Who Are You ?
Chapter 1
DOORR !
Suara tembakan memecahkan
keheningan di lorong sempit itu.
"BERHENTI !" Teriakan pemuda
menggema di lorong itu,
sedangkan pria di depannya tidak
mengurangi kecepatannya sama
sekali. Pria itu berbelok ke jalan
yang lebih sempit, dengan sigap
pemuda itu berusaha
mengejarnya lagi.
"Shit !" umpatnya, berdecak tidak
suka ketika pria tadi melompat
dengan gesit ke jalan raya.
Beberapa klakson mobil membuat
telinganya berdengung sesaat.
Pemuda itu berhenti di pinggir
jalan raya, nafasnya memburu liar,
matanya menerawang jauh ke
seluruh penjuru. Nihil ! Pria itu
tidak ada lagi.
"Demi apapun, sekarang saya
marah!" gerutunya sambil
menendang kaleng bekas yang
ada di hadapannya.
"Pelaku melarikan diri" lapor
pemuda itu melalui earphone
yang terpasang di telinganya.
"Begitukah?" suara dingin
menjawab dari sebrang
earphone miliknya.
Mata pemudia itu masih mencoba
terus menatap liar mencari jejak-
jejak pelaku yang melarikan diri,
tapi tetap saja NIHIL !
"Kembali ke markas, segera !"
perintah suara tadi. Pemuda itu
melirik ke earphonenya, seakan
dia bisa melihat sang kakak yang
sedang memerintahkannya untuk
kembali. Tidak seperti biasanya,
malam ini sang kakak sama sekali
sulit untuk di tebak.
"Lalu bagaimana dengan
buronan?" tanya pemuda tadi
tanpa mengalihkan
pandangannya dari penjuru
jalanan. Masih keras kepala!
"Kataku cepat kembali ke
markas !" desisnya dengan
perintah mutlak. Tapi pemuda itu
tahu, kakaknya sangat geram
karena buronan itu kabur.
"Baiklah" kata pemuda itu sambil
memutar bola matanya, malas
untuk berdebat dengan kakaknya
yang sangat tidak bisa di ajak
diskusi untuk saat ini. Mengingat
buronan ini bukan buronan
biasa. Pembunuhan pejabat
negara yeah, untuk sekarang itu
yang ada di headline terpanas
koran minggu ini.
Di Markas..
"Gagal heh?" suara berat
seseorang langsung membuat
seorang pria yang sedang duduk
gelisah di kursi kerjanya
terperanjat. Tidak mau image nya
yang di bilang bertangan dingin
ini jatuh karena sikapnya dengan
cepat dia merubah ekspresi
wajahnya kembali dingin.
"...." tak ada tanggapan dari pria
itu.
"Khe..khe..khe.. Menarik bukan?"
kata suara tadi sambil
menyandarkan tubuhnya di meja
milik rekannya tadi yah tentu saja
dengan seringaian yang tak
pernah hilang dari bibirnya.
Pria yang masih duduk di kursi
itu hanya melirik sekilas ke arah
temannya dan tersenyum dingin.
"Ya, sangat menarik"
Pria yang bersandar di meja itu
kini terdiam, tidak menampakan
seringaiannya lagi, matanya
menatap tajam kearah temannya
yang kini masih tersenyum dingin
walau wajah kegusarannya masih
sangat terlihat jelas.
"Aku pergi" katanya pendek, tidak
ingin mengganggu temannya
yang sepertinya ingin
menenangkan diri itu.
"Kenapa, Vin? Kau tidak mau
berdebat denganku?" tanya pria
itu dengan arogan.
Pria yang di sebut bernama Kelvin
kembali berdecak meremehkan.
"Ck ! Aku heran, kau kehilangan
mangsa tapi masih berlagak sok
keren. Lebih baik kau tenangkan
dirimu dulu dan cari jalan
keluarnya dengan baik. Ingat ! Dia
pembunuh kelas kakap. Jangan
sampai lengah, atau semua
pejabat pemerintahan disini akan
habis karena ulahnya." seru
Kelvin, matanya menatap mata
teman kerjanya itu dengan tajam.
"..." tak ada sanggahan dari
teman kerjanya, akhirnya Kelvin
beranjak dari ruangan itu.
BLAAMM !
Pintu ruangan tertutup dengan
keras, meninggalkan sang pemilik
ruangan yang sedang meremas
koran di depannya, pikirannya
menerawang jauh. Padahal ini
bukan kasus berat yang pertama
kali dia tangani, hanya saja kali ini
kasusnya aneh, sang pelaku
pembunuhan membuat tanda
salib di punggung sang korban
dengan menggunakan senjata
tajam. Sayatan itu seperti tanda
bahwa ini adalah misi balas
dendam, dari keterangan
beberapa saksi mengatakan
sehari sebelum insiden sang
korban di beri surat ancaman.
Apa yang sebenarnya terjadi. Lalu,
siapa korban berikutnya? Dan
atas apa dia membalas dendam
kepada pejabat negara? Semua
pertanyaan itu masih berkeliaran
di otak pria itu.
"Aku pulang" seru seseorang saat
memasuki sebuah rumah
sederhana tapi memiliki
segalanya, mulai dari perabotan
mewah sampai hiasan yang
harganya cukup fantastik. Sudah
bisa di tebak pemilik rumah ini
adalah orang yang royal.
"Papa.." seru anak kecil dari dalam
rumah, anak itu menyambut
seseorang yang disebut 'papa' .
"Kenapa belum tidur?" tanya sang
'papa' sambil menggendong anak
perempuan usia delapan tahun
itu ke dalam rumah.
"Menunggumu, apa lagi?" ujar
anak itu sambil memutar bola
matanya dengan jengah. Sama
sekali tidak mencerminkan anak-
anak pada umumnya.
"Tapi ini sudah malam, besok kau
harus berangkat sekolah." kata
sang 'papa' lalu menuju dapur
dan mendudukan anak itu di atas
meja.
"Terus, aku harus tidur sambil
ngenyot dot bayi begitu?" ucap
sang anak makin judes. Sangat
mirip seperti 'Daddy' nya.
Pria itu kini hanya menghela
nafas berat, berdebat dengan
anak ini sama saja membeli tiket
untuk pergi berlibur ke neraka.
Batinnya menjerit !
Comments
hanya memijat pelipisnya,
mendadak sakit kepala mulai
menyerang.
"Papa?" panggil gadis kecil itu.
"..." tak ada jawaban dari bibir
pria itu, dia hanya menaikan
sebelah alisnya menanti kalimat
dari gadis itu.
"Apa Daddy tidak mengharapkan
aku?" tanya gadis itu sambil
menghela nafas berat, meski
usianya baru beranjak delapan
tahun, tapi dari cara bicara dan
berfikir dia melebihi anak usia itu
pada umumnya.
Pria itu sedikit tersentak dengan
pertanyaan gadis kecil di
hadapannya. Tangannya terulur
untuk mengusap kepala gadis
kecil itu.
"Belum menerima bukan berarti
tidak menerimamu. Terlebih kau
adalah anak kandungnya, semua
yang ada di otak maupun fisiknya
kini ada pada dirimu.
Bersabarlah." jelas pria itu
dengan kalimat selembut
mungkin, tidak mau menyakiti
gadis kecil yang ada di
hadapannya.
Gadis kecil itu hanya mendengus
mencemoh.
"Sama tidak berarti dia peduli,
kau tidak ingat waktu pertama
kita datang kerumah ini? Kau
tidak ingat ekspresi anehnya
yang seperti alien? Kau tidak
ingat wajahnya yang jelas
menunjukan bahwa dia tidak
suka aku ada disini?" cerca gadis
itu lalu melipat kedua tangannya
di depan dada. See, ini bukan
pemikiran seorang anak usia
delapan tahun.
Pria itu teringat beberapa hari
yang lalu saat tiba di rumah ini.
Dia ingat wajah tak suka dari
ayah kandung gadis kecil yang
ada di hadapannya.
"Aku akan bicara dengannya, kau
jangan khawatir. Sekarang lebih
baik kau tidur." ucap pria itu lalu
menurunkan gadis kecil dari
meja.
Bukannya pergi beranjak ke
kamarnya, gadis kecil itu kini
menatap pria yang ada di
hadapannya dengan mata
berbinar-binar. Pria itu hanya
mendengus, dia tahu arti tatapan
mata itu. Artinya 'Papaku yang
tampan dan kuat, ayo gendong
aku'
setelah menatap gadis kecil itu
makin lama makin memelas
seperti anjing yang ingin di
pungut, pria itu lalu
menggendong gadis kecil itu
untuk masuk ke kamarnya.
BRAAAKKK
Suara pintu yang di tutup dengan
kasar cukup membuat pria itu
terkejut sesaat setelah keluar dari
kamar gadis kecil itu. Pria itu
melangkahkan kakinya menuju
ruang tengah, dia melihat Pria
yang dua tahun di atasnya
dengan seragam polisi sedang
melepaskan sepatunya. Pria itu
cukup tahu, mungkin tentang
masalah pembunuhan kepada
para pejabat negara yang
membuat pria di hadapannya
tampak kesal meski mencoba
menutupi wajah kesalnya dengan
ekspresi yang dingin seperti
biasanya. Dengan langkah biasa
dia melewati pria itu yang masih
berkutat dengan sepatunya,
kearah dapur. Menyiapkan teh
manis layaknya seorang istri.
"Sepertinya kasusnya cukup rumit
ya?" tegur pria itu sambil
meletakan secangkir teh di
hadapan pria yang memakai
seragam polisi itu.
"Bukan urusanmu" jawab pria itu,
malas mendengarkan sapaan
basa-basi pria yang ada di
hadapannya. Kepalanya sudah
hampir botak memikirkan kasus
yang menguras otak pintarnya.
"Aku hanya bertanya" jawab pria
itu, lalu mengambil sepatu pria
yang ada di hadapannya. Dia
menghela nafasnya sejenak
sebelum membicarakan hal
mengenai gadis itu. Entah
waktunya tepat atau tidak
mengingat pria di hadapannya
seperti tampak kesal dan juga
suram. Senyuman menyebalkan
yang biasanya pria itu
tunjukanpun sekarang sama
sekali tak terlihat.
"Aku ingin bicara tentang Winnie"
ucap pria itu akhirnya, dia tahu
konsekuensinya mengatakan ini.
Ya kalau tidak masuk rumah sakit
paling langsung masuk kuburan.
Mengingat jiwa tempramental
pria yang ada di hadapannya ini
sangat berlebihan.
"Tidak berminat untuk membahas
anak itu" ucap pria itu lalu
mengecap teh yang masih panas
kemudian meletakan teh itu ke
atas tatakan cangkir yang ada di
meja.
Pria yang ada di hapannya hanya
menghela nafas berat tidak
mengerti dengan pola pikir yang
ada di pria berbaju seragam
polisi tersebut yang kini sedang
menindah-mindahkan chanel TV
tidak berminat melakukan
apapun untuk mengusir rasa
kesal dan bosannya.
"Tapi dia anakmu, pelakukan dia
layaknya seorang anak. Dia ingin
kau mengakuinya. Apa itu sangat
sulit, Tuan Joe?" ucap pria itu,
tidak mau mengulur waktu terlalu
lama karena diapun sangat lelah
dan ingin cepat beristirahat.
"Dia tinggal di tempat ini saja
seharusnya sudah sangat
beruntung. Nasib baik dia masih
kusekolahkan dan makan di sini.
Apa itu kurang, Babu?" Joe
mendengus kasar, di saat
kepalanya hampir botak karena
kasus itu sekarang di tambah
masalah dirumah yang
menurutnya hanya masalah
sepele.
"Bukan itu maksudku, Tuan. Tapi,
cobalah berinteraksi dengannya
atau sekedar mengecheck hasil
ulangan atau PRnya, dia butuh
perhatian dari seorang ayah
bukan fasilitas saja." ucap Pria itu
sama sekali tidak mau menyerah
demi anak bernama Winnie itu.
Keras kepala!
Ya itu yang kini ada di pikiran Joe
setelah melihat pria di
hadapannya.
"Kau kan pengasuhnya, kau juga
pria, dia juga memanggilmu
'papa' so, kau saja yang
melakukannya. Waktuku terlalu
berharga untuk melakukan itu."
ucap Joe santai lalu kembali
meminum tehnya, sama sekali
tidak tertarik dengan
pembicaraan ini, itu hanya
membuat kepalanya semakin
cepat botak.
Entah sudah berapa kali pria itu
menghela nafasnya. Sepertinya
pembicaraan ini sangat sulit jika
menggunakan cara lembut atau
sopan, bagaimanapun dia adalah
pengasuh anaknya Joe. Dia tidak
mau di pecat oleh Ayahnya Joe
yang jauh lebih gila dari Joe.
"Ehem" pria itu membersihkan
tenggorokannya, mencari kata
yang tepat untuk orang gila
seperti Joe. Bagaimana tidak di
sebut gila? Anak sendiri saja
nyaris di telantarkan olehnya,
percuma tampan kalau gila.
"Apa ada cara lain untuk mewakili
kata-kataku?" tanya pria itu
dengan tatapan tajam minta di
hajar. Matanya memicing tajam,
seolah sama sekali tidak takut apa
yang akan terjadi padanya nanti.
"YAAAA ! TIDAK BISAKAH KAU
SEDIKIT PE--" mata pria itu
membulat sempurna, dia
menatap mata yang ada di
hadapannya. Mata biru layaknya
langit cerah di siang hari kini
menyipit tajam mengintimidasi
dirinya. Perkataannya tak
sanggup dia selesaikan saat
udara di sekitarnya mulai terasa
horror.
Grep !
Kerah kemajanya kini di tarik
pelan oleh Joe, matanya sama
sekali tak bisa teralihkan dari
mata yang Joe yang seperti
menyimpan rasa sakit. Meski Joe
seperti memberinya tatapan
intimidasi miliknya.
"Tidak bisakah kita bahas ini
besok? Tidak bisakah kau sedikit
menahan diri untuk tidak
menggangguku saat ini? Kau
tahu, aku sedang ingin
membunuh seseorang!" Desis
Joe, matanya nyalang menatap
pria di hadapannya. Pria yang
selalu berdandan aneh seperti
alien. Dengan kacamata tebal,
rambut klimis dan juga pakaian
yang terlalu rapih tapi terkesan
cupu.
"..." tak ada jawaban dari pria itu,
dia sama sekali tidak merasa
takut jika harus berhadapan
dengan Joe, pria yang sering di
juluki Manusia Berhati Iblis.
Dimatanya Joe bukan pria seperti
itu, ada sesuatu yang
membuatnya di juluki demikian,
dia sangat yakin akan hal itu.
"Dengar Ryu, sekali lagi kau buka
mulutmu membahas ini, kurobek
mulutmu detik itu juga. Dan, aku
akan mengcheck PR dan
ulangannya besok pagi." jelas Joe
kepada pria yang bernama Ryu.
Lalu dengan sentakan kasar dia
melepas cengkramannya di kerah
kemeja Ryu, kini dia sedang
meminum tehnya dan bersikap
seperti tidak ada pertengkaran
sama sekali.
"Permisi" ucap Ryu lalu
melangkah pergi dengan
senyuman yang lebih tepatnya
seperti seringaian.
Jika dia iblis atau malaikat maka
kau harus menjadi Tuhannya.
Dia meletakan sepatu milik Joe di
rak sepatu yang ada di dekat
dapur, lalu matanya melirik
kearah Joe yang masih tenang di
dunianya.
'Kau ingin selalu berada di neraka
sendirian seperti itu, huh?' batin
Ryu lalu melangkahkan kaki ke
kamarnya. Tidak mau terlalu lama
berdekatan dengan siluman
bernama Joe. Iblis terlalu elite
untuknya. Batin Ryu lagi, dia mau
mengistirahatkan dirinya.
Perdebatan tadi cukup
membuahkan hasil. Tidak sia-sia
dia punya mental baja. Tatapan
seperti itu sudah kebal baginya,
tidak akan berpengaruh sama
sekali.
Brakk
Pintu kamar tertutup sedikit
keras.
E--eh?
Bukannya Ryu belum membuka
pintu? Lalu suara pintu siapa?
Ryu mengalihkan pandangannya
kearah kanan, melihat sumber
suara, pintu kamar Winnie. Yaah
sepertinya anak itu mendengar
semua pembicarannya dengan
Joe. Ryu hanya mengangkat
kedua bahunya, tidak mau ambil
pusing lalu diapun masuk
kekamarnya, meninggalkan Joe
yang masih berkutat dengan
sinetronnya.
Di balik pintu, gadis kecil bernama
Winnie hanya tertawa mencela.
"Ha! Mereka sudah seperti
pasangan suami istri yang
sedang bertengkar. Yang satu gila
yang satu lagi keras kepala.
Suram." kata Winnie sambil
memutar bola matanya, mencoba
mengikuti cara Daddy nya bila
sedang bosan akan suatu hal
yang akhirnya berefek pada
kepalanya yang menjadi pusing.
Ia mengambil sebingkai photo, di
situ ada photo seorang wanita
cantik dengan mata hijau dan
rambut hitam panjang sedang
tersenyum manis. Winnie duduk
di pinggiran tempat tidur,
tangannya terulur untuk
mengusap photo yang di
pegangnya.
"Mom, aku tidak menyangka jika
Daddy lebih parah dari dugaanku.
Ternyata sifatku benar-benar
turunan darinya. Kau tahu, Mom?
Moodnya itu seperti angin,
mudah berubah hanya dalam
hitungan detik. Selamat malam,
Mom." kata Winnie, lalu
merebahkan dirinya ke tempat
tidur sambil memeluk photo
ibunya.
Di ruang keluarga
Joe masih berkutat dengan
pikirannya, tidak ada clue sama
sekali untuk mendapatkan
jawaban atas semua pertanyan di
dalam otak pintarnya.
Surat ancaman? Tanda salib?
Pejabat negara? Apa maksud dari
pembunuhan itu, dalam satu
minggu tiga pejabat negara
meninggal dengan kondisi
mengenaskan. Pertama, hanyut di
sungai. Kedua, di dalam gereja.
Ketiga, di kediaman pejabat itu
sendiri.
Shit !
Kenapa begitu sulit untuk
menyelidiki motif pembunuhan
ini? Tidak bisakah Mama Kaguya
membantunya untuk
memecahkan ini semua? Anak
buahnya sudah hampir
menangkap pembunuh itu, tapi
pembunuh itu benar-benar
sangat licin. Apa kata kawannya si
Kelvin nanti jika dia tidak
sanggup mengatasi kasus ini?
Baru kali ini kepalanya hampir
botak hanya memikirkan motif
pembunuhan tersebut.
Si iblis ini sedang galau
sepertinya.
Bersambung..
Di komen ya
Jangan lupa mention
@jacksmile
@elul
@3ll0
@Tsunami
@lulu_75
@arifinselalusial
thank you sudah minat baca
cerita aneh bin gaje ini
khekhekhe.
Enjoy guys !
Chapter 2
Pagi hari di dapur..
Pria berseragam polisi sedang
berkutat serius dengan koran
pagi yang ada di tangannya,
matanya memicing tajam
membaca deretan berita yang
ada di koran sambil sesekali
menyeruput kopi panasnya.
Pembunuhan Di Kediaman
Pejabat Negara
Itulah yang tertulis di headline
koran dengan tulisan besar
sebagai top berita hari ini.
Ha-ah ~
Hembusan nafas terdengar di
dapur itu. Sambil meletakan koran
itu di meja makan dengan kasar
pria itu melirik kearah dapur,
melihat pemuda yang dua tahun
di bawahnya sedang berkutat
dengan masakannya dan juga
clemek memasaknya, lalu melirik
kearah kanan setelah merasakan
kedatangan orang lain di
sampingnya.
Pria itu mengangkat sebelah
alisnya, menatap aneh anak kecil
di hadapannya yang menatapnya
dengan mata berbinar-binar
seperti anak anjing yang minta di
pungut.
"Ada apa?" tanya pria itu lalu
kembali menyeruput kopinya.
"Bisakah kau menjemputku
pulang sekolah nanti?" tanya
anak itu hati-hati dan terus
menatap pria itu dengan mata
yang masih berbinar dan penuh
harap.
"Tidak, aku sibuk." jawab pria itu
enteng tanpa melihat wajah anak
itu yang mulai terlihat kecewa
dalam sepersekian detik lalu
kembali menatap pria itu penuh
harap.
"Kakek memintaku untuk
bertemu dengannya nanti, kau
sama sekali tidak ma-"
"Aku bilang tidak bisa ya tidak
bisa." potong pria itu , sama
sekali tidak membiarkan anak itu
menyelesaikan kalimatnya, sambil
memutar kedua matanya pria itu
mengambil koran yang ada di
hadapannya dan kembali
membaca koran itu. Menunjukan
pada anak itu bahwa dia tidak
ingin di ganggu.
"Tidak bisakah kau bertindak
layaknya orang tua pada
umumnya?" desis anak itu sambil
duduk di samping pria itu.
"Aku sedang tidak ing-"
BRAKK !
Dengan kasar pisau yang di pakai
Ryu yang sedang memotong
ayam di dapur beradu dengan
tatakan, menghentikan debat
anatara anak dan ayahnya.
"Turuti keinginan anakmu, atau
kau kukirim ke neraka pagi ini
juga!" tanpa sopan santun antara
pelayan dan majikan, Ryu
mendesis dengan nada rendah
yang menekan.
Di belakang Ryu sosok Joe yang
terkenal dingin mulai terlihat
sedikit pucat setelah mendengar
desisan tajam dari Ryu. Tidak
seperti biasanya entah kenapa
dia seperti gemetaran saat
mendengar suara Ryu yang
seperti nyanyian upacara
kematian.
Hiii ~ !
Mendadak Joe bergiding horror.
Anak dan ayah itu kini saling
bertatapan, seolah bicara lewat
tatapan mereka lalu keduanya
mengangkat bahu mereka dan
mendesah pelan bersama.
Sungguh pasangan anak dan
ayah yang kompak. Ryu
membatin geli.
"Ya ya, aku tidak janji. Tapi akan
aku usahakan-" jawab Joe sambil
melirik horror ke arah Ryu yang
sudah anteng dengan ayamnya.
"Dan, mana hasil ulanganmu?"
lanjut Joe lalu kembali menatap
anaknya.
Dengan wajah berseri-seri Winnie
mengambil buku ulangannya
yang ada di dalam tas dan
memperlihatkan halaman buku
ulangan itu. Ulangan matematika
dengan nilai sempurna.
Senyuman mengembang lebih
tepatnya cengiran Winnie
memamerkan hasil ulangannya.
Tidak terasa, rasa bangga mulai
menyelimuti hati Joe. Yah,
pantaslah dia anakku. Akupun
pintar seperti dia. Batinnya mulai
narsis tingkat akut.
"Jangan tersenyum seperti itu,
kau tidak pantas tersenyum lebar
seperti itu, Dad." ucap Winnie
merasa jijik dengan senyuman
lebar ayahnya.
"Ehem.." dengan membersihkan
tenggorokannya yang sempat
tercekat oleh celetukan sang anak
membuatnya sedikit salah
tingkah dan mencoba secepat
mungkin merubah ekspresi
mukanya dengan datar kembali.
"Pertahankan nilaimu, aku tidak
mau ada nilai 7 atau 8 di
ulanganmu." kata Joe setelah
menangani kegugupannya yang
tertangkap basah menunjukan
dirinya yang keluar karakter
sebagai orang dingin.
"Hn." jawab Winnie bergumam
tidak jelas lalu memasukan
kembali buku ulangannya ke
dalam tas.
"Makanan siap, aku mau mandi
dulu. Kalian sarapanlah, dan kau-"
kata Ryu lalu menunjuk Joe
dengan sebilah pisau yang
mengacung tepat di depan
hidung Joe. "Antar Winnie ke
sekolah." lanjut Ryu tenang
seperti membicarakan cuaca pagi
yang indah ini, lalu melenggang
pergi meninggalkan anak dan
ayahnya yang sedang shock
dengan perlakuan mengejutkan
dari pengasuh anaknya.
WTF ?
Bukan hanya penampilannya
yang mengerikan, tapi
kelakuannyapun demikian. Batin
Joe horror sudah serumah
dengan iblis bertampang alien.
Glek !
Dengan susah payah dia
membasahi tenggorokannya
yang mendadak kering, lalu
melirik Winnie yang sangat damai
sambil mengunyah makanannya.
Tidak peduli jika ayahnya akan
meregang nyawa di hapannya
oleh pengasuhnya sendiri.
"Dia memang seperti itu, tapi dia
orang yang baik." ucap Winnie
santai.
Baik?
Mana ada orang baik hampir
membunuh orang seperti tadi?
Batin Joe makin miris setelah
mendengar pemikiran anaknya
yang tidak mau bersekutu
dengannya. Anak durhaka.
Ckckck !
pinggiran kota, rumah yang di
huni oleh 4 anak itu pagi ini
terlihat ramai.
Pemuda berumur 24tahun kini
sedang duduk di undakan pintu
sambil memijat pelipisnya lalu
kembali melirik kedalam rumah.
"Tidak bisakah kalian lebih cepat,
kita hampir terlambat." teriak
pemuda itu lalu kembali melihat
jamnya yang sudah menunjukan
pukul 07:05 a.m.
"Kak, kaos kakiku hilang." teriak
anak kecil sambil berlarian
kesana-kemari mencari kaos
kakinya.
"Pakai saja sepatu, tanpa kaos
kaki, tidak masalah untukmu.
Cepatlah. Evan, cepat kancingkan
seragammu dan Mira jangan
dandan terus. Astaga." pemuda
itu kembali memijat pelipisnya,
kepalanya mulai sakit dengan
kebiasaan aneh dirumahnya yang
selalu heboh tiap pagi.
"Kaos kakinya di pakai sama Kak
Evan." ucap anak laki-laki itu
dengan tatapan miris, kaos kaki
satu-satunya di pakai oleh sang
kakak yang sedang
mengancingkan seragamnya.
"Ya sudah kau pakai sepatu saja."
jawab Mira yang sedang memakai
sepatu di belakang pemuda itu.
"Aku duluan." ucap Evan setelah
mengancingkan seragamnya.
"Kak Evan, kaos kakiku." seru
anak itu lalu memegang erat kaki
Evan sambil meratapi kaos
kakinya.
"Lepas, aku pinjam." jawab Evan
enteng lalu menghentakan
kakinya mencoba melepaskan
adiknya yang memegang erat
kakinya.
BRUK !
Anak itu jatuh dari pelukannya
yang ada di kaki sang kakak.
Pemuda itu dan Mira hanya
menatap miris mendadak dapat
tontonan film Cinderella.
"Sudah ayo berangkat." kata
pemuda itu lalu membersihkan
celananya.
"Tapi Kak Sam, kaos kakiku." anak
itu merangkak ke arah pemuda
yang di panggil Sam.
"Pulang kerja nanti aku belikan
untukmu. Ayo, ini sudah siang."
jawab Sam lalu mengangkat
adiknya yang merangkak.
"Aku duluan, daahh ~" ucap Evan
yang melenggang pergi
meninggalkan dua adik dan
kakanya di belakang.
Sam hanya menghela nafas,
maklum dengan sikap adiknya itu,
bagaimanapun Evan sudah SMA
mana mau di antar ke sekolah.
Dia lebih memilih memakai
kendaraan umum.
"Ayo Kak Sam." ajak Mira yang
sudah menggandeng adiknya
untuk berjalan kaki menelusuri
jalan-jalan tikus tempat mereka
tinggal.
"Ya." jawab Sam lalu menutup
pintu rumahnya.
Di dalam kereta..
Setelah mengantar dua adiknya,
Sam langsung ke stasiun kereta.
Tidak mau menyia-nyiakan
waktunya yang sudah hampir
mepet, dan tentu tidak mau dapat
omelan dari atasannya karena
telat masuk kerja untuk kesekian
kalinya.
Ha-ahh ~
Sam memikirkan bagaimana dia
di waktu dulu, bangun
seenaknya, makan enak tanpa
memikirkan kebutuhan yang lain,
belanja pakaian bagus dan hal-hal
yang orang kaya lakukan.
Tidak seperti sekarang yang
harus menjadi tulang punggung
ketiga adiknya yang aneh. Yang
satu berandalan, yang satu ribet,
yang satu jago akting.
Batin Sam miris dengan nasibnya.
"Tidak baik melamun di pagi
hari." kata seseorang di samping
kiri Sam, membuyarkan lamunan
miris Sam beberapa saat yang
lalu.
Sam menengok kearah seseorang
yang menegurnya, seorang pria
dengan kacamata putih yang
membingkai matanya yang
sedang membaca koran pagi.
Dengan kemeja putih berdasi
merah tak lupa juga jas hitam dan
celana bahan hitam yang melekat
di tubuh pria itu. Tatapannya
serius saat membaca koran pagi
ini.
"Hanya memikirkan suatu hal."
jawab Sam lalu menyandarkan
punggungnya.
"Sesuatu yang menyenangkan?"
tanya pria itu tanpa mengalihkan
tatapannya pada koran yang
sedang di bacanya.
"Ya, tapi tidak terlalu
menyenangkan." jawab Sam lalu
mendesah pelan.
"Nikmati hidup, maka semua hal
akan sangat menyenangkan."
kata Pria itu lalu melipat korannya
dan menatap Sam dengan
senyuman simpul di bibirnya.
"Aku selalu berharap bisa seperti
itu." jawab Sam lalu menundukan
kepalanya yang terasa berat.
Pria itu hanya diam sambil
menatap miris Sam yang terlihat
galau. Ck !
"Aku pergi dulu, tidak baik galau
pagi-pagi." kata pria itu
berpamitan. Reflek Sam langsung
mengangkat kepalanya menatap
pria yang hendak
meninggalkannya.
"Siapa namamu?" tanya Sam
tanpa sadar mengatakannya.
Bodoh! Apa yang kau lakukan,
Sam? Batin Sam mengutuk dirinya
sendiri.
"Kelvin, aku pergi dulu. Sampai
jumpa." jawab Pria itu, lalu
melenggang pergi tanpa
mendengarkan Sam yang
meneriaki nama Sam sendiri
mencoba berkenalan. Kelvin, pria
yang ada di dalam markas
kepolisihan kemarin malam.
Di Markas..
Joe menatap sepasang kekasih
sekaligus parter kerja yang
sedang menunduk dalam dengan
posisi saling berpelukan.
"Apa alasan kalian kali ini?" tanya
Joe, auranya penuh intimidasi
membuat dua orang yang saling
berpelukan hanya menengguk
ludah mereka membasahi
tenggorokan yang mulai
mengering.
"Kita sudah berusaha, lolosnya
pelaku itu di luar scenario." jawab
pemuda yang masih berpelukan
dengan wanitanya.
"Tidak ada yang syuting film laga
disini." bisik wanita itu kepada
kekasihnya yang bertindak konyol
di hadapan singa.
"Alasan apa itu,huh?" tanya Joe
sambil mengangkat sebelah
alisnya menatap dua orang di
depannya dengan arrogan.
CEKLEK !
Pintu terbuka menampilkan sosok
pria yang tak lain adalah Kelvin.
"Aku ingin bicara, ikut aku." kata
Kelvin tanpa sapaan selamat pagi.
ruang kerja kepala kepolisian
biasanya. Hanya saja di ruangan
ini tampak terlihat berbagai
perabotan seperti tv, sofa dan
kulkas.
"So, ada apa?" tanya Joe setelah
masuk ke ruang kerja Kelvin dan
duduk di sofa panjang
sedangkan Kelvin duduk di
hadapannya.
"Kau sekali datang membawa
masalah tanpa membawa oleh-
oleh untukku." ucap Kelvin santai
layaknya sedang membicarakan
cuaca pagi hari yang tenang.
"Oleh-oleh?" tanya Joe dengan
wajah cengo, tidak mengerti
maksud rekan sekaligus rivalnya
ini.
"Biasanya kau akan
membawakan minuman atau
buah apel kesukaanku. Tapi kau
datang ke sini hanya membawa
masalah." jawab Kelvin sambil
menyilangkan kaki kanannya
yang bertumpu di kaki kirinya.
Joe hanya bisa mangap-mangap
tidak habis pikir dengan
rekannya yang satu ini.
"Kau yang mengundangku kesini,
bodoh!" kata Joe dengan tatapan
sinisnya sambil menyandarkan
punggungnya ke sisi sofa dan
melipat tanganya di dada dengan
gaya arrogan.
"Aku hanya mengharapkan hal
yang lebih darimu." Kelvin
beranjak dari sofanya dan
melangkah ke arah meja kerjanya.
"Tidak bisakah kau berhenti
mengeluh?" seru Joe frustasi
menghadapi rekannya yang bisa
di sebut calon pengguni rumah
sakit jiwa.
"Pembunuhan yang terjadi akhir-
akhir ini, tanda salib itu dan
kaitannya dengan pejabat negara.
Tidak di ragukan lagi, akhirnya
waktunya telah tiba." jelas Kelvin
sambil menatap nanar berkas
yang ada di tangannya.
"Lalu, apa yang kau fikirkan?"
tanya Joe menyelidik, tatapannya
kembali serius. Menyimak apa
saja yang akan di sampaikan
Kelvin, sebagai clue yang bisa di
simpulkan.
"Di balik ini semua pasti tak jauh
dari aksi balas dendam." jelas
Kelvin lalu memberikan berkas itu
pada Joe.
"Apa motif dia balas dendam
pada pejabat negara? Apa dia
juga salah satu dari pejabat
negara yang lain?" tanya Joe yang
malah pusing sendiri.
"Bisa jadi, kau ingat
penggulingan calon presiden
beberapa tahun silam?" tanya
Kelvin lalu duduk di sofanya.
"Iya, penggulingan di lakukan
dengan cara penembakan kepada
calon presiden beserta calon ibu
negara." jawab Joe yang memutar
kejadian itu di kepalanya.
"Hal itulah yang mungkin di
jadikan pondasi dendam. Bisa di
bilang semua korban itu adalah
orang-orang yang terlibat dalam
kasus penggulingan tersebut--"
ucap Kelvin, sejenak
menengangkan dirinya. "--tapi
akupun masih belum yakin. Kasus
pembunuhan itu langsung di
tutup tanpa bisa melacak
keberadaan pembunuh."
lanjutnya.
"Jika memang ini adalah misi
balas dendam, dengan kata lain
yang melakukan ini adalah anak
atau kerabat calon presiden?"
tanya Joe memikirkan segala
kemungkinan.
"Bisa di bilang seperti itu. Tapi
anehnya, semua anak-anak dari
calon presiden itu identitasnya
menghilang dari catatan sipil
negara." jelas Kelvin yang
sekarang tampak makin frustasi
dengan kasus yang di hadapinya.
"Melenyapkan identitas dan
mengganti identitas yang asli
dengan identitas yang lain demi
keamanan tersendiri. Hebat
sekali." timpal Joe yang sama
frustasinya dengan Kelvin.
"Bisa kau selidiki di tempat
tinggal calon presiden itu?
Tanyakan kepada masyarakat
sekitar yang mengetahui keluarga
itu." tanya Kelvin memberi jalan
keluar.
"Akan kucoba." jawab Joe lalu
kembali pada berkas yang ada di
tangannya.
"Biar kukirim adikku untuk
membantumu. Masalah Oka dan
Shawla, aku ada tugas lain untuk
mereka." kata Kelvin lalu beranjak
dari sofanya.
"Adik? Sejak kapan kau
mempunyai adik?" tanya Joe yang
memang kurang tahu seluk beluk
keluarga rekannya ini.
"Sejak usiaku 2 tahun. Dia adik
kandungku. Awas kau berani
macam-macam." ancam Kelvin
sambil tersenyum miring.
"Kau mengancamku, Sir?" tanya
Joe dengan nada mencela.
"Sedikit memperingati." jawab
Kelvin dengan senyuman manis
namun terlihat berbahaya.
"Fake smile." seru Joe sambil
memutar kedua bola matanya.
Yang hanya di tanggapi oleh
Kelvin dengan mengangkat
bahunya tidak peduli.
"Boleh aku bertanya?" tanya Joe
masih fokus pada berkas di
tangannya.
"Katakan." perintah Kelvin-bossy.
"Apa Ayahmu juga ada di daftar
korban selanjutnya?" tanya Joe
hati-hati.
"Entah, kita tunggu saja apa
Ayahku akan mendapat surat
ancamannya atau tidak." jawab
Kelvin, matanya menerawang
kearah jendela seperti jendela itu
adalah hal yang sangat menarik.
Dia memikirkan nasib ayahnya
yang juga pejabat negara.
"Ha-aah, menarik sekali, bukan?"
ujar Joe lalu meletakan berkas itu
di meja.
"Ya, bahkan pembunuh itu bisa
membuatku juga bertindak. Ck!
Merepotkan." jawab Kelvin sambil
tersenyum aneh, dia menikmati
permainan sang pembunuh.
"Aku pergi dulu." ujar Joe
berpamitan. Sedangkan Kelvin
hanya diam saja memandang
jendela.
Ceklek!
Blamm!
Pintu ruangan itu di tutup oleh
Joe, hembusan nafas berat sudah
beberapa kali Joe lakukan.
Pertama, dia sama sekali tidak
mengerti jalan pikiran rekannya.
Bukannya terlihat risau tapi dia
seakan menikmati. Kedua, harus
bekerjasama dengan orang yang
belum di kenalnya. Itu sangat
merepotkan. Tapi mau
bagaimana lagi?
Ha-aah ~ !
Bersambung...
Ketemu lg di chap selanjutnya.