BoyzForum! BoyzForum! - forum gay Indonesia www.boyzforum.com

Howdy, Stranger!

It looks like you're new here. If you want to get involved, click one of these buttons!

Selamat datang di situs Boyzforum yang diarsipkan oleh Queer Indonesia Archive. Forum untuk komunitas gay Indonesia yang populer ini didirikan pada tahun 2003, dan ditutup pada tanggal 15 Desember 2020.

Forum ini diabadikan untuk kepentingan sejarah. Tidak akan ada konten baru di forum ini. Silakan menikmati forum ini sebagai potongan dari sejarah queer Indonesia.

Fallin' Star

edited May 2015 in BoyzStories
Fallin—Star.
Saat bintang kita jatuh dan kau tak lagi bisa mengangis. Memakilah!



***



Bolehkah gue menyalahkan takdir yang Tuhan suratkan untuk gue?
Terlalu cengeng rasanya jika gue memprotes semua yang direncanakan-Nya.
Tapi, apa boleh gue bersedih? Gue pria dewasa, apa masih pantas?

Kisah hidup gue mungkin membuat beberapa orang muak jika mendengarnya. Gue seorang pria pengeluh.

Sekarang, gue kembali terpuruk untuk kesekian kalinya. Gue pria dewasa yang sedang bersedih. Sangat lucu.
***

Gue pandangi Kenzo yang sedang tertawa. Dia anak gue satu-satunya. Bocah yang tegar. Satu-satunya orang yang bisa buat gue menangis saat gue merenung. Penyandang tuna netra yang juga mengidap kanker darah.

Dari lahir, Kenzo sudah buta. Satu minggu kemudian, Ibunya meninggal karena kanker darah yang dia derita. Gue udah ratusan kali ngelarang istri gue untuk mempertahankan Kenzo sewaktu anak itu masih ada di dalam kandungan Kayla. Tapi, Kayla seorang wanita yang sangat keras kepala. Dia selalu ngerasa tangguh. Seakan-akan dia tahu kalau Tuhan telah menyiapkan nasib baik kepadanya.

Lihat sekarang!?

Umur Kenzo sekarang sepuluh tahun. Satu minggu yang lalu dia demam tinggi. Tengah malamnya bocah itu nggak berhenti-henti mimisan. Setelah gue bawa dia ke dokter, ketakutan terbesar gue terbukti. Kenzo mengidap Leukemia, warisan dari Kayla. Lucu banget!

Ada lagi yang lebih lucu di dunia ini daripada kehidupan gue? Gue rasa nggak ada!

Tuhan seakan-akan membuat hidup gue itu bahan ketawaan orang-orang. Sungguh, Kau Maha Esa!

Bunuh diri?

Ya, mungkin gue akan melakukannya setelah Kenzo dimakamkan nantinya.

Gue pesimis?

Apa bisa lo optimis setelah melihat istri lo mati terbunuh kanker yang diidapnya padahal dia sudah bertarung mati-matian untuk kembali sehat. Hanya untuk menjadi seorang Ibu, yang terwujud dalam hitungan hari. Dan sekarang anak lo menderita penyakit yang sama. Apa lo yakin anak lo akan selamat?

Miris!

Keringat gue rasaya hampir habis saat menemani Kayla berjuang melawan kanker-nya. Pengobatan tradisional sampai medis kami coba. Hasilnya apa? Kenzo yang terlahir buta!

YA! GUE PRIA CENGENG!

“Rez.” Nyokap Kalya menepuk pundak gue. Sedikit mengagetkan, tapi nggak apa, itu sangat baik ketimbang beliau membiarkan gue melamun ketika menatap Kenzo yang sedang tertawa bahagia bersama Kakeknya.

“Jangan dipikirin terus, Rez. Dari awal, bukannya kita udah siap dengan kemungkinan ini?” Nyokap Kalya duduk di sisi gue setelah beliau meletakan empat cangkir teh hangat di meja sebelah kursi yang gue duduki.

“Kali ini, kita nggak akan kehilangan dia. Kamu nggak akan kehilangan dia, Rez.” Nyokap Kayla menepuk-nepuk punggung tangan gue.

Semilir angin yang datang dari pematang seakan-akan membawa kesedihan yang mendalam untuk singgah abadi di dalam kalbu gue. Tanpa gue mau, air mata gue berlinang gitu aja.

Kali ini, kita nggak akan kehilangan dia. Kamu nggak akan kehilangan dia, Rez. Kata-kata ini sukses ngebuat gue nangis dalam diam. Kebohongan mana lagi yang harus gue jadikan sebagai penyemangat?

Kenzo jelas akan kalah seperti Ibunya. Kayla, mengidap Leukemia kronis. Yaitu kanker darah yang mempunyai perjalanan penyakit tidak begitu cepat, sehingga si penderita memiliki harapan hidup yang lebih lama. Benar sekali. Kayla hidup lebih lama dari dugaan dokter. Tapi tetap saja, Kayla kalah oleh penyakitnya.

Namun, Kenzo mengidap Leukemia akut. Kanker yang putra gue derita bisa aja ngebunuh dirinya dalam hitungan bulan, bahkan minggu. Lalu, orang-orang dengan gampangnya berbohong kepada gue kalau Kenzo pasti akan sembuh!

Gue mohon. Ajarin gue supaya percaya dengan kebohongan yang mereka ucapkan.

“Ezo, Kakek. Cukup becandanya. Minum teh dulu nih sebelum kita berangkat.” Nyokap Kayla beranjak dari samping gue untuk menjemput Kenzo yang masih tertawa dalam gendongan Kakeknya.

Gue memutuskan untuk membawa Kenzo ke Jakarta. Meninggalkan kota hujan yang sejuk ini. Untuk memberikan pengobatan terbaik kepada putra gue satu-satunya. Gue emang pesimis, tapi gue masih mengemis kesembuhan buat Kenzo kepada-Nya.

Gue tersentak saat tangan Kenzo menyentuh wajah gue. Gue tersenyum lebar saat tanggannya itu meraba-raba muka gue yang berjengot serta kumis tipis. Kenzo tersenyum lebar ketika telunjuknya menyentuk bibir gue yang merekah.

“Jagoan Ayah udah siap?” Gue raup Kenzo dalam gendongan gue lalu berdiri tegap. Samar-samar gue dengar Nyokap dan Bokapnya Kayla berpamitan dengan Mbak Siti, pembantu rumah tangga di sini.

“Ezo takut. Nanti pasti sakit bangetkan, Yah?” Kenzo memeluk tubuh gue erat. Langkah gue bertambah pelan sehabis mendengar ungkapannya.

“Ezo pasti kuat! Ayah akan ada di samping Ezo, selalu.” Gue berucap penuh keyakinan. Suara gue lantang namun hati gue bergetar. Gue benar-benar nggak sanggup buat ngeliat putra gue dikemo nantinya.

Bakal bertambah segimana cengengnya nanti kalau gue ngelihat tubuh Kenzo bereaksi dengan obat kemo. Rambutnya akan rontok, tubuhnya bakal bertambah kurus. Mata butanya itu akan semakin redup saat dia kesakitan.

Andai Tuhan sayang sama gue. Andai Tuhan nggak ngebiarin kanker Kayla diwariskan ke Kenzo!

Gue berharap Kayla hidup dan gue yang mati!

“Janji ya, Yah?” Kenzo memeluk gue erat-erat. Kepalanya direbahkan ke bahu gue.

“Ayah janji, Nak. Setiap kamu buka mata. Setiap kamu ngerasa takut. Ayah selalu disamping kamu. Kamu nggak akan pernah sendirian.” Gue hapus air mata yang keluar sebulum Kenzo tahu kalau gue menangis.

“Ezo sayang Ayah.”

Gue kecup pipi Kenzo penuh cinta.

***


Berkali-kali gue melirik ke spion mobil hanya untuk melihat apa yang sedang Kenzo lakukan. Anak itu seakan bisa melihat pemandangan indah di pinggir jalan Toll. Kepalanya disandarkan ke kaca mobil.

Matanya yang memiliki pandangan kosong itu menerawang lurus tiada batas. Andai bisa, gue ingin sekali memberikan indera pelihat gue untuknya.

“Pemandangannya bagus nggak sih, Nek?” tanya Kenzo. Kini anak itu mengetuk-ngetuk kaca mobil dengan jari telunjuk kanannya.

“Biasa aja.” Ini gue yang menjawab.

Ya, setiap Kenzo bertanya apakah sekelilingnya indah, maka gue akan dengan cepat menjawab kalau di sekelilingnya itu biasa aja. Karena memang itu yang gue lihat. Keindahan dunia ini hanyalah saat melihat Kenzo tertawa bahagia, bagi gue!

“Punggung Ezo sakit,” keluh Kenzo yang kini bersender penuh di kursinya. Neneknya segera membuat sandaran kursi itu menurun. Membuat Kenzo lebih nyaman untuk beristirahat.

“Ibu Ezo itu cantikkan?” tanya Kenzo kepada kami semua. Lagi-lagi gue melirik spion di dalam mobil untuk melihat bagaimana ekspresinya.

Seisi mobil tertawa mendenger pertanyaan Kenzo yang bukan pertama kalinya dia tanyakan. “Cantik,” jawab kami serempak.

“Kenzo kenapa senyum-senyum begitu?” tanya gue yang kembali fokus mengemudi setelah melirik anak gue untuk kesekian kalinya.

“Cantik,” ulang Kenzo dengan senyum yang lebih lebar. Gue memilih mengambil jalur kiri dan memperlambat laju mobil gue. Semua itu hanya untuk mendengarkan Kenzo. Gue nggak mau sama sekali ngebuat dia ngerasa diacuhkan.

“Secantik tadi malam,” tambah Kenzo yang membuat gue refleks menatapnya sedikit lebih intens melalui kaca spion.

“Tadi malam Ezo mimpiin Ibu. Ibu cantik banget. Ezo diajak jalan-jalan.” Gue batal bertanya.

Gue merinding mendengar mimpi indah anak gue. Gue cengkram erat kemudi yang gue pegang. Gue berhenti mencuri-curi pandangan ke arah belakang. Ketakutan gue bertambah seratus kali lipat.

Kayla datang ke mimpi Kenzo? Dia ngajak Kenzo jalan-jalan? Lalu nanti?

Gue mohon, Kay! Jangan pinta Kenzo untuk temani lo! Gue mohon!

Kedua orang tua Kayla spontan menatap gue. Mereka terlihat lesu, gue tahu mereka juga memikirkan hal yang sama dengan gue. Kami mungkin akan kehilangan Kenzo. Gue tahu hal itu, tapi gue tetap nggak ingin itu terjadi dalam waktu dekat. Hati gue masih terlalu renta untuk ditinggal buah hati gue.

“Ezo baru inget. Kata Ibu, Ayah jaga diri baik-baik,” ucap Kenzo bahagia. Anak itu nggak tahu arti dari mimpinya.

Air mata gue menetes. Kayla meminta gue untuk jaga diri baik-baik. Dia nggak minta gue untuk menjaga Kenzo? Apa arti mimpi Kenzo yang sebenarnya? Tuhan!

“Rez, biar Bapak yang gantiin kamu nyupir!” Itu sebuah perintah, bukan permintaan.

Ya, gue memang nggak sanggup lagi mengemudikan mobil. Seperti ada gada yang menimpa dada gue. Sesak dan lemas, itu yang gue rasain sekarang.

***


Gue kecup kening Kenzo yang pucat. Penyakit itu sudah mulai menggerogoti tubuh putra gue. Kenzo mimisan hebat beberapa jam setelah kami menginjakan kaki di Ibu Kota. Di rumah warisan dari Ibu gue.

Sebenarnya, gue pengin banget membeli atau mengontrak rumah lain. Gue nggak pengin kembali menginjakan kaki di rumah yang penuh dengan kenangan pahit! Di sini, gue melihat Ibu gue dipukuli laki-laki gila yang gue sebut Bapak.

Gue melangkah keluar dari kamar menuju ruang tamu.

Pemabok, pejudi, maling. Sungguh, gue berharap bisa bunuh dia dengan tangan gue sendiri. Bukan hanya karena tiga hal yang dia lakuin itu. Tapi, dia juga ngejual gue dan Ibu demi uang untuk menyambung hobi judinya yang maha mulia itu.

Gue masih sangat ingat hari di mana awal matinya kebahagiaan yang gue miliki.

Senja itu, gue baru aja dapat makan dari tetangga yang iba dengan nasib gue dan Ibu. Tapi, belum juga gue menghabiskan nasi bungkus dari acara Tahlilan yang diadakan tetangga gue. Bajingan itu datang dan membawa gue.

Umur gue sudah cukup besar waktu itu. Empat belas tahun. Gue meronta saat melihat Ibu dipukul karena mencoba menghalangi Bapak ketika ingin membawa gue. Gue berhasil meloloskan diri dari si brengsek itu. Tapi dia nggak sendirian.


Mata gue memandang tiap inci rumah ini, membuat memori kelam semua kejadian pahit yang pernah terjadi di sini terlihat di pelupuk mata.

Seseorang mendorong tubuh gue dengan amat keras, membuat gue tersungkur begitu aja. Belum sempat gue bangkit, orang itu menjambak rambut gue dengan sangat tega. Nggak hanya sampai di situ, dia menyeret gue dengan membabi buta ke dalam sebuah mobil Kijang hitam. Semuanya terjadi begitu cepat, sampai-sampai gue nggak bisa ngelihat apa yang terjadi dengan Ibu gue.

Gue menghela nafas dengan berat. Gue benar-benar nggak pengin mengingat hal nista itu. Namun, saksi bisu yang gue tinggali ini seakan-akan memaksa gue untuk mengenang semuanya. Tiap detik yang pernah gue alami dahulu. Menggelikan!

“Nggak rugi kita kehilangan sepuluh juta, anaknya si Yudi manis banget. Mata lo emang jeli ngehilat bocah yang bening-bening.” Si pengemudi mobil berucap kepada orang yang sedaritadi memegangi gue.

Gue nggak bego. Gue tahu akan ada nasib buruk yang menimpa gue. Dengan sekuat tenaga gue mencoba melarikan diri, tapi sayang gue nggak berhasil. Dua orang yang duduk di belakang membekap dan memegangi pundak gue. Dua orang yang duduk di kanan dan kiri gue memegangi tangan juga kaki gue. Membuat gue mengharap belas kasihan dari sang pencipta alam, supaya dia memberikan pertolongan-Nya.

Tapi apa yang terjadi? Sampai kebahagiaan gue mati, nggak ada satupun doa gue yang terkabul. Tertawalah!

Gue di bawa ke sebuah rumah besar di daerah antah-berantah. Gue hanya diam memperhatikan wajah konyol mereka. Iya, Konyol! Beberapa dari mereka rambutnya diwarnain, sangat-sangat tidak pas dengan wajah juga warna kulit mereka. Ada yang bergerak gemulai, juga ada yang bersuara cempreng kaya cewek.

Mereka homo!

Mata gue mendelik menyadari itu semua. Benar semua dugaan gue. Mereka homo! Homo yang biadab!
Gue disodomi entah berapa puluh kali dengan beberapa orang yang berbeda selama kurang lebih sebulan. Gue nggak tahu mereka siapa, tapi gue tahu siapa yang nyerahin gue kepara keparat tersebut. Yaitu, Prayudi Anggoro. Orang yang seharusnya melindungi juga menafkahi gue dan Ibu.


Gue menarik nafas dalam-dalam, gue mencoba untuk mengenyahkan memoar pedih yang sekarang seakan-akan meluap dari dalam kenangan lampau. Rumah ini benar-benar memaksa gue mengingat semua itu.

Gue sentuh daun pintu rumah gue dengan amat hati-hati. Seolah-olah pintu itu bisa berubah kapan aja jadi Prayudi Anggoro.

Gue merinding saat mengingat hari-hari terakhir jadi budak seks mereka. Para homo itu memaksa gue untuk menelan ludah-ludah mereka, meminum air kencing mereka. Para bajingan itu memperlakukan gue jauh lebih rendah dari binatang. Gue hampir ngerasa bahwa gue bukan manusia dan nggak berhak juga ngerasain apa itu bahagia.

Dan gue dibebaskan. Setidaknya gue berterimakasih kepada Tuhan juga mereka. Gue nggak sampai dibunuh seperti di dalam beberapa berita yang ada di televisi.

Susah payah gue mencari tebengan geratis demi kembali ke rumah. Buat balas dendam kepada si anjing yang sudah menjual gue sebagai budak seks para homo keparat itu. Juga untuk membawa pergi Ibu gue dari sana. Gue lebih rela jadi gelandangan ketimbang tinggal satu atap dengan bajingan yang bakal gue bunuh nantinya.

Setelah gue sampai rumah, gue mendapati fakta yang memilukan. Rasanya malu bukan kepalang. Dan jika ada salah satu dari tetengga gue yang kala itu mencibir gue bersedia menancapkan pisau dapurnya ke dada gue, gue sangat-sangat rela!

Bukan karena si Yudi yang mati dikeroyok preman entah karena apa—gue menyesal karena nggak bisa bunuh dia dengan tangan gue sendiri! Tapi karena tetangga-tetangga gue bilang kalau Ibu gue jadi pelacur di Prumpung.

Bangsatnya, semua itu benar!

Jelas gue marah besar sama Ibu gue. Gue benar-benar nggak habis pikir sama dia karena udah rela ngejual kehormatannya entah demi apa! Demi uang? Dia dan gue belasan tahun hidup miskin, harusnya Ibu nggak sebodoh itu!

Semua orang punya alasan. Ternyata, saat gue dijual kepada homo-homo biadab, Ibu gue juga dijadikan bayaran hutang-hutang judi si Yudi. Gue benar-benar nyesal nggak bisa bunuh dia dengan tangan gue sendiri.

Dan Ibu gue meneruskan menjual dirinya demi mendapatkan uang untuk mencari gue. Karena kata Ibu gue, sampai si anjing itu mati, dia nggak kunjung ngasih tahu di mana keberadaan gue ke Ibu. Sehingga Ibu rela meneruskan pekerjaan nistanya. Semua itu demi gue.

Beruntungnya gue dan Ibu, rumah ini nggak sampai disita kayak film-film di televisi.
Dengan sisa uang hasil melacur yang Ibu punya, kami pindah ke kota Bogor. Gue melanjutkan sekolah di sana, kami mengawali kehidupan kami yang benar-benar baru di sana.


“Rez, kamu belum tidur? Besok pagi kita ada janji sama dokterkan?”

Gue tersentak kecil, “Ini baru aja mau tidur, abis nge-cek pintu. Ternyata udah dikunci,” jawab gue jujur. Karena emang niat awal gue keluar dari kamar hanya untuk memastikan pintu rumah udah terkunci atau belum.

“Duduk dulu Rez! Bapak mau ngomong,” perintah Bapaknya Kayla. Ya, pria tua ini memang beraura layaknya diktaktor. Tapi, dia mertua terbaik yang pernah gue miliki.

Gue duduk menuruti perintahnya. Neneknya Kenzo meletakan minuman di atas meja, sepertinya akan ada omongan panjang malam ini. Gue sebenarnya nggak pengin ngomongin apapun buat sekarang ini.

Kepala gue serasa dikerubungi jutaan serangga hutan.

“Udah saatnya kamu cari kebahagiaan kamu, Rez!” ucap Bokapnya Kayla tanpa basa-basi.

“Ibu sama Bapak nggak pengin ngelihat kamu murung terus menerus,” tambah Nyokap Kayla sambil memberikan teh hangat ke gue.

Mata gue membesar, gue nggak sangka mereka akan membicarakan hal ini, memikirkannya pun gue nggak pernah. “Kenzo. Dia kebahagiaan saya,” jawab gue lugas. Ya, kebahagiaan gue hanyalah putra gue semata. Mengetahui tumbuh kembangnya, menyaksikan tawanya, menemaninya tiap waktu yang gue punya adalah kebahagian gue.

Gue nggak punya waktu buat mencari kebahagiaan gue sendiri. Karena sejak lama, gue udah nggak kenal lagi apa itu kebahagiaan diri sendiri. Cuma Kenzo yang bisa buat gue bahagia.

“Sudah saatnya kamu punya isteri lagi,” tambah Nyokap Kayla, matanya memandang iba ke gue. Seolah-olah gue orang yang patut dikasihani. Memang benar!

Gue tertawa kecil mendengar ucapan Nyokap Kalya. Kedua orang tua Kayla mengerutkan keningnya, mungkin mereka sekarang berpikir kalau gue sudah gila. “Saya nggak butuh siapapun.” Gue berdiri, memutuskan pembicaraan absurd ini sepihak.

“Kapanpun kamu nemuin kebahagiaan yang kamu butuhin. Kejar! Nggak ada satupun dari kami yang akan ngehalangin kamu. Bapak rasa Kenzo pun sekata dengan kami.”

“Ya,” jawab gue singkat sambil meninggalkan mereka.

Kenzo adalah nyawa gue, rasa sakitnya juga rasa sakit gue. Dan jika jantung putra semata wayang gue berhenti, maka gue pula akan menghentikan detak jantung gue. Karena, nggak ada lagi alasan untuk gue terus hidup. Dan semua itu hanya menunggu waktu.

Gue rebah di sisi Kenzo. Wajahnya begitu damai, dia terlihat baik-baik aja jika terpejam seperti sekarang ini. Air mata gue terjatuh saat gue membayangkan jika gue sampai kehilangannya.

Gue sentuh rambutnya yang menutupi mata. Rambut yang indah seperti yang dimiliki Ibunya. Jemari gue meraba pipinya yang hangat. Akankah gue sanggup menyentuhnya saat tubuhnya kaku nanti?

Kenzo terbangun sejenak, dia menyentuh tubuh gue. “Kenzo bobo, lagi Nak, masih malam,” bisik gue ke Kenzo. Dia mengangguk lemah dan kembali tidur sambil memeluk gue. Berepa lama lagi waktu yang Tuhan sediakan untuk gue dan Kenzo?

Kay, jangan bawa pergi Kenzo dari gue.
***



«1

Comments

Sign In or Register to comment.