Author : Spongedictator (Kim Chi Hee)
==================================
DRAPP DRAPP DRAPP
Suara langkah kaki yang beradu dengan lantai dingin rumah sakit meramaikan suasana. Tak sedikit orang yang memperhatikannya dengan pandangan tidak suka. Berkali-kali ia sudah ditegur dan diteriaki, walaupun begitu ia masih setia melangkahkan kakinya dengan cepat dan sangat berantakan, menimbulkan bunyi berisik yang menggema.
Bocah laki-laki dengan potongan rambut pendek serta poni yang menutupi dahinya, kacamata minus dengan bingkai hitam tebal yang terpasang di depan matanya; itulah si pelaku pembuat kegaduhan di lorong rumah sakit.
Napasnya tersengal saat kakinya berhenti berlari tepat di depan sebuah pintu kamar rawat inap. Bocah laki-laki itu sedikit membenarkan letak kacamata yang menggantung di hidungnya sebelum ia memutuskan untuk masuk ke dalam sana.
Ia memutar knop pintu dengan perasaan was-was. Begitu banyak pertanyaan dan pernyataan macam-macam yang kini berkeliaran di pikirannya. Ia menggelengkan kepalanya pelan, berusaha untuk mengenyahkan pikiran idiot yang ada di kepalanya. Menggigit bibir perlahan, akhirnya ia berani untuk mendorong pintu itu ke dalam.
“Mama?”
Satu kata yang meluncur dari mulutnya setelah melihat sesosok wanita cantik yang tengah terduduk di atas bangsal rumah sakit. Kondisinya tidak terlalu parah, hanya lilitan perban yang menghiasi kepala dan juga gips yang menyangga tangan kanannya.
Bocah lelaki itu melangkah masuk ke dalam.
“Endi kesini ayo…” Seru wanita itu ramah.
Endi, nama bocah itu. Ia berjalan mendekat dengan wajah tertekuk. “Mami pasti kepeleset deh. Kebiasaan.” Semburnya gemas.
”Hehe maaf ya…” Wanita itu hanya nyengir kuda melihat wajah anaknya yang tertekuk sebal.
Endi mendudukan dirinya di atas ranjang, tepat di samping ibunya. “Kalau bukan mama, pasti tangannya udah Endi pencet dari tadi. Suka banget sih bikin khawatir orang.”
“Eh jangan!” Seru wanita itu cepat saat melihat tangan Endi yang hampir menyentuh tangan kanannya.
“Makanya, gak hati-hati sih.”
“Iya maaf deh,” Ibunya teratawa lagi, “Oh iya, Endi, mama mau jus nih! Tolong beliin yah.”
“Hm? Jus? Emang mama boleh minum begituan?”
“Ya bisa lah… Okeh baby, manisku, sayangku. Belikan yah, dua.” Wanita itu mencubit pipiEndi gemas.
“Mama, Endi udah gede dan lagi Endi itu laki-laki, Ma. Laki-laki.” Endi menggerak-gerakan bibirnya yang berkedut kesal.
“Loh, emang yang nyebut Endi anak perempuan siapa?” Ibunya dengan cepat mengangkat tangan ketika Endi hendak melangkan protes, “Udah cepat sanah. Go… Go…”
“Okeh…”
Endi melompat turun dari atas ranjang, sebelum ia keluar dari kamar itu ia sempat meninggalkan terlebih dulu tas selempangnya di atas kursi. Begitu juga dengan blazer sekolahnya yang tadi sempat ia lepaskan.
Bocah lelaki menggulung lengan kemejanya hingga siku sambil terus berjalan ke arah pintu. Ia membuka pintu itu pelan, lalu detik berikutnya ia telah hilang dibaliknya.
“***”
Di sisi lain, seorang anak laki-laki yang menggunakan piyama rumah sakit berjalan lambat-lambat sambil menenteng selang infus di tengan kirinya. Bibirnya terus menunjukan senyum rupawan saat ia melewati siapa saja, tak jarang pula ia menyapa para perawat atau dokter yang telah dikenalnya. Kakinya terus melangkah menuju lift.
Matanya melirik keatas saat bunyi dentingan yang menandakan sebentar lagi pintu lift akan terbuka. Ia kembali menurunkan pandangannya ketika pintu lift sudah terbuka lebar di hadapannya.
Dengan hati-hati ia melangkah masuk ke dalam sana. Merasa tidak ada orang lain lagi yang akan masuk ke dalam lift, ia mengulurkan tangannya menuju panel pengatur lift, berniat untuk menekan tombol close.
Beberapa detik berlalu pintu lift perlahan menutup, namun tiba-tiba saja seorang bocah laki-laki berlari menerobos masuk ke dalam tanpa perhitungan matang. Dengan kecepatan lari yang tinggi tapi sayangnya tak ada pengendalian sama sekali, bocah itu menubruknya hingga mereka berdua jatuh terjengkang.
Botol infus yang ia pegang terlempar jauh hingga mengakibatkan jarum infus yang menusuk lipatan siku lengan kanannya sedikit terlepas hingga mengeluarkan tetes demi tetes darah dari sana.
“Aduh…” anak laki-laki itu merintih.
”Kamu gak apa-apa?” Bocah lelaki yang tadi dengan sangat tidak sopan menabraknya merangkak maju untuk melihat keadaannya.
“Maaf ya.” Katanya lagi sambil menjulurkan tangannya, berniat untuk menyentuh jarum infus yang hampir terlepas dari kulitnya.
“Jangan dipegang, ini perih.” Sergahnya cepat sebelum tangan bocah lelaki itu menyentuh luka di lipatan sikunya.
Bocah lelaki itu menaikan kacamata yang menggantung di hidungnya yang tadi sempat melorot, “Maaf, sakit ya?”
“Nggak apa-apa.”
“Aku Endi. Nanti setelah pintu liftnya terbuka kita ke tempat suster ya. Infus kamu itunyeremin banget!” Seru bocah lelaki itu cepat. “Kalo nama kamu siapa?”
“Jovi.” Jovi bangkit dari jatuhnya diikuti juga oleh Endi. Sebelumnya, ia juga sempat mengambil botol infus yang tergeletak di lantai.
Sejenak mereka terdiam, tidak ada yang bersuara sebelum suara denting lift yang menandakan mereka telah sampai di lantai tujuan.
Jovi melangkahkan kakinya terlebih dahulu keluar dari lift, tapi dengan cepat Endi mencegahnya, “Tunggu, infus kamu itu harus dibetulin dulu. Nanti bahaya.”
“Aku emang niatnya mau ke ruang suster kok.”
“Oh… gitu. Mau aku temenin gak?”
Jovi menatap Endi yang tengah menatapnya dengan pandangan menunggu. Karena dia adalah orang yang selalu diajari untuk menghargai usaha orang, mau tidak mau dia meneriman tawaran anak itu. padahal sebenarnya ia bisa pergi sendiri dan untuk saat ini dia tidak ingin diganggu sama sekali.
Sambil mendesah panjang Jovi mengangguk setuju, “Tapi nanti beliin aku roti ya. Aku laper.”
“Eh?” Endi mengerutkan alisnya bingung, “Jangan ngambil keputusan sendiri dong. Aku gak bawa uang lebih nih.”
Endi kemudian cemberut. Jujur saja, dia cuma bawa uang pas untuk memeli jus pesanan ibunya.
“Bohong”
“Gak bohong! Nih liat ya.” Endi merogoh kantung celananya. Ia membatu sesaat saat ia sama sekali tidak merasakan dompetnya. Tapi dia tidak mau buruk sangka dulu, dengan optimis dia meraba lagu kantung celana, begitu juga dengan saku kemeja sekolahnya, “Eh, kok nggak ada ya?”
“Apanya?”
“Dompetnya nggak ada. Aku jatuhin kemana ya?” Endi merunduk dengan refleks. Dia yakin sekali sebelum kesini dompet itu masih ada.
Melihat Endi yang sepertinya tengah kesulitan, membuat Jovi agak kasihan. Akhirnya dengan terpaksa dia ikut mencari juga.
“Dompet kamu warnanya—“ belum sempat Jovi menyelesaikan kalimatnya, Endi sudah lebih dulu berlari kembali kearah lift.
“Ah! Dompetnya pasti di dalem lift!” Endi menjerit histeris sambil menggedor-gedor pintu lift.
“Kamu serius dompetnya dalem lift.”
“Serius! Tadi tu sebelum masuk lift dompetnya masih ada! Ah, Dompetnyaaaaaaaaaaa…” Endi menjerit panik. Karena suaranya yang begitu kencang, dengan terpaksa Jovi membekap mulutnya.
“Sssttt… Ini rumah sakit bego.”
“Hahi homhetnyah? (tapi dompetnya?)” kata Endi sambil berusaha melepaskan bekapan tangan Jovi pada mulutnya.
“Kita bisa cari okeh.”
***
Rencana awal mereka berdua akhirnya harus tertunda oleh aktivitas mencari dompet. Mereka harus rela berlari menaiki tangga darurat dan juga melapor pada resepsionis rumah sakit untuk mempermudahkan mereka mencari dompet Endi.
“Ini dompetnya. Lain kali hati-hati.” Resepsionis rumah sakit menyerahkan dompet milik Endi yang tadi ditemukan oleh salah satu pengunjung rumah sakit yang baik hati.
Endi membuka dompetnya dengan khawatir, hingga akhirnya ia bernapas lega saat melihat kondisi dompetnya yang utuh tanpa cela.
Jovi melongokan kepalanya tepat di sebelah bahu kanan bocah itu karena penasaran, “Emang isinya banyak?”
Merasakan hembusan nafas serta suara bass berat dekat Endi menolehkan kepalanya cepat. Kalau tidak dengan kesigapan Jovi yang dengan segera menjauhkan kepalanya, bisa dipastikan bibir mereka berdua akan bersentuhan begitu saja.
“Bukan isinya sih sebenarnya. Ini dompet hadiah ulang tahun dari papa.” Endi mengacung-acungkan dompetnya tepat di depan wajah Jovi dengan senyum merekah.
“Oh… Kirain isinya banyak. Siapa tau aja tadi kamu bohong.”
“Dibilangin aku nggak bohong!”
Jovi tidak membalas. Ia malah merangkul pundak Endi tanpa basa-basi. Kalau dilihat seperti ini, perbedaan tinggi antara dia dan Endi jauh sekali. Endi tadi sempat misuh-misuh sendiri setelah mengetahui fakta kalau dia kalah tinggi.
“Kita mau kemana?” Tanya Endi bingung ketika Jovi membawanya entah kemana.
“Ke kantin. Aku laper, mau makan. Tapi kamu yang beliin.”
“Jangan seenaknya dong!” Endi meninju kasar bahu Jovi.
“Aduh.”
Endi hampir saja ingin kembali meninju lengan Jovi, namun niat itu ia hentikan saat melihat ada darah yang menetes hingga jatuh mengotori lantai. Bocah itu melotot kaget saat tahu darimana darah itu berasal.
“Jovi! Tangan kamu berdarah lagi!”
“Eh? Kenapa?” Masih dengan tampang bodohnya Jovi mengangkat tangannya. Betapa terkejutnya dia melihat darah yang mengalir dari sana.
Sepertinya mereka lupa dengan masalah jarum infus Jovi yang kini sudah terlepas sempurna.
“Aku lupa.” Jovi menggaruk-garuk pelipisnya sambil cengar-cengir tanpa dosa.
“Bego. Masa begitu aja bisa lupa. Kamu bisa infeksi tau.” Dengan cepat Endi menahan pendarahan yang keluar dari tangan Jovi menggunakan sapu tangan miliknya.
”Iya. Iya. Tapi nanti beliin makan ya.”
“Masih dibahas yang tadi?” Endi melengos malas, “Ya udah, nanti aku beliin.”
***
“Mama… Aku sudah beli jusnya!” Endi membuka pintu kamar rawat yang ditempatinya dengan agak kesusahan. Pasalnya dua tangannya kini tengah menenteng dua bungkusan besar.
Jangan ditanya mengapa Endi bisa membawa bungkusan besar kalau ia hanya membeli dua gelas jus. Alasannya karena Jovi lah yang akhirnya mentraktir Endi dengan membelikannya dua kotak makan siang jumbo lengkap dengan minumannya.
“Mama?”
”Eh? Emangnya tadi mama nyuruh kamu beli itu?” Ibunya bertanya heran ketika ia melihat dua tentengan kantong plastik besar yang dibawa oleh anaknya.
“Ceritanya panjang. Tapi ini aku dibeliin sama orang.”
“Siapa?”
Endi membatu sesaat.
Dia lupa nama anak itu siapa. Yang dia ingat hanya inisial depannya saja, “Si-siapa ya? Endi lupa.”
“Oh ya udah, terserah mau dari siapa. Sinih… Sinih… Kita makan.”
“Oke..”
***
“Cie. Ada yang seneng nih, abis ketemu sama suster cakep pasti.”
Jovi membiarkan saja ketika seorang anak laki-laki berkacamata dengan tampang seratus persen mirip dirinya bicara. Dia bahkan diam saja ketika anak itu mendekati di atas ranjangnya dan kemudian duduk di sampingnya.
“Ngapain sih senyum-senyum gitu? Kamu nggak salah minum obat kan?” anak itu bertanya lagi ketika Jovi hanya menatap lurus kedepan dan tersenyum lebar tanpa merespon apa-apa.
“Jov!” Anak laki-laki itu kemudian menoyor pelan kepala Jovi. Entah mungkin karena Jovi sedang tidak sigap atau karena alasan lain, Jovi malah jatuh terlentang di atas kasurnya masih tetap tatapan menerawang ditambah cengiran bodoh yang menghiasi wajahnya.
“Jovi, serius aku takut nih. Jangan becanda dong. Rumah sakit kan serem.” Seru anak laki-laki itu cemas.
“Dia lucu…” Tiba-tiba saja Jovi buka suara dan tertawa tanpa alasan.
“Apanya?” Balas anak laki-laki itu dengan dahi berkerut bingung.
“Dia lucu deh.” Jovi buru-buru bangkit dari rebahnya, “Jevan, kamu kembaran aku kan, coba tebak aku kenapa?”
Jevan mengangkat sebelah alisnya bingung. “Kenapa emangnya? Kalo gila nggak usah ngajak-ngajak.”
“Sembarangan.” Jovi mendecih sinis, “Kamu kan kembaran aku. Masa nggak tau sih?”
Kerutan di dahi Jevan makin terlihat dalam. Ia lalu berdecak sebal, “Kita kan emang kembar, tapi Cuma fisik aja yang mirip, dan bukan mental! Lagian aku bukan Mama Loren yang bisa baca pikiran orang.”
“Tapi, Van.” Jovi sekarang malah merajuk. Ini yang Jevan tidak suka dari sifat kenmbarannya. Dia itu agak manja.
Jovi kemudian melemparkan bantal ke arah Jevan yang dengan mudah dapat ditangkap oleh kembarannya itu, “Gak seru ah, gak seru.” Ia kembali merebahkan tubuhnya.
“Kamu itu kenapa sih?” Tanya Jevan senewen. Dia itu adalah tipe orang yang sangat mudah emosi jika sedang penasaran seperti ini.
Karena Jovi sudah terbiasa dengan emosi naik turun Jevan, dia tidak segera menjawab pertanyaan kembarannya itu. Alih-alih bersuara, anak itu malah memberikan sapu tangan berwarna coklat dengan noda darah yang menghiasi sebagian besar permukaannya.
Jevan yang menerima benda asing berbau anyir itu kembali mengernyit bingung, “Ini apaan? Ini darahnya siapa?” tanyanya dengan nada suara yang bergetar. Dia takut kalau terjadi apa-apa pada kembarannya.
“Darah aku.”
“Ha?” Jevan berdiri dengan kalap. Ia nyaris saja memencet bel darurat, tapi untung dengan cepat Jovi menghalanginya.
“Tunggu dulu, Van.”
“Kenapa lagi sih? Kamu berdarah. Kamu itu kambuh lagi.”
“Siapa yang kambuh sih?” dengan tenang Jovi mengajak kembarannya untuk duduk kembali, “Dengerin orang ngomong dulu dong.”
“Aku udah dengerin dari tadi! kamu malah ngasih sapu tangan berdarah begini.”
Jovi nyengir lima jari saat melihat ekspresi tegang saudara kembarnya, “Iya deh maaf. Ng—aku udah punya temen loh.”
Wajah tegang Jevan mendadak berubah setelah mendengar ucapan Jovi, “Ha?”
“Iya. Temen.” Jovi mengangguk-angguk serius.
“Siapa namanya?” tanpa sadar Jevan tersenyum lembut. Dia tentunya tahu kondisi kembarannya yang penyakitan dan tidak pernah merasakan bermain seperti anak-anak lain, menyulitkannya untuk berteman.
Karena teman seumur hidup yang Jovi punya hanyalah Jevan seorang.
Jovi tersenyum tulus sebelum berkata, “Namanya Endi. Dan dia berkacamata kayak kamu.”
==================================
Hahaha... aku baru pertama kali nulis disini. Mungkin ini pasaran, tapi siapa tau aja ada 'gantungan' di cerita ini. Ngomong-ngomong boleh minta kritik kan? ahahaha
Gimana. dilanjutkan atau tidak? (sok banget ah) hahaha makasih yang udah mau baca >.<
Comments
gak juga sih... hahaha mungkin akan terjadi 'gantungan' //dor... tapi makasih udah mau baca ><
cliffhanger gitu, siapa tau aja happy ending, aku juga masih galau mau nentuin endingnya hahaha
Sipp bookmark, kelar belajar ntar baca ;;)
Ahahaha iya. Iya XD nanti aku minta kritik dan saran ya XD
lanjuutt..
Endi unyu banget nih kayaknya,
Lanjuut lanjuuut><)/
Wajib mention!