It looks like you're new here. If you want to get involved, click one of these buttons!
Copyright 2021 Queer Indonesia Archive. See our Privacy Policy. Contact us at [email protected]
Dengan menggunakan situs ini berarti Anda setuju dengan Aturan Pakai.
BoyzForum.com adalah situs anti pedofilia!
Comments
@nakashima
@DM_0607
@Adi_Suseno10 @abong @lulu_75
@4ndh0 @hendra_bastian @littlemark04
@arieat @bumbellbee @Adamx @Akhira @3ll0
@Asu12345 @Roynu
@chioazura @harya_kei @Bun @balaka
@PeterWilll
Gue mau bikin tinggal 4 part lagi.
menurut kalian gimna? *butuhsaran
ntar lnjutnya..
@Asu12345 @3ll0 semoga bagus menurutku juga bgus mnurut kalian..
ntar lnjutnya..
@Asu12345 @3ll0 semoga bagus menurutku juga bgus mnurut kalian..
AKU bukanlah orang yang akan dengan mudah menderita hanya agar orang lain bahagia, tidak. itu bukanlah sifatku tapi aku juga tidaklah sejahat yang akan bahagia diatas derita orang lain. Aku tidak mungkin memberikan orang yang kucintai pada orang lain untuk menjaga hatinya. Aku mencintai dan di cintai tidakkah itu cukup untuk memepertahankan semuanya.
Bukan salahku kan mereka mengakhiri hubungannya tapi kenapa seolah diriku yang lain berkata kalau akulah penyebab semuanya, akulah lucifernya. Gara-gara aku kepura-puraan itu ada karena aku cintaku menyakiti dirinya dengan orang lain. semua memang tak lepas dari sangkut pautnya diriku dan aku sungguh tak mau mengakui kalau semua itu karena aku.
ingin saja ku obati luka yang di derita cewek itu asal jangan dengan memberikan pria yang kucintai, apa saja asal jangan menyangkut urusan hati.
Kutatap rumah dengan cat warna hijau itu, aku menghembuskan nafas dan mulai memencet bel rumahnya, tak lama kudengar suara langkah kaki dan pintupun terbuka menampakkan sesosok wanita yang kurasa seumuran dengan mamaku, dia menatapku dengan tatapan bingungnya.
“Cari siapa ya?” Jelas dia akan bertanya begitu pada orang yang baru pertama ia kenal.
“Saya temannya Nadia, mau nganterin barangnya Nadia yang ketinggalan.” Ucapku menyodorkan plastik putih itu padanya yang langsung diambil oleh wanita itu.
“Ohh temannya Nadia, masuklah akan tante panggilkan Nadia!” Ingin saja kutolak ajakannya agar aku tidak perlu bertemu dengan gadis itu tapi aku akan sangat pengecut jika melakukan itu semua jadilah aku masuk kerumahnya yang diikuti oleh wanita yang mungkin adalah mamanya Nadia.
“Daniel, panggil kakakmu. Bilang ada temannya yang datang.” Aku menatap pria yang di panggil Daniel yang dulu pernah di sapa Nadia saat aku mengantarnya dulu. Dia menatap kearahku dengan tatapan,, Tatapan apa itu? Aku tidak bisa membaca caranya menatapku, entah itu tatapan terkejut, malu atau malah takut. Entahlah mungkin hanya perasaan ku saja.
“Daniel, mama bilang panggil kakakmu!” Ternyata mamanya Nadia tegas juga, persis seperti mamaku. Pasti sulit jadi anaknya, mengingat aku juga begitu. Jadi teringat dengan mamaku yang mungkin sekarang sedang sibuk dengan bunganya yang ada di samping rumah. Laki-laki itu beranjak pergi tanpa mau menyahut mamanya, pendiam juga dia atau malah terlihat sombong. Aku tidak akan suka dengannya.
“Duduk dulu nak, tante buatin minuman buat kamu.” Senyum ramahnya kembali menghias wajahnya.
“Tidak usah repot-repot tan, Saya Cuma sebentar kok diisini.” Tolakku halus.
“Tidak repot kok.” Dia berlalu meninggalkanku, aku mencoba menatap sekeliling rumah ini dan mendapati beberapa bingkai foto. Kulihat foto keluarga ada di sudut ruangan. Mereka tersenyum ramah dengan Nadia dan cowok bernama Niel itu berdiri di belakang mengapit kedua orang tuanya. Aku tersenyum melihat foto itu.
“Ical, akhirnya datang juga.” Ucap Nadia yang langsung duduk di dekatku. Mamanya Nadia juga datang dengan membawa minuman segarnya, lumayan haus juga ngelihat minuman itu.
“Di minum dulu, maaf seadanya.” Ucap mamanya Nadia.
“Terimakasih tante, padahal gak perlu repot-repot soalnya saya mau langsung pulang.”
“Kok pulang sih Cal, Nanti aja dulu.” Ucap Nadia memberenggut membuat mamanya hanya menggeleng dan tersenyum. Aku cukup merasa malu juga dengan tingkah Nadia di depan mamanya.
“Iya nak Ical, ini pertama kalinya loh Nadia kedatangan tamu cowok. Tante seneng deh lihatnya.” Aku agak sedikit heran dengan perkataan mama Nadia, jadi selama ini Nathan tidak pernah kesini.
“Ihh mama apaan sih,” Wajah Nadia memerah,. Sial, ada apa dengan gadis ini?
“Ya udah tante tinggal kalian berdua ya?” Nadia hanya tersenyum kearah mamanya yang berlalu pergi.
“Jadi Nathan tidak pernah kesini?” Tanyaku yang tak bisa menahan rasa penasaranku.
“Dia tidak pernah mau, menyebalkan kan?” Tidak ada nada berat di suaranya membahas soal Nathan. Bukankah harusnya ia merasakan sakit saat menyebut pria yang di cintai.
“Dia memang seperti itu,” Jawabku seadanya. Nadia semakin merepetkan duduknya ke dekatku, aku menjadi risih sendiri dengan tingkah anehnya. Ada apa dengan perempuan ini?
“Maaf ya aku jadi repotin kamu, tadi ada acara dirumah makanya aku tidak bisa masuk.” Aku hanya mengangguk menanggapi ucapannya.
“Ya udah gue pamit pulang deh,” Aku tidak ingin terjebak dalam permainan hati, aku sudah memiliki Nthan jadi tak ada yang boleh menghancurkan itu.
“Kok pulang sich?”
“Mamaku suka nyariin kalau anaknya yang ganteng ini pulang telat.” Jawabanku membuat suara tawanya terdengar tulus. jadi dia tak sesakit yang ku bayangkan. Dia tidak sekolah bukan karena tak mau melihat Nathan.
Aku bangun diikuti oleh Nadia. Kulihat Daniel itu menatapku dengan tatapan yang sama saat aku baru datang. Tatapan apa itu? kenapa rasanya begitu menusuk dan dia juga dengan terang-terangan memberikan tatapan itu walau ia tahu aku sedang menatapnya. Kulihat Nadia tak sadar dengan adiknya yang aneh yang menatap kearahku, ingin saja ku colok matanya tapi nanti malah aku terkesan jahat, aku kan anak baik. itu kata mamaku.
“Sampai ketemu besok ya?” Ucapku saat kami sudah ada di depan rumahnya. Dengan cepat Nadia berhasil mencium pipi kananku yang membuat aku hanya terdiam karena terkejut mendapati ciuman mendadak itu.
“Hati-hati di jalan Cal,” ucapnya dengan raut tak terjadi apapun dan langsung masuk kedalam ruamhnya. Aku masih tak beranjak dari tempatku berdiri. Dia memiliki perasaan padaku? mungkinkah itu.
***
Kulihat Nathan sedang bersandar pada tiang yang ada di depan rumahku. Aku tersenyum dalam hati melihat ia yang sedang menungguku. Aku mendambanya lagi, apalagi saat mata hazel itu menatap lega kearahku.
Kubuka helm ku dan menghapirinya yang terlihat kusut, pasti dia berpikir macam-macam. Aku sangat tahu sifatnya.
“Ngapain aja sih disana? Lama tahu gak.” Nada kesalnya santer terdengar membuat aku hanya tersenyum melihat kekonyolannya.
“Hanya bicara sebentar, ayo masuk.” Aku melangkah masuk rumah yang di ikuti olehnya dengan langkah kaki yang ia hentakkan dengan keras ke lantai menandakan kalau ia masih emosi tapi aku tidak mungkin meladeni kecemburuanya itu di depan rumahku karena orang-orang akan memandang aneh kearah kami jadi jika memang mau marah lebih baik saat kami berdua.
Aku membuka resleting jaket dan melempar tasku kearah meja belajarku. Kubuka seragam dengan cepat. Aku tahu ia sedang memperhatikanku dengan teliti. Aku juga tak berniat memakai pakaianku dengan cepat. Aku suka melihat tatapan laparnya itu, Kalian pasti tahu apa itu tatapan lapar jadi aku tidak perlu menjelaskan dengan rinci bagaimana kekasihku menatapku.
Tubuhku di peluk dengan erat dari arah belakang, aku hanya tersenyum memegang kepalanya yang ada di bahuku. Tinggi kami hampir sama jadi tidak susah untuknya menaruh dagunya di leherku.
“Jangan pernah kesana lagi, jangan pernah menemuinya.” Ternyata dia masih membahas hal yang menurutku tidak penting lagi untuk di bahas.
“Jika ada yang penting tentu aku akan datang lagi.” Jawabku seenaknya. Dengan cepat Nathan melepas pelukannya dan langsung duduk di pinggir ranjangku dengan wajah yang di tekuk. Aku hanya menggeleng melihat tingkahnya, kudekati dia dan memeluk kepalanya.
“Aku mencintaimu.” Kataku dengan sungguh dan mengecup puncak kepalanya. Dia mendongak menatapku, mencari kejujuran di mataku dan aku yakin dia menemukannya.
Kurasakan bibirnya yang kenyal melumat bibirku. Aku membalasnya dengan kasar tapi penuh kelembutan. Kucengkram bagian belakang kepalanyamemperdalam ciuman kami dia semakin beringas melumat bibirku dan meraba tubuh telanjangku.
“Aku ingin melakukannya.” Ucapnya saat ia melepaskan ciuman panas kami. Aku menatapnya meyakinkan apa benar kita harus melakukannya sekarang. “Aku yang akan menerima sakitnya.” Dia mengira aku masih takut denga rasa sakit itu, tapi bagiku semua itu sudah tidak penting. Walau sakit jika itu membuatnya bahagia akan ku lakukan.
“Aku tidak akan menyakitimu.” Ucapku langsam dengan mencubit dagunya.
“Kumohon,” Kali ini wajahnya memelas. Aku menghembuskan nafas, mencari apa yang ku inginkan.
“Baiklah, kita akan lakukan tapi kita bergiliran karena aku juga ingin merasakan sakit yang kamu rasakan.” Kulihat dia mengangguk antusias.
Aku mendorong tubuhnya hingga tertidur dan menindihnya, melepas kaus putih yang membungkus tubuhnya dan kembali melumat bibirnya yang selalu membuatku mencandu.
***
AKU bukanlah orang yang akan dengan mudah menderita hanya agar orang lain bahagia, tidak. itu bukanlah sifatku tapi aku juga tidaklah sejahat yang akan bahagia diatas derita orang lain. Aku tidak mungkin memberikan orang yang kucintai pada orang lain untuk menjaga hatinya. Aku mencintai dan di cintai tidakkah itu cukup untuk memepertahankan semuanya.
Bukan salahku kan mereka mengakhiri hubungannya tapi kenapa seolah diriku yang lain berkata kalau akulah penyebab semuanya, akulah lucifernya. Gara-gara aku kepura-puraan itu ada karena aku cintaku menyakiti dirinya dengan orang lain. semua memang tak lepas dari sangkut pautnya diriku dan aku sungguh tak mau mengakui kalau semua itu karena aku.
ingin saja ku obati luka yang di derita cewek itu asal jangan dengan memberikan pria yang kucintai, apa saja asal jangan menyangkut urusan hati.
Kutatap rumah dengan cat warna hijau itu, aku menghembuskan nafas dan mulai memencet bel rumahnya, tak lama kudengar suara langkah kaki dan pintupun terbuka menampakkan sesosok wanita yang kurasa seumuran dengan mamaku, dia menatapku dengan tatapan bingungnya.
“Cari siapa ya?” Jelas dia akan bertanya begitu pada orang yang baru pertama ia kenal.
“Saya temannya Nadia, mau nganterin barangnya Nadia yang ketinggalan.” Ucapku menyodorkan plastik putih itu padanya yang langsung diambil oleh wanita itu.
“Ohh temannya Nadia, masuklah akan tante panggilkan Nadia!” Ingin saja kutolak ajakannya agar aku tidak perlu bertemu dengan gadis itu tapi aku akan sangat pengecut jika melakukan itu semua jadilah aku masuk kerumahnya yang diikuti oleh wanita yang mungkin adalah mamanya Nadia.
“Daniel, panggil kakakmu. Bilang ada temannya yang datang.” Aku menatap pria yang di panggil Daniel yang dulu pernah di sapa Nadia saat aku mengantarnya dulu. Dia menatap kearahku dengan tatapan,, Tatapan apa itu? Aku tidak bisa membaca caranya menatapku, entah itu tatapan terkejut, malu atau malah takut. Entahlah mungkin hanya perasaan ku saja.
“Daniel, mama bilang panggil kakakmu!” Ternyata mamanya Nadia tegas juga, persis seperti mamaku. Pasti sulit jadi anaknya, mengingat aku juga begitu. Jadi teringat dengan mamaku yang mungkin sekarang sedang sibuk dengan bunganya yang ada di samping rumah. Laki-laki itu beranjak pergi tanpa mau menyahut mamanya, pendiam juga dia atau malah terlihat sombong. Aku tidak akan suka dengannya.
“Duduk dulu nak, tante buatin minuman buat kamu.” Senyum ramahnya kembali menghias wajahnya.
“Tidak usah repot-repot tan, Saya Cuma sebentar kok diisini.” Tolakku halus.
“Tidak repot kok.” Dia berlalu meninggalkanku, aku mencoba menatap sekeliling rumah ini dan mendapati beberapa bingkai foto. Kulihat foto keluarga ada di sudut ruangan. Mereka tersenyum ramah dengan Nadia dan cowok bernama Niel itu berdiri di belakang mengapit kedua orang tuanya. Aku tersenyum melihat foto itu.
“Ical, akhirnya datang juga.” Ucap Nadia yang langsung duduk di dekatku. Mamanya Nadia juga datang dengan membawa minuman segarnya, lumayan haus juga ngelihat minuman itu.
“Di minum dulu, maaf seadanya.” Ucap mamanya Nadia.
“Terimakasih tante, padahal gak perlu repot-repot soalnya saya mau langsung pulang.”
“Kok pulang sih Cal, Nanti aja dulu.” Ucap Nadia memberenggut membuat mamanya hanya menggeleng dan tersenyum. Aku cukup merasa malu juga dengan tingkah Nadia di depan mamanya.
“Iya nak Ical, ini pertama kalinya loh Nadia kedatangan tamu cowok. Tante seneng deh lihatnya.” Aku agak sedikit heran dengan perkataan mama Nadia, jadi selama ini Nathan tidak pernah kesini.
“Ihh mama apaan sih,” Wajah Nadia memerah,. Sial, ada apa dengan gadis ini?
“Ya udah tante tinggal kalian berdua ya?” Nadia hanya tersenyum kearah mamanya yang berlalu pergi.
“Jadi Nathan tidak pernah kesini?” Tanyaku yang tak bisa menahan rasa penasaranku.
“Dia tidak pernah mau, menyebalkan kan?” Tidak ada nada berat di suaranya membahas soal Nathan. Bukankah harusnya ia merasakan sakit saat menyebut pria yang di cintai.
“Dia memang seperti itu,” Jawabku seadanya. Nadia semakin merepetkan duduknya ke dekatku, aku menjadi risih sendiri dengan tingkah anehnya. Ada apa dengan perempuan ini?
“Maaf ya aku jadi repotin kamu, tadi ada acara dirumah makanya aku tidak bisa masuk.” Aku hanya mengangguk menanggapi ucapannya.
“Ya udah gue pamit pulang deh,” Aku tidak ingin terjebak dalam permainan hati, aku sudah memiliki Nthan jadi tak ada yang boleh menghancurkan itu.
“Kok pulang sich?”
“Mamaku suka nyariin kalau anaknya yang ganteng ini pulang telat.” Jawabanku membuat suara tawanya terdengar tulus. jadi dia tak sesakit yang ku bayangkan. Dia tidak sekolah bukan karena tak mau melihat Nathan.
Aku bangun diikuti oleh Nadia. Kulihat Daniel itu menatapku dengan tatapan yang sama saat aku baru datang. Tatapan apa itu? kenapa rasanya begitu menusuk dan dia juga dengan terang-terangan memberikan tatapan itu walau ia tahu aku sedang menatapnya. Kulihat Nadia tak sadar dengan adiknya yang aneh yang menatap kearahku, ingin saja ku colok matanya tapi nanti malah aku terkesan jahat, aku kan anak baik. itu kata mamaku.
“Sampai ketemu besok ya?” Ucapku saat kami sudah ada di depan rumahnya. Dengan cepat Nadia berhasil mencium pipi kananku yang membuat aku hanya terdiam karena terkejut mendapati ciuman mendadak itu.
“Hati-hati di jalan Cal,” ucapnya dengan raut tak terjadi apapun dan langsung masuk kedalam ruamhnya. Aku masih tak beranjak dari tempatku berdiri. Dia memiliki perasaan padaku? mungkinkah itu.
***
Kulihat Nathan sedang bersandar pada tiang yang ada di depan rumahku. Aku tersenyum dalam hati melihat ia yang sedang menungguku. Aku mendambanya lagi, apalagi saat mata hazel itu menatap lega kearahku.
Kubuka helm ku dan menghapirinya yang terlihat kusut, pasti dia berpikir macam-macam. Aku sangat tahu sifatnya.
“Ngapain aja sih disana? Lama tahu gak.” Nada kesalnya santer terdengar membuat aku hanya tersenyum melihat kekonyolannya.
“Hanya bicara sebentar, ayo masuk.” Aku melangkah masuk rumah yang di ikuti olehnya dengan langkah kaki yang ia hentakkan dengan keras ke lantai menandakan kalau ia masih emosi tapi aku tidak mungkin meladeni kecemburuanya itu di depan rumahku karena orang-orang akan memandang aneh kearah kami jadi jika memang mau marah lebih baik saat kami berdua.
Aku membuka resleting jaket dan melempar tasku kearah meja belajarku. Kubuka seragam dengan cepat. Aku tahu ia sedang memperhatikanku dengan teliti. Aku juga tak berniat memakai pakaianku dengan cepat. Aku suka melihat tatapan laparnya itu, Kalian pasti tahu apa itu tatapan lapar jadi aku tidak perlu menjelaskan dengan rinci bagaimana kekasihku menatapku.
Tubuhku di peluk dengan erat dari arah belakang, aku hanya tersenyum memegang kepalanya yang ada di bahuku. Tinggi kami hampir sama jadi tidak susah untuknya menaruh dagunya di leherku.
“Jangan pernah kesana lagi, jangan pernah menemuinya.” Ternyata dia masih membahas hal yang menurutku tidak penting lagi untuk di bahas.
“Jika ada yang penting tentu aku akan datang lagi.” Jawabku seenaknya. Dengan cepat Nathan melepas pelukannya dan langsung duduk di pinggir ranjangku dengan wajah yang di tekuk. Aku hanya menggeleng melihat tingkahnya, kudekati dia dan memeluk kepalanya.
“Aku mencintaimu.” Kataku dengan sungguh dan mengecup puncak kepalanya. Dia mendongak menatapku, mencari kejujuran di mataku dan aku yakin dia menemukannya.
Kurasakan bibirnya yang kenyal melumat bibirku. Aku membalasnya dengan kasar tapi penuh kelembutan. Kucengkram bagian belakang kepalanyamemperdalam ciuman kami dia semakin beringas melumat bibirku dan meraba tubuh telanjangku.
“Aku ingin melakukannya.” Ucapnya saat ia melepaskan ciuman panas kami. Aku menatapnya meyakinkan apa benar kita harus melakukannya sekarang. “Aku yang akan menerima sakitnya.” Dia mengira aku masih takut denga rasa sakit itu, tapi bagiku semua itu sudah tidak penting. Walau sakit jika itu membuatnya bahagia akan ku lakukan.
“Aku tidak akan menyakitimu.” Ucapku langsam dengan mencubit dagunya.
“Kumohon,” Kali ini wajahnya memelas. Aku menghembuskan nafas, mencari apa yang ku inginkan.
“Baiklah, kita akan lakukan tapi kita bergiliran karena aku juga ingin merasakan sakit yang kamu rasakan.” Kulihat dia mengangguk antusias.
Aku mendorong tubuhnya hingga tertidur dan menindihnya, melepas kaus putih yang membungkus tubuhnya dan kembali melumat bibirnya yang selalu membuatku mencandu.
***