It looks like you're new here. If you want to get involved, click one of these buttons!
Copyright 2021 Queer Indonesia Archive. See our Privacy Policy. Contact us at [email protected]
Dengan menggunakan situs ini berarti Anda setuju dengan Aturan Pakai.
BoyzForum.com adalah situs anti pedofilia!
Comments
FYI gays, harusnya mantannya Rudy. mau edit signal lagi senin kemis
Makasih ya bang @bigaju udah dimention
Akhirnya aku mengetahui siapa dibalik akun anonim di Grindr, sudah beberapa minggu juga kami berkomunikasi. Kantornya hanya beda lima gedung dari tempatku. Mengingat kami memiliki banyak kesamaan, bahkan bukan tidak mungkin kami pernah bertemu, atau sekedar berpapasan, sebelumnya.
"Udah sarapan?" dia bertanya lewat pesan yang masuk.
"Belum," jawabku singkat.
"McD sebelah?"
"Ok."
Sepuluh menit kemudian, kami sudah berhadapan, menghadapi sarapan tidak sehat kami masing masing. Ini bukan pertemuan pertama kami, kalau sekedar bertemu dan nongkrong bersama, mungkin kalau kuhitung sudah dua atau tiga kali.
"Gimana kerjaan?" tayaku setelah menelan nasi.
"Kayak biasa, hectic gak abis abis. Lu sendiri?"
"Masih sama, lembur tiap hari." Kemudian kami berdua tertawa bersama.
"Weekend ini free?" tanyanya. "Ada pameran buku di Senayan."
"Tentang?"
"Yah buku umum, kali aja ada yang menarik."
"Gue pikir buku religi. Tahun kemarin gue kesana pake celana pendek sama kaos v-neck diliatin mulu sama pengunjung lain."
"Ye, lu nya yang dudul."
Aku terkekeh sendiri mengingat saat itu. Saat aku masuk ke dalam ruang pameran, saat itu juga aku merasa salah. Hal yang membuatku tidak bisa pergi adalah karena aku sudah berjanji menemani temanku yang harus membuat liputan disana.
"Jadi, mau gak?" tanyanya menyadarkanku kembali.
"Boleh aja. Mau nyari buku genre apa emang?"
"Fiction berbau sihir, kalau ada."
"Macem Harry Potter, Narnia, dan Spiderwick?"
"Kurang lebih yang seperti itu. Lagi bosen sama romance."
"Hahaha, laki banget lu baca romance."
"Penggemar Agatha Christie banyak yang laki kok. Lu sendiri, udah beres baca Max Havelaar?"
Aku sempat heran darimana dia tahu aku sedang membaca buku itu, sampai akhirnya aku teringat sempat bercerita dengan dia di awal perkenalan kami di Grindr.
"Berhenti di tengah jalan, plotnya terlalu monoton dan terlalu banyak bunga bunga."
"Anggrek? Mawar? Melati?"
Aku tidak menjawab, hanya memasang muka jengkel saat itu.
"Iya sorry, bercanda. Yah, mungkin hanya gaya sastra jaman itu dimana terlalu banyak bunga bahasa dalam karangan. Trus, sekarang, mau baca apa?"
"Mungkin mau baca sastra klasik Indonesia, atau malah mungkin novel NH Dini atau Pramoedya Ananta Toer."
"Si PKI itu?" tanya Ryan.
"Geez, lu masih percaya aja rumor itu. Masak sejarah yang dipelintir kayak gitu lu percaya aja."
"Iya gue percaya sejarah itu ditulis oleh pemenang, sementara pecundang akan selalu ditulis sebagai penjahat. Tapi lu juga tau kalau susah mengubah dogma yang sudah ada di masyarakat."
Omongan Ryan betul juga, tidak banyak masyarakat yang punya akses ke informasi yang benar. Apalagi dengan tingkat pendidikan yang rendah, sejarah dan folklore kerap kali bercampur tanpa ada pemisah yang pasti.
Handphone ku bergetar, dari pesan yang muncul di halaman muka, sepertinya aku harus kembali ke kantor. Aku mengambil gelas kertas berisi teh panas yang masih setengah, kemudian membersihkan sisa nampan kami.
"Sorry harus balik duluan, bos udah nungguin kayaknya, " kataku sambil menuruni tangga.
"Gakpapa, gue juga harus balik. Kerjaan di kantor masih banyak," jawab Ryan lesu.
"Ok, take care ya. Jangan lupa Sabtu pagi."
"Lu juga, hati hati."
Aku menoleh ke arah Ryan dan tersenyum, lalu mengedipkan kedua mata sejenak. Kalau sudah seperti itu, dia lalu tersenyum hingga terlihat giginya yang berderet rapi.
Aku bangun saat sinar matahari sudah masuk melalui celah gorden kamar. Saat semalam orang mengakhiri Jumat dengan pesta dan clubbing, aku masih harus lembur hingga jam sepuluh lebih. Kalau aku tidak lembur, sepertinya hari Sabtu ini masih harus masuk juga. Kantor tempatku bekerja memang enak, suasana keleluargaannya terasa, ditambah pengalaman baru yang tidak sedikit, tapi beban kerja yang makin menggila sepertinya mulai menggoyahkan loyalitasku.
Kulihat jam meja di samping tempat tidur. Jam tujuh lebih lima, artinya masih ada waktu sekitar satu jam sebelum harus ke Senayan. Aku duduk sebentar di kasur, mengumpulkan kesadaran yang masih berceceran di antara tumpukan bantal dan selimut. Kuraih HP di atas meja, ada beberapa pesan masuk, tapi langsung kubuka pesan Ryan ketika kulihat namanya disana.
"Ntar jadi kan?" kemudian kubalas singkat.
"Jadi."
Masih setengah ogah ogahan, aku menarik handuk dan ke kamar mandi. Saat ini aku percaya dengan pepatah asing yang berkata , 'Semua hal sebelum jam sembilan pagi itu tidak nyata.'
Untunglah lalu lintas tidak terlalu ramai. Hanya butuh setengah jam untuk sampai di lokasi pameran, sudah termasuk memutar menghindari Thamrin karena motor dilarang lewat, masuk jalur lambat di Sudirman, terkena penyempitan jalan karena proyek MRT, putar balik di Bundaran Senayan, hingga mencari parkir di lokasi.
HP ku bergetar, rupanya Ryan sudah sampai di lokasi. Begitu kupastikan motor terparkir dengan benar, aku menuju ke dalam lokasi pameran. Aku sempat celingukan di dalam hall, karena tidak tahu dimana Ryan, sampai dia turun dan menghampiriku.
"Gue sampe capek lambaiin tangan ke lu, lu nya gak lihat."
"Hahaha, maaf. Gak kelihatan, pengunjungnya juga banyak. Lebih banyak daripada pameran tahun lalu kayaknya."
"Iya, jangan lama lama ya. Pusing lihat ramai ramai kayak gini. Ke tempat lu aja gimana?"
"Boleh, emang udah dapet bukunya?"
"Nih," kata Ryan sambil mengangkat tas plastik di kedua tangannya.
"Lah? Kok bisa? Kan janjian jam 8.''
"Hehehe, tadi abis lari di GBK sekalian kesini. Ngademin badan sambil liat buku, eh ada diskon di stand Gramed."
"Yaudah gue nyari buku yang gue cari bentar ya."
Ryan membuka kresek di tangan kanannya, tiga buah buku Pramoedya Ananta Toer menyembul dari ujung plastiknya.
"Masak ini juga diskon?"
"Nggak sih. Temen gue ikut jaga stand, jadi pinjem kartu dia dapet diskon buat karyawan Kompas Gramedia."
"Trus ini gue harus bayar berapa?"
Ryan tidak menjawab, tapi malah medorongku untuk keluar sambil berbisik.
"Yang penting ke tempat lu aja, gue mau numpang mandi."
Tanganku masih memencet tombol remote untuk mencari acara TV yang kupikir menarik. Sayangnya dari Fox Movies Premium, HBO, Fox, Starworld, NatGeo, bahkan BBC lifestyle, acaranya tak satupun menarik. Hingga akhirnya kubiarkan tetap di Channel [V], memutar lagu yang hampir semuanya sudah kuhafal karena diputar tiap hari. Tak kusadari Ryan sudah keluar dari kamar mandi sambil bersenandung lagu yang sedang diputar, hanya mengenakan celana boxer sambil bertelanjang dada. Bulu bulu dadanya yang halus membuatku geli, kemudian melemparinya dengan kaos oblong dan celana boxer.
"Nih pake, bersih kok."
"Nah gitu dong, perhatian," jawab Ryan santai.
Ryan duduk di sebelahku, memangku bantal sambil memegang cangkir teh di tangan kanannya.
"Yan, buku yang ini kok kemasannya sobek ya? Yakin gak salah beli?" kataku sambil mengamati salah satu buku dimana plastik film yang membungkusnya sobek lebar.
"Masak? Coba buka, cacat gak?" jawab Ryan sekenanya.
Jawaban Ryan yang sekenanya membuatku berpikir, apakah memang masalahnya sesederhana itu, atau aku yang terlalu khawatir? Kurobek plastik film mulai dari bagian robek yang ada, karena aku memegang buku dengan tidak rapat, buku terjatuh ke lantai dengan posisi tengkurap.
Saat kupegang punggung buku untuk mengangkatnya, ada kertas putih yang tertinggal di lokasi buku terjatuh. Ryan yang sedang minum teh sambil memainkan remote TV hanya senyum senyum sendiri. Aku penasaran dengan kertas putih itu dan membukanya. Isinya adalah pengakuan dan proposal paling blak blakan yang belum pernah kubaca sebelumnya.
Aku memegang tangannya hingga dia menoleh. Jika saat itu kami sedang direkam, mungkin kami lebih mirip sepasang orang gila yang sedang pamer senyum di adegan film Bollywood. Aku mengangguk dan mendekatkan wajahku ke arahnya. Saat aku akan mencium bibirnya, kacamata kami beradu sehingga kami tertawa lepas berdua. Aku berdiri, meletakkan kacamataku di meja di sudut meja.
mention balik buat unsubscribe
Penasaran itu proposal penembakan gimana bunyinya ;;)