It looks like you're new here. If you want to get involved, click one of these buttons!
Copyright 2021 Queer Indonesia Archive. See our Privacy Policy. Contact us at [email protected]
Dengan menggunakan situs ini berarti Anda setuju dengan Aturan Pakai.
BoyzForum.com adalah situs anti pedofilia!
Comments
Imajinasi ane mzh blm sampe wkwk
Imajinasi ane mzh blm sampe wkwk
kok Justin ga ngasih kabar klu dia ga bisa masuk kerja sama bosnya sih???
Seperti apa aneh itu? Apa seperti mencintai seseorang saat kita tahu kalau dia adalah saudara kita atau pada saat kita membenci seseorang karena jauh dari kita yang pada dasarnya kita tak terlalu dekat dengannya. Bagaimana kalau percakapan dua orang asing dengan cara yang terkesan begitu membuat orang lain ingin tahu apa yang mereka bicarakan, apa itu bisa di sebut juga dengan ke anehan? Kalau iya, berarti si mata grey memang patut curiga pada keanehan itu.
Mata greynya tak juga tertunduk walau sekarang dua orang pria itu tengah menyadari kedatangannya, tapi ia seolah sengaja terus menatap kearah mereka, hanya agar mereka tahu kalau ia sedang curiga akan sesuatu yang tengah mereka perbincangkan.
Pemuda bermata grey itu berjalan mendekat kearah dua orang pria dengan sikap kontras mereka, yang satu terlihat tegang seolah ia sudah ketahuan tapi yang satu lagi mencoba bersikap tenang dan menyunggingkan sebuah senyuman untuknya.
“Kamu sudah pulang Nak,” Sapa Martin masih dengan senyum sok tenangnya.
“Kalian terlihat akrab, apa ada yang telah aku lewatkan?” Pertanyaan tanpa basa-basi itu sontak membuat Martin semakin melebarkan senyumannya. Seolah ia sudah biasa dengan hal seperti ini.
“Dulu Moses pernah datang kerumah saya dengan Brian, jadi saya cukup akrab dengannya. Kami juga memiliki hobi yang sama. Bukan begitu Moses?” Martin menanyai Moses yang langsung mengangguk dengan mantap tanpa ada celah keraguan di anggukan itu.
“Sepertinya memang seperti itu. Baiklah Om, saya harus pamit. Saya harus kembali ke hotel.” Pemuda dengan mata grey itu meminta izin pergi.
“Om kira kamu nginep?” Kini suasana sudah agak tenang, tidak seperti beberapa menit yang lalu.
“Saya ada urusan penting di hotel jadi tidak bisa di tinggal nginep.” Jelas itu hanya sebuah alasan.
“Baiklah, jaga dirimu.” Jawab Martin akhirnya.
Setelah pamit pada papa dan mamanya, akhirnya dia kembali meninggalkan tempat kediaman sang ayah dan menuju ke tempat yang sudah tentu di sana ia akan menemukan pemuda yang misterius itu. jika memang pemuda itu tidak benar-benar menghilang.
***
“Dia tidak datang?” Pertanyaan lesu keluar dari mulutnya karena ia sendiri sudah tentu tahu jawaban tidak yang bakal ia dapatkan dan benar saja peracik kopi itu menggeleng.
“Saya rasa dia ada masalah.” Ungkap sang peracik yang bernama Ronald. Dia adalah kepala absen di hotel jadi untuk menanyakan pegawai, dialah orang yang tepat.
“Baiklah. Terimakasih untuk infonya.” Lagi sang mata grey sedang malas bercakap banyak pada orang lain. Hatinya sedang kesal dan tentu saja itu karena pemuda misterius yang tak ia ketahui asal-usulnya.
Dia melangkah dengan menghentakkan kakinya, kekesalannya ia lampiaskan pada lantai yang sedang ia pijak.
“Zac ada yang ingin aku bicarakan, bisa kita bicara di ruanganku!” Pinta sang pimpinan dan Zac hanya mengangguk mengikuti langkah Ken menuju ruang kerjanya.
“Apa yang ingin kamu bicarakan?” Pertanyaan itu keluar dari bibir ranum Zac yang sekarang sedang duduk dengan santai di sofa ruang kerja pegawai papanya.
“Sebentar lagi kita akan mengadakan pesta untuk perayaan ulang tahun hotel kita. Aku hanya ingin tahu bagaimana pendapatmu, apa yang harus kita ubah atau perbaiki?” Pertanyaan itu di jawab dengan pertanyaan pula.
“Aku sedang tidak berminat mengurus semua itu jadi semua hal mengenai pesta atau apapun namanya aku serahkan padamu dan aku terima apapun keputusanmu.” Zac beranjak, mengetahui sudah tidak ada yang harus di bicarakan dengan Ken tapi langkahnya terhenti saat ia sudah membuka pintu.
“Ken, bisakah kamu menelpon temanmu dan tanyakan kemana Justin? sudah beberapa hari ini dia tidak masuk.” Ken cukup terkejut saat tiba-tiba Zac malah bertanya soal pegawai yang sama sekali tak penting di hotel ini, ada keanehan yang di rasakan Ken.
“Dia sudah minta izin untuk mengambil libur karena ada keluarganya yang meninggal dan saya memberinya izin.” Jawab Ken.
Zac menggengam daun pintu itu cukup kuat bagai ingin meremukkannya. Hatinya terasa panas, bagaimana bisa pemuda itu memberitahu Ken sedangkan tidak memeberi tahu dia. Sungguh sangat menyebalkan dan tanpa berucap apapun lagi Zac berlalu meninggalkan Ken yang hanya terdiam.
***
Suara yang cukup ribut itu seolah menggedor pendengarannya hingga ia membuka mata dengan nyalang. Apa pembuat ribut itu tak sadar kalau ia baru saja membangunkan seseorang yang hanya terlelap beberapa menit yang lalu.
Zac menyingkap selimutnya dengan kesal dan beranjak dari ranjangnya, menurutnya si pembuat ribut akan sangat pantas untuk mendapat amukan darinya. Akhirnya dengan kantuk yang masih terlihat kentara dia berjalan kearah pintunya dan membukanya dengan sentakan keras.
Dia ternganga, wajahnya menegang. Walau ia tak terlalu lama mengenalnya tapi dia hapal dengan bentuk tubuh pemuda yang sekarang sedang sibuk dengan televisinya.
“Apa yang kau lakukan di sini?” Ucapan dingin itu keluar dari bibir ranumnya, seolah ucapan itu mampu membuat pemuda mungil yang berdiri dengan tertunduk di dekat meja televise itu remuk.
“Tuan sudah bangun?” Tanyanya tergagap.
“Apa yang kamu lakukan di sini!” Ternyata mata grey itu membentak, seolah ia lupa kalau tadi malam ia hampir gila memikirkan pemuda bermata biru kucing itu.
“Maafkan saya tuan, saya tidak meminta izin membersihkan kamar tuan.” Tenyata cowok berponi itu salah kira. Tentu bukan karena ia membersihkan kamar tanpa seizinnya tapi karena ia menghilang dan hampir membuat pemuda bermata grey itu hilang kewarasannya.
“Itu bukan jawaban yang aku inginkan.” Zac melangkah menggenggam tangan Justin dan hendak mengusirnya keluar. Tapi Justin yang tak ingin kehilangan pekerjaannya dengan cepat berlutut kearah Zac yang masih berdiri dengan angkuhnya.
“Maafkan saya tuan, maafkan saya.” Dia memohon.
Zac merasakan hatinya meradang, entahlah seolah sesuatu menghantam keras ulu hatinya hingga ia bisa merasakan hatinya berdarah dalam artian kesakitan yang ia miliki sudah tak mampu ia tahan. Dia begitu mencintai pemuda ini, sungguh ia akui sekarang walau pada dasarnya ia tak pernah tahu apa yang membuat ia cinta.
Sosok sang adik yang memang ada di dalam pemuda ini atau memang hati mereka yang sudah saling memilih.
Zac mengangkat tubuh pemuda bermata biru kucing itu dan membuat mata mereka bertemu dalam satu pandangan yang membuat hati mereka sama-sama berdesir hebat.
“Kemana kamu pergi selama beberapa hari ini?” Pertanyaan itu ia lontarkan dengan mengangkat dagu Justin agar mata biru itu mau menatap kearahnya, hanya sekedar ingin mengetahui kejujuran yang ada dimata yang sudah tentu tak akan mampu membohonginya.
“Seorang anggota keluargaku baru saja meninggal.” Ucapnya parau karena lelahnya menahan air mata yang hampir saja tumpah.
“Siapa?” Cukup kentara kalau pemuda bermata grey itu tak hanya sekedar ingin tahu jawaban atas pertanyaannya tapi lebih kepada ia ingin tahu segala hal tentang pemuda yang sekarang mengusai hatinya.
“Seseorang yang penting bagiku.” Ternyata Justin cukup pintar membuat si mata grey kewalahan bertanya padanya. Jawabanya terlalu kentara kalau ia tak ingin memberitahu.
“Kamu tak ingin memberi tahuku?” Tatapan Zac semakin tajam, dan juga mata mereka sedang beradu pandang sekarang dengan jarak yang cukup di bilang dekat.
“Kak, jangan bertanya lagi. Jika sudah siap aku akan memberi tahu kakak. Aku janji.” Zac terkesiap, untuk beberapa saat ia seakan tak menginjakkan kakinya pada lantai karena panggilan kakak yang di lontarkan oleh bibir tipis itu seolah membuatnya melayang dengan gembira dan seakan-akan adiknya yang barusan berucap.
Entah sadar atau tidak Zac sudah memeluk pemuda mungil itu dengan luapan gembira. Sementara Justin hanya diam saja mendapatkan pelukan dari si mata grey. Hati Justin seolah bersorak gembira mendapat pelukan itu.
***
Untuk semua urusan pesta Ken memang pantas di andalkan, karena itulah bidang yang ia miliki. Terlihat dari raut lelahnya, tentu persiapan pesta itu sudah menguras energinya.
Pria berjaz itu sedang duduk dan menikmati minuman isotoniknya, saat mata biru kucing menghampirinya dengan sepiring kue di tangannya dan di sodorkannya pada Ken yang langsung terlihat antusias menerima kue itu.
“Makasii dek.” Ucapnya dengan senyum bahagia. Justin hanya mengangguk dan ikut menikmati kue bersama pria yang begitu di hormatinya.
“Bagimana kabarmu? Hampir seminggu tak bertemu denganmu, aku rasa aku mulai merindukanmu.” Dia berucap lagi di sela-sela gigitan kuenya.
“Semua orang di kampung berduka. PIlihan mba May untuk memakamkannya di kampung memang tepat. Aku sampai tidak sangka ternyata banyak yang bersimpati padanya. Dia memang orang baik. Dia banyak berjasa padaku.” Justin bercerita dengan mata menerawang, seolah ada televise besar di depannya.
“Dia memang baik, kalau bukan karena dia tentu sekarang aku tidak akan bisa bertemu denganmu. Aku kemarin sempat ingin ikut tapi kerjaan malah tidak bisa di tinggal. Makasi udah mau mewakili kakakmu ini.”
“Yah semoga amal ibadahnya di terima di sana.” Akhir percakapan dan Justin beranjak dari duduknya, sempat sedikit kaget karena Zac tiba-tiba berdiri di sana dengan tatapan tak terbaca.
“Saya rasa ada yang perlu anda benahi di bagian panggungnya, bisakah anda kesana!” Itu bukan permintaan tapi lebih kepada perintah. Ken semakin tak mengerti dengan atasanya yang satu ini, terlalu aneh menurutnya. Bagimana bisa dia membahas panggung yang sudah nyata-nyata tertata dengan anggunnya tapi tak urung pria itu beranjak juga dari duduknya dan pergi meninggalkan Justin dan Zac.
“Apa yang kamu bicarakan dengannya?” Jelas sekarang si mata grey cemburu. Bahkan mungkin cemburu buta.
“Hanya memberinya kue, seperti yang lainnya.” Justin beranjak meninggalkan Zac yang sekarang tengah mengikutinya tapi dia mempercepat langkahnya tak mau Zac mengikutinya karena sudah cukup panas mendengar teman-temannya bergunjing tentangnya.
“Kenapa kamu terburu-buru?” Dia menarik lengan Justin dan membuat Justin tersudut.
“Aku harus segera menyelesaikan pekerjaanku Zac, lain kali kita bicara.” Kini tangan kanan Zac sudah mengunci tubuhnya hingga ia sulit untuk bergerak sedangkan kedua tangannya sedang memegang nampan yang berisi kue-kue yang cukup banyak.
“Tidak akan ada kata lain kali.” Suara itu cukup tajam terdengar, hingga membuat si mata biru kucing mengangkat wajahnya dan mendapati wajah Zac yang sekarang menatap intens kearahnya. Menatap penuh keinginan. Justin gusar, apa yang harus ia lakukan?
“Zac, kamu berdiri terlalu dekat.” Suaranya lirih tapi mampu di dengar oleh Zac. Bukannya memundurkan wajahnya tapi Zac malah semakin mempererat pegangannya pada pinggang Justin tak mau mengubris kata-kata yang keluar dari bibir tipis itu.
“Aku mencintaimu.” Untuk sebuah kesadaran Zac memang terlalu berani mengutarakan itu pada pemuda yang tak ia ketahui memiliki orientasi yang berbeda sepertinya atau tidak tapi hanya tak ingin terlambat seperti kisah masalalunya akhirnya bibir ranum itu merangkai kata yang mampu membuat pemuda di depannya sekarang bagai melayang. Melayang dalam artian hatinya menginginkan tapi logika tak mengerti.
“Kamu tidak menjawab?” Zac kembali berujar tapi Justin hanya tertunduk. Zac mendekapnya dan Justin tak membalas maupun berontak. Seolah ia sedang gamang sekarang, antara ia memang cinta atau semua hanya permainan dari keadaan saja.
***
Pesta itu berjalan dengan meriahnya tapi sangat di sayangkan sang pemilik hotel tak bisa datang karena urusan mendadak yang menjeratnya. Kedatangan sang istri sudah cukup mewakili dan juga ada anak tunggalnya di sana.
Terlihat mata grey itu sedang mencari seseorang yang tak ia temui dari tadi. Matanya terus menatap kesegala penjuru berharap orang yang ia cari ada diantara orang yang lalu lalang dengan kesibukan mereka masing-masing tapi mata itu tak kunjung melihatnya.
“Zac, senang bertemu dengamu.” Ciuman di pipinya langsung membuat Zac sedikit terkejut dan mendapati Ana sudah berdiri di sana dengan dress biru selututnya dan juga bagian dada yang terlihat menggoda. Ana tersenyum, membuat gigi rapinya terlihat jelas.
“Apa kabarmu?” Zac mencoba berbasa-basi dengan gadis yang dulu sempat di jodohkan dengannya tapi gagal karena kejadian naas yang menimpa adiknya.
“Aku baik dan juga suamiku.” Ucapnya dengan muka ceria.
“Suami? Kapan kamu menikah?” Sedikit tak percaya Zac bertanya pada gadis yang sekarang terlihat lebih berisi dari biasanya.
“Aku mengundangmu tapi membaca undanganku saja tidak. Dan juga aku tengah hamil sekarang.” Dua kejutan untuk Zac, hingga membuat pemuda itu sebisa mungkin memberikan senyum antusiasnya.
“Aku turut bahagia denganmu.”
“Oke aku akan memperkenalkanmu pada suamiku, tunggu sebentar.” Ana berlalu meninggalkan Zac yang sekarang kembali sibuk dengan pencariannya.
“Zac, kamu semakin tampan juga.” Lagi-lagi tamu yang mengejutkan, Rebecca.
“Aku rasa akan ada banyak kejutan di sini. Bagaimana kamu bisa sampai kemari, setahuku kamu masih hamil.” Dia melihat istri dari pengawalnya itu tengah membawa dua minuman di tangannya.
“Kamu lihat sendiri, sudah tidak ada janin di perutku dan juga anak-anak sedang main dengan Dimitri dan juga ada pemuda dengan mata biru bersama mereka. Aku rasa dia pelayan di sini , jika di lihat dari tampilannya.”
“Dimana mereka?” Dengan cepat Zac bertanya.
“Tidak jauh dari sini. Kamu bisa kesana.” Ucap Rebecca. Zac melangkah mengikuti istri dari pengawalnya itu.
Langkah mereka terhenti saat mereka mendapati kerumunan yang ada di luar pesta. Seperetinya ada yang terjadi.
“Ada apa ini?” Tanya Zac melihat kerumunan itu.
“Ada barang tamu yang hilang pak. Kami yakin ada pencuri di sini.” Jawab seorang pria.
“Pasti salah satu pegawai.” Timbal yang lain.
“ Harus di geledah.”
“Secepatnya.” Semua riuh dengan pendapat mereka masing-masing.
“Diam semua, baiklah panggil Ken kemari! Kita akan menggeledah semua tas sekarang dan barang siapa yang ketahuan mencuri jangan harap dapat ampun dari saya.” Teriakan Zac cukup membuat merinding.
Acara penggeledahan itu cukup memakan waktu karena tak sedikit pegawai yang ada di sana. Zac maupun Ken tetap siaga melihat semua tas itu di periksa satu-persatu. Sedangkan sang pemilik barang hanya terlihat gusar karena barang yang hilang cukup berharga.
“Ketemu!” Teriak salah satu pegawai. Dan kotak perhiasan itu di temukan di salah satu tas berwarna hijau pucat, mata Zac melebar. Itu milik justin, dia pernah melihat Justin menggunakannya.
***