang mengakibatkan kami agak terseret dari kursi dan mobilnya mendadak berhenti ditengah tengah tempat parkir. Selanjutnya saat telur tersebut semakin mendekati jendela yang terbuka, Vincent dengan lihainya menangkap telur tersebut bulat bulat ditelapak tangannya. Kemudian dia melemparkannya balik ke Taylor, yang membuat telur tersebut meledak tepat diwajahnya. Patricia terperangah menyaksikan pacar tercintanya ditutupi oleh kuning telur dari ujung rambut sampai dahinya.
"Jangan memaksaku Taylor" Teriak Vincent dari jendela. "Karena selanjutnya bukan cuman telur yang bersarang di wajahmu! Tapi juga tinjuku!!"
Dengan itu, Vincent menginjak pedal gas dan kemudian meninggalkan Taylor beserta gangnya di halaman parkir.
----
Kami duduk dalam diam selama beberapa saat. Vincent mencoba mengatur emosinya, dan aku bisa mendengarnya berhitung satu sampai sepuluh untuk mengatur nafasnya dan kemudian fokus pada jalan. Lalu dia menoleh padaku.
"Sorry Specs, aku tau kau menginginkanku untuk bersikap lebih dewasa tadi..."
Aku kemudian tersenyum padanya. "Well,.. ya.. awalnya sih begitu. Tapi yang tadi itu brillian sekali! Coba lihat wajah Taylor tadi!"
Vincent kemudian menggerutu kesal. "Arrgh!! Apa sih masalah orang itu? Kenapa dia seolah olah begitu terganggu dengan apa saja yang kita lakukan?!"
Aku mengangkat bahu. "Dia itu brengsek. Dia itu selalu membenciku. Dan karena waktu itu kau melemparinya dengan air kotor, aku yakin sekali kalau dia sama sekali bukan fans mu"
"Yeah.. tapi dia tampak seolah olah memburumu dengan sengaja.." lanjut Vincent. "Dia seperti sangat terobsesi padamu.. menurutmu begitu?"
Aku mulai merasa tak nyaman dengan pertanyaan ini. "A.. aku tak tahu.. aku tak pernah membayangkannya.."
Kemudian seisi mobil terasa hening. Aku menoleh pada jendela yang sekarang sudah ditutupi oleh telur yang jatuh menutupi kaca jendela. Itu membuatku merasa agak sedikit jijik hanya karena melihatnya. Atau mungkin.. itu semua karena rasa bersalah yang telah menelanku hidup hidup.
Olive tidur terlentang di lantai kamarnya. Sedangka aku duduk di kursi meja belajarnya, menceritakan semua yang terjadi dari tragedi Alexis pagi itu (dan juga permintaan maafnya secara tak langsung tadi pada Vincent) hingga Taylor dan gangnya yang melempariku dan Vincent dengan telur. Olive merenung sendiri mencerna semua kalimatku.
"Scotty.. hidupmu sepertinya berubah menjadi kayak opera sabun...."
"Oh ya?" Gumamku, sambil memutar mutarkan kursi.
"Aku benar benar tak paham dengan Alexis! Dia pikir siapa dia?! Menurutmu dia akan minta maaf padamu?"
"Mana aku tahu? Aku kan juga tak bisa mengatakan kalau dia cuma berpura pura minta maaf hanya untuk bisa kembali berteman dengan Vincent"
"Jangan pernah mempercayainya" pekik Olive, mengangkat telunjuknya ke atas. "She's totally a bitch!"
"Well.. aku juga maunya sih nggak mempercayainya.." balasku. "Tapi.. mungkin dia nggak seburuk itu. Dia cuma kacau saja waktu itu.."
Olive kemudian bangkit dari lantai dan menatapku tajam. "Hey, semua orang punya pengalaman pahit di masalalu mereka Scotty. Lihat dirimu.. lihat Vincent! Masa lalu kalian benar benar menyedihkan, tapi bukan berarti orang lain bisa menjadikan itu semua sebagai alasan untuk merebut kebahagiaan kalian!"
"Yeah, aku tau" balasku.
"Setiap orang punya perjuangan tersendiri" lanjutnya. "Yang harus kau lakukan hanyalah mencoba untuk melawan mereka, dan jangan biarkan mereka menelanmu hidup hidup. Ngomong ngomong, aku jadi penasaran kenapa belakangan ini Taylor tampangnya kusut sekali..."
Aku mendadak menghentikan putaran kursiku. "Ehmm.. mungkin sesuatu yang buruk terjadi?"
Membicarakan Taylor membuatku menjadi muak. Olive dan Vincent bukanlah orang bodoh, dan aku merasa mereka mulai mengumpulkan satu persatu faktanya. Apa hanya tinggal menunggu waktu saja hingga rahasia kecil yang selalu kujaga terbongkar?
Semakin aku memikirkannya, semakin aku merasa menjadi orang paling jahat sedunia. Aku bahagia selama beberapa minggu kebelakang hingga aku melupakan semua hal yang berhubungan dengan Taylor, menyembunyikan rahasiaku rapat rapat agar tak terbongkar. Hanya saja sekarang, semua itu kembali muncul dan membuatku tersadar, sudah menjadi orang macam apa aku ini. Orang yang membohongi orang orang yang ia cintai. Aku sudah meyakinkan diriku bahwa hubunganku dan Taylor itu bukanlah apa apa. Hanya hubungan yang tak penting untuk dibicarakan dan itu bahkan tak bisa dihitung sebagai sebuah hubungan. Siapa yang aku bohongi?
Olive kemudian membangunkanku dari lamunan.
"Ayahnya bintang tennis kan? Bukannya aku tahu sok tahu tentang olahraga... tapi kupikir mungkin saja selama ini keluarganya jadi terlupakan. Pasti sulit hidup seperti itu. Makanya dia membenci semua orang yang bahagia. Menurutmu bagaimana Scotty?"
OK. Ini dia. Aku akan memberitahu Olive yang sebenarnya. Aku bisa melakukan ini. Aku hanya harus melepas jaring jaring kebohongan ini dan lalu aku bisa menjadi sepenuhnya jujur pada sahabatku.
“Kupikir...” Mulaiku, bibirku bergetar. “.... mungkin aku tahu kenapa Taylor jadi seperti itu...”
Olive menatapku kebingungan, memiringkan kepalanya ke satu sisi. Aku meyakinkan diriku untuk mengatakan kalimat ini. ‘Dia itu gay dan dia takut kalau semua orang tahu. Aku tahu karena kami pernah pacaran’. Nggak begitu payah kan untuk diucapkan?
“Itu karena Ayahnya. Aku pernah mendengarnya membentak Taylor waktu itu di lapangan tennis, dan kupikir itu sangat membuatnya terpukul”
Aku mengutuk diriku sendiri karena menjadi penakut pada detik detik terakhir tadi. Aku sangat takut tentang apa yang akan reaksinya saat dia tahu kalau aku sudah berbohong padanya selama bertahun tahun. Bagaimana caranya agar aku bisa mengatakan padanya sekarang?
“Oh, boohooo... Taylor takut ayah ternyata” Kata Olive mencemooh. “Benar benar alasan yang bodoh baginya untuk jadi orang bodoh. Dia seharusnya bersyukur karena sudah punya hidup yang bagus, bukannya menghabiskan waktunya mengerjai orang orang hanya karena ayahnya sedikit keras”
Dan percakapan kami tentang alasan Taylor bersikap kasar itu berlangsung lama. Aku takut, satu saja pernyataan yang salah keluar dari mulutku akan membuat Olive curiga dan aku terus menerus mencoba untuk mengganti subjek pembicaraan. Aku membenci diriku sendiri karena sudah berbohong tapi aku benar benar tak tahu lagi harus berbuat apa.
Tiba tiba, Olive berhenti membicarakan dan Taylor dan membawa satu topik yang sudah jelas sekali merajai pikirannya.
“Aku tahu pertanyaan ini aneh, tapi.. apa kau merasa berbeda sekarang?”
Awalnya aku tak mengerti dengan pertanyaannya. “Maksudmu?”
“Kau tahu... sejak kau dan Vincent..”
Dan aku kemudian terbatuk batuk malu.”Ahem... erm.. well,.. nggak juga..”
Dia kembali berbaring di atas lantar, dan matanya menatap sudut sudut kamar. “Bagaimana rasanya? Kau nggak takut?”
Aku agak sedikit bingung dengan semua pertanyaan ini, tapi aku dengan senangnya menjawab setiap pertanyaan itu. “Well,.. sedikit sih. Tapi aku tau kalau sudah waktunya untuk melakukan itu. Dan kau tahu... karena Vincent sudah bersikap sangat manis dan gentle padaku.. kupikir melakukan itu adalah segalanya yang kuinginkan waktu itu”
“Aku ikut bahagia” balas Olive tulus. “Tapi kau tahu, rasanya agak aneh bagiku. Kita sudah saling kenal sangat lama, dan dulu hanya ada kita berdua,.. dan sekarang kau sudah punya pacar dan kau sudah tumbuh dewasa... dan aku bahkan tak pernah sekalipun mencium seorang cowok..”
“Ol, ini bukan ajang perlombaan”
“Aku tahu...” jawabnya. “Cuman.. aku tak mau kau pergi tanpaku.. mungkin kan mulai merasa lelah denganku sekarang”
Aku berdiri dari kursi Olive dan berbaring disampingnya diatas lantai, meraih tangannya dengan tanganku. “Olive, kau itu sahabat terbaiku di seluruh dunia. Aku tak akan pernah bisa lelah denganmu”
Jadi, sekarang bukanlah waktu yang tepat bagiku untuk mengakui bahwa kalau sebenarnya aku sudah “dewasa” duluan tanpa ia ketahui. Jika dia takut karena membayangkan aku dan Vincent berpacaran, dia mungkin takkan pernah memaafkanku karena Taylor.
Dan lalu aku membuat sebuah keputusan. Dia takkan pernah mengetahui rahasia itu.
Tak seorangpun yang akan tahu. Selamanya.
Aku melompat keluar dari bis ditegah cuaca yang buruk. Belakangan cuaca di Inggris benar benar tidak bersahabat dan hujan lebat langsung menghantam wajahku saat aku sampai di apartemen. Havensdale sedang diterpa badai dan meski apartemen Vincent hanya berjarak satu blok dari halte bus, saat aku sampai didepan apartemennya badanku sudah benar benar basah semua.
Mata Vincent membelalak kaget saat dia membukakan pintu untukku. “Woah, Specs. Mana payungmu?”
Aku melepaskan kacamataku yang menjadi kabur karena titik titik air dan membersihkannya dengan ujung mantelku. “Aku lupa membawanya... tadi pagi cuacanya ngga seburuk ini”
Vincent meletakkan tangannya ke bahuku dan mencium puncak kepalaku yang basah. “Seharusnya kau telfon aku tadi, aku kan bisa menjemputmu”
“Kau kan sudah dirumah,” balasku. “Lagian cuma hujan sedikit kok, nggak apa-apa kok”
Aku melirik diriku sendiri di cermin milik Vincent yang ia gantungkan di hallway. Aku tampak seperti tikus yang kebasahan. Jadwal sekolah kami berbeda di hari Selasa, dan Vincent pulang lebih awal dariku, itulah kenapa aku memutuskan untuk berjalan sendiri ke apartemennya daripada membuatnya menungguiku sepanjang sore. Meski hanya sehari, aku sudah merindukan saat saat menghabiskan waktu bersamanya.
“Aku membawa beberapa DVD” kataku semangat. “Kau suka film B-Movies dengan spesial efek yang mengerikan?”
Vincent tersenyum. “Tentu saja suka”
“Perfect!” Aku balas tersenyum padanya saat aku melepaskan mantelku. Mantelku sudah benar benar lembab, basah, dan air nya malah menetes netes diatas karpet lantai. “Oh maaf, aku nggak sadar kalau aku segini basahnya...”
“Kenapa kau nggak mandi dulu?” Saran Vincent. “Mungkin menghangatkan dirimu dulu dengan air panas? Kau bisa bisa memakai handukku kalau sudah selesai”
Harus ku akui, mandi air panas terdengar sangat menggoda di telingaku. “Oh... baiklah.. tapi bukannya aneh kalau aku jauh jauh kesini dan langsung mandi?”
Vincent tersenyum kecil dan berjalan menuju kamar mandi lalu menghidupkan air.
“Ok, setidaknya itu sudah cukup panas dan nyaman”
Vincent meletakkan tangannya dibawah guyuran air shower. Aku sudah melepaskan setiap pakaianku yang basah dan berdiri disampingnya dengan menggunakan boxer saja, melihat diriku di cermin kamar mandi.
“Kenapa aku tampak sangat pucat?” kataku. “Dan lemah?!”
Aku berputar didepan cermin, merenggangkan otot ototku. Jika dibandingkan dengan tubuh berbentuknya Vincent, tubuhku jauh berada di bawah. Awalnya aku nggak begitu tertarik dengan penampilanku, tapi kemudian aku berpikir, mungkin Vincent tak sepenuhnya menyukai.. kalau boleh dibilang.. “penampilan unik” ku.
Saat aku masih berdiri di depan cermin, Vincent muncul dibelakangku dan kemudian mengecup leherku. “Menurutku kau sangat seksi...”
Nafasku mendadak menjadi gemetar karenanya. “Benarkah? Aku nggak begitu menyedihkan dan lemah? Lenganku bahkan nggak berbentuk sepertimu!”
Dia lalu memutarkan tubuhku menghadapnya. Tangannya menempel di lenganku dan ada sorot nakal di matanya. “Yah.. itu bahkan membuatku semakin gampang untuk bisa menikmatimu..”
Aku terpekik saat dia melepaskan kacamata dan juga boxer ku dan lalu mendorongku kebawah guyuran shower. Lalu, dia juga melepaskan bajunya dan bergabung denganku dibawah air panas, mencumbuiku di sepanjang leher hingga dada.
Air mengalir diantara kami dan aku mengerang lembut saat tubuh kami saling menempel. Aku menggerak-gerakkan tanganku di sekujur tubuh Vincent, menyusuri luka yang ada di perutnya. Ciumannya mengarah semakin kebawah, kebawah, dan kebawah hingga dia berjongkok didepanku. Aku meremas rambutnya, dan menggerak gerakkan tanganku. Dia menarikku kedalam pelukannya, erat, dan membuatku seketika menjadi mabuk karena gairah yang aku tak pernah tahu bisa kurasakan.
Vincent menyodorkan secangkir teh padaku. Aku duduk diatas sofanya, sudah memakai baju lagi tapi tetap saja masih terbayang bayang tentang ‘mandi’ terindah yang pernah kurasakan di sepanjang hidupku.
“Terimakasih.. untuk tehnya. Maksudku, untuk itu... ehm... erm.. kau yakin belum pernah melakukan itu sebelumnya?”
Dia kemudian duduk disebelahku dan kemudian mencium belakang telingaku. “Mmm... belum.. tapi aku belajar dengan baik tadi..”
“Vincent!” Pekikku, wajahku terasa panas. “Jesus, aku kemari untuk menonton film biasa dan kau malah menggodaiku dan melakukan itu tadi...”
Dia menggigiti telinga yang tadi dia cium dan membuatku terpekik kecil. Dan lalu dia berhenti dan meraih sekumpulan menu yang berada di atas meja makan di ruang tengah.
“Oke, acara goda menggoda selesai, aku lapar. Kau ingin pesan apa?” Dia menyodorkan semua kertas menu itu diatas pahaku. Aku tertawa dan lalu mulai memeriksa satu persatu pilihan menu.
“Wow.. kau punya banyak menu ya.. hmm.. kau membuatku sekarang bertanya tanya apa kau adalah semacam Gourmet Chef setelah beberapa makanan terakhir...”
Aku mendongak padanya dengan ekspresi menggoda dan tiba tiba Vincent langsung menempel demgan ponselnya. Dia melihatku menatapnya dan dengan cepat memasukkan ponsel tersebut kedalam kantongnya. “Kau mau apa Specs? Makanan China, atau India?”
Aku kembali melirik menu, berusaha menekan rasa penasaranku tentang apa yang akan dipesan Vincent.
Satu jam kemudian, kami meringkuk diatas sofa sambil memakan mie dari kotak kertas dan menonton serangan alien paling terpayah di dunia yang bermain di layar kaca.
“Taylor sialan itu hari ini nggak menganggumu kan?” Tanya Vincent ditengah tengah kunyahannya dan garpu yang penuh makanan China.
“Nggak. Aku bahkan nggak melihatnya hari ini. Dia cuma seorang pecundang jadi dia mungkin menyerah lagi setelah kau lempari telur waktu itu”
“Nah dia lebih baik menyerah, atau dia akan menghadapiku nanti”
Kemudian, ponsel Vincent menyala diatas meja kopi dan dia meraihnya. Ponsel itu menyala hidup-mati beberapa kali dan sekarang aku jadi penasaran. “Kau ber-SMS dengan siapa?” tanyaku lantang. “Jangan bilang kau sudah punya hubungan gelap dibelakangku!” kataku, awalnya sih aku berniat bercanda saja, tapi yang keluar dari mulutku malah terdengar sangat sarkas dari apa yang telah aku maksudkan.
Vincent mendadak cemberut. “Specs, jangan konyol”
“Aku bercanda...” Jawabku. “tapi aku benar benar nggak tahu kalau kau punya teman untuk di SMS” kemudian aku tertawa seperti Hyena, berpikir kalau yang tadi itu lucu. Tapi Vincent tidak balas tertawa, dan dia malah tampak sedikit tegang. Dan itu kemudian membuatku menyadari sesuatu. “Kau meng-SMS Alexis ya?”
“Yeah..” jawab Vincent. “And err... dia akan kemari dalam.. lima menit”
“WHATT!??” Aku hampir saja menghamburkan mie yang ada didalam mulutku.
“Kau jangan takut Scotty,... aku tau kau mungkin tak ingin beretemu dengannya.. tapi dia datang untuk meminta maaf.”
“Apa kau sudah merencanakannya saat kau mengundangku kemari?” Aku mengarahkan sumpitku ke Vincet.
Dia lalu mengaduk aduk mie-nya dengan garpu, menunduk dan tampak tak nyaman. “Awalnya sih nggak, tapi kemudian aku merasa kalau ini adalah saat yang tepat jadi aku mengirimkannya pesan”
Aku menggeser dudukku menjauh darinya di sofa, merasa kesal. “Kita sudah melewati malam yang indah, aku tak mau dia datang dan kemudian menghancurkannya”
Vincent lalu menggeser duduknya mendekatiku, meletakkan jarinya di bahuku. “Jangan marah Scotty,.. aku hanya mau menyelesaikan semua ini. Aku ingin dia mengucapkan maaf secara langsung padamu. Kau pantas untuk menerima permintaan maaf..”
Kekesalanku berkurang sedikit akibat sentuhan Vincent. Aku tak pernah bisa marah padanya. “OK.. tapi dia harus bersungguh sungguh!”
Dia mendekat dan lalu mencium leherku. Lalu membisikkan sesuatu ke telingaku kata kata konyol ke telingaku yang kedengarannya sama sekali bukan seorang Vincent. “I wuuuvvv yoouuuu....”
“Arghh berhenti! Aku sedang mencoba ngambeg disini!”
“I WUUUUUUUUUVVVVV YOOOUUUUUUUU!!!”
Dasar bodoh. Dasar Vincent bodoh yang menggemaskan!
Sepuluh menit kemudian, bel berbunyi dan membuat kulitku merinding. Aku tak yakin apa aku sudah siap untuk bertemu dengan Alexis, mengingat pertemuan kami tempo itu berakhir seperti apa. Kalau bisa jujur, aku tak mau memaafkannya sama sekali. Tapi aku tahu kalau memaafkannya adalah sesuatu yang harus kulakukan untuk Vincent. Selain itu, au juga ingin mendengarnya meminta maaf padaku. Mungkin dia benar benar menyesal dan ingin kami berbaikan.
Vincent kemudian membuka pintu dan menyuruhnya masuk kedalam. Saat dia datang, dia tampak basah kuyup sepertiku tadi. Air hujan jatuh menetes dari rambut pendeknya ke atas lantai dan dandanan yang ia pakai di mata luntur semua ke wajahnya. Dia memakai pakaian hitam dan sepatu bootsnya seperti biasa, tapi dia tampak tak mengintimidasi saat kebasahan seperti ini.
Dia mengikuti Vincent dari belakang memasuki ruang tengah tempat aku tengah duduk diatas sofa. Dia berdiri dengan malu malu, tak berani menatap mataku. Aku lalu berdiri dengan sopan dan menghampirinya.
“Hai Alexis,”
“Hi” balasnya, singkat.
Vincent lalu menyuruh kami duduk, sementara dia mengambil kursi lain dari meja makannya. Terasa sangat formal dan aneh, seperti saat kami sedang duduk di kantor Mrs. Patrick dan hampir saja disuruh keluar dari ruangannya.
Vincent kemudian membuka percakapan.”Right, ayo kita selesaikan masalah ini. Alexis, kupikir kau punya sesuatu untuk dikatakan pada Scotty?”
Alexis menunduk dan meletakan tangannya diatas paha, tampak gugup. “OK... aku minta maaf..” gumamnya.
“Alexis,” bentak Vincent. “Setidaknya kau lihat mata Scotty saat sedang bicara padanya”
Dia kemudian mendongak dan dengan patuhnya menatapku. “Aku minta maaf! Aku minta maaf karena sudah menyakitimu seperti itu. Dan aku minta maaf karena selama ini aku sudah jahat padamu. Aku tak bermaksud melakukannya.. aku hanya sangat kecewa. Tapi aku tak ingin kita bertengkar lagi, aku... aku minta maaf. OK?”
“Nggak apa-apa kok..” balasku. “Aku memaafkanmu. Aku juga minta maaf karena sudah meminta Vincent merahasiakan hubungan kami darimu. Kami tak bermaksud untuk membuatmu kecewa. Aku tau kau sangat berarti bagi Vincent dan aku ingin kita semua berbaikan..”
Saat aku mengatakan kalimat itu, au sdar bahwa aku benar benar bersungguh-sungguh. Meski dia kasar, Alexis punya segudang kualitas. Dia pemberani dan menyenangkan. Dia juga sangat emosonal dan benar benar kekanak-kanakan, tapi mungkin kalau dia bisa sedikit saja mengembangkan kualitasnya, dia bisa menjadi lebih baik. Dia itu keras kepala, tapi jika saja aku bisa membuktikan bahwa aku bukanlah sebuah ancaman bagi dalam persahabatannya dengan Vincent, mungkin kita bisa berbaikan. Atau mungkin, kitabisa menjadi teman.
“Look, ayo kita mulai lagi.” Kataku. “Lupakan semua yang telah terjadi, dan ini bisa menjadi hari yang baru bagi kita”
Dia lalu tersenyum kecil padaku. “OK, aku suka itu”
Kami kemudian mengobrol sebentar, kebanyakan sih membicarakan tentang persiapan showcase The Night Birds nanti. Alexis nggak begitu meledak ledak dengan percakapannya, tapi dia berbicara dengan sikap yang cukup menyenangkan tentang pemilihan lagu yang tepat dan semua latihan yang telah dilakukannya dengan Vincent. Bisa dibilang, ini adalah topik yang aman untuk dibicarakan dan aku berusaha dengan baik untuk membuatnya nyaman. Aku merasa, kalau akhirnya aku bisa membuat sebuah kemajuan dan mungkin kita benar benar bisa melupakan masa lalu yang telah terjadi.
Saat entah kenapa topiknya mulai mereda, Alexis bangkit dari sofa. “OK guys, sebaiknya aku pulang sekarang”
“Kau yakin?” tanyaku. “Rasanyanya aku tak ingin kau pulang dulu...”
“It’s fine” katanya blak-blakan. “Aku sudah mengatakan apa yang ingin kukatakan padamu, jadi sebaiknya kau nikmati saja malammu”
Vincent berdiri dan mengantarkannya ke pintu depan. “Well,.. kami benar benar menghargai kedatanganmu..”
“Hey, aku sudah jahat tadinya... tapi semoga saja aku bisa memperbaikinya” Dia menoleh padaku dan melambaikan tangan. “See you, Scotty”
Aku melambaikan tanganku balik padanya, tapi kemudian aku mulai merasa ada sesuatu yang tak beres saat ini. Entah kenapa Alexis rasanya bisa dengan mudahnya menerima semuanya. Bagaimana bisa berubah dari ‘super bitch’ yang sudah mencakari punggungku dan memerintahku untuk menjauhi Vincent menjadi sosok yang sangat bersahabat dan supportif? Aku benar benar ingin melihatnya bersungguh sungguh, tapi.. rasanya ada sesuatu yang tak beres bagiku.
Dia berjalan hingga ke pintu depan bersama Vincent, berpamitan dan kemudian memeluknya. Dari ruang tengah, aku bisa melihat mereka dan Alexis menoleh padaku, dengan Vincent yang memunggungiku, dia menatapku dingin, dingin seperti sebuah baja.
Tatapan itu terjadi sangat sebentar sampai sampai aku hampir tak punya waktu untuk mencernanya, tapi itu adalah tatapan yang sarat akan kebencian yang membuatku tak lagi ragu dengan perasaannya yang sebenarnya tentangku.