It looks like you're new here. If you want to get involved, click one of these buttons!
Copyright 2021 Queer Indonesia Archive. See our Privacy Policy. Contact us at [email protected]
Dengan menggunakan situs ini berarti Anda setuju dengan Aturan Pakai.
BoyzForum.com adalah situs anti pedofilia!
Comments
@Pradipta24 haha iya, kalau saya update, akan saya mention. takut dijitak sih. hahaha
@Pradipta24 tenang aja, saya emang gak ada lucu-lucunya kok. hahaha
benci menjadi cinta ... cerita yang keren ... dilanjut ...
@lulu_75 yap, kurang lebih seperti itu. makasih
@3ll0 kemungkinan ada.
Andai aku tak mengejar harga diri.
Andai aku lebih mampu untuk menghargai, tak akan pernah ada rasa bersalah.
Ares Evergreen namanya. Sosoknya meninggalkan bekas yang kelam, bagai tinta hitam permanen yang ditumpahkan ke papan putih. Ares Evergreen tak menyediakan sedikit pun celah putih di sana. Ia lah bibit rasa bersalah yang menghantui tidurku. Ia tumbuh lebat menjadi mimpi buruk.
Bertahun-tahun aku mencarinya setelah ia menghilang begitu saja. Ares tak meninggalkan jejak apapun. Jelas ia menghindariku, sumber penderitaannya.
Aku tak pernah lupa. Ia memiliki senyum menawan dengan satu cekung di pipi kanan. Ia humoris dan penular tawa. Mata hijaunya tak pernah absen dari kata ceria. Dulu. Sebelum aku menjual diriku pada setan demi harga diri yang palsu. Senyum dan tawanya menghilang. Matanya dipenuhi luka dan derita.
Dan semua itu adalah salahku.
Aku sempat menyerah. Aku pasrah dengan kepahitan dari rasa bersalah yang akan kutelan setiap harinya seumur hidup. Aku pasrah dengan mimpi buruk yang akan menghantuiku selamanya. Aku tak lagi mencarinya.
Tapi Tuhan memberiku kesempatan kedua. Ares Evergreen kini berdiri di hadapanku.
Setelah apa yang kuperbuat padanya selama ini, aku tak heran Ares Evergreen membenciku. Setiap kali ia melihatku, kebencian di matanya seolah ingin mencabik ragaku. Aku rela jika ia melakukannya. Membunuhku sebagai penebusan dosa atas apa yang kulakukan padanya dulu pun, aku rela. Demi sebuah kata maaf untukku, aku rela.
Ares berubah, ia lebih berani, lebih tangguh, dan membuatku takjub. Meski ia berusaha menghindari, tapi ia tak lagi seperti dulu yang lari. Ia menghadapi sumber kebenciannya dengan caranya yang berbeda.
Ia lebih menarik.
Dulu ia pernah bertutur padaku bahwa ia akan mewujudkan mimpi ibunya yang telah tiada. Menjadi seorang dokter. Dan ia berhasil. Ia menakjubkan setelah waktu membawanya. Tak ada yang lebih beryukur atasnya selain aku, pikirku.
Tapi satu hal yang tak berubah darinya, kebenciannya padaku yang tak pudar.
Aku membenci arogansi yang melekat padaku. Setelah bertahun-tahun membawa mimpi buruk akibat harga diri tinggi yang kukejar, aku tak percaya kebiasaan mengerikan itu tak pernah pergi. Aku ingin berlutut padanya memohon, tapi egoku menahanku.
Terkutuklah aku dan egoku.
Oh demi Tuhan, Ares Evergreen benar-benar berubah secara fisik. Ia semakin menawan bukan hanya dengan jas dokter yang melekat di tubuhnya. Dalam setelan semi-formal pun ia memiliki pesona yang berbeda. Dan bayangan masa lalu itu melintas di kepalaku. Apa ia masih memiliki perasaan sukanya padaku seperti dulu?
Dan kusadari betapa bodohnya pikiranku itu. Jelas ia membenciku. Sadarlah, Mike Obero.
Ia gelisah, bisa kulihat. Ia tak pernah betah bersamaku lebih dari semenit. Selama ini ia menahan diri untuk tidak beranjak pergi selama sesi makan siang setiap kali aku bertandang ke klinik tempatnya bekerja. Aku harus memuji ketabahan dan kesopanannya.
Harusnya pembicaraan di resto malam itu adalah awal yang baik dari sekian kesempatan yang kudapatkan untuk memperoleh maafnya. Tapi egoku tetap berkhianat padaku. Aku mengubahnya menjadi bencana yang tak pernah kubayangkan.
Ares Evergreen memaafkanku, begitu katanya. Tapi ia tak menurunkan sedikit pun kadar kebenciannya padaku. Aku kalut. Tanpa belas kasihnya, rasa bersalahku tetap ada melekat bagai lintah. Lidahku pun melontarkan kesalahan.
“Ayolah, bukankan dulu kamu menyukaiku?”
Dan ia melempariku dengan sisa minuman dari gelasnya. Ares Evergreen pergi, dan aku terdiam terkejut di kursi, bahkan lupa mengelap wajah. Betapa tololnya aku. Bukannya membuka awal yang baru dari hubungan pertemanan kami, aku malah menambah minyak dalam bara kebencian di hatinya, yang kini menjadi kobaran api.
Sungguh tolol.
“Anda baik-baik saja?”
Aku tersentak dan menoleh pada seorang pramusaji yang kini berdiri di sisi meja. Tatapan khawatirnya jelas tertuju padaku. Dari apa yang terjadi aku telah menarik perhatian banyak orang. Aku tersenyum padanya, lalu mengelap wajah. “Aku baik-baik saja.” Kukeluarkan kartu kredit dan kuserahkan padanya.
“Dia hanya sedang memiliki masalah.”
Dan masalahnya adalah aku.
Ares Evergreen tak pernah menunjukkan ketakutannya padaku. Tidak sedikit pun. Tapi malam ini, aku melihatnya kembali, seolah membawaku pada masa lalu. Ia memekik di sana ketika langit menggeram, memeluk diri dalam dingin. Yang kupikirkan saat itu hanya dirinya dan ketakutannya. Aku ingin memeluknya, namun aku kembali teringat pada kejadian di resto. Aku tidak bisa membuatnya kembali membenciku.
Sekali lagi ia memekik ketika langit meraung, dan aku tidak bisa menahan diri untuk memeluknya. Aku tidak peduli jika ia akan menghajarku setelahnya. Sudah kukatakan aku tidak peduli meski ia membunuhku, bukan? Aku hanya tak ingin dia kembali takluk pada rasa takutnya, yang membuatku teringat akan penderitaannya.
Tuhan sepertinya benar-benar mengasihaniku. Lagi-lagi aku mendapatkan kesempatan yang tak akan kutolak. Ares Evergreen di apartemenku, terjebak badai yang tak akan berakhir hingga pagi.
Tapi Tuhan juga menunjukkan padaku rasa bersalah mengerikan dari perbuatanku di masa lalu.
Aku memimpikannya, keegoisanku, arogansiku, deritanya, dan rasa bersalahku dengan sangat jelas.
Ia menyukaiku, begitu kata Ares Evergreen di suatu hari.
Aku diam. Selama ini kami memang selalu bersama. Kami dekat melebihi teman, tak lebih dari sahabat. Kami berjalan bersisian, berbagi kelakar dan tawa. Tapi sepertinya selama ini aku salah memahami tatapan yang ia lemparkan padaku.
Ares Evergreen menyukai, sebuah perasaan seperti sebuah cinta kepada seseorang. Tapi aku tahu bahwa perasaannya adalah salah. Aku dan dia sama, dan tak bisa saling menyukai. Jadi aku meninggalkannya tanpa mengucapkan sepatah katapun.
Aku bertemu Andrew Geraldo berikutnya. Ia dan kawan-kawannya adalah kelompok populer di sekolah. Meski aku mencoba untuk menginjakkan kaki di lingkaran mereka, tetap saja sulit. Hingga aku tergoda untuk mengumbarnya. Mengumbar kesalahan yang tidak kusadari akan kusesali hingga bertahun-tahun lamanya.
Kuumbar aib Ares Evergreen pada Andrew Geraldo, dan dimulailah penderitaan Ares Evergreen. Hubunganku dengannya berakhir saat itu juga.
Aku berada di sana ketika mereka mencacinya. Aku berada di sana ketika mereka melukainya. Aku berada di sana ketika mereka merendahkannya selayaknya binatang. Aku berada di sana, menertawainya.
Aku mengasihaninya, sedikit. Andai ia tidak menyukaiku, andai ia tidak mengutarakannya padaku, tentu ia akan baik-baik saja. Begitu caraku membela diri. Setiap kali ia memohon belas kasihku, aku mengabaikannya. Harga diriku lebih tinggi ketimbang belas kasih yang ia minta.
Aku keji dan aku tidak peduli.
“Lemparkan ia ke dalam kolam!”
Dan Ares Evergreen dilempar begitu saja ke kolam yang dingin. Ia menggelepar di sana dan kami menertawainya. Hingga ketika ia tak lagi tampak di permukaan, ketakutan menghantuiku. Ares Evergreen tenggelam.
Ia selamat, aku lega. Setidaknya kami tidak membunuh, meski gamparan dan skors diberikan pada kami. Tapi ketika ia tak lagi melihatku, untuk pertama kalinya aku merasa sangat bersalah.
Mimpi burukku dimulai ketika Ares Evergreen menghilang.
Aku tak heran jika setiap malam tidurku terusik oleh mimpi buruk yang sama. Tapi malam ini, dengan adanya Ares Evergreen di apartemenku, mimpi burukku tampak lebih nyata dan mengerikan.
Aku terbangun seperti biasa di pukul dua pagi. Mimpi yang jauh lebih buruk itu benar-benar menggangguku. Aku butuh udara, rasanya suhu kamarku menjadi lebih panas. Amat panas meski pendingin ruangan menunjukkan derajat terendah. Aku hanya sangat ketakutan. Dan seperti biasa, aku tidak akan tidur hingga jam tiga pagi.
Butuh segelas coklat hangat untuk membuatku lebih tenang.
Tadinya aku akan beranjak ke dapur, tapi suara erangan di sofa mengalihkanku. Ada Ares yang tengah tertidur gelisah, mencengkeram erat selimut dengan kedua tangannya. Tubuhnya menggeliat, dan matanya bergerak cepat dan gelisah dibalik kelopak.
Ares Evergreen sedang bermimpi buruk.
Aku menghampirinya, berlutut di sampingnya dan menyeka keringat yang menetes dipelipisnya. Meski beberapa kali aku menepuk pelan pipinya, Ares tak kunjung membuka mata. Ia masih terperangkap dalam mimpi buruknya.
“Ares, sadar—“
“Hentikan, kumohon…” suaranya amat lirih terdengar pilu menusuk.
“Jangan, tidak…” setitik air mata Ares Evergreen mengalir di pelipis.
Oh Tuhan, aku tahu apa yang menganggu tidurnya. Mimpi buruknya, penderitaannya kini mengacaukannya. Menghantuinya di dalam mimpi. Aku kalut, tidak ingin melihatnya tampak semenderita ini dalam tidur. Kuputuskan untuk menggoyangkan bahunya.
Ares terlonjak, bangkit dari tidur dan menyapu wajah. Ada isakan pelan yang terdengar dari sela jemarinya.
“Ares…?” Aku menyeka keringat di pelipisnya yang segera ditepis olehnya.
“Apa yang kamu lakukan di sini, Obero?”
Pandanganku bertumbuk pada bintik air mata di sudut matanya. Setetes dari mimpi buruknya. Setetes dari penderitaan yang kuberikan padanya. “Kamu mengigau.” Kuseka air matanya lalu menggenggam erat tangannya. Menyapu matanya yang tampak berkaca, bekas dari tangisan dalam tidurnya. Semenderita itukah dia?
“Ini salahku.” Lirihku. Hingga aku tak mampu untuk melihat penderitaan itu dari kedua matanya. Aku tak sanggup menahan rasa bersalah yang bergolak. Aku begitu keji, jahat dan menyedihkan. “Maafkan aku.”
Aku tak pernah menangis untuk siapapun. Demi harga diri aku menahan ego. Tapi mala mini, aku menangis untuknya, untuk Ares Evergreen dan untuk diriku. Harga diri dan penyesalan yang selama ini terendap kini mengalir bersama air mata. “Maafkan aku, Ares Evergreen. Jangan membenciku, kumohon. Bebaskan aku dari rasa bersalah ini.”
Aku jelas tahu Ares Evergreen tak semudah itu mengasihiku. Menangis seperti ini pun bukan berarti aku melelehkan kebekuan hatinya padaku. Ia memiliki penderitaan yang jauh lebih besar dariku, aku tahu itu. Ia memiliki hak untuk tetap membenciku hingga akhir dunia. Ia berhak mencaciku sepanjang napasnya masih berhembus. Ia berhak melakukannya.
Jadi tidak peduli meski dinginnya hatinya tak dapat kusentuh, aku hanya ingin dia tahu bahwa Mike Obero benar-benar menyesal.
Ia mengelus suraiku. Aku mengangkat wajah, menemukan sepasang matanya yang kini kadar kebenciannya tak lagi seperti dulu. Kuambil tangannya dari suraiku dan menggenggam keduanya di depan wajah. “Ares?”
“Sudah kukatakan aku memaafkanmu, Obero.”
“Tapi kamu masih membenciku.”
“Apakah… jika aku tak membencimu, rasa bersalahmu akan menghilang? Mimpi burukmu akan pudar?”
“Jika kamu tak membenciku lagi, Ares Evergreen.”
“Akan kucoba, Mike Obero. Akan kucoba. ”
Aku tidak pernah merasakan kelegaan sehebat ini. Ketenangan yang langsung merambati dadaku mengalahkan dosis obat penenang yang selama ini kuminum. Aku bahkan tak bisa menahan pipiku yang tertarik membentuk senyum. Aku bahagia. Kukecup punggung tangannya sebagai bentuk rasa terima kasihku. “Terima kasih, Ares. Aku bersungguh-sungguh.”
“Hanya jika kamu berubah, Mike Obero.”
Aku mengerjap ketika ia mengatakannya. Ia masih tidak mempercayaiku sepenuhnya. “Aku telah berubah” selaku.
“Apa yang membuatku yakin jika kamu telah berubah?”
Tanpa ragu aku menciumnya. Mencium bibir Ares Evergreen.
Aku pasti tidak berpikir ketika melakukannya, sungguh. Ketika aku melepaskan sentuhan dari bibirku dari bibirnya, aku dan dia sama-sama terpaku. Tapi aku menemukan pandangannya yang membuat perutku terasa geli, tergelitik oleh sesuatu yang tidak kuketahui. Dan aku kembali tergoda untuk mengecupnya.
Ares Evergreen tak menolak, tak juga menerima. Ia diam ketika beberapa kali bibirnya kukecup singkat, bahkan tak menarik tangannya yang masih kugenggam. Hingga ketika ia menutup mata, aku tak bisa menahan satu sudut bibirku untuk tertarik, membentuk seringai. Ia menerima, dan kami berciuman. Hanya ciuman yang berupa beberapa kali sentuhan dalam jeda-jeda singkat.
Ketika kami memutuskan untuk mengakhirnya, aku melihat matanya yang menyiratkan hal yang tidak kumengerti dan sekali lagi aku menemukan diriku –perutku terasa geli hingga ke dada. Suatu sensasi aneh yang tidak pernah kurasa.
Dari semua hal itu, yang aku tahu secara pasti, malam ini hingga malam-malam berikutnya, mimpiku tak lagi dihantui oleh rasa bersalah.