BoyzForum! BoyzForum! - forum gay Indonesia www.boyzforum.com

Howdy, Stranger!

It looks like you're new here. If you want to get involved, click one of these buttons!

Selamat datang di situs Boyzforum yang diarsipkan oleh Queer Indonesia Archive. Forum untuk komunitas gay Indonesia yang populer ini didirikan pada tahun 2003, dan ditutup pada tanggal 15 Desember 2020.

Forum ini diabadikan untuk kepentingan sejarah. Tidak akan ada konten baru di forum ini. Silakan menikmati forum ini sebagai potongan dari sejarah queer Indonesia.

Fallin' Star

2»

Comments

  • cerita yg sedih sampai bikin nangis dan tragis juga :( tp keren
    btw ada lanjutan nya kah ? kalau ada mention ya kalau udah di lanjut
  • edited May 2015
    Kedua.

    Gue dekap tubuh kurus Kenzo dengan erat, kaki dan tangannya terombang-ambing seiring tubuh gue yang berlari secepat gue bisa. Wajah Kenzo sudah terlihat sangat pucat, tubuhnya sepanas bara api, memar-memar yang timbul di sekujur tubuhnya membuat gue berharap telah mati.

    Darah yang keluar dari hidung Kenzo sudah hampir menodai seluruh bagian depan baju yang gue kenakan. Rasa panik membuat kepala gue—yang memang sering sakit akhir-akhir ini—serasa ditusuk-tusuk jarum. Sungguh amat nyeri.

    “DOKTER!!!” gue meraung ketika gue memasuki ruang UGD.

    Beberapa tim medis yang berada di ruangan ini menyerbu gue. Mereka raup Kenzo dari dekapan gue dan segera mengambil tindakan. Seorang dokter mulai melemparkan pertanyaan-pertanyaan mengenai kondisi Kenzo dengan sangat cepat, membuat gue yang sedang nggak keruan dibuatnya tambah kacau.

    Gue memberikan jawaban salah di beberapa pertanyaan yang dokter itu ajukan. Bukan! Bukan karena gue nggak tahu, tapi gue sudah kepalang panik. Jangankan untuk menjawab pertanyaannya, untuk berdiri tegap pun gue nggak sanggup.
    Yang ada di dalam kepala gue saat ini hanyalah Kenzo. Apa putra gue masih mampu bertahan? Bagaimana jika gue kehilangannya sekarang? Gue belum sempat jadi Ayah yang baik buat dia.

    Bokap Kayla yang menjawab pertanyaan-pertanyaan berikutnya dari sang dokter, sekaligus membetulkan jawaban gue yang salah. Gue beruntung memiliki mereka di antara kami—gue dan Kenzo tentunya!

    Sapu tangan penuh darah yang tadi gue pakai untuk menutupi hidung Kenzo kini gue cengkram erat. Gue benar-benar masih syok.

    Pagi ini kami ada janji dengan dokter Joanna. Dokter spesialis kanker yang dulunya juga menangani Kayla. Rencananya hari ini adalah awal dari serangkaian pengobatan yang akan Kenzo jalani. Tapi sepertinya Kanker itu mendahului kami.

    Dini hari Kenzo batuk-batuk, detik itu juga gue terbangun dari tidur ketika mendengar suaranya. Lalu saat gue berbalik badan untuk memberikannya air putih, hal itu terjadi.

    Hidungnya mengeluarkan darah perlahan, darah yang terlihat sedikit tidak segar, agak berwarna bening kemerahan. Ya jelas, karena memang sel darah putih mengkontaminasi tubuhnya.

    Seketika itu juga gue gendong putra gue dan membawanya ke rumah sakit ini. Sebetulnya, gue nggak pengin membangunkan ke dua orang tua Kayla. Tetapi mereka terbangun karena mendengar rintihan Kenzo yang amat menyayat hati. Juga ketika gue menjatuhkan beberapa barang saat gue sadar kunci mobil gue nggak ada di tempat semestinya.

    Sekarang! Gue dan kedua orang tuanya Kayla sedang beharap-harap cemas di depan UGD. Menunggu kabar baik atas Kenzo dari para dokter yang sedang berjuang menyembuhkan jagoan gue. Ya! Gue hanya menunggu kabar baik.
    ***


    Fajar telah datang namun gue urung terpejam meski keheningan membuat gue ngantuk berat. Kelopak mata gue serasa sedang digelayuti malaikat-malaikat pencabut nyawa yang gagal melakukan tugasnya terhadap Kenzo.

    Gue pegangi tangan kurus putra gue. Meski tangannya dingin tapi gue masih bisa merasakan nadinya yang berdenyut lirih, dadanya yang kembang kempis dengan ritme yang kadang-kadang tidak normal.

    Air mata gue rasanya sudah habis untuk menangisi penyakit Kenzo. Semua doa gue yang gitu-gitu aja pun udah muak gue panjatkan, karena sedikitpun Tuhan nggak pernah mengabulkan doa gue yang hanya berisikan: kesembuhan Kenzo.

    “Hai, jagoan Ayah!?” ucap gue sengau. Gue usap lembut punggung tangan Kenzo yang nggak tertusuk jarum infus.

    Kenzo masih belum siuman, tapi entah kenapa gue ngerasa kalau dia mampu mendengar gue. Dan gue ingin bercerita tentang semua ketakutan gue kepadanya saat ini.

    Gue menghela nafas berat, gue sentuh keningnya sebelum gue berkata. “Ken, jangan tinggalin Ayah.” Empedu gue serasa hancur. Pahit! Karena gue tahu, kalau Kenzo sebentar lagi akan ninggalin gue.

    “Lawan kanker-nya, Ken. Lawan penyakit itu buat Ayah.” Ya! Gue seorang Ayah yang sedang mengharap belas kasih anaknya yang sedang sekarat. Sila tertawa!

    “Terus di sini Ken, jangan pergi. Kamu nyawa Ayah. Jangan biarin Ayah kehilangannya.” Gue hapus air mata yang menetes.

    “Terus benafas demi Ayah, Ken. Kenzo masih maukan main kuda-kudaan sama Ayah? Kenzo kangenkan main petak umpet bareng Ayah?”

    “Kenzo boleh makan es krim sebanyak mungkin, nanti. Ayah janji! Asalkan Kenzo sembuh.” Gue menangis dalam diam. Gue berhenti berbicara, nggak lagi melanjukan omongan nggak berguna yang mulut gue racaukan daritadi.

    “Rez.” Gue menoleh kesumber suara. “Kamu ingat hari di mana Kayla melahirkan dia?” Dokter Joanna melangkah mendekati kami. Matanya menatap gue intens seolah-olah dia sedang berusaha membuat gue mengerti apa yang sedang dia omongin.

    “Ingat apa yang Kayla katakan waktu itu?” tambahnya lagi. Tubuh gue dingin seketika dan keringat mulai keluar dari pori-pori tubuh gue saat gue berhasil mengingat apa yang Kayla katakan.

    “Kayla menitipkan Kenzo sama kamu, Rez. Bukan memberikan. Kayla mau kamu untuk menjaga Kenzo sebaik mungkin, bukan berarti kamu harus ngebuat dia terus bersama kamu. Mungkin sekarang, Kenzo rindu dengan Ibunya. Kenzo ingin bersama Ibunya, biarkan dia pergi, Rez. Kayla akan menjaganya—“

    “Tau apa lo soal kehilangan?” desis gue kepada Joanna.

    Wanita itu berhenti melangkah untuk mendekati gue. Dia bergeming di tempat namun wajahnya tersenyum. Dokter ini emang benar-benar nggak tahu gimana rasanya kehilangan.

    “Aku emang nggak ngerasain kesedihan sebesar yang sedang kamu rasain sekarang. Tapi aku ngerti perasaan yang sekarang meradang di dalam dada kamu.” Gue menghindari mata Joanna, gue tahu dia berkata jujur. But tetap aja, bagi gue Joanna nggak tahu apa-apa.

    “Aku ngelihat puluhan orang tua kehilangan anaknya karena kanker, aku tahu rasanya—“

    “Gue nggak butuh belas kasih siapapun, Jo!” sergah gue dengan nada serendah mungkin. Gue nggak mau Kenzo terganggu.

    Joanna memalingkan wajahnya dari gue. Keheningan di ruang ICU ini semakin menjadi-jadi. “Kayla temen aku, Rez—“

    “Tapi lo bukan Kayla! Berhenti sok tau. Lo dengerkan gue tadi bilang apa? Gue nggak butuh belas kasih siapapun!” tandas gue dengki.

    Joanna menghela nafasnya, gue tahu dia terluka atas omongan gue. Sayangnya, gue nggak punya rasa peduli yang cukup untuk siapapun, saat ini. Dokter itu mengangguk, perlahan dia memutar tubuhnya, melangkahkan kaki jenjangnya ke arah pintu.

    “Sebentar lagi Kenzo pasti siuman. Kamu tahukan Rez, dia nggak akan bertahan lebih dari seminggu. Bahagiakan dia, Rez. Dan saat waktunya tiba, relain dia. Dia nggak akan sendirian. Kayla akan ngejaganya.” Joanna tersenyum timpang ke arah gue sebelum dia menghilang di balik pintu.

    Ya, memang! Kenzo nggak akan sendirian. Tapi gue yang akan kesepian!

    Setelah itu, gue merasakan lantai yang gue pijak berputar, dinding dan semua yang gue lihat berpusar seperti tersedot ke dalam penglihatan gue. Kepala gue serasa penuh dengan apa yang gue pandang. Nafas gue tersengal dan gue jatuh begitu saja.

    Lama, gue merasakan dinginnya lantai ruang ICU ini terserap tubuh gue. Pandangan gue menjadi monokrom. Tubuh gue kini menggigil. Saat mata gue akan tertutup, pintu terbuka dan beberapa kaki muncul setelahnya.
    ***

    Gue membuka mata saat mendengar tawa Kenzo yang begitu renyah. Entah berada di mana gue sekarang, tapi gue bisa melihat keceriaan putra gue kembali. Di atas ayunan yang anak gue duduki itu dia tersenyum sambil melambai ke arah gue. Wajahnya begitu manis.

    “Kenzo sangat mirip sama kamu, Rez.” Seketika itu juga gue menoleh ke sumber suara.

    Kayla tersenyum. Dia tersenyum dengan kepala yang sedikit dimiringkan, membuat rindu gue kepadanya terobati. “Sangat mirip,” tambah Kayla sambil menatap Kenzo.

    “Cuma dia nggak punya senyum sinis kamu, senyum Monalisa.” Sambung Kayla yang tertawa diakhir kalimatnya.

    Kayla menyentuh tangan gue dengan santun. Dengan gerakan yang perlahan dia mencondongkan tubuhnya ke tubuh gue yang kaku. Gue nggak tahu apa penyebab tubuh gue sampai kaku begini. Tubuh kami merapat tapi nggak saling memeluk.

    “Terimakasih karena kamu sudah menjaga dan membahagiakannya,” bisik Kayla di telinga gue. Gue nggak bisa berucap satu katapun, meski sebenarnya gue ingin berbicara dengan Kayla sebanyak dan selama yang gue bisa.

    “Sekarang, kamu yang harus bahagia, Rez.” Kayla melangkah mundur. Kini gue bisa melihat wajahnya yang anggun itu kembali tersenyum kearah gue.

    “Karena selanjutnya, aku yang akan membuat Kenzo tertawa.” Gue membelalak mendengar ucapan Kayla.

    Kayla menjulurkan tangannya dan menyentuh wajah gue. Sekuat tenaga gue mencoba untuk menggerakan tangan ini untuk mencegah Kayla pergi dari sisi gue. Namun semuanya sia-sia, gue nggak sama sekali mampu menggerakan sekujur tubuh gue.

    Gue mencoba berteriak saat Kayla mendekati Kenzo, semuanya masih tetap sia-sia. Gue hanya mampu bergeming meski batin sudah meraung. Kenzo melompat dari ayunan yang dia naiki, berlari-lari kecil ke arah Kayla lalu memeluk Ibu-nya dengan sangat erat.

    Gue hanya mampu menggelengkan kepala saat mereka berdua menatap gue bersamaan. Tatapan mereka begitu cerah namun bagi gue itu adalah sebuah tatapan perpisahan, demi apapun gue belum sanggup untuk hal ini.

    Dan saat mereka berbalik dan melangkah menjauh dari gue, kaki gue baru bisa digerakan. Sekuat tenaga gue mengejar mereka, tapi sial! Gue nggak berhasil. Kenzo dan Kayla menghilang tertelan cahaya terang yang begitu menyilaukan penglihatan gue.
    ***

    “Mimpi!” ucap gue serak dengan nafas yang terengah-engah. Keringat membasahi seluruh tubuh gue.

    Gue meringis ketika hendak bangkit dari posisi gue yang rebah—shit! Ada infus-an yang menancap di tangan kiri gue—fuck—serta tranfusi darah di lengan kanan gue. Selanjutnya, gue merasa ada gada yang dihujamkan tepat d tengah kepala gue. Sangat pening, membuat gue kembali tergeletak begitu saja.

    Di mana gue?

    Mana Kenzo?


    Hell! Gue terlalu keras, melupakan daya tahan tubuh gue sendiri. Kenapa bisa gue jatuh sakit di saat-saat seperti ini. Fuckin’ell!

    Gue berbaring pasrah, memandangi langit-langit rumah sakit yang membosankan ini. Nenek dan Kakeknya Kenzo pasti bersama anak gue sekarang. Setidaknya, gue punya alasan untuk tenang sekarang.

    Pintu terbuka, Joanna. Dokter itu tersenyum kecil ke arah gue, “Waw, kamu lebih cepat siuman daripada prediksi Samuel, ya?!” ucap Joanna sambil mengecek infusan gue.

    Gue genggam tangan Joanna saat dia ingin menarik jemarinya yang baru saja menekan nadi gue. “Please, lakuin apapun untuk dia, Jo. Gue mohon.” Gue memohon penuh harapan.

    “Pencangkokkan sumsum tulang belakang, atau apapun itu metode-nya. Please, lakuin untuk dia. Gue nggak sanggup kehilangannya. Nggak dengan cara yang sama seperti Ibu-nya,” ratap gue kepada Joanna.

    Joanna menatap gue dengan intens, gue merasakan tangannya menggenggam tangan gue penuh perasaan. “Ini dunia nyata, Rez. Bukan film ataupun sinetron,” ucap Joanna sengau. Saat dia menggelengkan kepalanya, refleks gue melepaskan genggaman tangan kami. Harapan gue benar-benar pupus sekarang.

    Dokter itu menyentuh bahu gue, memberikan ketegaran yang sama sekali nggak gue butuhin—yang gue butuhkan hanyalah kesembuhan Kenzo! Hanya itu! Kenapa sangat mustahil untuk gue mendapatkannya!

    WHY ME LORD???!!!

    “Kanker yang Kenzo idap itu berbeda, Rez. Penyakit itu menyerang dia dengan sangat cepat. Kamu tahu itu, kan?” gue memalingkan wajah demi menghindari tatapan Joanna.

    “Kenzo terlalu lemah untuk melakukan operasi. Dia nggak mampu, Rez. Meskipun Kenzo kuat menjalani rangkaian pengobatannya—“ Joanna menitikan air matanya—tetesan air matanya yang membasahi bahu gue. “Dia nggak lagi punya kesempatan untuk sem—“

    “LO BUKAN TUHAN!” teriak gue penuh kedengkian. Gue tahu semua yang Joanna katakan benar, tapi gue nggak ingin mendengarnya dari mulut siapapun. Ahli manapun nggak bisa memberikan vonis sekeji itu terhadap anak gue. Nggak berhak!

    Gue berusaha mencabut semua alat medis yang tertancap di kedua tangan gue. “Ini tubuh gue, Jo. Gue berhak ngelakuin apa aja,” desis gue saat Joanna mencoba mencegah gue.

    “Kalau lo nggak bisa sembuhin Kenzo. Jangan pernah nahan-nahan gue untuk ketemu anak gue sendiri,” tandas gue sambil mencabut infus itu. Dan melangkah menghampiri pintu.

    No matter what!

    Rasa sakit yang tubuh gue rasain nggak ada apa-apanya dibanding pedihnya hati gue menerima kenyataan ini. Kehilangan Kenzo adalah rasa sakit terbesar—yang akan segera gue rasakan.


    Gue nggak akan pernah siap untuk hal ini.

    ***


    Gue pasang senyum palsu gue ketika sudah di depan pintu ruangan tempat Kenzo di rawat—Joanna memberitahu semua hal yang terjadi selama gue nggak sadarkan diri seharian kemarin, sebelum gue meninggalkannya tadi.

    “Halo, jagoannya Ayah!” ucap gue agak keras saat gue membuka pintu dan melihat Kenzo sedang duduk di tempat tidurnya sambil tertawa.

    “Ayah!” teriak Kenzo penuh kegirangan. Putra gue mencondongkan tubuhnya, mencoba mencari tahu darimana gue datang melalui suara gue yang dia dengar. Remember, Kenzo hanya punya dua teman. Gue dan kegelapan.

    I’m officially missing you, Yah.” Gue bisa merasakan pelukannya nggak lagi seerat dulu. Mungkin karena kanker-nya—Ignore!

    “Ayah juga kangen sama kamu, maaf ya kemarin Ayah nggak nemenin kamu pindah ruangan. Gimana, Kenzo betah di sini?” tanya gue sambil sesekali menciumi Kenzo. Gue akan lebih sering melakukan ini sebelum gue nggak bisa menyentuhnya lagi.

    “Ezo, suka.” Kenzo menganggukan kepalanya pelan. “Oh ya... uncle Faza, kenalin. Ini daddy-nya Ezo. Ayah, ini uncle Faza yang kemarin nemenin aku seharian.”

    Faza.

    Gue menoleh seratus delapan puluh derajat, seketika itu juga gue mematung. Bukan karena kedua orang tua Kayla. Melainkan karena pria yang—sedang tertegun—berdiri dibelakang mereka.

    Gue merasakan ada setetes embun membasahi hati gue yang kering. Seakan memaksa benih tumbuh kembali di atas luka yang menganga.
    ***


    Makasih yaa yang udah mau baca cerita (yang lama update-nya ini) dari gue. Maaf juga buat kalian yang minta mention tapi belom bisa gue mention. Gue sibuk bet sih soalnya
    #dipukulimasa



    makasih...


    Irfandi_rahman
  • kasihan Kenzo... :((
  • sumpah keren, mantion ya klo update
  • Keren bingit cerita kooh
    semangat buat lanjutinnya
    titip mention klo update!
  • Keren bingit cerita kooh
    semangat buat lanjutinnya
    titip mention klo update!
  • Kereen broo, ngena bgt inii.. Tengah malem lagi bacanya.
    Faza siapa nih?
  • Bikin nangis nih cerita Bang TS nya selalu bikin cerita yg bagus....lanjutttttt....
  • sedih bgt :'( jd inget alm. keponakan dulu, dia kaya kenzo di part ini hiks
    feelnya dpt bgt ini
  • Lagi pengen menghindari zona baper .. eh malah nemu ini cerita :'( .. huhuhu kepikiran mulu .. :/
  • ceritanya menarik...
  • Lanjut lagi dong ceritanya.
  • saya suka (cerita) kamu
  • Gantung yah...kecewa berat ni sm tsx,mohon dan tolng dlanjutin
Sign In or Register to comment.