It looks like you're new here. If you want to get involved, click one of these buttons!
Copyright 2021 Queer Indonesia Archive. See our Privacy Policy. Contact us at [email protected]
Dengan menggunakan situs ini berarti Anda setuju dengan Aturan Pakai.
BoyzForum.com adalah situs anti pedofilia!
Comments
@Otho_WNata92 hehe mkssiii atas pmbritahuannya, udah lngsung ku edit tuch..
@lulu_75
@kristal_air ceritaku tnggal 2 part lgi slse kok jadi part selanjutnya pasti smua trungkap..
@Bun @Pradipta24 ya akhirnya...
apa masalah baru bakal datang??
Justin & Zac
akhirnye....
akhirnye....
akhirnye....
Pemuda jangkung itu membuka kacamata hitamnya, memperlihatkan tatapan elang yang ia miliki dan tentu saja sebuah bunga yang ia bawa baru saja di letakkan di atas pusara tempat ia duduk sekarang. Dia menatap pusara itu seolah ia mengatakan sesuatu lewat tatap yang ia lakukan.
Nafas beratnya lagi-lagi terhembus, entah untuk keberapa kali nafas itu memenuhi rongga dadanya. Matanya tak lepas dari batu nisan yang ada di atas pusara.
Tangannya yang terlihat kekar menjangkau batu nisan tempat sebuah nama tertoreh di sana. Brian Alexander Prion, itulah nama yang tertera disana.
Dia meraba nama itu seolah meraba wajah sang pemilik nama. Tersenyum kecut karena seringnya ia melakukan semua itu. Terus mengisi hayalnya untuk bisa sekali saja bertemu dengan tuan mudanya yang kini sudah tiada.
Tuan muda yang begitu ia sayangi bahkan ia cintai.
Cinta, terkadang ia ingin tertawa jika mengingatnya. Tertawa bukan karena ia senang tapi lebih kepada tertawa akan kebodohan yang ia miliki.
Mencintai tuan mudanya sendiri, tentu dia memang sudah gila. Yang lebih gila lagi adalah dia yang masih saja cinta walau sang tuan muda telah tiada.
Mengingat bagaimana sang tuan muda meninggal membuat ia mengutuk dirinya sendiri. Pengawal macam apa dia yang tak bisa menjaga tuannya bahkan sang tuan mati di depan matanya sendiri.
Airmata itu keluar lagi, entah sekarang itu airmata kesedihan, kekesalan atau malah keputusasaan. Dia hanya ingin menumpahkan segala hal yang tak pernah bisa ia keluarkan selama ini dan ia melakukan semua itu lewat air matanya.
“Aku melihatnya.” Suaranya sungguh terdengar lirih dengan isakan pilu. Dia ingin bercerita, bercerita walau tempat ia menceritakannya taklah dapat menimpalinya.
Dia mengusap wajahnya, menyingkirkan air kesedihan itu dari mata dan wajahnya. Mencoba tersenyum walau sangat nyata itu di paksakan.
“Matamu sangat cocok buatnya. Dia terlihat tampan walau nyatanya tetaplah kau yang paling bersinar. Aku yakin kakakmu juga berpikir sama denganku.” Lagi dia berucap tapi kali ini tak selirih kata pertamanya.
“Seolah takdir memang sudah mengaturnya, aku melihat dia akur dengan Zac dan kau tahu aku rasa mereka menjalin sebuah hubungan. Kau mengertikan maksudku hubungan?”
“Ya mereka pacaran, itu menurutku. Apa kamu cemburu?” Lagi jeda itu terjadi tapi kali ini agak lama dan ia sesekali membelai pusaran tersebut.
“Aku tahu jawabannya tidak karena memang inikan yang kamu inginkan. Berada di tubuh orang lain.” Senyum miris itu kembali terukir di bibirnya.
“Bagaimana perasaanmu saat pertama kali melihat mereka bertemu? Aku yakin akan ada debaran aneh yang menyelimuti mereka. Bukankah jantungmu masih berpungsi pada pemuda itu? Aku yakin kau sedang tersenyum bahagia di sana.”
“Aku ikut bahagia untuk mereka walau nyatanya aku tak benar-benar bahagia. Bagimana bisa aku bahagia jika sumber kebahagiaanku telah meninggalkanku. Ya, kamu bahagiaku.” Mossem membelai pusara tersebut dan beranjak berdiri, mengakhiri acara ziarah yang telah ia lakukan selama beberapa bulan setelah kepergiaan Zac.
“Aku mencintaimu, maaf baru bisa mengatakannya sekarang.” Setelah kata itu terucap ia melangkahkan kakinya meninggalkan area pemakaman.
*** Dua orang pemuda itu tengah di landa bahagia dan siapapun orang yang melihat mereka tentu akan dengan muda menebak kalau ada cinta di antara mereka. Mata mereka memancarkan itu semua. Bahkan hati yang memang tak akan pernah mampu untuk di bohongi.
“Kamu bahagia?” Tanya Zac mendongak menatap Justin yang tengah duduk di sofanya sedangkan dia duduk di pangkuan Justin.
Justin mangangguk dan mengelus lembut rambut Zac, rasanya seperti dialah satu-satunya orang paling bahagia untuk saat ini.
“Aku juga.”
“Mau aku ceritakan sesuatu?”
“Apa itu?” Suara Zac terdengar antusias.
“Tentangku, keluargaku, hidupku.”
“Ceritakanlah aku mendengarkan.” Zac memang menangkap nada sedih di suara Justin saat menyebut keluarga tapi dia juga penasaran seperti apa hidup yang di lakoni orang yang telah berhasil menguasai hatinya.
“Kamu masih ingat saat aku menghilang beberapa minggu yang lalu?” Justin memulai ceritanya dengan bertanya.
“Tentu saja, aku mencarimu waktu itu dan aku sangat kesal.” Ucap Zac terdengar tak suka jika mengingat waktu itu.
“Sungguh aku tak bermaksud menghilang begitu saja tanpa memberitahumu. Aku lupa menyimpan nomor kantor dan juga aku tak tahu nomormu jadi aku memberitahu Ken waktu itu.” Zac hanya mengangguik menimpali.
“Jadi siapa yang meninggal itu?” Tanya Zac mengingat alasan Justin waktu itu.
“Orang yang sangat penting.”
“Keluragamu?”
“Bukan.” Justin menggeleng.
“Lantas siapa orang yang sangat penting itu?” Zac mulai penasaran.
“Dia adalah orang yang sangat berjasa dalam hidupku.”
“Apa yang telah ia lakukan,”
“Aku dulu memiliki keluarga yang sangat bahagia. Mempunyai kakak, papa dan mama yang begitu menyayangiku. Semuanya sangat sempurna bahkan mungkin setan akan iri dengan kesempurnaan keluarga yang aku miliki.” Nada berat terdengar di suara Justin, Zac yang telah bangun dari pangkuan Justin mengelus punggung Justin mencoba menenangkan.
“Jika memang terlalu berat untuk bercerita sebaiknya tidak usah.” Walau Zac memang ingin tahu tapi melihat perubahan pada diri Justin membuat Zac jadi tak tega.
“Tidak, kamu harus tahu semua tentangku.”
“Baiklah, pelan-pelan saja.”
“Waktu itu papa memenangkan sebuah perkara besar hingga dengan antusias mengajak kami berlibur di pulau milik temannya. Kami bahagia waktu itu, sangat bahagia. Di tengah jalan aku dan kakakku mengalami perdebatan kecil hingga mama mencoba menengahi kami dan papa yang terus menatap kearah belakang malah tidak pokus dan aku dengan nyata melihat mobil besar menghantam mobil kami. Aku mendengar suara jeritan mama yang histeris dan melihat tubuhnya terlempar keluar dari mobil, ternyata mama tak memakai sabuk pengamannya. Mobil yang berisi tinggal kami bertiga masuk ke jurang, hingga membuat mobil kami hancur tak bersisa. Mataku tertusuk sebuah ranting kayu yang ada di jurang.” Kali ini cerita itu di selingi dengan airmata.
“Sudah sampai di situ saja.” Zac kembali menyela.
“Aku masih merasakan pegangan kakakku di tanganku dan aku pingsan. Saat bangun mataku sudah di perban. Saat itu juga aku mendengar dari Paman Andrew kalau seluruh anggota keluargaku meninggal di tempat. “
“Lalu?” Entahlah kali ini Zac tak mau Justin berhenti.
“Aku menpatkan donor mata dan Paman Andrew yang membantu biayanya.”
“Donor mata dari siapa?” Zac bertanya cepat.
“Entahlah, pendonor meminta identitasnya di rahasiakan.” Zac menatap Justin dengan gusar otaknya membuat kemungkinan yang tak dapat di terima oleh hatinya.
“Kapan kejadian itu berlangsung.”
“Sudah setahun yang lalu.” Jawab Justin mulai merasakan keanehan di diri Zac.
Zac bangkit memegang kepalanya yang seakan pecah saat itu juga, Justin yang khawatir juga ikut berdiri mendekati Zac.
“Ada apa?”
***
Suara ketukan di pintu membuat dua orang itu sama-sama menatap kearah pintu, Zac berjalan melewati Justin dan membuka pintu. Sedikit terkejut Zac mendapati ayah dan ibu tirinya sudah berdiri di sana bersama beberapa pengawal dan keanehan itu juga bertambah dengan adanya Moses yang memiliki lebam di seluruh wajahnya.
“Di mana pemuda itu?” Tanya Alex pada putranya.
“Siapa?”
Tanpa menjawab putranya Alex masuk dan mendapati Justin yang tengah berdiri di dekat sofa dengan tatapan linglungnya. Mata biru kucing itu menatap Alex dengan tatapan penuh tanya.
“Nak kenapa kamu melakukan ini pada Papa, tidak cukupkah dengan hukuman dengan rasa bersalah Papa yang tak kunjung hilang kenapa sekarang kamu malah menambahnya.” Pria tua itu berucap lebih kepada dirinya sendiri. Dan sekarang ia membungkuk tak dapat menahan tangis yang mendobrak kedua matanya.
“Pa, ada apa?” Tanya Zac gelisah melihat tingkah aneh yang di lakukan Papanya.
Alex terdiam.
“Pa!” Zac membentak.
“Mata itu milik adikmu,” Zac menatap ibu tirinya tak bisa percaya sang mama mengatakan hal yang tak mampu di terima oleh hatinya walau nyatanya sang mama memberikan anggukan meyakinkan.
“Kalian bercanda kan? Ini semua tak benar kan?” Sungguh kata itu adalah kalimat terakhir yang ingin ia dengar di hidupnya.
“Jantungnya juga milik Brian.” Lagi Selena berucap, membuat Zac semakin di terkam rasa bersalahnya.
“Anakku kamu pergi dengan meninggalkan organmu, tenangkah kau di sana Nak?” Alex meracau menumpahkan segala yang ada di hatinya.
“Kalau papa tak tahu semua ini, lalu siapa yang membantu Brian untuk melakukan semua itu?” Tanya Zac yang mulai sadar dari kepedihannya. Tanpa di jawabpun Zac tahu siapa orangnya.
Dengan cepat Zac meraih kerah baju Moses dan memberikan tinju pada perut cowok plontos yang sekarang sudah tersungkur ke lantai. Zac lagi-lagi menendang perutnya membuat Moses terbatuk.
“Sudah Zac, sudah.” Selena melerai putranya yang kini penuh dengan linangan air mata.
“Kamu gila telah melakukan semua itu padanya. Kamu pikir dia akan bahagia dengan kehilangan organnya?”
“Dia yang memintaku dan semua itu karena anda. Dia sangat mencintai anda. Jadi jika dia tak bisa bersatu denga anda lewat dirinya maka dia mau bersatu dengan anda lewat orang lain dan dia memintaku untuk membantunya jika dia meninggal nanti.”
“Tapi kenapa kamu mengiyakan?” Zac berteriak.
“Anda tidak di sana jadi anda tidak akan mengerti.”
“Kamu bangsat, sialan.” Zac berusaha kembali melancarkan serangan kearah Moses tapi beberapa pengawal menghalanginya.
Justin yang mulai bisa membaca keadaan hanya bisa merasakan mirisnya jadi semua yang ia miliki bukanlah miliknya karena keluarga sang pemilik tak pernah ikhlas memberikannya dan semua makin terasa menyakitkan karena Zac juga ikut dalam kelompok yang tak menerima.
Cinta yang selama ini dimiliki Zac tuluskah untuknya? pertanyaan itu muncul di kepala Justin. Atau hanya karena matanya?
Justin berjalan dengan cepat menerobos orang-orang yang tengah di landa kepiluan tersebut. Zac melihat Justin dan langsung mengejarnya.
“Mau kemana?” Tanya Zac yang sudah berhasil mendahului langkah Justin.
Tanpa menjawab apapun Justin kembali melangkah meninggalkan Zac. Tapi dengan cepat Zac berhasil meraih pergelangan tangn Justin.
“Aku tanya mau kemana?” Kali ini suara Zac keras membuat Justin menatapnya dengan sorot mata kecewa.
“Akan ku kembalikan semuanya.” Justin meninju rahang Zac dan berlari meninggalkannya. Zac yang masih meringis kesakitan kembali mengejar dengan tanda tanya yang penuh di otaknya.
Justin sudah pergi dengan menggunakan taksi yang ada di depan hotel.
***
@zeva_21 @Bun @3ll0
@Otho_WNata92 @lulu_75 @nakashima
@SteveAnggara @hendra_bastian
@harya_kei
@fauzhan @NanNan @boy
@BangBeki @arieat @Asu123456
@boybrownis @DM_0607 @littlemark04
@4ndho @jacksmile
@kristal_air @Pradipta24
@_abdulrojak @ardavaa @abong
@dafaZartin @cute_inuyasha @_keanu
@Dimasalf9
@JimaeVian_Fujo