BoyzForum! BoyzForum! - forum gay Indonesia www.boyzforum.com

Howdy, Stranger!

It looks like you're new here. If you want to get involved, click one of these buttons!

Selamat datang di situs Boyzforum yang diarsipkan oleh Queer Indonesia Archive. Forum untuk komunitas gay Indonesia yang populer ini didirikan pada tahun 2003, dan ditutup pada tanggal 15 Desember 2020.

Forum ini diabadikan untuk kepentingan sejarah. Tidak akan ada konten baru di forum ini. Silakan menikmati forum ini sebagai potongan dari sejarah queer Indonesia.

DEMI IBU

2

Comments

  • [Part 8]

    "Rama mau langsung tidur ajalah, Bu!" seruku seraya berbalik berjalan menuju ke kamar.

    "Mandi dulu!" titah Ibu yang meneriakiku dari arah dapur. Aku lupa kegiatan wajib yang satu itu. Tapi tidak apalah. Lagipula aku malas untuk mandi, sudah malam juga.

    Aku buka pintu kamarku, masuk ke dalam, lalu menutup pintunya lagi. Adrian masih terlelap, dan aku suka wajah tertidurnya saat ini. Aku membuka dua kancing kemeja teratasku, melepas ikat pinggangku yang setelah itu kugantungkan pada paku di balik pintu.

    Aku hampiri tempat tidurku perlahan, ke sisi di mana Adrian sedang terbaring. Dia sungguh manis dan polos. Dari matanya yang terpejam, hidungnya yang mancung lucu, bibir tebal merahnya dan juga wajah putih bersihnya. Aku merunduk, mendaratkan satu kecupan singkat ke bibirnya dan kedua pipinya. Adrian menggumam tak jelas dalam tidurnya, dan aku pun kembali tersenyum.

    "Kakak sayang kamu, Yang." bisikku ke telinganya.

    Aku tegakkan tubuhku, mulai berjalan ke sisi tempat tidurku yang kosong. Seterbaringnya aku di ranjang ini, aku menangkupkan tanganku di atas perut Adrian. Akhirnya, aku bisa tidur berdua bersamanya.

    ***

    Aku mengerjapkan kedua bola mataku, mendapati silau yang membuat indra penglihatanku menyipit. Jendela kamarku sudah disingkapkan, membuat sinar matahari menembus masuk ke dalam.

    Aku membangunkan diri, mendudukan badanku di atas tempat tidur ini lalu meregangkan otot-otot tubuhku. Aku lihat jam dinding yang sudah menunjukan pukul 7.

    Ya ampun, kenapa aku tidak dibangungkan oleh Ibu?

    Beberapa saat, aku masih terdiam di atas ranjangku sampai mataku menangkap seonggok jaket di kursi kerjaku yang aku kenali siapa pemiliknya.

    Aku tolehkan kepalaku ke samping, dan Adrian sudah tidak ada di tempatnya. Ke mana dia?

    Bergegas, aku turun dari tempat tidurku ini. Berjalan cepat menyambar pintu, dan menolehkan kepalaku ke sana ke mari. Adrian, kamu di mana, Yang?

    Namun langkahku melambat saat kurasakan suara Adrian dan Ibu terdengar bersahutan dari arah dapur, bersamaan dengan suara lainnya yang biasa tercipta ketika tengah masak-memasak.

    "Gak tau, Bu. Kak Rama gak pernah cerita,"

    Itu suara Adrian. Kenapa namaku disebut-sebut? Cerita soal apa?

    "Siapa tau lho, nak. Ibu selalu ingin tau apakah ada seseorang yang sudah Rama siapkan untuk dia jadikan calon istri, tapi ternyata Rama pun tak pernah cerita apa-apa sama kamu,"

    Ibu bilang apa tadi?

    "Kamu tau kan Rama itu anak tunggal Ibu?"

    "Iya, Bu,"

    "Usia Rama itu sudah hampir tiga puluh, tetapi tak pernah Ibu lihat dia menggandeng wanita. Padahal inginnya Ibu, dia itu cepat menikah agar Ibu bisa segera nimang Cucu. Anak-anak tetangga Ibu yang lain saja, yang lebih muda dari Rama sudah banyak yang menikah dan punya anak,"

    Ya Allah. Apa yang sedang Ibu bicarakan? Tidak, Bu. Hentikan! Rama mohon. Batinku meracau.

    "Menurut nak Yayang, Rama itu bagaimana?"

    "Kak Ramadan baik, Bu. Dia juga santun dan mandiri," suara Adrian terdengar berat dan lirih dari sini.

    "Bukan itu. Apa menurut Nak Yayang, lelaki seusia Rama masih pantas menyendiri tanpa istri?"

    "E-eh? Saya kurang tau dan mengerti, Bu. Jadi saya gak tau mau jawab apa,"

    "Lho? Memangnya kakakmu yang sudah menikah belum?"

    "Siapa, Bu?"

    "Rama bilang, kakakmu itu temannya kan. Benar nggak?"

    "O-oh, Iya, Bu. Hehe. Maaf, saya kurang nangkap tadi,"

    "Hmm. Nah, kakakmu ini sudah menikah kan? Perempuan atau lelaki?"

    "Kakak saya perempuan, Bu. Dia masih muda, jadi belum menikah,"

    "Loh, Ibu kira kakakmu dan Rama seumuran?"

    "E-eh, itu..." Aku tau, Adrian mulai dilanda gugup.

    Ibuku terdengar berdehem. "Kamu mau tidak ngebantu Ibu?"

    "Bantu apa, Bu?"

    "Tolonglah, carikan calon kekasih atau istri buat Ramadan,"

    Deg!

    Tidak, Bu. Jangan.

    "Ini demi kebaikan Rama juga, nak. Atau mungkin, kakakmu bisa dijadikan calon mantu untuk Ibu? Mumpung Rama dan kakakmu sudah saling kenal, kan?"

    Kenapa semuanya justru menjadi serumit ini? Sebenarnya apa maksud Ibu?

    "Ini demi Ibu, nak,"

    Adrian, apa jawaban yang akan diberikannya?

    "Iya, Bu. Insya allah. Saya bantu sebisa saya."

    Seketika, tubuh ini melemas dalam posisi berdiriku. Aku sudah tidak mau mendengar apapun lagi, dengan lunglai aku berjalan kembali ke kamar.

    Aku tak habis pikir, mengapa Adrian memberikan jawaban itu? Tidak kah dia sakit hati? Aku yang mendengarnya saja merasakan sakit, apalagi Adrian yang menghadapinya langsung.

    Lama, aku terpekur di ujung ranjangku. Melemparkan tatapan kosong ke ambang pintu kamar digeluti berbagai macam pemikiran perihal pembicaraan Ibu dan juga Adrian tadi. Sampai aku belum sempat melakukan apapun. Tidak mencuci muka, mandi apalagi sarapan. Meskipun suara Ibu sudah terdengar menyahut dari luar kamar sejak beberapa menit yang lalu. Sungguh, aku sedang tidak menginginkan apapun. Kecuali...

    "Kakak?"

    Itu suara Adrian. Kukerjapkan mataku, menghilangkan kekosongan tatapanku akan hadir sosoknya. Wajah dan matanya... berubah. Dan aku tau betul, apa yang tengah dia rasakan saat ini. Ada kesakitan mendalam di sana.
  • Aku berdiri dari dudukku, untuk langsung berjalan cepat mendekati Adrian. Aku tarik tubuh kecilnya, menutup pintu di belakang punggung Adrian untuk kemudian aku dekap dirinya. Aku remas kuat-kuat rambutnya, mengeratkan lekatnya dia denganku sambil terus meringis.

    Perih. Tak hanya hatiku, tapi juga perasaan orang yang aku cintai ini.

    "Maafin kakak, Yang," lirihku. Bisa aku rasakan berat dan tersendatnya suaraku sendiri.

    "Kakak kenapa?" suara Adrian pun tak kalah berat dariku.

    "Harusnya sejak awal kakak gak bawa Yayang ke sini. Jadi Yayang gak akan ngebicarain hal itu sama Ibu. Maaf... lagi-lagi kakak nyakitin Yayang,"

    Adrian tak menyahut. Tetapi suara tangisnya pecah. Ia meraung dalam pelukanku. Meremas kuat-kuat kedua pundakku dan terisak pilu.

    "Ya-Yayang gak tau, Kak. Yayang bingung," ujar Adrian dengan suara tertahan.

    "Kakak cinta kamu. Apapun yang terjadi, kakak tetep cinta Yayang. Ya? Udah. Jangan nangis," aku berusaha menenangkannya, membelai rambutnya sambil menciumi puncak kepalanya bertubi-tubi.

    Demi Allah, aku tak ingin melepaskannya meski aku tahu ini salah. Bagiku, Adrian terlalu berharga.

    . . .

    "Ramadan, kenapa kamu kaya yang keliatan lemes gitu? Gak enak ya makanannya? Padahal tadi nak Yayang juga ngebantu masak menu sarapan ini, lho," Ibu menegurku dengan pertanyaan. Sudah seperkian menit berada di meja makan, sepertinya lesuku memang kentara terlihat olehnya.

    "Bukan gitu, Bu. Ramadan cuma masih... emm, kurang istirahat aja," jawabku berbohong. Ibu memperhatikanku dengan seksama setelahnya.

    "Muka kamu kusut banget, Ram. Sehabis ini cepat mandi, ya." Titah Ibu yang langsung aku jawab dengan anggukan.

    Sesuai perintah, sehabis sarapan aku langsung berniat menuju ke kamar untuk membersihkan diri. Mungkin dengan membasuh tubuhku, keadaanku bisa jadi lebih baik.

    "Kamu gak ikut mandi, Yang?" bisikku pada Adrian sebelum beranjak dari meja makan. Aku melirik Ibu yang sedang sibuk di dapur. Adrian menggeleng, tertunduk sebentar lalu memberikan senyumnya untukku.

    "Kakak mandi aja, Yayang udah mandi kok sebelum kakak bangun tadi. Dan Yayang juga sekalian mau bantu-bantu Ibu ngebersihin meja makan nih," jawabnya dengan suara pelan. Aku memandangnya lekat, membuat Adrian bersemu dan mendorongku untuk menjauh.

    "Udah! Mandi sana!" tegasnya mendesis.

    Aku pun sedikit bisa mengulas senyum. Sepertinya kondisi Adrian sudah membaik.

    . . .

    Aku baru saja selesai mandi, melilitkan handuk ke pinggangku, setelah itu membuka pintu. Aku menyernyit karena belum juga mendapati Adrian di dalam kamar ini.

    Ke mana dia? Masihkah berada di dapur bersama Ibu?

    Aku berjalan mendekati lemari lalu membukanya, memilih sembarang pakaian dan celana yang ingin aku kenakan. Hari ini libur, dan aku ingin bersantai sepuasnya di rumah. Bersama Yayang dan Ibu tentunya.

    Celana jeansku baru saja aku lekas naikan zippernya saat tiba-tiba pintu kamarku yang memang sengaja tidak aku kunci terbuka dari luar. Di sana ada Adrian, masih memegang gagang pintu, menatap ke arahku tanpa berkedip dengan wajahnya bersemu. Sebab, ini adalah yang pertama kalinya bagi Adrian menyaksikan aku bertelanjang dada.

    "Jangan bengong begitu. Nanti kamu kesambet, Yang," kataku seraya mengancingkan celana jeansku. Adrian pun mengerjap, tersenyum simpul kemudian mulai melangkah masuk. Menutup pintu kamarku perlahan, dan berdiri diam di sana.

    "Kenapa diem di situ? Sini!" Aku mengisyatkan tanganku, menyuruhnya mendekat.

    Perlahan, Adrian pun berjalan mendekatiku. Masih tersirat jelas rona merah di wajahnya.
    Dan setibanya Adrian di hadapanku, ia tak bisa menahan diri untuk tidak menyentuh perutku yang berbentuk kotak-kotak, meski tak terlalu menonjol. Aku terkekeh, dan Adrian tertawa gugup.

    "Perut kakak bagus," pujinya. Sudah seringkali aku dipuji begitu, namun mendapatkan pujian dari mulut kekasihku sendiri, rasanya beratus kali lipat terdengar lebih berarti.

    Aku mengusap pipinya, "Makasih, Yang," Aku menunduk, mengecup pipinya pelan dan beralih untuk melumat bibirnya.

    Adrian terkentak. Tak lama, karena ia langsung mengimbangi lumatan dan sesapanku dibibirnya. Lidahnya terasa jauh lebih hangat dari waktu-waktu yang lalu, mungkin karena aku barusan mandi dan kedinginan. Tanpa bisa aku kendalikan, tubuh kami berdua pun ambruk ke atas ranjang dengan Adrian yang berada di bawahku.

    "Emmh," suara lenguhannya pun terdengar amat merdu di telingaku.

    Aku menjauhkan jarak antara wajah kami, mendapati ekspresi penuh rona dipipi putihnya, dan bibirnya merekah merah, sangat manis. Lagi, aku mulai menciuminya, kali ini dari dahi, pipi hingga ke ceruk lehernya yang langsung membuat Adrian berontak di bawahku.

    "Ja-jangan, Kak," suaranya hampir tak terdengar. Aku tak menghiraukannya, dan malah makin menjadi dengan menyusupkan tangan kananku ke dalam kaos yang di pakainya. Memilin satu tonjolan di dadanya yang membuat Adrian memekik tertahan.

    "Gak apa, Yang. Sekali-kali kita begini," ujarku yang setelah itu menciumi lehernya. Lebih liar dan bernafsu.
  • Adrian mengerang di bawah tubuhku, bergerak gelisah yang justru membuat lututnya mengenai alat vitalku yang sudah sangat mengeras. Aku menahan berat badannya, makin menjadi dengan memberanikan diri melepaskan kaos Adrian. Tangannya yang lebih kecil meremas dada telanjangku, sedangkan aku mengecup puncak telinganya, beralih ke lehernya dan berakhir di dadanya. Berlama-lama di sana, mengesap setiap inci kulitnya yang polos menggunakan gigi dan lidahku.

    Sudah sejak lama aku ingin melakukan ini padanya. Tetapi hasratku selalu terbatas untuknya.

    Adrian menggigit kaosnya kuat-kuat, mencoba meredam suaranya sendiri ketika aku mulai menjilati puting dadanya. Tanganku bergerilya nakal, dari mengusap pipi Adrian, membelai lehernya, meremas pundaknya, turun menyentuh dada hingga sampai ke selangkangannya. Yang seketika itu pula membuat Adrian langsung mendorongku menjauh.

    Aku menatap Adrian yang kini terlihat tengah coba mengatur nafasnya yang terengah di kepala ranjangku. Wajahnya memerah hebat, kaos di tangannya ia remas erat, di dada polosnya sudah tertinggal beberapa bekas merah akibat perbuatanku, dan tercetak jelas bagian sedikit meninggi di antara pahanya.

    Aku mendesah parau. Apa yang sudah aku lakukan pada lelakiku ini?

    "Maaf, Yang," Aku beringsut mendekatinya. Adrian menunduk, seolah tak berani menatapku.

    "Ja-jangan, Kak," suara Adrian bergetar. Aku sudah membuatnya takut.

    "Iya, maaf," aku mengusap sisi kiri wajahnya. "Kakak gak akan bertindak sejauh itu la--"

    "Yayang gak keberatan kok!" potong Adrian, dia menatapku masih dengan rona merah di wajahnya. "Yayang, cuma takut ketahuan Ibu, kak,"

    Degup jantungku menghentak keras.

    "Kakak gak lupa kan, kita sekarang lagi ada di mana?" Seketika aku tersadar dari segala atmosfir menegangkan ini.

    Ya Allah, rasanya sekarang nafsu birahiku sudah tak tersisa lagi. Adrian benar. Kenapa aku bisa melupakan poin penting itu?

    Aku memandang Adrian yang terlalu sulit untukku abaikan. Tubuhnya benar-benar indah. Sosok polos yang selalu aku dambakan. Tetapi, sepertinya cukup sampai di sini saja. Aku tersenyum, kemudian saling menempelkan dahi kami.

    "Kakak minta maaf untuk yang tadi, ya," ucapku kaku. Adrian mendongak, ia melumat bibir bawahku cukup lama seolah ingin memberitahu aku, bahwa sebenarnya ia pun sangat menginginkanku.

    Aku tersenyum begitu ciumannya berakhir, Adrian memelukku. Menjalarkan hangat tubuhnya padaku. "Gak ada yang perlu dimaafkan, kak."

    Dan aku sungguh-sungguh mencintai lelaki kecilku ini. Adrian.

    . . .

    "Rama, udah selesai mandinya?" Tanya Ibu begitu aku menapakkan kakiku ke ruang depan. Aku pun mengangguk buatnya, mendudukkan diriku ke atas sofa di samping Ibu. "Adriannya mana?" tanya Ibu lagi sambil membelai lembut rambutku yang masih basah.

    "Ada di kamar, mau nelpon Mamanya dulu katanya. Ngasih kabar," jawabku cepat. Dapat aku lihat Ibu tersenyum, tetapi garis matanya tampak berbeda.

    Ibu menurunkan tangannya dari kepalaku, beralih ke atas pahaku.

    "Nak?"

    "Iya, Bu?"

    Ibu terlihat menghela nafasnya terlebih dulu, lalu menggeleng.

    "Kamu itu anak Ibu, nak," ucapnya.

    "Ramadan tau, Bu," responku cepat.

    Rasanya ada yang aneh pada Ibuku. Ataukah ini hanya perasaanku saja?

    "Ibu, gak apa-apa kan?" gantian, aku yang bertanya.

    "Ibu baik-baik saja,"

    Tetapi, justru aku yang dilanda perasaan tidak baik-baik sekarang ini.

    "Ibu mau minta tolong, nak,"

    "Minta tolong apa, Bu?"

    "Banyak bahan-bahan di dapur yang habis. Kamu mau kan belanja kaya biasanya? Atau kamu masih lelah?" pinta Ibu yang di akhiri tanya. Aku memberinya anggukan sambil tersenyum.

    "Iya, Bu. Rama siap! Badan Rama juga udah bugar lagi kok, gak capek lagi," jawabku lugas. Ibu tersenyum, kemudian berdiri dari duduknya.

    "Biar Ibu lihat dapur dulu buat meriksa lagi. Kamu panasin aja dulu mobilmu," kata Ibu sebelum berlalu dari hadapanku.

    . . .

    Ibu keluar dari dalam rumah tepat setelah aku menapakan kakiku ke teras. Ibu tak keluar sendiri, Adrian ikut bersamanya.

    "Ini," Ibu menyodorkan kertas berisi daftar belanjaan padaku. "Semuanya kamu beli dengan jumlah secukupnya. Buat yang lain-lain, kamu bisa tambahkan sendiri kaya biasanya," perjelas Ibu setelah aku menerima kertas yang ada ditangannya yang langsung aku kantongi.

    "Yay-ehem! Adrian mau ikut?" tanyaku pada Adrian. Hampir saja aku salah tempat menyebutkan panggilan sayangku untuknya. Meskipun Ibu sudah mengetahui panggilan itu, tetap saja aku merasa tak enak.

    Adrian baru akan membuka mulutnya.

    "Gak apa. Adrian biar sama Ibu di rumah, buat nemenin Ibu mumpung ada temen," Ibu menyela, membuat bibir Adrian tertutup dan ia memberikan anggukan buatku, tanda setuju.

    "Kalau gitu Rama pergi dulu ya, Bu," ucapku seraya menyalami tangan Ibu kemudian. "Assalamu'alaikum." pamitku mulai beranjak.

    "Wa'alaikumsalam." jawab Adrian dan Ibu bersamaan.

    Senang rasanya melihat Ibu yang sepertinya amat menyukai sosok Adrian. Meskipun aku terus bertanya-tanya, bagaimana jadinya kalau sampai Ibu tahu hubunganku yang sebenarnya dengan Adrian?
  • [LAST Part]

    ***

    "Assalamualaikum!" Seruku setelah membuka pintu depan menggunakan tangan kiriku, sedangkan tangan kananku membawa beberapa kantong plastik belanjaan pesanan Ibu.

    Ke mana ya Ibu dan Adrian? Kenapa tak ada yang menjawab salamku?

    "Ibu?! Adrian?!" Seruku sekali lagi seraya menutup pintu. Tetap tak ada jawaban terdengar.

    Aku pun melangkahkan kakiku, mulai menelusuri ruang demi ruang dalam rumahku ini. Lalu aku menemukan salah satu sosok yang sedang aku cari yang sedang memotongi sayuran di dapur. Mau masak apalagi kekasih kecilku ini?

    "Yang?" panggilku yang sukses membuat Adrian berkedik hebat di tempatnya. Dia menoleh dengan tatapan terkejut. Wajahnya terlihat lucu.

    "Kakak, udah pulang?" tanyanya.

    Aku mengangguk, meletakan kantong-kantong belanjaanku di atas meja yang berada di samping kulkas. "Kamu masak apalagi, Yang?" aku balik bertanya. Adrian menolehkan kepalanya ke arah sayuran hasil potongannya, lalu tersenyum.

    "Cuma sup aja. Pengen yang bening-bening, sekalian ngehabisin bahan yang ada," jawabnya. Aku mengangguk-anggukan kepalaku, bergerak mendekat dan merengkuhnya perlahan.

    "Kakak, nanti Ibu liat, lho!" hardik Adrian sambil mencoba melepaskan diri dariku.

    "Oh, ya. Emangnya Ibu di mana, Yang?" tanyaku yang baru teringat lagi. Aku belum melihat Ibu. Aku pun melepaskan tubuhnya, Adrian memberengut. Membuat aku gemas.

    "Ada di kamar kakak kayanya," dia tersenyum, melanjutkan kembali kegiatan memotong sayurannya. "Terakhir Yayang liat Ibuada di sana, sih,"

    "Ya udah, kalo gitu kakak mau nemuin Ibu dulu, ya," kataku seraya mulai berbalik. Tapi, kemudian Adrian menyahut,

    "Demi Ibu, Kak,"

    Aku menghentikan langkahku sejenak, menoleh ke Adrian. Dan kekasihku itu masih memasang senyumannya.

    "Udah sana, temuin Ibu,"

    Mengapa tiba-tiba perasaanku jadi tidak tenang begini?

    . . .

    "Ibu," Panggilku seterbukanya pintu kamar. Ibu sedang terduduk di ujung ranjangku, di pangkuannya terlihat satu bingkai foto yang tengah diusapnya lembut. Itu fotoku.

    Ibu tersenyum mengetahui kehadiranku, dia melambai seakan memintaku untuk duduk bersamanya. Aku pun berjalan mendekat, mendudukan diriku tepat di sampingnya.

    "Lagi apa, Bu?" tanyaku. Ibu memperlihatkan bingkai foto dalam genggamannya padaku.

    "Lihat, nak. Ini foto kamu saat kamu mau melamar kerja dulu. Kamu pakai kemeja rapi, dasi, sepatu mengkilap,"

    "Ah, jadi ingat dulu," Aku terkekeh pelan mengingat masa enam tahunku yang lalu. Ibu memaksaku untuk mau difotonya, mengingat aku yang memang jarang berpenampilan seformal itu.

    "Kamu mirip betul ya, nak, sama Ayahmu," gumam Ibu. Tangannya bergetar mengusap wajah berbingkaiku. Kemudian dia menoleh padaku, tersirat jelas bening-bening tertahan dalam matanya. "Andai saja dia masih ada ya, Nak. Ibu yakin, kamu pasti gak akan jadi sesusah ini," katanya. Aku menghela nafasku yang mendadak terasa sesak, memberikan gelengan lemahku untuknya.

    "Udah, Bu. Gak usahlah mikirin itu lagi. Ada Ibu pun Rama sangat bersyukur. Rama gak apa-apa bila pun mesti susah, karena Rama rela melakukan apapun untuk Ibu. Ibu yang udah ngebesarin Rama selama ini, dan ini belum seberapa dari semua pengorbanan yang udah Ibu kasih ke Rama," tuturku buatnya seraya menyunggingkan senyum. Ibu terdiam sejenak, lalu menaruh fotoku ke atas ranjang.

    "Apapun untuk Ibu?" tanyanya memastikan dengan menatapku serius. Aku memberinya anggukan mantap. "Kalau begitu, Ibu mau kamu jujur sama Ibu, nak,"

    Jantungku tiba-tiba saja berdebar tidak tenang.

    "Ju-jujur soal apa, Bu?"

    Ya Allah, aku bahkan langsung dilanda gugup begini. Apa yang Ibu inginkan dari kejujuranku?

    "Pertama, Ibu mau kamu jujur, jawab ini," Ibu memberi jeda, yang justru mempercepat debaran kegugupanku. "Kamu sebenarnya sudah punya kekasih atau belum, nak?"

    Aku mengerjap, sedikit mampu menghela nafas lega. Rupanya apa yang ingin Ibu bahas masih sama seperti hari-hari yang lalu. Ibu masih menatapku, menunggu jawaban dariku.

    Aku memberinya gelengan pelan diiringi senyuman. "Udah berulang kali Rama bilang 'kan, Bu? Rama belum punya pacar. Dan Rama tau apa yang mau Ibu terusin setelah ini," jawabku tegas. Aku lalu menggenggam kedua tangannya. "Bu, Rama mohon. Kita gak harus kan ngebahas hal ini terlalu sering? Ibu tolong sabar, Bu. Rama--"

    "Ibu minta kamu jujur Rama!"

    Aku tersentak di tempatku. Rasanya kali ini jantungku hampir berhenti berdetak. Apa ini sungguhan? Ibu membentak aku? Padahal selama ini, Ibuku tak pernah berlaku demikian.

    Aku menatapnya bingung, namun Ibu masih tetap seserius tadi.

    "Ra-Rama udah jujur, Bu," Dan sekarang, aku amat kesulitan melontarkan jawabanku. Tenggorokanku seakan tercekat saking kagetnya.

    "Jawab jujur, Rama!" Ibu mempertajam keseriusannya. "Nak Yayang itu bukan adik teman kamu 'kan?"

    Ya Allah, aku tak mampu lagi menghadapi Ibuku. Aku tak sanggup menjawab pertanyaannya barusan.

    "Biar Ibu perjelas lagi, Rama. Jawab jujur!" suara Ibu makin meninggi. Aku kian menegang di tempatku. "Rama, Adrian itu kekasih kamu kan?!"
  • Tubuhku bergetar hebat. Tanganku tak lagi menggenggam Ibuku yang masih menghujamiku dengan tatapan menuntutnya. Jantungku sakit saking kerasnya degupan yang muncul di dadaku. Aku kelu, tak mampu mengeluarkan kalimat apapun untuk menjawab pertanyaan Ibu.

    Ya Allah... Ibuku sudah mengetahui rahasia terbesarku selama ini. Ibuku yang selama ini membanggakanku, sibuk mencarikanku calon istri, mengumbar segala pujian untukku, dan berkeinginan supaya aku dapat memberinya cucu dari calon istriku kelak. Namun sekarang... sekarang Ibuku sudah tahu, dan aku...

    "B-bu," sebutku dengan bibir bergetar. Tatapan Ibu melunak, wajahnya kali ini berubah kuyu. Terdapat raut kesakitan mendalam di sana.

    Seketika air mataku jatuh. Aku... anak tunggalnya, putra semata wayangnya adalah seorang gay. Dan Ibuku sudah mengetahui hal itu.

    "Ma-maafin Rama, Bu. Maaf!" jeritku dengan suara tertahan. Aku remas kedua punggung tangannya yang lalu aku ciumi. Bahkan air mataku pun ikut membasahi tangan berkeriputnya.

    "Demi Allah, Bu. Demi Allah," suaraku serak. "Rama gak pernah bermaksud menyembunyikan ini semua, Bu. Demi Allah, Bu," aku tersedu hebat. Rasanya seluruh syaraf dalam tubuhku pun ikut bergetar. "Rama... Ra-Rama m-minta maaf, Bu. Ya Allah, Ibu," Aku merosot ke bawah, bersimpuh di atas kakinya. "Rama minta maaf, Bu. Rama gak bisa jadi anak yang sesuai harapan Ibu. Ra-Rama," aku menghirup nafas dalam-dalam terlebih dahulu. "Maafkan Rama, Ibu..." suaraku hampir tak terdengar sudah.

    Sakit. Tak hanya hatiku, dan tubuhku. Tapi juga jiwaku. Melihat kesakitan yang terpancar di mata Ibu. Aku sudah memberinya kekecewaan yang teramat besar. Aku dibesarkannya dengan sia-sia. Tak mampu membalas sedikitpun jasanya. Ibuku...

    "Ibu," senduku menyebutnya. Lalu aku merasakan sebuah belaian yang menyamankan sakitku.

    "Kamu gak perlu minta maaf, nak." Ibuku bersuara parau. "Siapapun kamu, dan bagaimana pun keadaan kamu, kamu tetaplah Ramadan. Putra Ibu dan satu-satunya orang yang paling Ibu sayangi, nak," tuturnya lembut dan pelan.

    Aku mengangkat wajahku, mendapati rembasan air mata juga sudah memenuhi sebagian pipinya. "Kamu anak Ibu, nak. Anak Ibu,"

    "Ibu!" aku merengkuh tubuhnya. Memeluk Ibuku yang paling aku sayangi. Ibu menepuk-nepuk pundakku.

    Ibuku... pemberi jasa terbesar dalam duniaku. Satu-satunya orang yang dengan sangat tulus membesarkanku. Sosok paling berhargaku, selain Adrian.

    Ya Allah, Adrian...

    "Lagipula, Ibu sudah tau sejak lama, nak," ucap Ibu.

    "Tau apa, Bu?" suaraku masih tersendat.

    "Tentang kamu dan juga Yayang," Ibu melepaskan pelukan di antara kami, aku tercekat dalam diam. Kedua tangannya ia gunakan untuk mengusap basah dipipiku. "Kamu ini cengeng sekali, nak. Gak ingat berapa usia kamu sekarang?" ledek Ibuku. "Kamu itu gak peka, nak. Hampir setiap hari telponan dengan Yayang. Sms sampe webcam. Selama lebih dari setahun ini, kan? Hmm, meski nak Yayang bilang, kalian sudah dua tahun berhubungan," dan aku pun terkejut bukan main mendengar kalimat terakhir Ibu.

    "Ya-yayang?" sebutku terbata dan penuh tanya.

    Ibu tersenyum. "Kami sudah bicara, tapi Adrian lebih tegar daripada kamu, nak. Dia bilang, dia tau hari ini bakal seperti ini jadinya. Dia tau, Ibu sudah tau tentang kalian sejak lama." perjelas Ibu. Membungkam aku yang tak terlalu memahami pembicaraan ini. Otakku tak dapat mencernanya sedemikian kuat. Ibu menepuk pundakku. "Selama ini, Ibu selalu menekan kamu supaya kamu mau jujur sama Ibu, tetapi dasar kamunya," suara Ibu tertahan, ia terisak kembali. "Jujurlah, nak. Syukur-syukur Ibu tau lebih dulu tentang ini, kalau tidak sempat kan? Bagaimana jadinya Ibu nanti?"

    Tubuhku bergetar kembali. Tertunduk dalam merutuki kedustaanku selama ini. Dosaku teramat besar padanya.

    "Rama gak mau Ibu kecewa, Bu," ungkapku.

    "Ibu mengerti dengan beban yang kamu hadapi, tapi mumpung masih ada waktu, nak," ada jeda. "Ibu tau kamu cinta sama Yayang, tapi bisakah kamu membagi kebahagiaanmu buat Ibu juga?" pinta Ibu setelahnya. Aku lalu menatapnya, dan pandangan penuh harapnya terpancar buatku.

    Tapi, Adrian... Bagaimana dengannya?

    "Demi Ibu, kak,"
    Aku menolehkan kepalaku dengan kaku. Adrian berdiri di ambang pintu kamarku, matanya sedikit berair dan tatapannya pun kelihatan sayu. Perlahan, dia berjalan menuju ke arahku dan juga Ibu.

    "Ya-yang,..." sebutku hampir mirip bisikan. Adrian tersenyum, kemudian menatap Ibu dan aku bergantian.

    "Belum terlambat, kak. Kalau kakak mau berusaha, kakak pasti bisa. Bahagiakan Ibu, kak. Demi Ibu!" ucapnya seakan memohon padaku. Sudut mata Adrian kembali menitikan air mata. "Yayang sayang sama Kak Dadan. Tapi Yayang gak mau menghalangi kebahagiaan buat kalian, kak. Yayang--"

    Aku sudah memeluknya. "Udah, Yang. Gak apa-apa. Kakak ngerti. Maafin Kakak, ya."

    Lalu kami berdua terisak bersamaan. Terisak pilu di bawah belaian hangat dari tangan Ibuku untuk kami berdua.

    Mungkin memang sudah saatnya aku memenuhi jalan yang Ibu inginkan. Demi kebaikan kami, dan juga... masa depanku.

    [END]
  • [EPILOGUE]

    Entah sudah berapa kali aku bercermin. Aku masih saja merasa kurang dan tak tenang.
    Kurang percaya diri? Atau kurang siap? Bertanya-tanya, apa semua laki-laki merasakan hal yang sama sepertiku pada hari di mana masa lajangnya akan berakhir?

    Aku menarik nafas kuat-kuat yang kemudian aku hembuskan secara perlahan. Ini tak semudah yang aku kira dan Ibu ucapkan. Bahkan, gemuruh di dadaku pun tak kunjung mereda.

    Ya Allah, Hamba harus bagaimana?

    Tok tok tok!

    Belum sempat aku memberi jawaban dari ketukan itu, pintu ruangan di belakang tempatku yang sedari tadi diam bercermin terbuka dari luar.

    "Ya ampun, Kak Rama!" Adrian memekik tertahan sambil melangkah masuk. Ditutupnya pintu secara halus, lalu dia berjalan mendekatiku. "Kakak ngapain aja daritadi sih? Para tamu undangan dan Kak Intan udah nunggu tau!" omel Adrian.

    Aku tertunduk agak sungkan melihat pantulan sosoknya dari cermin ini. Lalu kembali menengok penampilanku. Kemeja putih yang dirangkap jas hitam, peci dengan warna yang sama bertandang diatas kepalaku, begitupun juga dengan celananya yang menutupi pinggang hingga kakiku.

    "Emm, kakak masih kurang, dek," ucapku sedikit gugup.

    "Kurang apalagi, kakak?" tanya Adrian sambil berkacak pinggang.

    "Ku-kurang siap," jawabku hampir seperti bisikan.

    Adrian menghela nafasnya pelan, kemudian menghampiriku. Menepuk kedua pundakku setelah itu membalikan tubuhku. Dia tersenyum, meneliti penampilanku dari peci hingga sepatuku. Setelahnya ia menatap ke dalam mataku lekat-lekat.

    "Aku percaya sama Kak Rama. Jangan ragu lagi. Bukannya udah sering kita yakin, kalo ini emang yang terbaik?" aku mengangguk menjawab pertanyaannya. "Jangan kecewain aku apalagi Ibu, kak." lanjutnya yang telak mendiamkanku.

    Sekali lagi, Adrian menepukku, kali ini di dada. "Yakinkan dari hati, karena Allah, dan Demi Ibu," katanya yang aku tak ingat, sudah kesekian kali keberapa.

    "Yuk! Cepet turun! Keburu Ibu dan Papa yang nyusul kemari buat nyeret kakak." titahnya tegas.

    "Iya," jawabku.

    Adrian berbalik, tetapi cepat-cepat aku meraih pergelangan tangan kanannya, menahan laju langkahnya yang berdiri di depanku.

    "Yang?"

    Aku kembali menggunakan panggilan itu buatnya, dan mungkin hanya ini kesempatan yang tersisa untukku memanggilnya 'Yayang'ku. Adrian menoleh, melirik pergelangan tangannya yang aku genggam, kemudian menghadapku lagi.

    Gemuruh di dadaku makin menjadi, aku bingung harus mengatakan apa.

    "Kak?" suaranya menyadarkanku. Aku menatapnya, memberinya senyum terbaikku.

    "Makasih ya, Yang, untuk semuanya." ucapku yang akhirnya mampu bersuara. Adrian tersenyum balik, menganggukan kepalanya lalu membalas menggenggam tanganku.

    "Apapun kebahagiaan kakak. Asal ini yang terbaik, Ad--" kalimatnya terputus. "Yayang ikhlas, dan turut senang." tambahnya.

    Bibirku seketika bergetar. Betapa baiknya lelaki muda yang pernah menjadi milikku ini.

    "B-bo-boleh Kak Dadan peluk Yayang sebelum kakak benar-benar jadi milik orang lain seutuhnya?" pintaku teramat padanya. Dan tanpa berkata apa-apa lagi, Adrian mempersempit jarak di antara kami.

    Setelah sekian lama, akhirnya aku bisa memeluknya lagi. Aku memeluknya erat, pipiku sudah terasa hangat dan lembab, dan tubuh kami berdua bergetar bersamaan.

    "Kakak harus bahagia, ya? Dan tolong, bahagiakan Kak Intan." ujarnya terisak. Aku hanya bisa mengangguk, tak sanggup mengatakan apapun lagi.

    Aku telah sangat dalam menciptakan sakit untuknya. Tetapi, ini semua keputusan kami bersama. Pada kenyataannya, semua awal bahagia bersama seseorang, tak selalu bisa kita pertahankan hingga akhir.

    Aku melepaskan pelukan ini terlebih dulu, mendaratkan satu ciumanku dipuncak kepalanya. Ciuman yang akan jadi ciuman terakhirku untuknya. Aku yang pernah dia miliki sebagai Kak Dadan, memang akan tetaplah jadi kakaknya. Namun, dengan status sedikit berbeda.

    Lalu kami berpandangan. Adrian tertawa pahit sembari mengusap basah dipipiku. "Umur kakak udah 30 tahun, lho. Jangan cengeng lagi." Nasihatnya. Aku pun mengeringkan pipiku dengan lengan jas yang aku pakai.

    "Yuk! Kita turun!" ajak Adrian sesudahnya ia mengusap basah di pipinya. Aku pun memberinya anggukan mantap.

    Ia melaju mendahuluiku, membuka pintu didepan kami kemudian melangkah keluar bersamaan. Membuka lembaran baru hidup kami mulai hari ini...

    Yang mana aku telah menjadi kakak Ipar Adrian tepat setelah koor 'Sah!' terdengar di ruang tengah kediaman Intan sesudah aku menyuarakan ijab kabulku untuk gadis ayu itu. Dia, Intan Nurmaidah. Istriku, sekaligus Kakak kandung Adrian.

    Wajah Intan bersemu ketika aku baru saja mendaratkan satu kecupan di atas keningnya. Dan raut bahagia, jelas terpancar di wajah mereka.

    Wajah satu wanita paruh baya yang akhirnya mampu aku bahagiakan dengan usahaku di bawah ketulusannya selama ini. Ibuku.

    Dan satu wajah lelaki kecil yang berkorban paling banyak untuk Ini semua. Semuanya berkat Adrian yang juga tengah tersenyum bahagia menatap kami.

    Demi Ibu.

    Dan Demi kami semua. Karena ini memanglah yang terbaik.

    [TAMAT]
  • Akhirnya selesai juga ngedit sekaligus posting cerita menye-menye ini. Maaf karena terlalu banyak drama di dalamnya, ya. :D
    Dan Makasih buat @lulu_75 @Adiie @kristal_air yang udah mau baca dan komentar. Silahkan baca lanjutannya jika berkenan.
    Dan untuk yang lain yang mungkin jadi silent reader atau pun pembaca yang sekali lirik ceritaku tapi langsung muak karena isinya, Makasih juga karena udah berkena nengok. Hihi...

    Mohon berikan kritik dan sarannya kalau sempat :)
    Kapan-kapan, aku bawa cerita lamaku lagi buat aku posting. Meskipun pasti tetap nggak akan ada bagusnya-bagusnya.

    Sekali lagi, Makasih :)
    Buh-bye.
  • adrian tegar bgt, #peluk yayang...
    sukses lah bikin mewek pagi-pagi. paling gak tahan sama cerita yg ada konflik sama ortu-nya.
    @Meong24 mention aku yo di cerita2 selanjutnya.
  • walau happy ending ... tetap mengharukan ... kuat dan tegar Andrian ... ditunggu dan mention juga kalo ada cerita yang lain ...
  • @lulu_75 @kristal_air Nanti aku mention, kebetulan baru publish cerita baru :)
  • oke @Meong24 ditunggu ceritanya ...
  • Ohh bakal diedit... Sipp baca ulang!><
  • hiks sedih ╯︿╰
    salut sama Adrian.. duhh.. Rama juga anak satu2nya jadi ga bisa nolak kan π_π
    like like (*^﹏^*)
  • bravo.........pertahankan komitment itu
Sign In or Register to comment.