BoyzForum! BoyzForum! - forum gay Indonesia www.boyzforum.com

Howdy, Stranger!

It looks like you're new here. If you want to get involved, click one of these buttons!

Selamat datang di situs Boyzforum yang diarsipkan oleh Queer Indonesia Archive. Forum untuk komunitas gay Indonesia yang populer ini didirikan pada tahun 2003, dan ditutup pada tanggal 15 Desember 2020.

Forum ini diabadikan untuk kepentingan sejarah. Tidak akan ada konten baru di forum ini. Silakan menikmati forum ini sebagai potongan dari sejarah queer Indonesia.

Sepenggal Cerita Di Balik Gulungan Kertas [TAMAT] [Daftar Chapter di P1]

11011131516278

Comments

  • @rika1006 sama kak rhe @cute_inuyasha masih inget aja insiden bakso itu. wkwkwk

    mario, maap yee komen gw kali ini beda sama yg laen. gw rasa chapter ini datar (atau gwnya aja ye?) tp yg gw rasa itu. tapiii part romantis antara iril sama panji dapet bgt. suka mereka jdnya #I-Pan
    tp akhir2 mulai dapet kok rasa marionya. mungkin karena chapter ini ceritain setan2 dan berburu boneka kali yaa. but don't worry, ich bin noch dein Fan.

    apakah badri secret admirer panji?
  • @uci wakaka itu bikin cerita baru ajadeh klo gitu. baca dialog bintil aja susah bgt. apalagi nulisnya. huhu

    @DM_0607 wakaka iyadeh jangan digugling tuh kunti, gw aja masih kebayang

    @balaka huhu gpp kok. cerbung yg ini mungkin feelnya bakal beda bgt sm yg sebelumnya. krna make POV Panji yg begitu sepaket dg isi kepalanya. dan cerbung ini punya 30 chapter yg puanjang jd conflict development nya lambat bgt. bahkan ada chapter yg gk penting tp sayang untuk dibuang. cerbung ini lebih kyk pengalaman sehari2 panji yg menurutnya penting. Gw suka sih kalo ada yg mau kritik apapun itu biar ada perbaikan dlm tulisan gw. Thanks bgt lah bang. Jadi makin bingung nih mau dukung siapa I-Pan, I-Baim, Panji-Badri, atau... yah siapapun bisa jd secret admirernya Panji. huhu.
  • *nengok doang*
    *pulang*
  • oow gitu. okaay.
    sama2. tp kayaknya gw gak kritik deh, cuma menyampaikan apa yg gw rasakan aja. hehehe.
    sama badri ajaa. klo iril dan baim bromance, ttm gituu, wkwkwk

    @cute_inuyasha hey kamu!! nengok2 doang. dasar kau kak
  • Iya nih,,, lagi krisis kepercayaan diri.
  • cowo aja deh yaaa *kasih wink* ;)

    hahaa... maklum ngga kuat melek malem soalnya :p

    kaka kapan upp??? q udah penasaran lanjutan nya hehee :D
  • cowo aja deh yaaa *kasih wink* ;)

    hahaa... maklum ngga kuat melek malem soalnya :p

    kaka kapan upp??? q udah penasaran lanjutan nya hehee :D
  • @muffle upp nya besok subuh ya. ini lg hang out mlm2 huhu. *semoga gk diangguin mpok kunti .. eh sm aku jg gk kuat melek mlm huhu.

    @balaka <--- satu lg fans badri muncul huhu.. iya I'm glad readers want to share their feeling after reading my story. :)

    @cute_inuyasha tumben nih krisis? gk separah krisis moneter 97-98 kan?
  • memang seharusnya bgtu kaan yo?
    hehehe
  • Horor masbro... Makasih Udh di mention lagi. Panji lope2 lahh...
  • Horor masbro... Makasih Udh di mention lagi. Panji lope2 lahh...
  • aaa~~ kita sehati \=D/

    hmm met have fun ka~~ take care yaa *lambai" :D
  • -- Chapter 2 : The Birthday Celebration --



    Thu, January 16th, Senior Year -- 04:32 a.m.

    Aku terbangun oleh suara adzan subuh yang berkumandang. Aku mengusap mataku pelan, lalu mengangkat badanku menjauh dari selimut. Ini caraku supaya tidak tergoda untuk kembali tidur. Waktu subuh itu penuh berkah. Aku harus memanfaatkannya untuk beribadah dan melakukan aktivitas yang produktif.

    Aku segera beranjak dari kasur dan melakukan sedikit peregangan untuk mengembalikan kekuatan otot-ototku. Aku memejamkan mata sejenak menikmati sensasi sederhana yang aku rasakan saat itu. Dan ketika aku membuka mata, tatapanku tertuju pada Boneka Matryoshka yang aku letakkan di meja belajarku. Sampai saat ini, hanya ada enam boneka. Tinggal satu boneka lagi, boneka yang menjadi inti terdalam, tapi ditahan dan akan diberikan di hari ulang tahunku berikutnya.

    Hmmm, harus menunggu satu tahun kalau begitu. Ah, aku benci menunggu. Aku harus mencari tahu. Perhatianku ke misteri Matryoshka memang sempat teralihkan. Karena kejadian horor malam itu, juga karena kesibukan kampus yang mulai menyita waktu. Bahkan, aku sempat berpikir untuk menyerah dan menunggu. Tapi tidak kali ini. Aku kembali kepikiran. Aku harus mencari tahu.

    Aku melirik ke arah bawah meja dimana aku menyimpan kaleng biskuit yang dijadikan kotak kado Matryoshka. Sebuah kaleng biskuit Kong Guan. Tunggu, kaleng ini... Sepertinya ada hubungannya dengan mereka. Mereka yang hari itu membuat pesta kejutan untukku.

    Bodohnya aku! Kenapa aku baru menyadarinya ya? Aku malah mencari-cari tahu siapa pengirim Matryoshka itu tanpa petunjuk yang terarah. Hanya berspekulasi. Kenapa tidak terpikir untuk melacaknya dari kaleng biskuit itu ya?

    ***


    Tue, January 7th, Senior Year -- 08:14 a.m.


    “Ril, darimana?” tanyaku ke Iril yang tiba-tiba berpapasan denganku di teras kosan.

    “Eh, dari—Dari jogging. Tadi jogging ke rotunda,” jawab Iril terbata-bata. Rasanya aneh bin tumben, karena Iril tidak biasanya keluar jam segini di hari tanpa kuliah. Normalnya, dia masih tidur-tiduran di kamarnya. Dan lebih aneh lagi karena Iril keluar untuk berolahraga pagi-pagi. Meski dia atlit, dia paling tidak suka berkeringat pagi-pagi.

    “Tumben, Ril. Ada angin apa lo keluar pagi-pagi?” selidikku.

    “Angin topan! Hahaha,” sahut Iril ngasal.

    “Kok nggak keringetan, Ril? Katanya abis jogging?” lanjutku.

    “Kan gw atlit sprint, Bray. Kalo cuma lari-lari kecil mah nggak sampe bikin keringat gw keluar. Hehehe,” jawab Iril cengengesan.

    Jawaban yang aneh. Sekalipun tidak sampai berkeringat banyak, setidaknya ada sedikit bagian bajunya yang basah, misal di area leher atau dadanya. Dan yang paling aneh adalah karena Iril masih menggunakan sendal jepit swallow-nya. Jogging macam apa pakai sendal karet begitu? Aku tahu dia sedang berbohong. Tapi aku tidak akan teruskan, aku tahu kenapa dia melakukannya.

    “Ya udah, ya, Ril. Gw mau ke kampus dulu. Ada yang mau gw urus,” pamitku ke Iril sembari melangkah meninggalkan teras kosan.

    “Eh, lama nggak?” tanya Iril tiba-tiba. Aku berbalik dan menatap Iril yang terlihat gusar.

    “Nanti abis Zuhur gw balik lagi kok,” jawabku santai.

    “Jam berapa?”

    “Jam dua-an palingan.”

    “Sama siapa?”

    “Sendirian lah.”

    “Oh, yaudah. Ntar kabarin ya kalo udah mau balik.”

    “Kenapa?”

    “Eee—gw mau nitip makan. Hehe.”

    “Yaelah, tinggal keluar cari warteg, Ril.”

    “Mager, ah.”

    “Atlit kok mager.”

    “Hehehe.”

    “Eh, Ril. Lo nggak inget hari ini hari apa?”

    “Hari apa yaaaaa?”

    Iril garuk-garuk kepala sembari berjalan masuk ke koridor kosan. Aku sempat melihat sunggingan senyum di wajahnya. Aku tahu apa maksudnya. Iril pasti mau memberiku kejutan ulang tahun. Dibantu beberapa teman. Waktunya sekitar jam 2. Dan tempatnya berada di kamar Iril. Mudah ditebak!

    Akting Iril memang payah. Oleh karena itu, saat aku membutuhkan bantuannya, aku tidak akan memintanya bermain skenario. Tapi aku akan membohonginya dulu. Biarkan dia bereaksi secara alami. Seperti pada kasus temanku, untuk membuatnya percaya bahwa aku telah meninggal, aku perlu membohongi Iril terlebih dulu bahwa aku telah meninggal. Poin plus-nya, reaksi Iril sangat lebay dan dramatis, sehingga skenario pun berjalan lancar. Ckckck.

    ***


    Tue, January 7th, Senior Year -- 02:13 p.m.


    “SUR-PRISE !!!”

    Teriak Iril, Ajeng, Lena, Chandra, dan Bang Zaky bersamaan. Mereka berdiri berdesakan di dalam kamar kos Iril namun tetap memasang senyum lebar. Meski aku sudah tahu ini akan terjadi, aku tetap senang melihat mereka seperti itu. Tentu saja bukan karena kejutannya (aku tidak terkejut sama sekali), tapi karena apa yang mereka lakukan. Tapi karena aku sudah bisa menebak kejutan ini sebelumnya, aku masih bisa menyempatkan mandi dan berganti baju. Yup, setidaknya di kejutan kali ini tidak ada lagi telur dan tepung seperti kerjaannya anak-anak BEM tadi.

    Kamar Iril dipenuhi balon-balon berbagai warna. Untuk kedua kalinya, mereka mengucap surprise disertai hamburan kertas konfetti dan bunyi khasnya. Aku tersenyum dan sedikit menggeleng-gelengkan kepalaku. “Wow, it’s really surprising! Thank you guys,” kataku ke mereka yang disambut dengan senyuman lebar lainnya.

    Sampai bagian ini, plot hampir sama dengan kejadian di sekre BEM sebelumnya. Mereka bernyanyi dan menyelamati. Cuma bedanya, kue-nya bukan biskuit tapi kue tart asli. Dan bedanya lagi ada pada bagian setelah acara potong kue, yaitu suap-suapan.

    “Nji, potongan pertama mau buat siapa nih?” goda Bang Zaky seraya melirik ke arah Ajeng.

    Ya, tentu saja Ajeng. Dia sahabatku dari SMA. Kami cukup dekat dan selalu saling membantu selama ini. Aku tengah bersiap mengarahkan sendokku ke Ajeng ketika tiba-tiba lenganku dipegang dan gerakanku dihentikan.

    “Yummy!!” ujar Iril yang tiba-tiba menyambar potongan kue pertama itu.

    “Parah lu, Ril! Nyerobot jatah orang!” cibir Lena ke Iril.

    “Iya tah? Gw kan sohib Panji. Gw deserve dong suapan pertama. Hehe,” sahut Iril cengengesan.

    “Yee, sohib bertepuk sebelah tangan lu!” timpa Chandra sembari menoyor bahu Iril.

    “Bodo, ah. Kalo kalian berisik, keluar dari kamar gw! Hahahay,” balas Iril santai.

    Semua terdiam. Mungkin mereka berpikir untuk tidak macam-macam karena si empunya kamar bisa mengusir mereka kapan saja. Memang acara ini bisa pindah tempat, tapi jadi nggak asik kalo sampai pindah. Aku pun tertawa, yang kemudian diikuti dengan tawa yang lainnya.

    Suapan-suapan selanjutnya pun berlanjut. Dari Ajeng, Bang Zaky, Chandra, sampai akhirnya Lena. Lena ini teman dekat Ajeng, yang meski beda fakultas, mau tidak mau sering hang out juga bareng aku, Iril, dan yang lainnya. Aku pun menghela napas panjang mengakhiri acara suap-suapan itu. Ah, tampaknya aku salah menggunakan istilah. Seharusnya bukan ‘suap-suapan’ karena tidak ada yang balik menyuapiku, tapi sudahlah jangan terlalu dipikirkan. Hehe.

    “Eh, Nji. Abis ini makan-makan dimana kita?” ucap Chandra tiba-tiba.

    “Iya, traktir-traktir lah, Nji,” sambung Lena.

    “Hah? Gw harus nraktir banget nih?” tawarku.

    “Hanamasa ya, Nji,” timpa Chandra tanpa menghiraukan ucapanku.

    “Gila!! Mahal banget coy!! Bisa abis banyak sohib gw ini nanti. Sama aja kayak bayar kosan sebulan itu mah. Gak tau diri lu, Chan!!” hardik Iril lebay.

    “Oke deh. Kita ke Hanamasa!” kataku singkat sembari melirik Iril yang langsung merubah ekspresinya.

    “Yihah! All we can eat!” teriak Chandra girang.

    Semua terlihat senang, kecuali Iril. Aku tahu apa yang dia pikirkan. “Tenang aja, Ril. Kita tetep jadi ke Malang kok,” bisikku ke Iril.

    “Tapi tabungan lo buat jalan-jalan ke Malang jadi kepake banyak gini, Nji,” balas Iril sedikit berbisik.

    “Gapapa. Duit gw cukup kok. Gw janji, kita jadi jalan-jalan ke Malang,” tutupku meyakinkannya. Iril sedikit tersenyum lalu bersiap membereskan kamarnya. Aku ke luar dan bergabung dengan yang lainnya. Tak lama, Iril ikut bergabung dan kami pun berjalan kaki bersama menuju Margo City, tempat restoran Hanamasa berada.

    ***


    Tue, January 7th, Senior Year -- 10:08 p.m.


    “Nji, lo tadi dikerjain juga ya sama anak-anak BEM?” tanya Iril sembari membuka pintu kamarnya.

    “Iya. Biasalah, kena serangan tepung dan telur,” jawabku santai yang tengah berdiri di depan daun pintu kamarku.

    “Widih, lo mau dibikin adonan roti apa? Dikasih telor sama tepung gitu. Hahaha..”

    “Mungkin. Hehe.”

    “Kalo lo jadi roti, pasti lo manis, Nji. Hahahay.”

    “Gw gitu loh.”

    “Huhu, mulai dah narsisnya.”

    “Ya, mau gimana lagi, Ril. Udah cetakannya begini.”

    “Huh, sok ngomongin cetakan. Gw juga nggak kalah ganteng kali...”

    “Hahaha terserah dah..”

    “Oh ya, lo dikasih apa lagi sama anak-anak BEM?”

    “Cuma dikerjain. Huhu.”

    “Nggak dikasih kue sama tiup lilin apa?”

    “Dikasih sih. Tapi kuenya abal-abal.”

    “Hah? Abal gimana maksudnya?”

    “Bukan kue tart, Ril. Tapi biskuit yang ditumpuk-tumpuk terus dikasih toping coki-coki.”

    “Anjiirrr. Seriusan tuh? Hahaha kerenan gw dong yang ngasih tart.”

    “Mungkin. Hahaha..”

    “Eh, Nji. Sini deh.”

    “Kenapa, Ril?”

    “Sini, ke kamar gw..”

    “Ngapain dah? Lo bukannya mau tidur?”

    “Iya.”

    “Huh, mulai lagi nih.”

    “Mulai apa?”

    “Jangan bilang lo ngajakin gw tidur bareng lagi. Ogah, ah.”

    “Idih, Ge-er banget lu!”

    “Terus?”

    “Bantuin gw beres-beres kamar dulu dong. Itu balon sama kertas konfetti masih berantakan.”

    “Beresin sendiri lah! Gw capek!”

    “Yee, ayolah. Berdua lebih baik.”

    “Ah, mulai lagi nih. Iya deh, sini..”

    “Nah gitu dong, sohib gw yang unyu dan baik hati.. Hahahayy.”

    ***


    Tue, January 7th, Senior Year -- 10:32 a.m.


    Aku berjalan gontai menyusuri lorong fakultas. Putro tiba-tiba menghubungiku dan menyuruhku mengambil surat terkait LPJ kepengurusan di Dekanat yang katanya harus disegerakan. Namun, sesampainya di Dekanat, tidak ada surat apapun yang perlu aku ambil. Huft, aku dikerjain. Pasti setelah ini akan ada kejutan di ruang BEM. Aku akan diarak ke samping Takor. Lalu mereka akan menumpahiku tepung dan melempariku telur. Aku harus siap-siap.

    Aku sudah tiba di depan pintu BEM ketika suara gaduh di dalamnya tiba-tiba hening seketika. Pintu juga ditutup tidak seperti biasanya. Aku tahu maksud Putro—dia ingin membuatku kesal karena aku telah dikerjai, lalu aku gegabah marah-marah di ruang BEM, dan akhirnya kejutan pun dilancarkan. Sejauh ini aman, aku ikuti saja skenerio mereka. Yang perlu diwaspadai adalah adegan di luar nanti, karena berpotensi kotor dan bau.

    “Putro, lo bohongin gw ya? Nggak ada surat apa-apa di Dekanat!” teriakku sembari memasuki ruang BEM.

    “SURPRISE!!!” teriak seisi ruang bersamaan. Aku diam dan menunjukkan mimik terkejut.

    “Happy birthday, Panji.... Happy birthday, Panji....” Ruangan kembali gaduh oleh suara nyanyian mereka. “Tiup lilinnya... Tiup lilinnya... Tiup lilinnya sekarang juga... Sekarang juga...”

    Fhuuuhh..

    Aku meniup lilin tersebut dan seisi ruang bersorak bersamaan.

    “Wah, makasih banyak, guys,” ucapku ke mereka. Mereka seketika tersenyum lebar bersamaan.

    “Potong kuenya.. Potong kuenya...” lanjut mereka.

    Tunggu dulu. Kuenya bukan kue tart yang biasanya dibuat untuk pesta ulang tahun. Tapi kuenya adalah biskuit Kong Guan yang disusun membentuk piramida dan dilumuri cokelat coki-coki.

    “Nggak perlu dilanjutin lagi kali nyanyinya. Kan bukan kue tart,” ujarku nyinyir.

    “Hehe. Sorry, Nji. Tadi belum sempet beli. Tapi tetep kreatif kan?” balas Putro.

    “Iya, iya. Makasih banyaklah. Sok, dimakan kuenya. Hehe,” balasku sembari terkekeh.

    Biskuit piramid itu pun ludes dalam sekejap. Mereka memang nggak mau rugi. Mereka yang beli, mereka juga yang ngabisin. Untungnya aku nggak posesif sama kue itu, huhu.

    “Eh, Nji. Temenin gw ke Takor, yuk,” kata Baim tiba-tiba.

    Nah ini! Ronde terakhir yang ditunggu-tunggu. Telur dan tepung. Aku tahu kalau aku akan sengaja diajak ke luar karena mana mungkin melakukan aksi itu di sini. Bisa uring-uringan sama pengurus baru kalo sekre jadi kotor, bau, dan berantakan. Mana itungannya aku dan yang lainnya minjem sekre mereka karena periode kepengurusan kami sudah habis tahun lalu. Ya, okelah aku siap-siap aja untuk ronde berikutnya.

    Aku dan Baim sudah berada di Takor, kantin kampusku, ketika Putro dan lainnya memanggilku. Mereka melambaikan tangan mengajakku mendekat ke arah mereka yang saat ini tengah berada di area terbuka di dekat kantin. Aku ikuti saja. Aku berjalan pelan yang kemudian diikuti Baim. Dan tiba-tiba, Baim mendekapku dari belakang dan mendorongku ke arah Putro. Aku mencoba memberontak, tapi sepertinya sia-sia. Aku tunggu saja momen yang tepat untuk melepaskan diri dari Baim.

    Ketika Putro sudah bersiap melemparkan telur yang dia sembunyikan dibalik badannya, aku menghindar dengan lihai dan naasnya, telur tersebut justru mendarat di badan Baim. Tanpa menunggu, tepung juga ditaburkan oleh yang lainnya, tapi berhasil aku hindari. Lagi-lagi Baim yang kena. Tepung pun menempel karena cairan telur pecah lengket yang melumuri badan Baim.

    And here we go! As you know, Baim itu suka emosian. Dalam sekejap dia ngomel-ngomel sembari mengejar Putro dan yang lainnya. Baim dengan cepat berhasil menangkap mereka dan mengelap badan kotornya ke badan mereka. Aku hanya tertawa melihat pemandangan yang terbalik seperti itu. Siapa yang mau dikerjain, siapa yang kena. Ckckck.

    Wait, aku belum sepenuhnya aman. Dan benar, Baim tiba-tiba berhenti dan menatapku tajam dengan mata elangnya. Huwaaah, seram sekali. Aku pun lari ke segala arah menghindari Baim yang kalap itu. Tidak bermasud meniru Iril (yang lebay), aku berlari sampai mengelilingi seluruh gedung fakultas, bahkan ke fakultas tetangga, fakultas sastra. Hingga akhirnya aku menyerah dan berhasil didekap oleh Baim. Dia terlihat sangat puas telah berhasil menangkapku. Hal itu pun berbuah tidak hanya badanku yang menjadi serbetnya, tetapi juga menjadi korban KDRT-nya. Sigh. Aku menghela napas panjang.

    ***


    Thu, January 16th, Senior Year -- 05:16 a.m.


    Aku sudah selesai menunaikan sholat shubuh ketika tiba-tiba teringat kembali dengan kaleng biskuit itu. Apa mungkin kaleng biskuit itu sama dengan kaleng yang ada di sekre BEM waktu itu. Biskuit yang dijadikan kue ultahku sepertinya berasal dari kue kalengan itu. Ah, sial! Kenapa aku tidak mencicipi rasanya waktu itu, eh mengeceknya maksudku. Aku hanya melihat kaleng itu sekilas. Jadi, aku tidak tahu pasti apakah kaleng Matryoshka ini sama dengan kaleng biskuit itu.

    Jika sama, berarti orang yang mengirimiku kado Matryoshka ini adalah anak-anak BEM. Coba aku ingat-ingat. Waktu itu, ada Putro, Baim, Septian, Raka, Aldo, Citra, Dewi, dan Indah. Apa salah satu dari mereka yang mengirimiku Matryoshka ini?

    Untuk semetara aku anggap iya. Aku langsung mencoret kemungkinan Citra, Dewi, dan Indah, karena menurutku cewek tidak akan serempong itu untuk manjat-manjat halte dan nyembunyiin boneka-boneka itu. Selain itu, waktu masangnya juga sekitar pagi hari atau malam hari dimana halte masih sepi. Pagi hari kayaknya nggak, karena orang bisa lihat dan iseng buat ngambil. Kalo malam hari, makin nggak mungkin kalo yang masang itu cewek. Tau sendiri kan, UI itu horror parah kalo malam. Ditambah lagi sorenya baru saja hujan lebat yang bikin langit lebih gelap sebelum waktunya. Aku saja sempat tertahan di Hanamasa karena hujan itu. Jadi setahuku, cewek-cewek itu tidak akan senekat itu; mereka bukanlah tipe-tipe cewek pemberani yang mau ngelakuin hal segila itu. Buat apa coba?

    Oke, sekarang kemungkinannya tinggal yang cowok. Aku coret Putro karena dia biasa ngajar privat malam-malam. Dan malam itu kayaknya dia memang ngajar privat –katanya cari penghasilan untuk membiayai skripsinya. Aku juga coret Baim karena dia bilang udah di rumah dan mager keluar saat aku mengajaknya makan di Hanamasa. Septian juga aku coret karena dia sama penakutnya kayak Citra dan yang lainnya.

    Raka dan Aldo, mereka nggak terlalu kenal aku. Mereka cuma ikut-ikutan ngerjain aku waktu itu karena sama-sama pengurus BEM dulunya. Dan yang pasti, mereka nggak akan tahu tentang ketertarikanku pada hal-hal berbau misteri.
    Arrghhhhh, kenapa aku mikir seribet ini sih? Kenapa nggak aku konfirmasi langsung aja ke mereka. Siapa yang terakhir di sekre dan beresin kaleng biskuit itu.

    Aku pun langsung menghubungi Putro. Putro bisanya paling betah berlama-lama di sekre -- meski sudah bukan pengurusnya lagi, dia masih suka nongkrong di sana. Mungkin saja dia tahu sesuatu.

    “Halo, Put?” sapaku ke Putro di dalam telepon.

    “Halo, Nji. Ada apa? Kok subuh-subuh udah nelepon begini?” sahut Putro.

    “Put, lo masih inget nggak biskuit yang buat kue ultah gw kemaren siapa yang beliin?”

    “Patungan, cuy. Kenapa emang?”

    “Gapapa sih. Terus yang terakhir beresin kaleng biskuitnya siapa, Put?”

    “Kenapa emang? Lo mau bikin kerajinan tangan dari barang bekas apa? Hahaha.”

    “Iya.”

    “Aih, serius? Sejak kapan Krim ada hasta karya begitu?”

    “Kampret, nggak penting ah. Serius nih siapa yang beresin tuh kaleng.”

    “Huh, gw kan mau becanda. Aneh-aneh aja lu!”

    “Ya gitu deh. Jadi, lo tau nggak siapa yang beresin?”

    “Hmmm kayaknya dibawa pulang sama Baim deh.”

    “Oh ya? Lo yakin?”

    “Nggak tau juga sih. Tapi seingat gw toples biskuit itu udah nggak ada lagi pas Baim pulang.”

    “Hmmm oke deh. Makasih ya.”

    “Sipp!”

    “Oke, dada..”

    Tuuuut..

    Aku langsung memutus sambungan teleponku dengan Putro. Apa mungkin Baim? Mungkin saja, karena dia menolak ajakanku saat itu untuk makan-makan di Hanamasa. Tapi kalau aku tanyakan langsung ke dia, bisa-bisa dia curiga. Apa aku hubungi Ibam saja ya?

    Tapi rasanya Ibam juga tidak tahu dimana Baim saat itu.

    ***


    Tue, January 7th, Senior Year -- 04:08 p.m.


    - Kak Panjiiiii!!!! Kok ultah nggak bilang-bilang sih? Happy birthday ya. WYATB super duper jumbo mambo :* -

    Begitulah isi pesan masuk dari Ibam ketika aku sedang mentraktir teman-temanku di Hanamasa. Aku tidak langsung membalasnya karena tengah kerepotan mengamankan menuku.

    “Chan, lo ambil sendiri dong,” cela Iril ke Chandra yang tanpa tahu diri mengambili menu yakiniku pilihanku.

    “Gw nggak ngerti ginian, Ril. Gw nggak bisa milih,” kata Chandra yang tampak cuek karena tetap mengunyah yakiniku itu.

    “Rese banget lu, Chan! Awas ya, kalo lo juga ngambil shabu-shabu-nya Panji juga!” lanjut Iril kesal.

    “Lebay lu, Ril! Ini all you can eat. Tinggal ambil semau lo. Sebanyak-banyaknya. Repot banget sampe ngurusin menunya Panji!” cibir Lena ke Iril.

    “Tuh, bener kata Lena, Ril. Lebay lu!” timpa Chandra.

    “Kacrut! Kalian berdua hobi banget sih sekongkol!” teriak Iril yang membuat pengunjung restoran lainnya kaget dan memperhatikan kami.

    Mampus. Ini harus disudahi atau keributan akan terjadi di sini. Tapi sebelum itu, tiba-tiba sebuah panggilan masuk menggetarkan HP di kantongku. Aku berjalan menjauh dari meja makan dan mengangkat telepon itu.

    “Halo, Kak Panji? Kenapa SMS gw belum dibales ya?”

    “Ah, iya. Sorry banget, Bam. Tadi belum sempet. Tapi makasih banyak ya.”

    “Dih, sibuk banget kayaknya. Lagi dimana emang?”

    “Nggak sibuk kok. Ini lagi makan-makan di Margo City?”

    “Oh ya? Dimana?”

    “Hanamasa.”

    “Aaaak, parah! Kok Kak Panji nggak ngajak-ngajak sih?”

    “Hehe, yudah ke sini buruan.”

    “Yah, gw lagi nggak di Jakarta nih.”

    “Jangan bilang lagi di Bandung? Masih ngejar si Arjun nih?”

    “Hehe tau aja.. Oh ya, Kak Baim ada di situ nggak?”

    “Nggak ikut dia. Katanya udah telanjur mager di rumah.”

    “Kok dia bilang ke gw lagi keluar rumah ya tadi? Gw kira dia ikut makan-makan bareng lo, Kak.”

    “Nggak tuh. Dia bilangnya udah di rumah.”

    “Hmm berarti dia udah nyampe kalo gitu.”

    “Mungkin. Yaudah ya, gw nggak bisa lama-lama. Nggak enak sama yang lain.”

    “Yaudah deh, Kak. Tapi kapan-kapan traktir gw Kak ya. Happy birthday to you..”

    “Siap. Oh ya, salam buat Arjun ya. Hahahay.”

    “Hahaha sip sip.”

    Aku segera menutup telepon Ibam dan kembali ke meja makan. Dan saat aku kembali, meja sudah berubah berantakan dan suasana menjadi gaduh tidak karuan. Iril si lebay melawan kubu Chandra-Lena sukses membuat adegan drama di restoran ini. Bang Zaky dan Ajeng tampak sibuk melerai.

    Bahkan, waitress berbaju kimono juga sampe turun tangan untuk melerai mereka. Hingga akhirnya aku mendatangi mereka dan berkata pelan, “Kalo kalian masih kayak begini, gw nggak mau bayarin makan kalian.”

    Mereka pun diam seketika. Semua akhirnya kembali ke makanan masing-masing dan bertingkah seolah tidak terjadi apa-apa. Huft! So much win.

    ***


    Thu, January 16th, Senior Year -- 07:16 a.m.


    Aku sudah bersiap untuk berangkat ke kampus ketika pikiranku diusik kembali oleh kaleng biskuit itu. Apa mungkin Baim yang mengirimkan Matryoshka itu? Tapi belum tentu juga sih. Berbagai hal-hal aneh memang sering terjadi akhir-akhir ini. Seperti akun anonim yang kepo banget yang bahkan menerorku melalui private number. Apakah kejadian-kejadian itu ada hubungannya?

    Ah, sudahlah. Aku pikirkan saja nanti. Hari ini aku harus segera memulai bimbingan skripsiku kalau aku ingin lulus semester ini. Inilah alasanku dan Iril mengapa kami tidak menghabiskan liburan semester ganjil di rumah masing-masing, tapi justru mondar-mandir di kampus. Tentunya untuk berkonsentrasi dengan proposal skripsi kami.

    Menjadi pengurus BEM setahun yang lalu sudah cukup men-distrak konsentrasiku pada akademik. Aku tidak mau konsentrasiku terganggu lagi kali ini. Ya, setidaknya aku masih bisa menunggu hingga tahun depan karena boneka terakhir akan diberikan di hari ultahku berikutnya. Tapi bagaimanapun aku masih penasaran. Siapakah orang yang mengirimiku Matryoshka itu? Sigh. Aku sebaiknya bergegas ke kampus.

    Aku menarik pelan gagang pintu kamar kosanku namun ada yang mengganjal. Setelah menariknya sedikit kuat, aku mendapati bahwa ada sesuatu yang terikat di gagang pintu bagian luar. Sebuah botol fanta kosong yang di dalamnya terdapat gulungan kertas. Apa ini? Surat kaleng?

    Aku segera membuka tutup botol itu lalu mengambil gulungan kertas di dalamnya. Ada sebuah pesan di kertas itu; aku langsung membacanya.


    Can’t wait to see you read this letter.

    Aku sedikit banyak mengenalmu, tapi apakah kamu benar-benar mengenalku? Aku sedikit banyak memiliki perasaan suka kepadamu, tapi apakah kamu juga memiliki perasaan yang sama? Tak perlu dijawab sekarang, karena kamu juga belum tahu aku kan? Atau malah sudah tahu?

    Sincerely,
    Your secret admirer



    Surat macam apa ini? Secret admirer? Sama dengan Matryoshka itu? Ah, aku akan pecahkan misteri ini nanti, aku harus segera berangkat ke kampus sekarang.

    ***


    Bersambung ke Chapter 3 : The Stalker and The Corruption Issue
  • penasaran banget ya. kosan panji-iril deket gundar pocin ya.
Sign In or Register to comment.