It looks like you're new here. If you want to get involved, click one of these buttons!
Copyright 2021 Queer Indonesia Archive. See our Privacy Policy. Contact us at [email protected]
Dengan menggunakan situs ini berarti Anda setuju dengan Aturan Pakai.
BoyzForum.com adalah situs anti pedofilia!
Comments
“Jovi… Jovi… bangun!” Jevan menggoyang-goyangkan tubuh kembarannya pelan.
Dia berdecih sebal. Mulai sekarang dia tidak akan mau percaya seratus persen dengan ucapan kembarannya itu. Padahal tadi Jovi sendiri yang bilang kalau dia tidak akan tidur, tapi nyatanya baru setengah jam setelah makan malam, anak itu sudah mendengkur macam kucing kekenyangan.
“Jovi bangun dong! Kalo gini aku pulang aja deh.”
“E-eh iya.” Jovi yang nyawanya masih terasa di awang-awang mendudukan dirinya di atas sofa yang tadi sempat ditiduri olehnya. Matanya masih terbuka separuh, rambutnya acak-acakan, dan bahkan piyama pasien yang dikenakannya kancingnya terbuka setengah.
Jevan hanya bisa mendengus memandangi penampilan saudara kembarnya itu. Yang dia tahu, Jovi memang tipe-tipe manusia yang brutal saat tidur.
“Mama sama papa besok pulang. Kak Susan lagi nginep di rumah oma. Jadi terpaksa aku nginep di sini.” Kata Jevan meletakan ponselnya di atas meja. Dia merasa informasi yang dikirimkan oleh sepupunya tadi harus segera dibagi pada kembarannya, walaupun dia tahu Jovi pasti tidak akan merespon.
“Kamu bangunin aku cuma mau ngasih tau itu doang?” Jovi mengucek-ngucek matanya pelan kemudian bangkit dari duduk dan berjalan menuju tempat tidur pasien, “Aku tidur lagi aja deh.”
“Ih bukan itu!” sebelum punggung Jovi menyentuh permukaan kasur, Jevan sudah terlebih dulu menarik tangannya hingga anak laki-laki itu duduk tegak kembali.
“Kenapa sih? Aku juga udah tau kok mama sama papa bakalan pulang besok. Dari kemarin-kemarin juga sebelum pergi mama udah ngasih tau!” kata Jovi sambil cemberut. Dahinya yang berkerut dalam secara tidak langsung menyatakan kalau dia itu kesal dan emosi.
Melihat tampang kesal kembarannya, mau tidak mau membuat Jevan melepaskan cengkeraman tangannya. Mengetahui kesempatan ini dimanfaatkan oleh Jovi untuk kembali merebahkan dirinya di atas tempat tidur.
Jevan melirik Jovi sekilas yang kini sedang mencoba untuk tidur lagi, “Kamu katanya mau ngenalin aku sama Endi.”
“Eh?” mendengar ucapan Jevan tadi membuat Endi tersadar seratus persen. Dengan cepat dia melompat turun dari tempat tidur, “Ah iya! Aku lupa. Ayo!”
“Beresin dulu lah rambut kamu. Kamu udah kayak habis dikejar Molly.”
“Haha! Molly udah gak ada juga…” Jovi tertawa dengan terpaksa. Dia tentu ingat siapa itu Molly. Molly adalah anjing manis milik tetangga jenis golden retriever yang pernah mengejar-ngejar dirinya beberapa tahun lalu. Padahal niat anjing itu hanya ingin mengajak Jovi bermain, tapi dia yang masih umur lima tahun malah menganggap kalau Molly sedang mencoba untuk menggigitnya. Dan semenjak saat itu Jovi paling anti dengan makhluk berbulu itu.
Jevan terkekeh melihat reaksi kembarannya. Itu kejadian yang terjadi empat tahun lalu tapi kembarannya itu masih juga merinding ketika mendengar nama Molly? Luar biasa.
Jovi yang baru saja ingin masuk toilet untuk berkaca menghentikan langkahnya, kemudian ia berbalik, “Oh iya, aku pinjem sisir dong.”
“Aku gak bawa-bawa benda begituan. Aku bukan Kak Susan yang ganjen.”
“Kalo nggak bawa, nggak usah ngatain Kak Susan juga. Nanti kalo orangnya tau, kamu bisa digantung di teralis balkon lho!” Jovi terkikik geli. Menggoda kembarannya itu salah satu obsesi pribadi.
Jevan mendengus, “Kamu pasti yang bakal ngadu sama Kak Susan.”
“Iya.” Dan Jovi tertawa lagi.
“Udah sih jangan kebanyakan ketawa. Nanti nangis.”
“Aku nggak cengeng kali.”
“Dikejar Molly kamu nangis sampai pagi.”
“ITU DULUUUUU!”
Kini giliran Jevan yang tertawa. Dia maju mendekati kembarannya kemudian dengan telaten merapikan rambut hitam pendek kembarannya dengan tangan, “Udah tuh.”
“Sip.”
***
“Kamar 4109 kritis! Panggil doker jaga.”
Jovi merasa aneh ketika mereka berdua sudah sampai di lantai tempat di mana ibunya Endi dirawat karena beberapa orang perawat berlarian dalam lorong rumah sakit. Bahkan tadi dia juga sempat mendengar pembicaraan mereka yang mengatakan bahwa seorang pasien tengah sekarat.
“Mereka kenapa sih?” Tanya Jevan yang berjalan di sampingnya dengan wajah penasaran.
“Kayak kamu nggak pernah ke rumah sakit aja sih.”
“Ye. Aku kan nanya. Emangnya nggak boleh?” Jevan menggerutu.
“Eh Van, tadi kamu denger pasien yang kritis nomer berapa?”
Jevan melengos. Dia sepertinya masih menaruh dendam atas godaan Jovi tadi, “Nggak tau.”
“Haha! Becanda dong sih tadi. maaf deh.” Kata Jovi di sela-sela tawanya. Dia sengaja menarik-narik ujung baju seragam Jevan sambil memasang muka cemberut. Dia tahu, kalau dia sudah berekspresi begini, pasti Jevan bakal langsung luluh.
“Iya.”
Tuh, kan.
Jovi lalu tertawa lagi.
“Nomer yang aku inget sih tadi 4109.”
“Eh?” Jovi mendadak kaku. Seingatnya, itu nomor kamar ruangan inap ibunya Endi. Dia berdoa dalam hati semoga bukan ibunya Endi yang sedang kritis itu.
“Kamu kenapa? Sakit? Balik lagi aja deh.” Belum sempat Jevan menutup mulut, Jovi sudah lebih dulu menarik tangannya, “Kamu kenapa sih?”
“Itu kamar mamanya Endi!”
“Apa?”
“Kamar mamanya Endi!”
Mereka berdua berlari di sepanjang lorong dan kemudian berhenti tepat di depan kamar yang dituju. Di sana. Tepat di dalam kamar rawat itu Jovi bisa melihat Endi yang tengah menangis terisak-isak di dalam gendongan ayahnya.
Tanpa ragu Jovi masuk ke dalam sana meninggalkan Jevan di depan pintu, “Endi…” panggilnya pelan, namun ternyata suara yang dikiranya tidak terdengar, ternyata mampu membuat orang di sana menoleh, begitu juga dengan Endi.
“Jovi!” Endi memaksa turun dari gendongan ayahnya. Setelah itu ia langsung menghambur kea rah Jovi dengan berurai air mata.
Mengerti dengan keinginan Endi, Jovi melebarkan kedua tangannya untuk memeluk tubuh kecil Endi. Dielusnya lembut punggung mungil itu untuk menenangkan, “Jangan nangis. Kalo kamu nangis begitu aku jadi sedih.”
Bukannya berhenti, Endi malah semakin menjadi. Isakan kecil yang keluar dari mulutnya berubah menjadi raungan tangis yang menyedihkan.
“Endi. Udah ya jangan nangis.” Jovi berusaha tenang. Melihat air mata Endi membuat hatinya sakit.
“Tapi mama udah gak bakal buka mata lagi!” Endi mencengkeram erat piyama yang dikenakan oleh Jovi.
“Iya aku tau. Tapi kalo liat kamu nangis. Aku jadi pengen nangis nih.” Jovi mengusap sudut matanya yang sudah basah dengan air mata. Ia kemudian menoleh ke belakang, tepat di mana saudara kembarnya berdiri tidak bersuara.
Jevan yang sepertinya tadi sempat terlupakan pun akhirnya masuk ke dalam. Dia melepaskan tangan Endi yang melingkari punggung Jovi dengan pelan, kemudian tanpa aba-aba dia meraih tangan Jovi lalu menyeretnya keluar, “Jovi harus balik ke kamar sekarang.”
Jovi sakit apa ya?
Jovi sakit apa ya?
mungkin ada sesuatu hahaha
oh haha ini kan remake fanfic. ternyata masih yak hahaha