Cerita lamaku. Dan karena aku cuma copasin ke BF sini lewat hape, setiap bagiannya aku pisah-pisah. Kalau sudah ada yang merasa pernah baca di note FB-ku atau pun di fanpage, silahkan baca ulang jika berkenan. Karena akan ada beberapa bagian yang aku edit di sini.
Selamat membaca
-d'Rythem24 present-
[DEMI IBU / Part 1]
"Assalamu'alaikum. Ibu, Rama pulang!"
Aku berseru sedikit keras begitu pintu depan sudah terkuak. Melangkahkan kakiku ke dalam, kemudian segera menutup pintu kembali. Ibu di mana ya? Biasanya saat aku menyuarakan salam, Ibu pasti akan langsung menjawabnya. Tapi kali ini kenapa suasananya sepi?
Aku letakan tas kerjaku di atas sofa ruang tamu yang memang berada tak jauh dari pintu rumah. Lalu berjalan, menengok ruang demi ruang untuk mencari keberadaan Ibuku. Namun nihil.
"Apa mungkin Ibu pergi keluar, ya?"
Karena khawatir, aku segera merogoh kantung celanaku, mengambil ponselku dari sana dan langsung mengotak-atiknya. Sepertinya aku harus menghubungi Ibu.
"Ramadan? Kamu udah pulang, nak?"
Itu suara Ibu yang terdengar dari ruang tamu. Aku pun mengurungkan niatku barusan.
"Ya Allah, Ibu. Habis ke mana?" tanyaku seraya meraih tangan kanan Ibu, mencium punggung tangan wanita yang sudah membesarkan aku sejak balita ini.
Ya, aku seorang yatim. Ayahku meninggal dalam kecelakaan ketika usiaku empat tahun. Jujur saja, aku rindu akan seperti apa sosok Ayahku yang dulu sempat menggendong-gendong aku dan sering meletakanku di atas tengkuknya sewaktu mengajak aku jalan-jalan. Kami masih belum berkecukupan saat itu, jadi belum mampu membeli kendaraan bermotor.
Ibu tersenyum, menggerakan tangannya untuk mulai melepaskan dasi yang terikat di antara kerah kemejaku. "Maaf. Tadi Ibu gak sempat sms kamu. Itu lho, Wanda anak Pak Haji Ghafar sudah melahirkan. Jadi Ibu ikut tengok bareng tetangga yang lain," perjelas Ibu menjawabku. Dasiku sudah terlepas, setelah itu aku ambil dari tangannya sambil menggumam pelan.
"Perempuan atau laki-laki, Bu, anaknya?" tanyaku lagi. Memang seingatku, terakhir bertemu dengan dik Wanda tetangga kami itu, dia bilang masa bersalinnya tinggal menghitung hari. Dan rupanya benar, dia sudah berhasil melahirkan anak pertamanya hari ini.
"Anaknya perempuan. Manis sangat, persis kaya Mamanya," jawab Ibu dengan wajah berseri-seri. "Coba dulu kamu sama Wanda jadi nikah, Ram. Pastilah sekarang anaknya itu jadi cucu Ibu." kata Ibu meneruskan. Membahas perihal lama, saat dulu Haji Ghafar berniat menikahkan aku dengan dik Wanda. Tetapi untunglah aku bisa beralasan bahwasannya aku belum siap menikah saat itu, pun dik Wanda sudah memiliki kekasih untuknya sendiri. Yang sampai kini, telah jadi suaminya.
"Kapan ya, nak, Ibu bisa punya cucu?" Gumam Ibu sambil menerawang. Gurat penuh kasih dari matanya menatapku lesu. "Cepatlah kamu cari pendamping, Ram. Nikah. Inget, umurmu sudah mau tiga puluh. Mau sampai kapan begini terus? Keburu para cewek yang ngantri bosen lho nungguin kamu." Ujar Ibu melanjutkan. Lagi, dia membuka topik pembicaraan ini.
"Iya, Bu. Tapi mau gimana lagi? Rama masih ingin mengembangkan usaha lebih jauh." Kilahku merespon, seperti biasanya.
"Kamu itu lho, Ram. Kembangin usaha lebih jauh terus alasanmu! Kamu itu udah sukses, udah mapan. Rumah dan mobil saja kalau kamu mau beli tinggal ngejentikin jari. Mau tunggu apa lagi?" Ibu mewanti-wantiku, untuk kesekian kalinya. Tak beda dari beberapa waktu lalu.
Aku menghela nafasku. Jujur, rasanya setiap membicarakan masalah ini, keadaanku mendadak jadi tidak karuan. Ada sedih, ada sakit dan terutama... merasa bersalah.
"Maaf, Bu."
Hanya itu yang pasti akan terucap dari mulutku kalau aku sudah mulai kehabisan kata-kata. Tak tahu lagi harus bagaimana agar dapat membuat Ibuku berhenti membahas hal ini. Namun apa daya, aku ini anak tunggalnya. Pada siapa lagi dia akan meminta apa-apa selain padaku?
Ibu tersenyum simpul sembari membelai rambutku penuh sayang. "Ya sudah. Kamu masuk ke kamar gih, mandi terus istirahat. Ibu mau masak dulu. Kalau sudah selesai nanti kamu Ibu panggil." Titahnya yang langsung aku jawab dengan anggukan pelan.
Aku pun membalikan badanku, mengambil tas kerja, berjalan menuju ke kamar direkcoki berbagai macam pemikiran tentang semua ini. Ibu menginginkan aku untuk bisa cepat-cepat menikah dan memberikan cucu padanya dari Istriku kelak. Benar, usiaku sudah hampir memasuki kepala tiga. Dan hingga hari ini, tak pernah sekalipun aku menggandeng wanita yang aku sebut pacar apalagi calon istri untuk aku perkenalkan dan bawa pada Ibuku.
Aku buka pintu kamarku, memasuki ruang luas persegi bernuansakan biru terang nan putih. Mendekati ranjang yang kemudian sisinya aku duduki. Aku taruh dasi dalam peganganku di atas meja kerjaku yang berada di samping tempat tidurku. Membuka jas yang membelit tubuh berbalutkan kemeja yang lalu aku sampirkan di kursi kerjaku.
Tak pernah. Karena orientasiku tak menghendaki itu. Aku lebih tertarik terhadap sesama jenisku, sudah sejak dulu.
Comments
Aku ambil ponselku yang saat berjalan ke depan tadi aku letakan ke dalam saku kemejaku. Menyentuh layarnya, mendapati satu wajahnya yang tengah tersenyum. Aku ikut tersenyum melihatnya, kemudian mulai mencari kontaknya untuk aku hubungi. Aku tempelkan ponselku ke telinga sebelah kananku, mendengar nada tunggu beberapa kali sebelum panggilanku benar-benar terjawab.
"Halo, Kak. Eh, Assalamu'alaikum," sapanya kikuk. Aku menahan tawaku mengetahui gugupnya yang tak kunjung berubah.
"Wa'alaikumsalam, Yang. Udah pulang sekolah?" Jawabku yang diakhiri tanya buatnya. Tangan kiriku kini sibuk melepas kancing kemejaku.
"Udah, nih. Kakaknya udah pulang dari kantor?" dia balik bertanya dengan nada lucu.
Setengah jumlah kancing kemejaku sudah terlepas. "Iya. Udah, kok," aku membaringkan tubuhku ke ranjang, memilih posisi nyaman sembari berusaha melepas kaos kakiku. "Kakak juga baru pulang ini, baru masuk kamar," imbuhku menjawabnya.
"Pasti lagi tiduran, deh, bukannya mandi dulu," katanya yang memang sudah sangat hapal dengan kebiasaanku.
"Nanti, ah. Badan pegel. Enakan dibawa baring-baringan. Apalagi kalo disini juga ada yayang, pasti tambah enak," ujarku merespon. Aku tak bisa untuk tidak tersenyum membayangkan ekspresinya saat ini di sana.
"Dih, mulai deh mesumnya. Hahaha!"
Mendengar tawa lepasnya itu, semata-mata justru membuat senyumanku sirna. Sampai kapan aku bisa mempertahankan tawa itu agar tetap dia suarakan untukku? Aku teramat mencintainya. Adrian Hassanur, lelaki kecilku. Kekasihku.
Ya Allah.
"Halo, kak? Kok diem sih?" nada suara Adrian terdengar merajuk. Aku memberinya keheningan terlalu lama.
Aku menghela nafasku terlebih dulu sebelum menjawabnya. "Maaf, yang."
"Kakak lagi ada masalah, ya?"
Sungguh. Dia terlalu mengenalku. Walaupun kedekatan kami berawal dari dunia maya, tetapi entah mengapa, sekali kenyataan menyatukan kami, aku merasa ini tak salah. Kami saling mencintai, dan aku tak mau melepaskannya.
"Ibu, yang,"
Akhirnya aku mengatakannya. Dan aku yakini, Adrian paham betul dengan maksudku. Meskipun singkat, aku tahu itu akan mempengaruhi perasaannya juga. Sebab ini sudah sangat sering terjadi.
Adrian terdengar menghembuskan nafasnya kuat-kuat. "Andai aja yayang perempuan ya, kak. Pasti keadaan kakak gak akan serumit ini,"
Rasanya seperti ada yang memukul tepat di dadaku. Sakit sekali mendengarnya berkata demikian lemahnya.
"Tapi kalau yayang perempuan, kakak gak akan bisa jatuh cinta sama kamu, yang. Udah, jangan ngomong gitu," tandasku, coba menenangkan gundah yang pasti menyelimutinya. Tidak tau untuk yang kesekian kali keberapa.
"Maaf, kak. Yayang gak pernah bisa bantu banyak," terdengar suara isakannya di ujung sana.
Ya Allah, jangan buat Adrian menangis lagi karena aku. Mataku memburam. Aku ikut lemah bersamanya.
Aku menggeleng di atas bantalku, mengepalkan tangan kiriku yang masih menggenggam sepasang kaos kakiku yang telah terlepas.
"Gak apa-apa, yang. Yayang bisa tetap tahan bareng kakak juga udah bikin kakak merasa terbantu. Yayang sabar, ya, jangan nangisin kakak terus," tuturku padanya dengan suara berat.
"Yayang cinta kakak. Yayang gak mau kakak ninggalin yayang. Tapi Ibu kakak juga kasian kalau harus diginiin terus. Yayang gak mau jadi penghalang kebahagiaan buat--"
"Yang! Stop!" Terpaksa aku membentaknya untuk memotong kalimat yang paling aku tak ingin dengar darinya. Adrian terdengar sedikit meraung.
Aku menarik nafas dalam-dalam. Sungguh, aku tidak mau terus seperti ini.
"Maafin, kakak. Yayang jangan bilang begitu lagi. Kalo sayang kakak, cukup bertahan aja dulu, dan buat yang lainnya biar kakak yang ngurusin. Ya?" Kataku coba meyakinkannya, juga memintanya agar berhenti mengkhawatirkanku. Aku jauh lebih tua darinya, aku tak boleh jadi lemah di hadapannya.
"Yayang selalu ngeharapin yang terbaik buat, kakak. Ini serius. Kakak jangan stres-stres, ya. Takutnya nanti kakak sakit, yayang gak mau."
"Iya, Yang. Kakak--"
Tok Tok Tok!
Kalimatku terjeda oleh suara ketukan pintu.
"Rama, makan dulu cepetan. Itu lauknya udah matang!" Itu suara Ibuku.
"Iya, Bu. Sebentar lagi Rama keluar." seruku menjawab.
Ada saja yang menyela. Tapi mau bagaimana lagi, Ibu begitu sebab sama-sama peduli terhadapku juga. Makanya dia selalu mengkhawatirkanku, tak ubahnya seperti kekasihku ini.
"Disuruh makan, ya?" suara Adrian terdengar normal kembali. Aku menggumam pelan, masih mau berlama-lama bicara dengannya.
"Iya, yang. Yayang udah makan?"
"Udah! Kakak makan sana yang banyak!" Titahnya tegas. Aku berdecak, melemparkan kaos kakiku ke lantai, setelah itu beranjak dari pembaringanku.
"Ya udah, kakak makan dulu ya, Yang."
"Iya, Kak."
"Kakak sayang sama kamu, Yang. Assalamualaikum,."
"Yayang tau. Wa'alaikumsalam."
Lalu panggilanku terputus. Aku pandangi lagi layar ponselku, tak pernah puas bagiku jika hanya melihat dan mendengarnya. Kapan ya aku bisa menyentuhnya lagi? Ah, sudahlah. Saatnya aku makan.
Aku taruh ponselku ke meja, lalu mulai berjalan keluar dari kamar.
"Kamu habis telponan sama siapa, sih? Kenapa tadi Ibu denger suara teriakan ya?" Ibu bertanya setibanya aku di meja makan. Mendudukan diri di kursi yang berhadapan dengan tempatnya.
"Emm,... Itu temen Rama, Bu. Dia bikin Rama kesel, makanya tadi Rama sempet bentak dia," jawabku tak jujur sepenuhnya selesainya aku menyaduk nasi ke piring.
Ibu terdengar menggumam, ia tengah memilih lauk makan untuk diletakannya ke piring. "Jangan galak-galak lho sama orang lain. Nanti dimusuhi temanmu itu, baru tau rasa," nasihat Ibu yang aku balas dengan senyum.
"Dia gak akan musuhin Rama, Bu. Nggak akan pernah." Yakinku.
Tentu saja. Yayangku tak akan mungkin memusuhi aku. Karena dia mencintaiku, dan aku tahu, dia tak mau kehilanganku tak bedanya sepertiku.
Selamat makan, Yang. Batinku berucap sambil mulai menyendokan suapan pertama ke dalam mulutku.
***
Jam sudah menunjukan pukul 10 malam lebih. Dokumen-dokumen telah selesai aku periksa dan tanda tangani. Tetapi mataku tak kunjung bisa terpejam. Kantuk tak sedang menjamahku, dan ini membuat aku merasa tak nyaman.
Aku sandarkan punggungku ke ujung tempat tidur. Meraih ponsel di atas meja, dan menyentuh layarnya. Untuk melihat wajahnya, entah untuk yang keberapa kali di hari ini.
Adrian sudah tidur belum, ya? Aku rindu padanya. Semenjak Ulangan Akhir Semesternya tiba, dia disibukkan dengan belajar dan juga kegiatan akademik tambahan untuk nilainya di sekolah. Hampir selama seminggu ini kami tak mengobrol lagi, bersms pun tak lebih dari 5 kali dalam sehari
"Yang, kamu lagi apa?" Gumamku bertanya dengan masih tetap memandangi wajahnya dari ponselku.
Aku baru ingin memejamkan mataku untuk sekedar mengingatnya, tetapi aku justru di kejutkan oleh getaran hebat yang datang dari ponselku. Ada panggilan masuk.
'Yayang'. Itulah nama yang tertera di layarnya. Adrian meneleponku?
"Halo, yang. Assalamualaikum." Aku buru-buru menjawabnya.
"Wa'alaikumsalam, kakak. Hehe... Udah Yayang duga kakak belum tidur juga. Kangen!"
Mendengar suaranya sungguh membuat aku merasa senang dan tenang di sini. Betapa aku merindukannya, Ya Allah.
"Iya. Kakak gak bisa tidur nih, kangen yayang juga," balasku sambil tersenyum. "Yayang baik-baik aja 'kan? Gimana ulangannya?" tanyaku.
"Yayang baik-baik aja. Cuma agak mumet aja gara-gara ulangan IPA tadi siang. Aduh, temen-temen Yayang ya, kak, pada sibuk lempar kertas sana sini!"
"Nah, Yayang ikutan gak lempar-lemparnya?"
"Nggak. Paling kalo ikutan juga yayang cuma bakal lembar sepatu buat mukulin kepala mereka satu-satu. Berisik!"
"Hahaha. Iya deh. Mentang-mentang orang pinter. Jadi gak butuh contekan, ya." Pujiku buatnya.
Ini yang aku suka ketika sedang mengobrol dengan Yayang. Seakan tahu, jika bukan aku yang menghubunginya, maka dialah yang akan memberi panggilan untukku. Saling menceritakan pengalaman kami di sela-sela hari, saling menggoda sampai membahas topik ngalor ngidul tak karuan bersamanya. Usianya mungkin berkisar 12 tahun di bawahku, namun justru itu yang membuatnya terlihat menyenangkan. Dia masih muda, manis dan banyak ingin taunya.
"Emm, kakak lagi apa sekarang?" tanyanya padaku.
"Mikirin kamu aja, Yang. Daritadi kan," jawabku jujur. Yayang ber'hehehe' pelan di sana. "Yayang gak belajar?" tanyaku gantian.
"Udah dari tadi. 1 jam gegulingan di ranjang mata gak bisa di ajak merem nih,"
"Mau kakak boboin?"
"Caranya?"
"Ya gak tau. Biar kakak mikir dulu,"
"Yee!"
Aku tertawa pelan. Memindahkan ponselku ke telinga sebelah kiri karena yang kanan sudah mulai terasa panas.
"Yang?"
"Hmm? Iya, apa kak?"
"Ketemuan, yuk. Udah lama kita gak ketemuan 'kan?" tanyaku yang memang sudah tak tahan.
"Yayang sih mau-mau aja, kebetulan liburan pun Yayang lagi males pergi. Hari sabtu, ya? Sekalian malam mingguan. Ulangan juga udah mau kelar nih."
"Beneran ya? Sabtu nih? Jangan PHP-in kakak,"
"Ih, apaan? Buat apa nge-PHP pacar sendiri?" Dan aku pun tersenyum. Baiklah, hari Sabtu nanti kami akan bertemu. Aku sudah tak sabar lagi.
"Ya udah. Kakak pegang ya ketemu hari Sabtunya?"
"Jangan dipegang. Mau ditelen, dikantongin atau disimpen pun gak masalah." ujar Yayang yang langsung membuatku terbahak.
"Oke, Yang. Udah jam setengah sebelas nih, cepet tidur."
"Iya. Ini Yayang juga udah mulai mangap-mangap. Hehe... Kakak juga ya?"
"Pasti lah. Good night, ya. Assalamualaikum."
"Wa'alaikumsalam, Kak. Met bobo."
Aku jadi merasa lega sekarang. Sepertinya, malam ini aku akan tertidur nyenyak. Aku taruh ponselku di bawah bantal di sebelahku, menurunkan punggungku membaringkan badan secara nyaman. Namun, saat baru memejamkan mata...
"Rama? Kamu belum tidur juga, nak?" Itu suara Ibu, terdengar dari luar kamarku.
Ya Allah, Ibu ada di luar kamar? Tak tidurkah dia?
Aku pun menyibakkan selimut, bangun dari pembaringanku lalu turun dan berjalan cepat ke arah pintu. Sebelum membukanya, terlebih dahulu aku menyalakan lampu kamar ini.
"Ibu, kenapa belum tidur?" Tanyaku begitu pintu sudah terbuka dan mendapatinya tengah berdiri di ambangnya.
saya suka, nitip mention kalo boleh,..hohoho
"Ibu kebangun gara-gara suara kamu. Telponan sama siapa sih barusan? Pacar kamu, ya?" tanya Ibu yang terlihat penasaran sekali. Tapi ditanya begitu, malah membuat aku gugup.
"Bu-bukanlah, Bu. Cuma temen aja. Kami emang sering telponan, asik anaknya. Makanya Rama sering lupa waktu," jawabku. Sebisa mungkin mengelak dugaannya.
"Masa sih cuma temen? Tadi jelas-jelas kamu manggil 'Yang' kan ke dia?"
Ya ampun, bagaimana aku harus menjawabnya sekarang?
Aku meneguk air ludahku sendiri sekuat tenaga. Mendadak, aku dirundung perasaan tak mengenakkan.
"Bukan, Bu. Itu tadi, emm,... Yayang itu nama panggilan akrab dia. Jadi Rama panggil 'Yang' buat dia udah sejak lama," kilahku.
"Gitu, ya? Dan tadi pun Ibu dengar kamu mau ketemuan ya sama dia sabtu nanti? Cobalah bawa dia ke rumah, nak. Ibu mau ketemu sama temanmu itu,"
"Hah? Mau ketemu?!" aku tersentak di tempatku mendengar permintaan Ibu.
Tidak, Bu. Aku mohon, tarik kata-kata Ibu tadi. Batinku meracau.
"Iya. Ibu penasaran, seperti apa sih rupa temanmu itu. Awas lho ya kalau sampe enggak, sekali-kali lah, nak. Kamu turutin kemauan Ibu," ujar Ibu kekeh. Dia menatapku lekat-lekat, memaksaku untuk memberikan anggukan patuhku kepadanya.
Maafin kakak, Yang.
. . .
Aku yang mengira jikalau tidurku akan nyenyak, justru semakin merasa gelisah. Bagaimana tidak? Ibu bersikeras ingin bertemu dengan seorang yang aku akui sebagai teman menyenangkanku, yaitu Yayang. Yang tak lain adalah kekasihku sendiri. Ya Allah, kenapa aku bisa seceroboh ini? Andai saja tadi suaraku aku pelankan waktu mengobrol.
Sekarang, bagaimana caranya untuk aku memberitahukan kepada Adrian perihal ini? Apa reaksinya nanti? Terlebih, siapkah aku mempertemukan dua sosok orang paling penting dalam hidupku itu?
Ibu. Apa yang akan dipikirkannya nanti kalau-kalau akhirnya dia tahu Yayang yang jadi temanku itu ternyata seorang laki-laki tak beda seperti putranya ini? Apakah nanti Ibu mencurigaiku?
Ya Allah, kenapa kau menjadikan ini semakin rumit? Aku menghembuskan nafasku yang terasa berat dan menyesakan. Mungkinkah aku harus menggunakan orang lain untuk menggantikan Yayangku? Tapi aku tak tega apabila harus mengingkari janji ketemuanku dengannya. Kami sudah memegang Sabtu sebagai harinya bersama-sama.
Semoga ini berjalan tak sesuai dugaan negatifku.
***
Sejak Ibu bilang jika ia berkeinginan mau menemui Adrian, hari-hariku menjadi tak setenang sebelumnya. Aku tidak tau bagaimana harus memberitahu Yayangku. Aku tidak berani, tidak sanggup membayangkan respon tak mengenakkan darinya. Adrian tahu bagaimana aku yang sehari-harinya tinggal berdua saja bersama Ibu di rumah. Tahu kalau Ibuku single parents, dan dia tahu betapa aku menyayangi Ibuku. Meskipun Ibu tak henti-hentinya menekankan aku untuk cepat menikah. Aku belum siap meninggalkan Adrian, pun tak ingin membuat Ibu kecewa terus menerus. Namun perasaanku tak dapat dipaksakan. Seringkali, aku mencoba untuk melirik para sekretaris di kantorku ini. Mereka yang memakai rok mini dan kemeja ketat, berpoleskan make-up dengan paras ayu dan menggoda. Tapi di mataku, itu tak lebih dari pemandangan menjemukan. Aku tak dapat menyukai mereka, tidak pernah sama sekali.
Aku memutar posisi dudukku, menghadapkan diri pada komputer yang kini terpampang di depanku.
Dulu, saat pertama kali aku menggunakan facebook dan mulai merasa senang mengagumi wajah-wajah tampan para kaum berjenis kelamin sama sepertiku, di sanalah aku sadar bahwa aku hidup tak memenuhi kodratku yang seharusnya. Terus berkecamuk dalam dunia maya, meng-add teman-teman sesama kaumku, memasuki dan menggabungkan diri dalam puluhan grup khusus para lelaki sepertiku sampai akhirnya, aku menemukannya.
Aku meng-add facebooknya yang bernamakan '-Drian Fadrian-' dengan akunku yang aku berikan nama 'Dadan Hzr'. Ya, kami sama-sama masih menjaga privacy waktu itu. Hanya saja, jika Adrian berani memasang wajah aslinya sebagai foto profil kala itu, sedangkan aku tidak. Pendekatanku dengannya diawali saling inbox di facebook. Dia menyenangkan dan cukup berwawasan luas untuk ukuran pemuda berusia 15 tahun saat itu. Sampai akhirnya, rasa penasarannya tak dapat dibendung lagi, dia meminta aku untuk mau menunjukan wajah asliku. Aku tak menunjukannya sama sekali. Tak pernah memasang satu pun fotoku hingga hari ini di akunku. Tetapi kami bertemu, bertatap muka. Aku mendatangi kota di mana ia tinggal dan langsung memintanya untuk jadi milikku ketika itu juga.
Aku selalu ingin tersenyum mengingat betapa lucunya wajah Adrian saat pertama kali melihat wajahku. Dia bilang; "Aku gak nyangka wajah kakak seganteng ini,", dengan wajah tersipu. Dan selama dua tahun berpacaran dengannya, lewat jejaring sosial jugalah hubungan kami tersebar. Aku memberinya panggilan sayang berupa Yayang, sedangkan Adrian tak mengubah panggilannya terhadapku sama sekali. Aku masih tetap Kak Dadannya yang tampan dan yang ia sukai. Kekasih pertamanya yang usianya bahkan cukup jauh lebih tua darinya.
Akun facebookku terbuka. Dan aku benar-benar tidak ingat, kapan kali terakhir aku membuka akunku ini. Ada 38 permintaan pertemanan, 6 pesan masuk dan 99 lebih pemberitahuan. Aku mengklik dulu bagian pemberitahuan yang sebagian hanya diisi oleh laporan kiriman para sesama anggota di grup yang aku masuki, permintaan game hingga penambahan koleksi foto. Sebagiannya lagi, ada namaku yang teramat sering di mention oleh Adrian, dan pemberitahuan terakhir memperlihatkan jikalau Adrian menyebut namaku pada statusnya 6 jam yang lalu.
Aku pun mengklik pemberitahuan itu, tersenyum membaca status yang kini tertera di layar monitorku.
[-Drian Fadrian-
Gk sabar! Gk sbar!
Semoga hari Sabtu cepet2 dateng ya. Udah kangen berat sama Kak Dadan Hzr. Mw ketemu dengan BFku tercintaaah. # lebaydikit
6 hour ago. Like. 12 Comments.]
Aku mengklik profilnya. Tersenyum sekali lagi mendapati status hubungannya; Married with Dadan Hzr. Ya, kami sudah menikah di jejaring sosial ini. Aku menggerakan kursorku ke bawah, menelusuri isi dari status demi statusnya. Dari yang berisi betapa lelahnya dia dengan semua ulangan yang tengah ia jalani beberapa hari ini, hingga tertuju pada satu statusnya yang membuat aku tercekat.
[-Drian Fadrian-
Ya Allah, hamba mencintainya. Hamba paham betul bahwa cinta kami ini salah, namun hamba selalu mengharapkan yang terbaik untuknya. Terlebih, untuk sosok yang paling dicintainya di dunia ini.
Hamba hanyalah yang nomor dua, biarkan dia menomorsatukan apa yang sepatutnya dipertahankan. Dan izinkan hamba memilikinya selama masih ada kesempatan.]
Aku genggam erat-erat mouse di tangan kananku, mencoba menghela nafasku yang terasa amat sesak sekuat-kuatnya, lalu berguncang di tempatku.
"Yang,..."
Aku terisak kelu menyebut namanya. Betapa bodohnya aku. Sudah teramat dalam aku menyakiti hati lelaki kecilku.
Ding!
[-Drian Fadrian-
Kakak!!! Tumben OL.]
Adrian mengirimi aku chat. Aku menyeka dulu mataku yang sempat memburam sebelum menggerakan tanganku untuk mengetik balasan buatnya.
[Dadan Hzr
Iya. Mumpung inget.
Yayang lagi apa?]
Ding!
[-Drian Fadrian-
Lagi di warnet nih. Bantuin temen nyari tugas. Paling cuma bentar sih, soalnya takut Yayang ketahuan buka2 pesbuk ini.
Kakak udah makan?]
[Dadan Hzr
Emm, sebelum kamu off. Kakak mau ngomong sesuatu boleh...?]
Ding!
[-Drian Fadrian-
Apaaah kakak?]
Aku masih ragu-ragu untuk memberitahunya.Tapi kalau tidak sekarang, kapan lagi?
Ding!
[-Drian Fadrian-
Hayoo! Kelamaan deh. -_- ]
Baiklah. Aku harus memberanikan diri. Apapun respon darinya, aku akan coba menanganinya sendiri.
[Dadan Hzr
Tadi malem Ibu tau kalo kita sempet telponan. Jadi dia minta buat ketemu kamu, Yang.]
Akhirnya aku memberitahunya.
Ding!
[-Drian Fadrian-
HAH?]
Ding!
[-Drian Fadrian-
Apa maksudnya kakak? Jangan bikin Yayang takut! ]
Sepertinya Adrian salah mengartikan isi pesanku tadi.
[Dadan Hzr
Eh, jangan salah sangka dulu. Gini, Yang. Semalem Ibu kebangun gara-gara suara kakak pas lagi telponan sama kamu. Nah, Ibu juga tau kalo kakak nyebut2 'Yayang' gitu ke kamu, jadi Ibu penasaran sama kamu soalnya kakak bilang kamu itu temen kakak yang asik. Dan Ibu minta buat kakak mau nemuin kamu sama Ibu.]
Aku mengirimkan chat berisi penjelasanku. Kali ini dia mengetik cukup lama.
Ding!
[-Drian Fadrian-
Jantungan nih Yayang gara2 kakak. Tapi ya untung aja Ibu gak curiga yah.
Terusnya gimana? Yayang sih gak keberatan kalo harus ketemu Ibu, tapi ini tergantung kakaknya. Kakak udah siap belum?]
Adrian sungguh terlalu sangat mengenal aku. Bahkan tentang kesiapanku pun, dia masih memikirkannya.
[Dadan Hzr
Tetep Sabtu, ya? Kamu sekalian nginep di rumah kakak aja.]
Ding!
[-Drian Fadrian-
Anything for you, Kakak. ]
Aku harap, aku sudah mengambil keputusan yang benar.
. . .
Ibu kelihatan amat senang saat aku memberitahu padanya perihal persetujuan 'Yayang' temanku yang ingin ditemuinya. Ibu bilang, dia akan menyiapkan semuanya. Dari makanan, kamar tidur hingga berencana membersihkan kamar tamu. Tapi aku tak bisa terus bungkam, ada hal penting yang perlu Ibu ketahui tentang Yayangku.
"Dia bisa tidur bareng Rama kok, Bu," kataku sedetik sebelum Ibu melangkahkan kakinya menuju kamar tamu. Ibu menoleh ke arahku, raut mukanya kelihatan bingung.
"Lho? Kenapa begitu?" tanya Ibu. Seakan ada yang sesuatu yang membelenggu tenggorakanku, menghalangi aku untuk bicara ketika berniat menjawab. Tapi tak apa, aku harus jujur.
"Yayang itu... laki-laki, Bu." jawabku dengan suara pelan.
Ibu terdiam, seakan sedang mencerna setiap kata dari jawabanku barusan. Namun kemudian, senyumnya mengembang.
"Bagus kalau gitu. Jadi kamu bakalan ada teman ngobrol di rumah kan nantinya," ujar Ibu dengan nada penuh pengertian.
Ya Allah, Ibuku terlalu baik. Aku sungguh beruntung bisa memiliki sosok Ibu sepertinya.
***
Aku bercermin lagi, entah untuk yang kesekian kali keberapa. Aku menepuk-nepuk pelan dadaku agar gemuruhnya bisa sedikit mereda. Sudah empat bulan sepertinya kami tidak saling bertatap muka, jadi ketika hari ini kami janjian untuk bertemu, seperti baru berjumpa setelah sekian lamanya. Aku menatap spion sebelah kanan, dan degup di jantungku semakin bergemuruh kencang. Dapat aku lihat sosok Adrian kini tengah berjalan mendekat ke arahku yang sedang berada dalam mobilku ini. Ditangan kanannya terjinjing sebuah kotak lumayan besar.
Untuk yang terakhir kali, aku bercermin di kaca bagian atas. Latihan tersenyum, lalu duduk secara normal kembali di tempatku. Aku menghembuskan nafas panjang, berusaha menghilangkan gugup yang menderaku.
"Dorr!" Adrian berseru sesampainya ia di samping kanan mobilku. Aku menahan tawaku sembari menatapnya.
"Gak kaget, tauk. Tadi kakak udah ngeliat Yayang kok dari spion," aku menjulurkan lidahku ke arahnya. Adrian langsung melemas. "Sini, naek!" suruhku yang segera diturutinya. Adrian berputar arah, lalu naik setelah membuka pintu mobilku.
Aku tak mengalihkan tatapanku sedetikpun darinya. Adrianku sungguh mengagumkan.
Adrian membuka kotak yang dipangkunya di atas paha, dan sukses membikin perutku beriak karena merasa lapar tiba-tiba.
"Ini kue pesanan kakak. Tapi maaf, Yayang bikinnya dibantuin Mama dan kak Intan. Gak sanggup kalo harus buat sendirian," perjelasnya padaku seraya mulai mengambil satu potongan kue lapis coklat, vanila dan strawberry kesukaanku itu. Ia menyodorkannya ke depan mulutku, yang segera aku lahap dengan sesuka hati.
Rasanya enak sekali. Aku ingat, beberapa bulan ketika kami terakhir bertemu dulu, dia bercerita tentang rasa sukanya yang sering kali menciptakan beragam macam kue dengan caranya. Dan kue inilah yang pertama kali aku minta dia untuk buatkan, yang pada gigitan pertamanya aku cicipi dulu, sungguh membuat ketagihan. Yayangku pintar memasak. Dan aku makin menyukainya.
"Yayang bilang apa sama Intan dan Mama tentang ini?" tanyaku begitu potongan kue pertamaku darinya habis. Adrian tersenyum, mengambilkan satu botol air mineral di jok belakang yang kemudian ia bukakan untuk aku minum. Aku pun menerimanya.
"Yayang bilang ada temen Yayang yang mau ulang tahun. Jadi nanti kami bikin pesta, sekalian mau berangkat liburan beberapa hari besoknya. Di izinin deh!" jawab Adrian girang. Kotak berisi kuenya mulai ditutupnya lagi.
"Pengen lagi, Yang," pintaku setelah selesai minum. Adrian menggeleng, meletakan tas yang digendongnya serta kotak kue itu ke jok belakang.
"Ini kan nanti juga buat Ibu. Jangan serakah." Ucapnya tanpa melihatku. Aku meletakan botol air minum ini, lalu menggerakan tanganku untuk membelai rambut hitam lebat dan pendeknya. Adrian menoleh padaku, dan aku pun tak bisa lagi menahan diriku untuk tidak memeluk tubuhnya.
Adrian membalas pelukan ini, tak kalah erat dariku. Aku menghirup aroma tubuhnya dalam-dalam, menciumi perjengkal bagian dirinya, dari bagian leher hingga wajahnya.
"Kakak kangen banget sama kamu, Yang," bisikku yang setelahnya mendaratkan ciuman di pipi sebelah kanannya. Adrian menggumam, membelai rambutku kuat-kuat sambil mengangguk.
"Yayang juga, kak," balasnya yang lalu meleraikan pelukan kami.
Sudah lama sekali juga rasanya aku tak merasakan hangat, lembut dan manis dari bibir tebalnya. Mata kami terpejam, saling memagut diselingi suara-suara desahan dan hambusan nafas menggebu. Adrian agak kaku di dalam mulutku, sepertinya dia gugup.
Aku menjauhkan wajahku terlebih dulu, mendapati rona kemerahan yang teramat jelas terlihat dari kedua belah pipi Adrian. Bibirnya basah dan ada sedikit lelehan saliva di dekat bibirnya yang langsung aku bersihkan menggunakan jariku.
"Kamu kaku ya sekarang," godaku sembari menahan tawa. Dan rona kemerahannya semakin menyeruak, membuat Adrian menubruk tubuhku untuk dipeluknya lagi.
"Kan udah lama kak kita gak ciuman," komentarnya malu-malu. Aku mengusap pipi serta kepalanya.
"Iya, udah lama banget ya. Gak ada yang pernah nyicipin bibir kamu kan selain kakak?" tanyaku iseng.
"Ada tauk!" jawabnya seakan memancingku. Aku mengernyit.
"Siapa emangnya?"
"Yiraya! Hehehe," aku memutar kedua bola mataku begitu mendengar ia menyebut nama kucing anggora betina peliharaannya yang tak lain merupakan kado ulang tahun dariku untuknya itu.
"Kalo sama dia sih, ciuman aja suka-suka kamu," ujarku sambil mencubit gemas pipi kirinya.
Kami terus berpelukan begini, aku sungguh ingin berlama-lama dengannya. Saking terlalu merindunya, membuat aku tak mau melewatkan moment ini secepat yang Ibu inginkan. Ya, Ibu bilang kalau aku sudah menjemput Adrian, aku diharuskan untuk langsung pulang ke rumah. Tapi aku tidak bisa menuruti permintaannya yang satu itu. Adrian kekasihku, dan aku ingin bercengkrama dulu beberapa waktu lamanya dengan lelakiku tercinta. Karena bila di rumah, kemungkinan kami akan bisa berduaan itu sempit peluangnya.
"Hah? Nanti kalo ada yang liat gimana?" Adrian bertanya balik padaku. Dan aku pun menutup kedua kaca mobil di samping kami masing-masing secara otomatis. Pelukan Adrian merenggang, dan aku menepuk-nepuk kedua pahaku.
"Kakak jamin, gak akan ada yang ngeliat kita. Sini!" kataku meyakinkannya. Lagipula kaca mobilku gelap, dan jalanan ini sangat sepi. Kemungkinan akan ada pengendara atau orang lain yang melihat kami hanya sedikit.
Adrian sudah berada di atas pangkuanku sekarang, kami bertatapan lekat sebelum mepertemukan bibir kami untuk yang kedua kalinya. Kali ini, Adrian tak sekaku tadi. Tanganku bergerilya, mengelus tengkuknya, punggung hingga kedua belah pipi mulusnya. Aku membuka resleting jaketnya, menyingkap ke atas kaos yang dikenakannya lalu membelai perutnya yang terasa hangat. Adrian menggumam di sela-sela peraduan lidah kami, memaksa aku untuk memberanikan diri agar bisa menyentuh dadanya yang rata.
"Ngghh, kakak," desahnya begitu ciuman kami terputus. Aku mengecup lehernya, menggigitinya pelan sembari menggerakan jari-jariku di antara salah satu tonjolan yang ada di balik kaosnya. Adrian meremas rambutku kencang, merintih yang justru membuat bagian bawah tubuhku tak dapat berdiam lagi. Aku segera menjauhkan tangan dan wajahku yang menyentuhnya barusan. Tersenyum simpul untuknya kemudian mengecup bibir yang merah membengkak akibat ciuman kami barusan.
"Kenapa, kak?" tanyanya memandangku dengan raut bingung. Aku memberinya gelengan pelan.
"Udah ah, Turun cepet," perintahku yang langsung membuat Adrian merengut. Aku tahu dia masih menginginkanku, sama sepertiku. "Kakak gak mau hilang kendali di sini, Yang. Masih belum mau," ujarku melanjutkan. Seakan mengerti, Adrian menekankan tubuhnya lebih rapat padaku, lalu dia tertawa pelan.
"Ah, dasar kakak!" Adrian menepuk pipiku gemas. Dia turun perlahan dari atas pahaku, membebaskan tegangku dari kungkungannya yang menggoda.
Adrian memang teramat sering membuat aku hilang kendali, tak pernah sekalipun aku tak tegang setiap bersentuhan dengannya. Meski desahannyalah yang paling melemahkanku. Namun percayalah, sampai hari ini kami belum pernah mencoba hal selain yang barusan kami lakukan tadi. Aku ingin menjaga dan mencintai Adrian dengan caraku tanpa melewati batas selama kami berhubungan. Itulah sebabnya, aku akan secepatnya menjauhkan diri darinya saat mulai menegang.
Adrian menatap genit ke arah selangkanganku, terkikik geli dengan wajah yang masih merona.
"Kenapa ketawa?" tanyaku seraya membenarkan kemejaku, menurunkannya agar bisa menutupi bagian bawahku yang menonjol.
Adrian menggeleng. "Dedek kakak sensitif, ya? Baru digituin aja udah berdiri. Hahaha!"
Dasar anak kecil.
"Kan dedek kakak udah mahir dan dewasa, jadi dia cepat, sigap dan mandiri, Yang." responku yang berhasil membuat tawa Adrian tersembur lebih keras, sekeras milikku. "Udah. Jangan ngomongin yang nggak-nggak! Nanti kamu ikut tegang, baru tau rasa," cetusku. Adrian pun memberikan ajungan jempolnya.
"Abis ini kita langsung pulang, kak?" tanya Adrian sembari menaikan resleting jaketnya yang tadi aku turunkan. Aku menggeleng buatnya.
"Waktu kita gak akan berakhir secepat itu, Yang," jawabku. Aku memutar kunci mobilku, lalu menyalakan mesinnya. Bersiap pergi dari tempat ini.
"Terus?" Adrian menggumankan kalimat tanyanya.
"Kita jalan-jalan dulu. Ok?" dan Adrian pun menubruk aku sekali lagi, memberikan anggukan senang kemudian mendaratkan satu kecupan di bibirku.
Ya. Kami butuh kencan sebagai sisa pelepasan rindu kami. Mumpung ini malam minggu, tak ada salahnya bergabung bersama khalayak ramai pemuda pemudi yang lain.
. . .
Adrian menjelma menjadi bocah TK selama berdua denganku. Saat ini, kami tengah berada di sebuah wahana bermain yang kebetulan tergelar karena ini sudah masuk masa liburan panjang.
"Kakak, ayo naik kuda-kudaan!" ajak Adrian begitu matanya menangkap wahana kuda-kudaan. Dan aku cuma bisa mengerjapkan mataku. Bagaimana mungkin kami mau menaiki wahana itu kalau disana ada peringatan; 'HANYA UNTUK ANAK-ANAK'. Apakah lelaki berusia 29 tahun seperti aku masih kelihatan wajah dan badan anak-anaknya?
Adrian mendumel setelah dirinya habis diwanti-wanti oleh si penjaga wahana. Sebagian orang pun memandang lucu ke arahnya, umur sudah 17 tahun, duduk di bangku kelas 2 SMA, tapi masa mau naik kuda-kudaan?
"Gimana kalo kita naek kincir angin aja?" tawarku padanya, aku tidak tahan kalau sudah melihat dia merengut lama-lama. Kincir angin juga tidak kalah menyenangkannya dari kuda-kudaan, meski aku belum pernah merasakan wahana kuda-kudaan. Kalau berkuda dengan kuda asli, baru sering.
Adrian mendongak, memicingkan matanya memandang wahana Kincir Angin yang berjarak berpuluh meter dari tempat kami. Lapangan tempat ini digelar lumayan luas dan besar. Bahkan beberapa pedagang pun terlihat ada yang berjualan di sini. Dari pedagang baju, sepatu sampai boneka juga mainan.
"Tapi Yayang takut ketinggian," gumamnya menjawabku. Aku meraih tangannya untuk kugenggam.
"Gak perlu takut, kakak bakal selalu ada di samping kamu. Yuk!" Lalu kami mulai berjalan menghampiri wahana yang aku tawarkan.
Tepat setibanya kami di dekat kincir ini, tempat kosong langsung tersedia yang kemudian segera kami isi. Begitu tempat kami di rasa mulai bergerak, secara sigap Adrian memeluk lengan kiriku. Dia menyembunyikan wajahnya di depan dadaku, dan aku hanya bisa membelai rambutnya untuk membuatnya tenang.
"Liat deh, Yang. Pemandangannya bagus," kataku. Tapi Adrian tidak menggubrisku dan malah menggeleng-gelengkan kepalanya.
Dasar dia ini. Percuma saja kan kami naik wahana ini kalau cuma dia nikmati dengan terpejam sambil memeluk lenganku? Mungkin ada cara supaya dia berhenti bersembunyi. Tapi apa?
Aku pun tersenyum, mencondongkan wajahku untuk mengecup puncak kepalanya. Dan berhasil, Yayang pun mengangkat kepalanya menatapku.
"Liat dulu pemandangannya, jangan keburu merem," ujarku sembari mengusap wajahnya. Dan Adrian pun memutar pandangannya, matanya sukses berbinar. Melepaskan pelukannya dilenganku dan bergeser ke samping kanan. Dapat aku lihat senyum lebarnya dari sini.
Aku ikut bergeser, menumpukan daguku di bahu kirinya. Aku tak peduli kalaupun nanti akan ada yang melihat kami begitu sampai di bawah, yang aku mau hanyalah dia sekarang. Aku mau bersamanya selama mungkin.
"Iya, kak. Pemandangannya indah, ya?" ucapnya seraya menggenggam tanganku yang memeluk perutnya. Aku mengangguk.
"Tapi tetap gak ada yang seindah kamu, Yang." responku yang langsung membuatnya menoleh. Aku tersenyum simpul, dan mulai menipiskan jarak di antara wajah kami hingga bibir kami bertemu di atas sini.
Aku mencintainya, dan aku ingin selalu bersamanya.
Aku menjauhkan wajahku, gantian memejamkan mataku dan menumpukan daguku lagi padanya.
Selamanya. Aku harap akan tetap seperti ini.
. . .
Aku tak bisa berhenti untuk memperhatikan Adrian. Saat dia bicara, tertawa, makan dan sekarang, dia sedang menjilati ice cream vanilla pembelianku. Dalam keadaan seperti ini, dia berkali lipat terlihat lebih manis. Ya, dia tidak terlalu manis juga sih untuk ukuran seorang remaja. Wajahnya tampan, tapi mata dan hidungnya lah yang membuatnya lucu.
"Kenapa ngeliatin Yayang terus?" tanyanya, menghentikan jilatannya sebentar.
"Gak boleh emang ngeliatin pacar sendiri?" aku balik bertanya. "Habis gimana? Yayang terlalu cakep buat gak diliatin," lanjutku yang membikin senyum Adrian mengembang.
"Kakak juga cakep," balasnya seraya menyodorkan Ice cream-nya ke arahku. Aku pun menjilatnya dari atas, sampai ke jari-jari tangannya yang juga terasa manis akibat lelehan ice cream.
"Manis. Sama kaya yang megang," desisku merayunya. Wajahnya sukses merona.
Ice cream Adrian sudah habis, kini dia sibuk mengelap mulutnya menggunakan sapu tanganku. Dan tanpa aku duga, dia justru ikut membersihkan wajahku juga.
"Muka kakak keringetan," katanya penuh perhatian.
"Gak apa-apa. Cowok keringetan itu maskulin,"
"Untuk ukuran kakak, gak bisa disebut cowok lagi tau!"
"Ukuran apa hayoo?"
"Ih, apaan? Jorok deh pasti!"
"Tapi iya sih, panjang delapan belas sentimeter emang gak bisa disebut ukuran cowok," dan kepalaku pun langsung saja mendapatkan toyoran dari Adrian.
"Yayang gak mau tau!" bentaknya yang juga menahan tawa. Dan kami pun tertawa bersama.
Aku bahagia hari ini. Sungguh. Dan aku tak mau hari ini cepat berakhir. Namun semua tetap tak bisa sesuka keinginanku, sebab Ibu mengirimiku pesan...
[Cepat pulang, nak. Jangan malam-malam sampe ke rumah]
Aku menghela nafas lesu, menatap Adrian yang sedang memilih-milih gantungan ponsel di tempat penjual boneka. Aku masih ingin bersamanya.
Aku belum mau pulang, Bu. Batinku menjawab.
Perlahan, aku mendekati Adrian. Ikut menjengukan wajahku, melihat dari dekat gantungan-gantungan yang lucu ini.
"Pusing, nih. Bagus-bagus semua gantungannya," Yayang berkata pelan, masih sambil memilih-milih. Aku pun tersenyum, mengambilkan satu gantungan berbentuk Garfield.
"Ini aja, Yang," aku menyerahkan gantungan pilihanku padanya. "Atau ini?" lalu juga menyerahkan gantungan berbentuk Spider-Man. Spider-Man adalah tokoh pahlawan favorit Adrian.
"Ini mau mirip Yiraya, ya?" gumam Adrian sambil menatapku ketika melihat wajah Garfield pada gantungan yang tadi aku pilihkan. Aku pun mengangguk. Rupanya pemikiran kami sama. Garfield memang hampir mirip seperti Yiraya, meskipun kucing pemberianku untuk Adrian dalam versi lebih kecilnya.
"Tapi kalo gantungan ini aku pakein buat jadi kalung Yiraya gimana?" tanya Adrian. Aku menerawang sebentar.
"Boleh juga sih. Tapi gak ada suaranya nanti," responku begitu ingat kalau kucing kurang afdol bila hanya berkalung tanpa ada bel kecil-kecilnya.
"Iya, sih. Lagian ini juga belum tentu muat dileher Yiraya," Adrian mendelik memandangi si Garfield. Aku terkekeh, mengelus rambutnya sekilas lalu mulai memilih-milih lagi.
"Yang, ini aja," cetusku sembari menunjukan gantungan pilihanku padanya. Adrian mengernyit, mungkin karena gantungan ini terlalu simple. Namun tak lama, matanya terlihat berbinar.
"A buat kakak, yang R buat Yayang, ya?" Adrian merebut gantungan berabjadkan R dari tanganku. Dia juga mengerti maksud dari dua gantungan yang aku ambil ini rupanya. Aku tersenyum.
"Mas, kami ambil dua gantungan ini," seruku teruntuk sang penjual.
. . .
Adrian memandang senang bergantian pada dua ponsel yang berada di atas pangkuannya. Satu ponsel milikku yang sudah dipasangkan gantungan berabjad A, dan satunya lagi ponselnya yang terpasangkan gantungan berabjad R. Kemudian Adrian mengangkat ponselku bersamaan dengan adanya bunyi nada pertanda pesan masuk.
"Kakak, daritadi Ibu udah sms? Kenapa gak bilang?" tanya Adrian memandangku penuh selidik. Dia pasti sudah membaca pesan-pesan masukku yang otomatis akan terlihat semua jika ingin dibuka.
Aku merebut pelan ponsel milikku dari genggamannya untuk membaca pesan yang baru masuk tadi, dari Ibu.
[Nak, kamu di mana? Lekas pulang. Yayang sudah sama kamu kan? Nanti malem lho nyampenya.]
Aku mendecak pelan, setelah itu menatap Adrian yang juga tengah menatapku.
"Maaf," ucapku. "Kakak masih mau lama-lama sama kamu, Yang," tuturku penuh sesal. Aku gerakan tanganku untuk mengusap pipinya. Adrian menyentuh tanganku, menggenggamnya lalu menautkan jari jemari kami yang setelah itu dia kecup.
"Yayang bakal sama-sama kakak terus, kok. Nanti kita pulang ke rumah kakak 'kan? Jangan khawatir, pasti Yayang satu kamar sama kakak. Kita kan bakal bisa tetep berduaan. Ya?" Adrian coba meyakinkanku, tersenyum tulus menandakan betapa seriusnya dia berkata demikian.
Aku pun memberinya anggukan, dan Adrian melepaskan pegangannya. Mengambil ponselku dari tanganku, lalu memasangkan safebelt pada tubuhnya.
Baiklah kalau begitu, kami akan pulang sekarang juga.
. . .
Aku sudah bisa melihat jalanan di depan rumahku, tetapi sayangnya Adrian tertidur. Begitu pulas, dan hembus nafasnya pun amat teratur. Dia pasti sangat kelelahan. Aku memperlambat laju mobilku, jantungku berdebar kencang. Masih merasa ragu sekaligus tidak siap. Ya allah, apa yang harus aku lakukan?
Tapi kemudian, bola mataku sedikit melebar melihat Ibu kini sedang berdiri di tepi jalan. Saat Ibu menoleh ke arahku, Ibuku terlihat menghembuskan nafas lega. Aku pasti sudah membuatnya khawatir karena menunggu terlalu lama.
Laju mobil aku normalkan kembali, aku turunkan kaca mobil di sampingku. Begitu mobilku sudah aku parkirkan di pelataran rumah, mesinnya langsung aku matikan. Aku lalu membukakan safebelt yang terpasang di tubuh Adrian, setelahnya beralih ke milikku sendiri.
"Ini Yayang?" bisik Ibu bertanya sesudahnya ia menjengukan kepala ke mobilku. Aku tersenyum, diselingi anggukan.
Aku buka perlahan pintu di sebelahku, turun dari mobil dan menutup pintunya lagi. Aku raih tangan Ibu untuk aku salami dengan ciuman.
"Maaf, Bu. Tadi Rama ngajak Yayang jalan-jalan dulu, tuh sampe dia kecapekan," ujarku. "Oh iya, Bu. Tolong ambilin kue, tas sama Jas Rama di jok belakang, ya. Biar Yayang Rama yang ngangkatin ke dalem, gak tega buat bangunin dia," lanjutku yang Ibu balas dengan anggukan paham, sedangkan aku memutar arah. Ada seseorang yang harus aku angkat ke dalam kamar.
Dan entah kenapa, aku sedikit mengsyukuri ketiduran Adrian ini.
. . .
"Ini kue buatan siapa, Ram?" tanya Ibu sekeluarnya aku dari kamar. Adrian sudah aku baringkan di atas kasurku tanpa membangunkannya sedikit pun.
Aku menoleh, saat ini Ibu sedang sibuk mencicipi kue Adrian yang memang diperuntukkan buatnya. Aku lalu berjalan menghampirinya.
"Ini buatan Adrian. Dia jago bikin kue, Bu. Dan kue ini emang dia kasih buat Ibu," jawabku. Ibu mengernyit.
"Adrian?"
"Nama asli Yayang Adrian, Bu." aku menjawab lagi kebingungannya.
"Tapi ini ada satu potongan, bekas siapa?" aku pun terkekeh yang langsung dibalas gelengan Ibu. Aku ambil lagi satu potongan kue untuk aku makan.
"Adrian itu adik temanmu kan, nak? Tapi kenapa rumahnya jauh sekali?" Hampir saja aku tersedak mendapati pertanyaan dari Ibu tadi. Kutelan dulu kue yang aku kunyah sebelum menjawab.
"Iya, Bu. Adik temen Rama yang juga kuliah sejurusan sama Rama dulu. Kan rumah dia juga gak di sini, tapi di luar kota," aku mengeluarkan jawaban yang sudah aku simpan jauh-jauh hari sebagai persediaan. Karena aku yakin, hal seperti ini pasti akan terjadi.
Ibu mengangguk-anggukan kepalanya. Menutup kotak kue yang setelah itu dia bawa menuju ke dapur.
"Lho, Bu? Rama masih mau." rengekku coba menahannya.
"Ini kan kue buat Ibu, jangan di habiskan. Kalau mau, makan aja sana. Ini biar disimpan dulu." komentar Ibu melanjutkan langkahnya menuju dapur.