It looks like you're new here. If you want to get involved, click one of these buttons!
Copyright 2021 Queer Indonesia Archive. See our Privacy Policy. Contact us at [email protected]
Dengan menggunakan situs ini berarti Anda setuju dengan Aturan Pakai.
BoyzForum.com adalah situs anti pedofilia!
Comments
Anomali
(Rahasia Hati Tentang Cinta Yang Tak Bisa Dipaksakan)
Dia tidak ingat apa pernah punya buku harian atau sesuatu yang mungkin bisa membantunya mengingat hal-hal penting. Hanya saja dia ingat sebuah ritual, dengan kaos oblong v neck dan celana pendek yang memang dipaksa me-mendek dengan bekas guntingan yang semerawut menandakan celana itu dipotong sembarangan dari yang asalnya panjang kini bisa mempertontonkan tumitnya. Tak lupa secangkir teh chamomile atau sekedar teh celup bila sedang malas meramu tektek bengek. Dan camilan alakadarnya untuk mengganjal perut yang tidak pernah bisa diajak diskusi agar tidak cuap-cuap dan mengganggu ritual
Sebuah computer jinjing sudah bersiap d isana, di lantai. Bantal besar mengimam di depan layarnya. Anom memulai ritualnya, empat ubin dari ujung jendela sebelah kanan, itu untuk posisi sudut kanan computer jinjingnya, satu jengkal dari keramik yang tampak sedikit retak dan tergores serta tepat di bawah gambaran awan dan serigala yang dilukis rembesan air hujan dilangit-langit yang sebenarnya cuman kumpulan noda berwarna kecoklatan abstrak, masing-masing noda itu untuk posisi sudut kiri dan ujung-ujung layarnya. Dia berdoa dan bersiap memasukan modem putih itu pada computer jingjingnya, syarat utama lainnya adalah dua buah koin 500-an harus ditumpuk di atas modem yang kini sudah berkedip manja. Tangannya bergerak mengklak-klik tetikus, menekan tombol connect yang ada di tengah layar dan Holaa.. ritualnya berhasil memang posisi itulah yang benar-benar tepat untuk mendapatkan sinyal sempurna dari provider modem yang dipakainya. Tetapi selebihnya Ia tidak ingat mengapa tetap mempertahankan memakai modem itu.
Selanjutnya yang mengantri di kepala adalah untuk melanjutkan membuka jejaring social, namun kembali otaknya tidak bisa berkompromi ia tidak ingat ID atau sekedar kata sandinya, ia sudah mencoba memasukan Anomali di Kolom Idnya, bahkan sampai memasukan nama Gio Giovanino yang belakangan ia terkekeh bahwa nama itu sangat macho untuk seseorang yang akan menjadi sales Viagra. Ia mengklak-klik kembali tetikusnya tetapi tiba-tiba terpeleset menekan tombol situs Mail di Toolbar, sebuah tab baru terbuka menunjukan halaman depan yahoo.com, rupanya ini sudah diset auto connect. Kembali tetikusnya berklak-klik dan kolom inbox kini berkaca di layar sekitar 5000an surat elektronik ada di sana berisi pemberitahuan dan mungkin bercampur dengan sisanya kiriman-kiriman spam yang semakin ke sini terlihat lebih manusiawi dengan nama-nama seperti Diva, Marcela, Anthony dan benar saja sebuah nama yang tadi dikenalnya Gio Giovanino dengan tanggal sudah hampir 1 tahun lalu dan ditandai sudah dibaca. Entah kenapa nama email terakhir membuat Anom terkesiap lantas ia pun membukanya.
Email itu berjudul ‘Dari Gio Giovanino di Zaman Viagrasaurus’, alamat pengirimnya [email protected]. Ia merasa Membaca alamat pengirim di akhirnya seperti membaca dengan mulut disumpal sebuah bola pingpong. Isi pesannya:
Selamat Ulang Tahun Mali, disana mungkin 5 menit lagi akan tepat pukul 24.00. Kau sudah membuat permohonan? oh baiklah sekarang kuberi kesempatan untuk membuat permohonan, tunggu sampai tepat 24.00. (menunggu yg lg doa^^). Aminn.. Bila kau sudah mulai membaca kembali itu artinya kau sudah selesai membuat permohonan karena kau tau kenapa? Jam 24.00 itu seperti sebuah ilusi hanya mempunya masa 1 detik untuk selanjutnya berganti menjadi hari baru jam 00.00 dan doa yang paling mujarab hanya punya waktu 1 detik itu 24.00-00.00 di mana itulah waktunya para malaikat turun. Hah? Apa dahimu berkerut dan mulutmu manyun terbangun dari tidur dan berpikir bahwa aku lupa Hari ulang tahunmu? Eits ingat satu tahun tidak tepat 365 hari itu hanya pembulatan jadi kalau dihitung hitung dengan sisa hari yang tidak dibulatkan, maka blablabla sebenarnya hari ini tepat hari ulang tahunmu. Ini rahasia kita berdua, biarkan orang lain tetap senang merayakan ulang tahun padahal sebenarnya mereka melewatkan hari kelahirannya atau bahkan belum, hanya karena penggenapan hari dalam satu tahun. Nih aku kasih hadiah untuk ulang tahun mu diumur 21 karena 21 adalah angka istimewa tidak beda jauh dari 17. Kalo 17 adalah hari dimana kau beranjak dewasa, maka 21 adalah masa titik balik dari kedewasaan yang matang dan ranum meninggalkan masa ABG labil.
Salju Gurun
Di hamparan gurun yang seragam, jangan lagi menjadi butiran pasir. Sekalipun nyaman engkau ditengah impitan sesamamu, tak akan ada yang tahu jika engkau melayang hilang.
Di lingkungan gurun yang serba serupa, untuk apa lagi menjadi kaktus. Sekalipun hijau warnamu, engkau tersebar di mana-mana. Tak ada yang menangis rindu jika kau mati layu.
Di lansekap gurun yang maha luas, lebih baik tidak menjadi oase. Sekalipun rasanya kau sendiri, burung yang tinggi akan melihat kembaranmu disana-sini.
Di tengah gurun yang tertebak, jadilah salju yang abadi. Embun pagi tak akan kalahkan dinginmu, angin malam akan menggigil ketika melewatimu, oase akan jengah, dan kaktus terperangah. Semua butir pasir akan tahu jika kau pergi atau sekedar bergerak dua inci
Dan setiap senti gurun akan terinspirasi karena kau berani beku dalam neraka, kau berani putih meski sendiri, karena kau berbeda.
(ps. aku ambil dari Kumpulan cerpen Dee).
Hadiah Lainnya menyusul ^^.
=================================================================
***
Komputer jinjing itu masih menyala memperlihatkan Email tadi, hening terasa sesaat untuk selanjutnya Anomali menangis, seperti sebuah pertanda ketika hujan akan datang, maka anak-anak yang sedang bermain di lapangan bergegas untuk pulang. Begitupun Anomali air mata menghentikan ritualnya. Perlahan-lahan ia teringat sedikit demi sedikit, samar-samar wajah orang yang dicintainya mewujud meski dalam bentuk yang bercampur dengan mata dan rambut orang lain karena Alzheimer yang menyerangnya ingatannya kacau. Dan membuat dirinya seperti mati suri, meskipun dulu dia pernah berangan-angan suatu saat bisa hilang ingatan dan melupakan tentang siapa dirinya atau apapun yang berhubungan denganya. Namun ternyata ketika dengan sebenar-benarnya penyakit Alzheimer itu datang rasa sakit lebih terasa baik dari pada mati rasa. Ia merindukan orang yang memanggilnya dengan sebutan Mali alih-alih menyebut Anom dari namanya Yang dieja Anommali. Ya ia ingat email itu hadiah terindah.
***
Suara deru mobil perlahan senyap dipekarangan, untuk selanjutnya sebuah debum pintu mobil yang tertutup dilanjutkan dengan pintu rumah yang terbuka clak lebih tepatnya clek dengan suara ensel sedikit menderit akan terdengar.
Ruangan itu masih gelap gulita, matahari meninggalkan malam sendirian dengan menggantung bulan yang sendu. Siluet-siluet dari benda-benda yang bertabur disana semakin menyamar seperti masa lalu yang semakin menjauh dari pemiliknya. Semakin terang semakin malam semakin jauh siluetnya. Semakin lama hidup, semakin sakit, semakin ingin menjauh kita dari bayangan masa lalunya.
Gio masuk, ia tampak setengah kaget ketika menyalakan lampu ruangan itu, Anom tampak duduk meringkuk disofa.
“ kau membuatku kaget, tiba-tiba ada disana” dia tampak merunut dada dengan tanganya lantas melanjutkan. “ gimana, apa hari ini uda aga baikan?” dia melengos dan melorotkan tubuh ke sofa kecil disamping.
“ Hari ini abu-abu” Anom menjawab. Gio terlihat sedikit kaget mendengar Anom berbicara seperti itu. Hal ini seperti sebuah percikan mulai tersurut dari bara yang padam dan siap membakar kembali semuanya. Itu adalah kebiasaan mereka bertukar sapa menanyakan kabar dan menjawabnya dengan bahasa warna.
“kamu—“ dia mencoba yakin untuk sesaat. “ Apa sekarang kamu ingat namaku?”
“ Gio giovanino “ lontarnya singkat.
“ Apa kamu ingat juga mengapa kalau mendengar nama Gio, kamu selalu mengaitkannya dengan sales penjual obat pembesar atau Viagra?” Gio sangat suka mendengar cerita yang setengah bualan dan setengah kenyataan tentang hal itu, mulutnya hendak tersenyum.
“ Aku pikir hampir semua kecuali itu “ jelas Anom datar, senyum yang setengah mekar kembali kuncup dan layu sebelum berkembang. “ Dan juga malam itu—“. Anom menambahkan. Kini keduanya senyap.
Malam memuram, diam menginfeksi udara dan membuat dunia sungkan bersuara. Dunia yang semakin mengecil 4x6 meter tempat mereka berdua duduk. Anomali menarik tangannya untuk merengkuh dirinya sendiri. Gio hendak melepaskan Jas dan berniat menyelimutkannya namun isyarat yang selama beberapa tahun terjalin membuat Gio mengerti. Duka membuat Anom demam, dibuka kedinginan tapi dibungkus rasa untuk mencoba tegar meski membuat tubuh berkeringat. Bukan berarti dia tidak butuh, tapi dulu ia pernah memperingatkan. Gio mengerti. Kesedihan selalu membawanya pulang kerahim ibu tempat ia meringkuk nyaman sendirian padahal tidak. Ada dunia di sekeliling. Ada Gio di sampingnya. Tapi Anom mendamba rasa sendiri. Diamnya memapah Gio keujung pertahanan dan akhirnya tersedak rasa hampa. Sepertinya tangisan tak terlihat merobek ruang waktu, Gio mendekat mengecup keningnya halus.
“Dulu kamu sering bertanya” Anom menghela. semesta kembali mendengarkan lirih “apa aku benar-benar cinta. Hanya karena aku tak pernah cemburu ketika kamu dekat dengan orang lain. Sejujurnya aku sangar cemburu. Namun, aku sadar bahwa hubungan seperti ini benar-benar tak akan ada istilah selamanya, jadi aku hanya mencoba menjalinnya dengan baik sebelum masanya memang benar-benar harus kadaluarsa. Satu cinta menggenapkan namun 2 melenyapkan ” keheningan kembali mengapungkan kenangan.
“ Aku mencintaimu “ Gio mengangkat wajah anom, menyeka bulatan bulatan cair yang masih turun dipipinya.
“ Aku juga mencintaimu, tapi cinta yang ada disini terikat jejaring laba-laba kasat mata, ragamu dimiliki ayah yang mengalirkan darah dagingnya dan ibu yang memiliki tari pusarnya. Cinta buta itu memerangkap dan ketika sedikit bergerak lebih jauh kita hanya bisa pasrah terjerat. Akhirnya zaman Giosaurus bagi mahluk Anomali neathertalensis harus berhenti. Karena kenyataan mengambil alih kita. Kau harus menikah. Bukankah itu yang ingin kau sampaikan dimalam Alzheimer benar-benar menyerang kesadarnku”
“ Apa aku harus membawamu kekeluargaku dan melamarmu didepan mereka? Aku tak bisa meninggalkanmu disini sendirian”
Anom hanya diam,
“ Seandainya kau perempuan, hidup akan lebih sempurna”
“ Untuk kali ini kau salah, walau tak sempurna hidup ini indah apa adanya “ Anom menyela.
Gio mengambil sebuah pena dari saku dalam jasnya, menarik jari manis Anom dan menggambar sebuah bulatan menyerupai cincin. Begitupun dengan jari manis dirinya, ia melakukan hal yang sama.
“ Ingat kau harus menjadi perawan suci, mengandung anak-anak kita yang tak sempat lahir kedunia “ Tangan Gio membelai lembut perut anom.
Anom tersenyum. “Sekarang Hadiah ulang tahun benar-benar lengkap. Aku benar-benar tidak akan takut menunggu kematian sendirian, bebaslah Gio jangan melihat kebelakang. Semua kenangan biar aku yang simpan “
Mereka berdua berpelukan, batin Anom meringis karena berbohong, Batin Gio tergugu karena telah dibohongi.
“ Terima kasih” Anom berbisik lirih suaranya tertahan pelan-pelan. “Terima kasih karena mau dibohongi meskipun kau tahu”.
( Kau Tau Aku Sangat Kesepian Mengejarmu )
Bis itu sudah hampir penuh, Wedda duduk di kursi paling belakang di deretan sebelah kanan sambil membaca sebuah buku. Sebenarnya ia paling benci dengan hal-hal seperti ini, di mana ia harus berurusan dengan orang banyak, pergi kesana dan kemari bersama-sama. Namun kegiatan study tour memang sudah menjadi bagian dari kurikulum di sekolahnya yang bagaimanapun mau tidak mau harus ia ikuti.
Ia sedikit membenarkan posisi duduknya masih dalam keadaan membaca, selembar halaman kembali dibukanya. Sederetan kalimat berwarna ke-emasan tampak berkilauan di halaman buku itu tertimpa matahari pagi yang semakin menanjak tinggi, dalam hati ia mencoba memahami tulisannya:
“ Utopia adalah sebuah titik, yang ketika kau berada di sebuah horizon, titik itu berada sepuluh langkah di hadapanmu. Tetapi setiap kali kau mendekatinya sepuluh langkah, titik itu akan menjauh sepuluh langkah. Dan ketika kau berusaha menggapainya seribu langkah, titik itu selalu menjauh sebanyak langkah yang kau ambil”
Wedda menandai halaman yang sedang dibaca itu dan menutup bukunya lantas menyelipkan pada kantung yang berada di balik kursi penumpang di depannya. “ Utopia” helanya dalam hati, ingatannya terasa berputar-putar tapi ia tetap tak bisa mencari apa yang ingin di ingat. Pikirannya buyar ketika keributan kecil tampak terjadi di pintu masuk depan bis. Seorang siswa naik dengan tersenggal-senggal. Wedda tidak bisa mendengar apa yang seorang gurunya dan murid lain bicarakan di depan sana namun sesaat kemudian suara tawa tampak pecah di dalam bis. Seorang siswa tampak kembali berdiri dari duduk diikuti berganti duduknya si siswa yang tadi baru datang dengan tersengal-sengal. Wedda hanya kembali acuh mengalihkan penglihatan, matanya berlalu memandangi kursi kosong disampingnya dan jendela yang menampilkan pohon-pohon mahoni yang tengah di permainkan angin.
“ Eh sory. Kursi sebelah lo kosong yah? “ Sapanya, Wedda benar-benar tersentak. Tiba-tiba mendengar suara seseorang yang sudah berdiri di sampingnya.
“ I.. ii.. iya..” Jawab Wedda gelagapan.
“ Gw mau pindah duduk sini, soalnya si Anton ga biasa duduk di belakang, suka mabok katanya” Pria itu melanjutkan bicaranya.
“ Oh, iya silakan aja” mata Wedda tak berani memandang lawan biacara tapi dari suara ia tahu,. Rupanya yang tadi berdiri dari duduknya adalah Surya dan kini ia sudah berada di depannya.
“ Terus “
“ Terus ?” Wedda balik bertanya
“ Iya Terus ?”
“ Terus apanya?”
“ Terus gw musti koprol ato loncat biar bisa duduk di samping sana?” Jawabnya sedikit Gemas.
Wedda baru menyadari, kebodohannya. Mereka bedua tertawa. Lantas Wedda bangun dari duduknya memberikan ruang kepada Surya untuk lewat.
“ lo bikin ketawa tau ga, sory yah bukannya niat gw ngomongin lo. Eh, gw Surya” Ia menjulurkan tangannya untuk mengajak bersalaman.
“ Wedda “ Wedda menjabat tangannya. Meskipun sebenarnya ia sudah tau Surya sejak lama tapi Surya tak pernah mengenalnya.
***
Bis yang Wedda tumpangi dalam rangka study tour sudah sampai sejak 2 jam yang lalu di Borobudur, hujan rintik-rintik turun disana menguyur batu-batu andesit yang menjadi lantai candi. Siswa dan guru terlihat membaur dikejauhan payung-payung terbuka seperti ubur-ubur yang warna-warni tertiup angin. Sementara Wedda masih menunggu di bawah sebuah atap, disana sebuah pohon menjulang tinggi menadahi hujan yang jatuh pada bis dan jalan yang semula berdebu berubah hitam mengkilat. Surya tampak keluar dan menapaki tangga bis yang berdiri didepannya.
“Maap yah gw jadi minta tolong ama lo buat nganter ambil kamera, soalnya yang lain uda keburu jalan duluan di depan tadi”
Wedda hanya membalasnya dengan senyum dan anggukan kecil. Lantas surya melanjutkan perkataannya dengan sedikit canggung.
“ Bentar gw sewa payung dulu, eh ngomong-ngomong lo ada uang receh 3000. Gw pinjem dulu “ Tangan Surya tampak melambai-lambai, seorang perempuan dengan topi caping segera menghampirinya dan memberikan sebuah payung.
“ Yu kita balik naek ke candi lagi”. Surya membuka payung sewaan itu, hujan melambai-lambai ditepian payung sementara angin mempermainkan bau parfum yang di pakai surya. Tubuh mereka merapat menghindari cipratan.
***
Dua orang berjalan disetapak yang satu mengikuti yang lain. Yang lain tak menyadari yang satu. Pepohonan mengira mereka hanya berjalan seperti orang-orang biasa. Bila mata punya sayap kau akan tau bahwa pandangan yang satu sebenarnya terbang pada yang lain. Dan sebuah benih bersarang disana. Karena orang yang jatuh cinta diam-diam hanya bisa jatuh cinta sendirian, memenuhi hatinya dengan impian-impian dan buku hariannya dengan catatan-catatan.
***
Matahari kembali bersinar, menyudahi tirai hujan dan mengikat sisa awan-awan di cakrawala. Udara Borobudur yang biasanya panas terasa sejuk setelah hujan berlalu, wisatawan kembali lalulalang. Begitupun dengan Wedda dan Surya, Wedda tampak asik mengotak-atik kamera yang dipegangnya.
“ Wah foto-foto hasil jepretan lo bagus juga, banyak bakat keknya “
“ Iyalah kan gw orang yang segala bisa “ Senyum Surya kembali mengembang.
“ Dih narsisnya, eh tunggu sebentar “ Mereka berhenti berjalan. Wedda melangkah menuju sebuah stupa yang mereka lewati, menggulung lengan bajunya serapat mungkin dengan ketiak dan mulai menjulurkan tangannya di sela-sela lubang stupa. Matanya bisa melihat tangannya bergerak maju hendak menyentuh tubuh stupa.
“ Lo lagi ngapain? ” Surya Nampak keheranan melihat Wedda merogohkan tangannya semakin dalam.
“ Eh gw lagi…., berusahaa….. megaang…. Sesuatu….” Jawab wedda terputus-putus
“ Pegang sesuatu?”
“ Iya gw lagi nyoba megang Stupa yang di dalem, megang bagian anunya. Mitosnya kalo kita berhasil megang permohonan dan cita-cita kita bisa terwujud.
“ Dih dasar lo P K “
“ Hah P K? aghh susah nyampe”
“ Iya P K = penjahat kelamin. Lah anunya arca masih mau di embat. Emangnya Permohonan dan cita-cita apaan lu?”
“Yee kalo gw bilang kan bukan permohonan lagi permohonan harus rahasia, pokoknya ini untuk teman gw dan orang yang gw sukai, Haaaaaaaaaa. “
“ Napa wed tangan lu kejepit? Ada yang gigit?”
“ Nyampe, berhasil megang ahaha. Lo mau nyoba ?”
“Kalo gw berhasil gw mau minta supaya gw bisa berangkat kuliah ke Eden, sayangnya gw ga terlalu percaya hal begituan”
“ Dih gw ga nanya permohonan lo, kepedean ngaku sendiri “
“ Dasar tengil, udeh nyok turun kalo lo uda berhasil nyentuh arcanya, kita harus balik ke bis biar ga ketinggalan ke Hotel”
Bis terus berjalan, malam menyelimutkan kain hitam berbintangnya. Menebar rasa kantuk dan mimpi-mimpi . Wedda memalingkan wajahnya kekanan mencoba
membayangkan sandaran bis itu menjadi bantal yang empuk. Sekelebat, matanya melihat di kegelepan. Melihat Surya yang juga tertidur di sampingnya dengan kepalanya yang tampak memandangi jendela. Bis sedikit berbelok kekiri, namun guncangannya membuat kepala surya dan wedda sedikit saling berbenturan di tengah, wedda merasakan Surya sedikit mengigau dan membalikan arah kepalanya. Jantung wedda berdegup ia bisa merasakan nafasnya yang keluar perlahan di depan, bibirnya mencium pipi Surya, dan pada belokan selanjutnya ia menapaki satu istilah dalam kehidupan manusia, ciuman pertama. Ciuman yang bukan diterima dari ayah yang mengalirkan darah dagingnya bukan pula dari ibu yang mengandungnya namun oleh seseorang yang membuat jantungnya berdegup. Wedda masih terdiam. Bibir mereka saling bertemu di tengah kursi perlahan-lahan mata wedda terbuka lebar memandangi wajah surya yang berada di depannya namun bukan hanya wajah surya yang terlihat disana tetapi juga pemandangan kota Jogja dengan lampu-lampu dari jendela, ia merasakan dirinya seperti aktor dalam film-film romatis yang berciuman di bawah siraman cahaya bulan. Rasa takut, sedih gembira bercampur di sana, ia tak tau apa yg harus dilakukan, bayangkan saja seperti sepuluh ribu ikan piranha berada di depanmu siap untuk menerkam, tak ada kesempatan untuk berbicara secara romantis atau memikirkan masa depan selanjutnya tubuhmu hanya lemas dan mati tergoda karena sensasi terkejut dan senang yang luar biasa. Lantas Wedda hanya kembali menutupkan matanya rapat-rapat dan menahan nafas selama mungkin agar Surya tak terbangun, sampai pada akhirnya ia memutuskan untuk memalingkan wajahnya kedepan dan ciuman pertama Wedda berakhir. Tapi kepala surya malah semakin bersender pada bahu dan telinga, bibir surya kini dalam posisi mencium leher Wedda. Ia bisa merasakan Surya bernafas tersengal dan hangat di telinga yang kini semakin menjamahi lehernya membuat bulu kuduknya meremang.
“ Aku mau ke toilet “ Wedda gugup ia berteriak tanpa sadar, lantas langsung berdiri. Kontan semua penumpang bis serta gurunya kaget dan melirik kebelakang dalam keremangan. Semetara itu kepala surya yang sedari tadi bersadar terhantam merosot pada pembatas kursi saat Wedda berdiri, Surya terbangun dengan linglung tak menyadari apa yang terjadi dan memegang kepalanya yang terasa berdenyut mungkin juga sedikit lebam.
***
“ Hey, lu ngelamunin apaan? Jorok yah ” Senyum Surya mengambang di permukaan pipi, membuat siluet matanya seperti bulan sabit yang terbalik. Tanganya constant menstabilkan arah setir kemudi yang sedang dipegangnya.
Wedda tersadar dari lamunannya ketika mendengar suara Surya, membuyarkan kenangan. Ya, kenangan perjalanan ke Jogja itu seperti baru kemarin, namun ternyata sekelebat mata saja itu sudah menjadi ingatan 4 tahun yang lalu. Ingatan yang takkan pernah ia lupakan meskipun suatu hari nanti kerutan demi kerutan menggambar dirinya di wajah dan menjadikannya tua.
Ketika pakaian putih abu-abu lungsur dari tubuhnya, Wedda berpikir bahwa dia takan bertemu Surya kembali. Bukan karena hal apa tapi menurutnya itu hal yang terbaik bagi mereka berdua. Ia ingat ketika acara kelulusan, teman-temannya bilang bahwa Surya akan melanjutkan studinya Ke Eden University jauh melanglang buana ke negeri paman Sam. Tapi beberapa hari yang lalu semesta mempertemukan mereka kembali dan jejak-jejak kenangan yang berdebu itu kini terlihat jelas lagi. Namun pasti takan pernah sama.
“Dih, Jauh-jauh kuliah ke US ga bikin otak lu tambah bener, malah masih ngeres aja” Wedda membalas dengan sedikit ketus, namun mata dan hatinya menyadari bahwa kini Surya sudah berubah jauh. Ia sudah menjadi seorang pria dewasa bukan lagi laki-laki yang dulu duduk bersamanya di sebuah bis. Tempaan dan jatuh bangun di kehidupan sepertinya memang sudah merubah kepribadiannya semakin matang.
Mobil yang dikendarai Surya dan Wedda berbelok kekanan memasuki sebuah parkiran Rumah Sakit. Bannya berdecit di jalan yang licin, seorang tukang parkir melambai-lambaikan tangannya mencoba mengatur arah laju mobil supaya bisa terparkir dengan benar. Mereka berdua turun perlahan, berjalan melewati genangan-genangan air hujan yang sudah mulai kering dan berlanjut menyusuri lorong-lorong yang tak disukai oleh Wedda. Sampai ketika tiba di sebuah pintu yang menghubungkan kesebuah ruangan inap, Surya angkat bicara.
“ Wed, gw tau dari Hana kalo kalian uda lama ga ketemu. Gw ga tau alasannya apa, tapi gw harap kalian berdua bisa ngobrol baik-baik, kelihatannya Hana benar-benar kangen ketemu lo. Gw kedepan dulu sekalian beli makanan, lo juga belum sempet makan siangkan tadi ?”
Wedda hanya menarik nafas panjang. Surya menunggu kata-kata keluar dari mulut Wedda namun tak ada sahutan lantas Surya melanjutkan bicaranya.
“ Ya udah sono lo masuk biar enak kalian bisa bicara berdua, Gw kedepan sekarang “ Tubuh surya melenggang dan menghilang di tikungan koridor depan. Sementara tubuh Wedda masih terpaku di depan pintu ruangan rawat inap itu. Sebelah tangannya hendak memutar kenop pintu berbentuk bundar. Ragu-ragu menyelusupi tubuhnya, namuan akhirnya ia berjalan masuk dengan mantap.
Pintu itu terbuka, tepat di seberangnya sebuah jendela dengan gorden hijau melambai tertiup angin. Seorang wanita tampak setengah berbaring di ranjang, tangannya yang memegang sebuah buku tampak ditempeli selang infus, wajahnya sedikit samar-samar terlihat karena sebuah kain dilingkarkan membentuk kerudung menutup wajah dan rambut. Tapi dari sosoknya ia tahu bahwa itu adalah Hana Teman dekatnya. Teman yang tetap diam disampingnya meski Wedda menyuruhnya untuk pergi karena merasa ingin menyendiri. Teman yang selalu menunggunya meski Wedda bilang ia tak perlu ditunggu. Hana selalu lebih tau apa yang diinginkan Wedda melebihi hatinya sendiri. Tapi seperti umumnya sebuah hubungan, ikatan pertemenan mereka akhirnya 3 tahun yang lalu mengalami kerenggangan.
Hana menyadari kedatangan Wedda.
“ Lo masih marah ama gw? ” Hana yang pertama bicara. Ia tahu kalo hari ini Surya dan Wedda akan datang untuk menemuinya. Tak ada kata-kata lain yang bisa ia pikirkan ketika melihat sahabtnya itu.
“ Gw Cuman Butuh waktu, untuk membiasakan diri karena sesungguhnya berbagi itu tidak menyenangkan ” Wedda masih merasa canggung.
“ Terus lo mau gw gimana? Lo ga tau selama 3 tahun gw nyari lo tapi ga pernah ketemu dan sekarang lo ada di sini gw mesti pura-pura ga kangen karena gw ga bisa meluk lo” Ia mulai terisak. Kain yang menutupi kepalanya tergerai kepundak, bulir demi bulir air mata perlahan turun di wajah Hana.
“ Lo ga musti ngelakuin apapun, keadaan memang seharusnya terjadi kek gini “ Wedda akhirnya melepas egoism, memeluk tubuh Hana dan menenangkannya.
“ Gw bilang gw cuman butuh waktu, buktinya sekarang gw nemuin lo”
“ Wedd gw bener-bener gak tahu, sumpah gw ga tau kalo Surya…”
Wedda tampak sedikit kaget, ia menghela nafas panjang.
“ Gw bilang lo ga usah berpikir apa-apa lagi tentang hal itu, semua yang gw rasain cuman impian bodoh. Lo wanita dan dia pria seharusnya hubungan manusia harus seperti. Sampai kapanpun gw ga bakalan bisa berada diantara lo dan dia, malah gw percaya lo bisa jadi teman hidup terbaiknya perasaan gw ke dia cuman punguk yang merindukan bulan”.
Tanpa disadari Surya sudah berada di depan pintu mendengarkan perbincangan, tangannya yang hendak membuka kenop pintu kembali urung. Surya terus berdiri mendengarkan sampai seseorang tampak berjalan cepat menuju pintu dari arah dalam yang ia tahu itu pasti Wedda. Surya mundur membelok ke tikungan koridor menghindari Wedda yang berjalan cepet keluar, Tidak berapa lama Surya masuk kedalam melihat mata Hana yang masih basah.
“ Kau sudah datang ? Wedda baru saja pergi katanya dia ada keperluan mendadak” Suara Hana masih tersedu. Surya tidak menjawab apa-apa ia hanya berjalan ke samping di mana sebuah sofa berada dan melesakan tubuhnya disana. kantong makanan yang dibawanya terjatuh disamping.
“Mataku kemasukan debu, air matanya tak bisa berhenti”
“Kamu ga usah pura-pura, secara ga sengaja aku denger apa yang kalian omongin tadi “ Surya mulai bicara, Hana hanya terdiam sebentar, memang cepat atau lambat semuanya akan terjadi seperti ini, kini sepertinya ia sudah siap dengan segala situasi.
“ Surya kamu tahukan kalau kami sudah berteman lama, aku pikir kami sudah menjadi seperti sepasang kembar yang tanpa mengucapkan kata-kata, kami akan tahu apa yang ingin disampaikan oleh masing-masing. Namun ternyata aku salah. Wedda selalu ada ketika aku mebutuhkannya di saat situasi yang sulit, bukan hanya karena dia teman terbaik tapi karena dia juga kesepian hanya memiliki sedikit orang yang dikenal, jumlah teman-temannya bahkan bila dibandingkan dengan jumlah jari-jari pada tangan itu terlalu banyak “ Hana melihat surya yang masih duduk memejamkan matanya, lantas ia kembali bicara
“ Aku hanya ingin menebus kesepian yang dideritanya dan waktu-waktu yang hilang yang tidak bisa kami habiskan bersama sebagai teman. Bila aku tidak bisa melakukannya, aku benar-benar tidak bisa pergi dengan tenang “
“ Cukup Hana, aku udah ga mau denger apapun lagi sekarang “
“ Belum ini belum cukup, karena kamu belum mengerti kalau aku bukan memintanya tapi memohon “ Hana turun perlahan dari ranjangnya kemudian berlutut tepat di seberang di mana Surya terduduk sebuah buku terjatuh dari pangkuan Hana buku yang dipinjamkan Wedda beberapa tahun yang lalu. Buku yang Wedda baca ketika perjalanan menuju Borobudur.
Surya bangkit berdiri
“ Kamu apa-apaan sih? Uda bangun, kamu gak boleh kaya gini”
“ Aku gak mau berdiri sebelum kamu janji melakukannya “
“ Kamu aneh banget tau gak, orang mana ada yang mau ngelakuin hal yang kamu bilang’
“ Aku percaya kamu, aku percaya wedda.” Hana meringis memegangi perutnya, rasa sakit menjalari tubuhnya.
“iya-iya aku lakuin, ayo kamu kembali berbaring lagi, suster.. suster..”.
***
Ponsel itu berdering, sebuah pesan singkat berkaca di sana. Jemari Wedda menekan tombol pembaca pesan dengan terpaksa. Itu dari Surya.
=======================
Wed, kita bisa ketemu besok sore? Ada yang mau gw omongin.
=======================
Iya, gw tau bakalan kek gini. Lo bisa datang ? kalo gw bilang kita ngomongnya di Beach Café?
=======================
Terserah lo, ntar lo kasih tau gw aja alamatnya.
***
Ombak bergulung-gulung, suara pecahnya bersahutan dengan angin yang bermain dengan kerisik pasir dan pohon kelapa yang menjulang. Alih-alih berada di café Wedda memutuskan untuk berbicara sambil berjalan di pinggiran pantai.
“ bangsat lo “ Teriak Surya, bogem mentah telak mendarat di wajah Wedda, Wedda terhuyung kebelakang, darah segar mengalir dari sudut bibirnya. Surya kembali memaki
“ Emang, orang-orang kek lu tuh sampah. Ga tau terima kasih. Egois, babi ” Surya semakin kalap, tapi Wedda hanya diam saja bersiap menerima bogeman kedua. Untuk pertama kalinya dia benar-benar bisa melihat mata Surya ketika berbicara berhadapan.
“ Apa Orang tua lo ga bisa ngedidik… “ Surya tak sempat menyelesaikan perkataanya, tubuh Wedda berontak, kakinya menendang bagian perut surya, kini surya yang terhuyung jatuh kebelakang.
“ lo tau, bogeman lo bisa dalam beberapa hari rasa sakitnya sembuh, tapi apa yang lo keluarin dari mulut bisa membunuh orang perlahan-lahan dengan rasa sakit yang semakin hari semakin parah dibandingin bogeman. Gw uda banyak makan asam garam dari cemoohan orang-orang tapi gw ga pernah peduli. Cuman jangan sekali-kali orang yang sok tau kaya lo, ngejudge orang tua gw. Orang tua gw lebih baik dari orang tua lo karena mereka bisa ngebesarin orang kaya gw tanpa mengeluh. Dan tiba-tiba lo yang ngerasa jadi manusia paling sempurna sok-sok`an nilai orang tua gw?”
Surya hanya terdiam, tubuhnya masih terduduk dipasir. Kini giliran matanya yang tak bisa melihat Wedda, sekelebat ada rasa bersalah yang menghampirinya.
“ Apa lo tiba-tiba jijik ama gw gara-gara kini lo tau gw gay? Gw emang gatau apa yang dikatakan Hana sama elu? Tapi gw tau semua orang lebih seneng mencemooh sampai berbusa daripada ngedengerin apa yang orang-orang seperti gw butuhin. Gw juga manusia, gw juga punya hati yang ngebedain Cuma sudut pandang gw akan rasa suka. Lo jijik kalo gw bilang gw suka lo?“ Ada rasa sakit yang menyelingi ucapan-ucapan itu, sepertinya sebuah pisau harus kembali menyayat kekelaman hati yang sudah jauh terpendam didalam. Selama ini ia sudah berusaha untuk mengubur mimpinya dalam-dalam mengenai Surya
“ iyalah bangsat, lo ga normal ” Surya bangkit berdiri.
“ kalo gw gak normal trus orang-orang yang berpikiran kaya lo lebih abnormal. Apa salahnya jika gw suka sama sesama jenis ? lo bilang dosa karna berbelok dari hukum agama? Lo mau bilang cepet sadar biar gak di laknat kaya kaum kuno Sodom? Gw mau nanya uda berapa lama orang yang bilang begitu pernah hidup didunia seakan sok tau dan dengan mata kepalanya sendiri ngelihat apa yang sebenarnya dilakuin sama kaum Sodom dan membandingkannya ama orang-orang kaya gw. Kadang-kadang gw berpikir orang yang katanya lebih normal berpikir sok tau lebih banyak tentang gay dari pada orang-orang yang dibilangnya gay, padahal orang-orang gay kaya gw juga selalu berusaha mencari jalan Tuhan. Rasa suka gw sama kaya rasa suka lo ama temen pria lo ato ama guru ato ama bapak lo. Gak lebih, cuman orang-orang kaya lo aja yang suka nafsirin lebih” Untuk sesaat percakapan berhenti sampai di sana, ombak-ombak berdebur menyelingi suasana canggung.
Wedda mengambil sebatang rokok dan menyalakannya, ia
menghisapnya dalam-dalam lantas kembali berbicara.
“ Dulu gw selalu menyalahkan Tuhan, mengingat masa-masa transisi keremajaan gw terasa sangat berat. Penuh pemikiran kenapa gw berbeda dan bagaimana menjadi normal karena gw pikir gw gak pernah bisa normal dan terus harus hidup dengan rasa penolakan. Gw memilih menjadi introvert, menjauhi orang-orang karena gw mau menghindar dari rasa sakit dan menyakiti. Gw kesepian, sendirian bahkan di tempat yang ramai sekalipun sepertinya sebuah lubang hitam menyedot segalanya didada menyedot rasa bahagia dan senang yang membuat gw merasa tak pernah nyaman. Gw mencoba bertanya kesana-kemari membaca buku ini dan itu, berkonsultasi tentang hal-hal tak masuk akal tapi hasilnya nihil. Namun ketika gw bertemu lo dan benar-benar langsung berteman dengan lo. Gw gak lagi mencoba menolak perbedaan yang ada pada diri gw, tapi gw juga ga menerimanya secara seluruhnya. Gw menyebut perasaan suka sesame jenis itu sebagai UTOPIA. Yaitu sebuah titik, yang ketika lo berada di sebuah horizon, titik itu berada sepuluh langkah di hadapan lo. Tetapi setiap kali lo mendekatinya sepuluh langkah, titik itu akan menjauh sepuluh langkah. Dan ketika lo berusaha menggapainya seribu langkah, titik itu selalu menjauh sebanyak langkah yang kau ambil. Utopia akan selalu indah bila tetap menjadi utopia, sesuatu yang selalu tidak terjangkau. Karena kita tidak bisa melampauinya dan melihat sisi lain darinya, karena ia tak tersentuh dan keindahan yang menyelubunginya tak terungkap karena ia tetap pada kodratnya. Pada akhirnya gw berpikir kalau lo selamanya akan jadi Utopia. Gw tau manusia tak pernah ditakdirkan hidup seperti ini namun gw juga tau seperti rasa sedih rasa duka, sakit, terjatuh dan dosa. Cinta gw kepada pria tetaplah cinta yang dibuat oleh Tuhan karena semua semesta adalah miliknya. Oleh karena itu selama ini gw gak pernah mau menjalani hubungan apapun karena cuman lu Utopia gw yang ketika gw mencoba untuk maju selangkah untuk menggapai lu. Gw harus membuat lo menjauh selangkah dari gw. Dengan kata lain sebenarnya gw ga akan pernah bisa menjangkau lo dan gak pernah mau. Selama ini gw sudah mencoba hidup seperti pohon meskipun susah payah. Dan Pohon dimanapun ia hidup meski di tanah miring atau tepi jurang yang kelam ia tetap berusaha untuk tumbuh menuju arah cahaya yang benar. Mudah-mudah ini bisa buat lo mengerti kalo gw ga sekotor pikiran lo.” Wedda kembali menghela menghisap rokoknya dalam-dalam, asap mengepul cepat seperti cerobong kereta kemudian hilang menjadi kabut samar-samar.
***
Matahari hampir tenggelam, mereka sudah berjalan jauh dari tempat obrolan yang memicu adrenalin. Ombak menggulung buah kelapa dikejauhan, menjadikannya timbul tenggelam. Darah-darah muda yang terasa panas berdesir diantara mereka kini mereda.
“ Gw minta maaf buat segalanya, Hana emang bener seharusnya gw percaya sama elu. Mulutlu ga apa-apakan?”
“ Wah tiba-tiba lo jadi perhatian setelah dengan sekeras itu mukul gw, tapi gw pikir ini setimpal karena gw dulu pernah buat kepala lo benjol”
“ Hah kapan?”
“ Ya sudah lah kalo ga inget ga usah diinget bahaya”
“ Eh bener Gw pikir lo orang yang tepat, tunggu sebentar lo musti bantuin gw biar gak gagap, sekalian sebagai rasa
bersalah gw”
“ Hah apaan?” Wedda berdiri dari duduknya, menepuk-menepuk celananya dari pasir yang menempel.
“Hmmm.. tunggu sebentar.” Surya membungkukkan tubuhnya lantas berjongkok dihadapan Wedda, tangannya mengeluarkan sebuah cincin. ia sedikit berdeham lantas berkata
“ Will you merry me”.
Wedda tersentak kaget, namun ia tersadar bahwa pria yang berada dihadapannya sedang beracting untuk melamar Hana.
“Ahahaahah gila dasar lo, ngapain ngelakuin hal kaya gitu disini. Sementara beberapa waktu yang lalu lo dengan semangatnya ngejugde. Liat semua orang ngeliatin ntar pada salah sangka” Letupan kecil terjadi di hati Wedda, memang hal-hal seperti ini yang selalu dimpikannya. Seorang pria dengan sebuah cincin melamarnya di tepi pantai yang mataharinya setengah terbenam. Meskipun ini setengah nyata, Wedda berpikir bahwa telah menjadi sesuatu yang terjamah.
“ Yee makanya cepetan lu jawab.” Surya menatapnya,
“ Hah oke, gw yakin Hana akan bilang. I will” Ia tertawa, meskipun hanya sebuah fatamorgana Wedda merasa senang. Ia bergumam kembali “ Sampai Jumpa…”
“Ga jangan bilang seperti itu gw ga pernah mau mendengar kata-kata itu”
Surya berdiri, mereka berdua tertawa terbahak-bahak. Berlari berangkulan tangan sebagai sahabat. Meninggalkan orang-orang dengan persepsinya dan meninggalkan matahari terbenam yang melukis langit layung terindah. Mereka terus berjalan kedepan membelah kerumunan, perlahan demi perlahan Wedda melepas genggaman tangannya sementara surya terus berjalan kemudian ia berhenti dan menyadari bahwa tangan mereka sudah tidak saling berpegangan. Surya melirik kesekitar tetapi Wedda sudah menghilang di kerumunan. Meninggalkannya dan melepaskan perasaan cintanya.
***
Keesokan harinya, beberapa kali Surya mencoba menghubungi Wedda. Namun panggilan-panggilan dan pesan singkatnya tak pernah terbalas. Surya sangat kalut, keadaan Hana sangat kritis, penyakitnya semakin parah. Namun Wedda tetap tak pernah kembali untuk menemui mereka
“ Hana bangun, Hana aku mencintaimu,” Surya terisak, tubuhnya bergeser kekiri ketika sebuah ranjang berjalan lain didorong memasuki ruangan UGD yang sama tempat Hana berada. Samar- samar surya mendengar suster dan Dokter yang datang tersebut membawa seorang korban kecelakaan dan ia tidak bisa diselamatkan. Surya semakin kalap ia takut apa yang ia dengar, juga akan menimpa wanita yang dicintainya.
“ Hana aku mencintaimu, aku mencintamu” Surya menangis, lengan Hana terasa semakin lemas dan terkulai. Surya hanya pasrah.
***
Gundukan yang berada di depan Surya masih berwarna merah, bunga tampak layu mati dan mengering di pusaranya menandakan kuburan itu benar-benar masih baru sekitar 7 hari. Langit menarik secarik awan di angkasa. Suasana sekitar komplek pemakaman itu sungguh sangat teduh.
“ Sayang kita harus kembali, dokter tidak memperbolehkanmu untuk terlalu lama diluar dengan bekas operasi yang masih belum sembuh” Surya bicara. Hana terbangun dari duduknya memandangi nisan Wedda.
***
Kilas balik Wedda POV
Mobil yang dikendarai Wedda menabrak pembatas jalan. Ia hanya sedikit mengingat orang-orang yang berbaju putih mengangkatnya perlahan-lahan. Ia berpikir itu malaikat. Namun sesaat kemudian ia sadar kembali, tubuhnya berjalan cepat dalam sebuah ranjang dorong tapi ia merasa tubuhnya sudah mati rasa.
Wedda semakin merasa sesak, ketakutan benar-benar menggenggamnya di sana, matanya sudah kehilangan pandangan dan bibirnya kehilangan kata-kata. Ia teringat tentang surat cinta pertama yang ditulisnya namun tidak yakin apa harus memberikannya, surat itu terselip diantara buku yang dibacanya berserta selembar foto Surya ketika pergi ke jogja mungkin dari sana Hana tau tentang dirinya dan Surya. Ia teringat permohonan apa yang ia ucapkan saat berhasil menyentuh archa dalam stupa di Borobudur yaitu ia ingin Hana sembuh karena dari kecil ia sering sakit-sakitan dan ia ingin Surya bisa pergi ke Eden Unversity. Ia juga ingat bahwa uang 3000 rupiah yang dipinjam surya belum dikembalikan. Air mata Wedda mengalir hangat di pipi, untuk sesaat ia benar-benar merasa bahwa meskipun hanya sedetik waktu itu benar-benar sangat berharga namun kini semuanya sudah terlambat. Tetapi kata-kata yang terakhir didengarnya membuatnya merasa tenang, ia mendengar Surya berkata Hana Aku mencintaimu, aku mencintaimu. aku mencintaimu……. sepasang sahabat itu berada di UGD yang sama di sebelah tirai yang berbeda.
***
Karena kamu memberikan kado untuku, kado yang melebihi apapun yang bisa kau dapat untuk dirimu sendiri aku memberikan kado untukmu kado yang sebenarnya tak bisa benar-benar kukendalikan, hatiku. Hati yang mengajarkan adahal yang baik tentang mati, karena pada akhirnya aku bisa mengatakan apa yang sebelumnya telah jauh tersimpan. Seharusnya cinta harus di ungkapkan, benci harus dipertanyakan dan masalah harus diselesaikan karena hidup itu singkat. Aku mencintaimu Hana, Aku mencintaimu Surya. Dan sekali lagi Tuhan akan membiarkanku di kandung kembali dalam rahim bumi.
END
Pesan : Terkadang ada sesuatu hal yang benar-benar kita inginkan tapi tidak bisa kita dapatkan, karena pada akhirnya kita hanyalah makhluk yang sekuat apapun berusaha dan memberontak masih ada kekuatan yang lebih besar dari kita yang tidak pernah bisa kita hindari. Lantas yang bisa kita lakukan adalah berserah diri dan pasrah, percaya padaNYA ia selalu memberi yang terbaik.
suka sama cerpen2nya.
suka sama cerpen2nya.
Meskipun jujur, untuk yang "Anomali" sempet bikin kening berkerut dan kudu baca ulang buat ngerti maksudnya. Untuk yang "Utopia", enjoy banget bacanya. And I really like how things going midway through. Tapi twist endingnya nyesek banget euy, di situ saya langsung merasa dystopia (
Ditunggu karya-karya selanjutnya. Keep up the good work
Meskipun jujur, untuk yang "Anomali" sempet bikin kening berkerut dan kudu baca ulang buat ngerti maksudnya. Untuk yang "Utopia", enjoy banget bacanya. And I really like how things going midway through. Tapi twist endingnya nyesek banget euy, di situ saya langsung merasa dystopia (
Ditunggu karya-karya selanjutnya. Keep up the good work
Tahu gak senengnya luar biasa ada orang yang suka sama cerpen-cerpen belom mateng saya.
Cerpen-cerpen itu adalah cerpen yang saya buat ketika masih Abg labil beberapa tahun lalu. Tau lah yah Abg lagi seneng-senengnya mecoba hal baru dan mungkin kalo saya cewe udah jingkrak-jingkrakan kalo liat cowo yang pas di mata. Namun sayangnya saya cowok dan akhirnya cuma bisa menuangkannya dalam tulisan-tulusan. Kemudian pada suatu saat, ketika usia saya menginjak usia 20an saya takut jika terus-terusan seperti itu (Baca: Suka sama lelaki) pada akhirnya saya dapat cuman rasa kecewa, apa lagi hidup di indonesia. Dan ketakutan itu semakin hari semakin besar, akhirnya saya membakar cerpen-cerpen dan tulisan saya serta menghapus file-file lainnya karena takut suatu saat ketahuan dan saya tidak bisa lepas dari hal-hal seperti itu. Pada akhirnya ketika saya buka-buka laptop dan yang tersisa adalah sebagian cerpen-cerpen di atas yang berhibernasi dan saya lanjutkan. Saya sangat mengapresiasi semua yang sudah mau mampir dan baca.
Gak bisa di pungkiri karena apresiasi dari temen-temen semua yang sudah mau baca. Semangat nulis saya kembali hadir namun mungkin untuk sementara butuh proses karena udah lama gak nulis dan mungkin hasilnya gak bisa lebih baik. Sekali lagi saya ucapkan terimakasih karena telah membuat saya bersemangat. Saya akan mencoba yang terbaik
Maap untuk basa basi yang panjang
@kiki_h_n : Makasih udah mampir dan mau baca. Salam kenal. Seneng yang luar biasa saya bikin cerpen dan mau dibaca lagi. Ditunggu yah
@lulu_75 : Mampirnya juga di tunggu lagi hehehe. Lulu orang yang baca cerpen saya pertama kali.
@keposeliro : Makasih mas atas saran dan komentarnya. kritik yang lebih panjang dan perasaan ketika membaca sangat saya tunggu untuk di ungkapkan guna perbaikan hehehe
Aku koment inih, biar kamu semngat okeh :-bd