BoyzForum! BoyzForum! - forum gay Indonesia www.boyzforum.com

Howdy, Stranger!

It looks like you're new here. If you want to get involved, click one of these buttons!

Selamat datang di situs Boyzforum yang diarsipkan oleh Queer Indonesia Archive. Forum untuk komunitas gay Indonesia yang populer ini didirikan pada tahun 2003, dan ditutup pada tanggal 15 Desember 2020.

Forum ini diabadikan untuk kepentingan sejarah. Tidak akan ada konten baru di forum ini. Silakan menikmati forum ini sebagai potongan dari sejarah queer Indonesia.

Who Are You ?

edited October 2014 in BoyzStories
Who Are You ?
Chapter 1
DOORR !
Suara tembakan memecahkan
keheningan di lorong sempit itu.
"BERHENTI !" Teriakan pemuda
menggema di lorong itu,
sedangkan pria di depannya tidak
mengurangi kecepatannya sama
sekali. Pria itu berbelok ke jalan
yang lebih sempit, dengan sigap
pemuda itu berusaha
mengejarnya lagi.
"Shit !" umpatnya, berdecak tidak
suka ketika pria tadi melompat
dengan gesit ke jalan raya.
Beberapa klakson mobil membuat
telinganya berdengung sesaat.
Pemuda itu berhenti di pinggir
jalan raya, nafasnya memburu liar,
matanya menerawang jauh ke
seluruh penjuru. Nihil ! Pria itu
tidak ada lagi.
"Demi apapun, sekarang saya
marah!" gerutunya sambil
menendang kaleng bekas yang
ada di hadapannya.
"Pelaku melarikan diri" lapor
pemuda itu melalui earphone
yang terpasang di telinganya.
"Begitukah?" suara dingin
menjawab dari sebrang
earphone miliknya.
Mata pemudia itu masih mencoba
terus menatap liar mencari jejak-
jejak pelaku yang melarikan diri,
tapi tetap saja NIHIL !
"Kembali ke markas, segera !"
perintah suara tadi. Pemuda itu
melirik ke earphonenya, seakan
dia bisa melihat sang kakak yang
sedang memerintahkannya untuk
kembali. Tidak seperti biasanya,
malam ini sang kakak sama sekali
sulit untuk di tebak.
"Lalu bagaimana dengan
buronan?" tanya pemuda tadi
tanpa mengalihkan
pandangannya dari penjuru
jalanan. Masih keras kepala!
"Kataku cepat kembali ke
markas !" desisnya dengan
perintah mutlak. Tapi pemuda itu
tahu, kakaknya sangat geram
karena buronan itu kabur.
"Baiklah" kata pemuda itu sambil
memutar bola matanya, malas
untuk berdebat dengan kakaknya
yang sangat tidak bisa di ajak
diskusi untuk saat ini. Mengingat
buronan ini bukan buronan
biasa. Pembunuhan pejabat
negara yeah, untuk sekarang itu
yang ada di headline terpanas
koran minggu ini.
Di Markas..
"Gagal heh?" suara berat
seseorang langsung membuat
seorang pria yang sedang duduk
gelisah di kursi kerjanya
terperanjat. Tidak mau image nya
yang di bilang bertangan dingin
ini jatuh karena sikapnya dengan
cepat dia merubah ekspresi
wajahnya kembali dingin.
"...." tak ada tanggapan dari pria
itu.
"Khe..khe..khe.. Menarik bukan?"
kata suara tadi sambil
menyandarkan tubuhnya di meja
milik rekannya tadi yah tentu saja
dengan seringaian yang tak
pernah hilang dari bibirnya.
Pria yang masih duduk di kursi
itu hanya melirik sekilas ke arah
temannya dan tersenyum dingin.
"Ya, sangat menarik"
Pria yang bersandar di meja itu
kini terdiam, tidak menampakan
seringaiannya lagi, matanya
menatap tajam kearah temannya
yang kini masih tersenyum dingin
walau wajah kegusarannya masih
sangat terlihat jelas.
"Aku pergi" katanya pendek, tidak
ingin mengganggu temannya
yang sepertinya ingin
menenangkan diri itu.
"Kenapa, Vin? Kau tidak mau
berdebat denganku?" tanya pria
itu dengan arogan.
Pria yang di sebut bernama Kelvin
kembali berdecak meremehkan.
"Ck ! Aku heran, kau kehilangan
mangsa tapi masih berlagak sok
keren. Lebih baik kau tenangkan
dirimu dulu dan cari jalan
keluarnya dengan baik. Ingat ! Dia
pembunuh kelas kakap. Jangan
sampai lengah, atau semua
pejabat pemerintahan disini akan
habis karena ulahnya." seru
Kelvin, matanya menatap mata
teman kerjanya itu dengan tajam.
"..." tak ada sanggahan dari
teman kerjanya, akhirnya Kelvin
beranjak dari ruangan itu.
BLAAMM !
Pintu ruangan tertutup dengan
keras, meninggalkan sang pemilik
ruangan yang sedang meremas
koran di depannya, pikirannya
menerawang jauh. Padahal ini
bukan kasus berat yang pertama
kali dia tangani, hanya saja kali ini
kasusnya aneh, sang pelaku
pembunuhan membuat tanda
salib di punggung sang korban
dengan menggunakan senjata
tajam. Sayatan itu seperti tanda
bahwa ini adalah misi balas
dendam, dari keterangan
beberapa saksi mengatakan
sehari sebelum insiden sang
korban di beri surat ancaman.
Apa yang sebenarnya terjadi. Lalu,
siapa korban berikutnya? Dan
atas apa dia membalas dendam
kepada pejabat negara? Semua
pertanyaan itu masih berkeliaran
di otak pria itu.
"Aku pulang" seru seseorang saat
memasuki sebuah rumah
sederhana tapi memiliki
segalanya, mulai dari perabotan
mewah sampai hiasan yang
harganya cukup fantastik. Sudah
bisa di tebak pemilik rumah ini
adalah orang yang royal.
"Papa.." seru anak kecil dari dalam
rumah, anak itu menyambut
seseorang yang disebut 'papa' .
"Kenapa belum tidur?" tanya sang
'papa' sambil menggendong anak
perempuan usia delapan tahun
itu ke dalam rumah.
"Menunggumu, apa lagi?" ujar
anak itu sambil memutar bola
matanya dengan jengah. Sama
sekali tidak mencerminkan anak-
anak pada umumnya.
"Tapi ini sudah malam, besok kau
harus berangkat sekolah." kata
sang 'papa' lalu menuju dapur
dan mendudukan anak itu di atas
meja.
"Terus, aku harus tidur sambil
ngenyot dot bayi begitu?" ucap
sang anak makin judes. Sangat
mirip seperti 'Daddy' nya.
Pria itu kini hanya menghela
nafas berat, berdebat dengan
anak ini sama saja membeli tiket
untuk pergi berlibur ke neraka.
Batinnya menjerit !
«1

Comments

  • Pria yang di sebut 'papa' tersebut
    hanya memijat pelipisnya,
    mendadak sakit kepala mulai
    menyerang.
    "Papa?" panggil gadis kecil itu.
    "..." tak ada jawaban dari bibir
    pria itu, dia hanya menaikan
    sebelah alisnya menanti kalimat
    dari gadis itu.
    "Apa Daddy tidak mengharapkan
    aku?" tanya gadis itu sambil
    menghela nafas berat, meski
    usianya baru beranjak delapan
    tahun, tapi dari cara bicara dan
    berfikir dia melebihi anak usia itu
    pada umumnya.
    Pria itu sedikit tersentak dengan
    pertanyaan gadis kecil di
    hadapannya. Tangannya terulur
    untuk mengusap kepala gadis
    kecil itu.
    "Belum menerima bukan berarti
    tidak menerimamu. Terlebih kau
    adalah anak kandungnya, semua
    yang ada di otak maupun fisiknya
    kini ada pada dirimu.
    Bersabarlah." jelas pria itu
    dengan kalimat selembut
    mungkin, tidak mau menyakiti
    gadis kecil yang ada di
    hadapannya.
    Gadis kecil itu hanya mendengus
    mencemoh.
    "Sama tidak berarti dia peduli,
    kau tidak ingat waktu pertama
    kita datang kerumah ini? Kau
    tidak ingat ekspresi anehnya
    yang seperti alien? Kau tidak
    ingat wajahnya yang jelas
    menunjukan bahwa dia tidak
    suka aku ada disini?" cerca gadis
    itu lalu melipat kedua tangannya
    di depan dada. See, ini bukan
    pemikiran seorang anak usia
    delapan tahun.
    Pria itu teringat beberapa hari
    yang lalu saat tiba di rumah ini.
    Dia ingat wajah tak suka dari
    ayah kandung gadis kecil yang
    ada di hadapannya.
    "Aku akan bicara dengannya, kau
    jangan khawatir. Sekarang lebih
    baik kau tidur." ucap pria itu lalu
    menurunkan gadis kecil dari
    meja.
    Bukannya pergi beranjak ke
    kamarnya, gadis kecil itu kini
    menatap pria yang ada di
    hadapannya dengan mata
    berbinar-binar. Pria itu hanya
    mendengus, dia tahu arti tatapan
    mata itu. Artinya 'Papaku yang
    tampan dan kuat, ayo gendong
    aku'
    setelah menatap gadis kecil itu
    makin lama makin memelas
    seperti anjing yang ingin di
    pungut, pria itu lalu
    menggendong gadis kecil itu
    untuk masuk ke kamarnya.
    BRAAAKKK
    Suara pintu yang di tutup dengan
    kasar cukup membuat pria itu
    terkejut sesaat setelah keluar dari
    kamar gadis kecil itu. Pria itu
    melangkahkan kakinya menuju
    ruang tengah, dia melihat Pria
    yang dua tahun di atasnya
    dengan seragam polisi sedang
    melepaskan sepatunya. Pria itu
    cukup tahu, mungkin tentang
    masalah pembunuhan kepada
    para pejabat negara yang
    membuat pria di hadapannya
    tampak kesal meski mencoba
    menutupi wajah kesalnya dengan
    ekspresi yang dingin seperti
    biasanya. Dengan langkah biasa
    dia melewati pria itu yang masih
    berkutat dengan sepatunya,
    kearah dapur. Menyiapkan teh
    manis layaknya seorang istri.
    "Sepertinya kasusnya cukup rumit
    ya?" tegur pria itu sambil
    meletakan secangkir teh di
    hadapan pria yang memakai
    seragam polisi itu.
    "Bukan urusanmu" jawab pria itu,
    malas mendengarkan sapaan
    basa-basi pria yang ada di
    hadapannya. Kepalanya sudah
    hampir botak memikirkan kasus
    yang menguras otak pintarnya.
    "Aku hanya bertanya" jawab pria
    itu, lalu mengambil sepatu pria
    yang ada di hadapannya. Dia
    menghela nafasnya sejenak
    sebelum membicarakan hal
    mengenai gadis itu. Entah
    waktunya tepat atau tidak
    mengingat pria di hadapannya
    seperti tampak kesal dan juga
    suram. Senyuman menyebalkan
    yang biasanya pria itu
    tunjukanpun sekarang sama
    sekali tak terlihat.
    "Aku ingin bicara tentang Winnie"
    ucap pria itu akhirnya, dia tahu
    konsekuensinya mengatakan ini.
    Ya kalau tidak masuk rumah sakit
    paling langsung masuk kuburan.
    Mengingat jiwa tempramental
    pria yang ada di hadapannya ini
    sangat berlebihan.
    "Tidak berminat untuk membahas
    anak itu" ucap pria itu lalu
    mengecap teh yang masih panas
    kemudian meletakan teh itu ke
    atas tatakan cangkir yang ada di
    meja.
    Pria yang ada di hapannya hanya
    menghela nafas berat tidak
    mengerti dengan pola pikir yang
    ada di pria berbaju seragam
    polisi tersebut yang kini sedang
    menindah-mindahkan chanel TV
    tidak berminat melakukan
    apapun untuk mengusir rasa
    kesal dan bosannya.
    "Tapi dia anakmu, pelakukan dia
    layaknya seorang anak. Dia ingin
    kau mengakuinya. Apa itu sangat
    sulit, Tuan Joe?" ucap pria itu,
    tidak mau mengulur waktu terlalu
    lama karena diapun sangat lelah
    dan ingin cepat beristirahat.
    "Dia tinggal di tempat ini saja
    seharusnya sudah sangat
    beruntung. Nasib baik dia masih
    kusekolahkan dan makan di sini.
    Apa itu kurang, Babu?" Joe
    mendengus kasar, di saat
    kepalanya hampir botak karena
    kasus itu sekarang di tambah
    masalah dirumah yang
    menurutnya hanya masalah
    sepele.
    "Bukan itu maksudku, Tuan. Tapi,
    cobalah berinteraksi dengannya
    atau sekedar mengecheck hasil
    ulangan atau PRnya, dia butuh
    perhatian dari seorang ayah
    bukan fasilitas saja." ucap Pria itu
    sama sekali tidak mau menyerah
    demi anak bernama Winnie itu.
    Keras kepala!
    Ya itu yang kini ada di pikiran Joe
    setelah melihat pria di
    hadapannya.
    "Kau kan pengasuhnya, kau juga
    pria, dia juga memanggilmu
    'papa' so, kau saja yang
    melakukannya. Waktuku terlalu
    berharga untuk melakukan itu."
    ucap Joe santai lalu kembali
    meminum tehnya, sama sekali
    tidak tertarik dengan
    pembicaraan ini, itu hanya
    membuat kepalanya semakin
    cepat botak.
  • Ha--ah
    Entah sudah berapa kali pria itu
    menghela nafasnya. Sepertinya
    pembicaraan ini sangat sulit jika
    menggunakan cara lembut atau
    sopan, bagaimanapun dia adalah
    pengasuh anaknya Joe. Dia tidak
    mau di pecat oleh Ayahnya Joe
    yang jauh lebih gila dari Joe.
    "Ehem" pria itu membersihkan
    tenggorokannya, mencari kata
    yang tepat untuk orang gila
    seperti Joe. Bagaimana tidak di
    sebut gila? Anak sendiri saja
    nyaris di telantarkan olehnya,
    percuma tampan kalau gila.
    "Apa ada cara lain untuk mewakili
    kata-kataku?" tanya pria itu
    dengan tatapan tajam minta di
    hajar. Matanya memicing tajam,
    seolah sama sekali tidak takut apa
    yang akan terjadi padanya nanti.
    "YAAAA ! TIDAK BISAKAH KAU
    SEDIKIT PE--" mata pria itu
    membulat sempurna, dia
    menatap mata yang ada di
    hadapannya. Mata biru layaknya
    langit cerah di siang hari kini
    menyipit tajam mengintimidasi
    dirinya. Perkataannya tak
    sanggup dia selesaikan saat
    udara di sekitarnya mulai terasa
    horror.
    Grep !
    Kerah kemajanya kini di tarik
    pelan oleh Joe, matanya sama
    sekali tak bisa teralihkan dari
    mata yang Joe yang seperti
    menyimpan rasa sakit. Meski Joe
    seperti memberinya tatapan
    intimidasi miliknya.
    "Tidak bisakah kita bahas ini
    besok? Tidak bisakah kau sedikit
    menahan diri untuk tidak
    menggangguku saat ini? Kau
    tahu, aku sedang ingin
    membunuh seseorang!" Desis
    Joe, matanya nyalang menatap
    pria di hadapannya. Pria yang
    selalu berdandan aneh seperti
    alien. Dengan kacamata tebal,
    rambut klimis dan juga pakaian
    yang terlalu rapih tapi terkesan
    cupu.
    "..." tak ada jawaban dari pria itu,
    dia sama sekali tidak merasa
    takut jika harus berhadapan
    dengan Joe, pria yang sering di
    juluki Manusia Berhati Iblis.
    Dimatanya Joe bukan pria seperti
    itu, ada sesuatu yang
    membuatnya di juluki demikian,
    dia sangat yakin akan hal itu.
    "Dengar Ryu, sekali lagi kau buka
    mulutmu membahas ini, kurobek
    mulutmu detik itu juga. Dan, aku
    akan mengcheck PR dan
    ulangannya besok pagi." jelas Joe
    kepada pria yang bernama Ryu.
    Lalu dengan sentakan kasar dia
    melepas cengkramannya di kerah
    kemeja Ryu, kini dia sedang
    meminum tehnya dan bersikap
    seperti tidak ada pertengkaran
    sama sekali.
    "Permisi" ucap Ryu lalu
    melangkah pergi dengan
    senyuman yang lebih tepatnya
    seperti seringaian.
    Jika dia iblis atau malaikat maka
    kau harus menjadi Tuhannya.
    Dia meletakan sepatu milik Joe di
    rak sepatu yang ada di dekat
    dapur, lalu matanya melirik
    kearah Joe yang masih tenang di
    dunianya.
    'Kau ingin selalu berada di neraka
    sendirian seperti itu, huh?' batin
    Ryu lalu melangkahkan kaki ke
    kamarnya. Tidak mau terlalu lama
    berdekatan dengan siluman
    bernama Joe. Iblis terlalu elite
    untuknya. Batin Ryu lagi, dia mau
    mengistirahatkan dirinya.
    Perdebatan tadi cukup
    membuahkan hasil. Tidak sia-sia
    dia punya mental baja. Tatapan
    seperti itu sudah kebal baginya,
    tidak akan berpengaruh sama
    sekali.
    Brakk
    Pintu kamar tertutup sedikit
    keras.
    E--eh?
    Bukannya Ryu belum membuka
    pintu? Lalu suara pintu siapa?
    Ryu mengalihkan pandangannya
    kearah kanan, melihat sumber
    suara, pintu kamar Winnie. Yaah
    sepertinya anak itu mendengar
    semua pembicarannya dengan
    Joe. Ryu hanya mengangkat
    kedua bahunya, tidak mau ambil
    pusing lalu diapun masuk
    kekamarnya, meninggalkan Joe
    yang masih berkutat dengan
    sinetronnya.
    Di balik pintu, gadis kecil bernama
    Winnie hanya tertawa mencela.
    "Ha! Mereka sudah seperti
    pasangan suami istri yang
    sedang bertengkar. Yang satu gila
    yang satu lagi keras kepala.
    Suram." kata Winnie sambil
    memutar bola matanya, mencoba
    mengikuti cara Daddy nya bila
    sedang bosan akan suatu hal
    yang akhirnya berefek pada
    kepalanya yang menjadi pusing.
    Ia mengambil sebingkai photo, di
    situ ada photo seorang wanita
    cantik dengan mata hijau dan
    rambut hitam panjang sedang
    tersenyum manis. Winnie duduk
    di pinggiran tempat tidur,
    tangannya terulur untuk
    mengusap photo yang di
    pegangnya.
    "Mom, aku tidak menyangka jika
    Daddy lebih parah dari dugaanku.
    Ternyata sifatku benar-benar
    turunan darinya. Kau tahu, Mom?
    Moodnya itu seperti angin,
    mudah berubah hanya dalam
    hitungan detik. Selamat malam,
    Mom." kata Winnie, lalu
    merebahkan dirinya ke tempat
    tidur sambil memeluk photo
    ibunya.
    Di ruang keluarga
    Joe masih berkutat dengan
    pikirannya, tidak ada clue sama
    sekali untuk mendapatkan
    jawaban atas semua pertanyan di
    dalam otak pintarnya.
    Surat ancaman? Tanda salib?
    Pejabat negara? Apa maksud dari
    pembunuhan itu, dalam satu
    minggu tiga pejabat negara
    meninggal dengan kondisi
    mengenaskan. Pertama, hanyut di
    sungai. Kedua, di dalam gereja.
    Ketiga, di kediaman pejabat itu
    sendiri.
    Shit !
    Kenapa begitu sulit untuk
    menyelidiki motif pembunuhan
    ini? Tidak bisakah Mama Kaguya
    membantunya untuk
    memecahkan ini semua? Anak
    buahnya sudah hampir
    menangkap pembunuh itu, tapi
    pembunuh itu benar-benar
    sangat licin. Apa kata kawannya si
    Kelvin nanti jika dia tidak
    sanggup mengatasi kasus ini?
    Baru kali ini kepalanya hampir
    botak hanya memikirkan motif
    pembunuhan tersebut.
    Si iblis ini sedang galau
    sepertinya.
    Bersambung..
    Di komen ya :)
  • Mention ya kalo update,,, kayaknya menarik nih cerita, lanjutkan
  • titip mention yak
  • mention me, pliss...paling demen cerita model begini :x
  • Ditunggu kelanjutannya n kelanjutan "Beside Me".

    Jangan lupa mention :)
  • hmmm ... ni paragraphnya emank separo afo layar hapeku doank nih settingannya gaje ... nice story gan :D
  • cerita misteri ya ... bagus dimention ya ...
  • Di tunggu ea lanjutannya, mention aku
  • @Wita
    @jacksmile
    @elul
    @3ll0
    @Tsunami
    @lulu_75
    @arifinselalusial
    thank you sudah minat baca
    cerita aneh bin gaje ini
    khekhekhe.
    Enjoy guys ! ;)
    Chapter 2
    Pagi hari di dapur..
    Pria berseragam polisi sedang
    berkutat serius dengan koran
    pagi yang ada di tangannya,
    matanya memicing tajam
    membaca deretan berita yang
    ada di koran sambil sesekali
    menyeruput kopi panasnya.
    Pembunuhan Di Kediaman
    Pejabat Negara
    Itulah yang tertulis di headline
    koran dengan tulisan besar
    sebagai top berita hari ini.
    Ha-ah ~
    Hembusan nafas terdengar di
    dapur itu. Sambil meletakan koran
    itu di meja makan dengan kasar
    pria itu melirik kearah dapur,
    melihat pemuda yang dua tahun
    di bawahnya sedang berkutat
    dengan masakannya dan juga
    clemek memasaknya, lalu melirik
    kearah kanan setelah merasakan
    kedatangan orang lain di
    sampingnya.
    Pria itu mengangkat sebelah
    alisnya, menatap aneh anak kecil
    di hadapannya yang menatapnya
    dengan mata berbinar-binar
    seperti anak anjing yang minta di
    pungut.
    "Ada apa?" tanya pria itu lalu
    kembali menyeruput kopinya.
    "Bisakah kau menjemputku
    pulang sekolah nanti?" tanya
    anak itu hati-hati dan terus
    menatap pria itu dengan mata
    yang masih berbinar dan penuh
    harap.
    "Tidak, aku sibuk." jawab pria itu
    enteng tanpa melihat wajah anak
    itu yang mulai terlihat kecewa
    dalam sepersekian detik lalu
    kembali menatap pria itu penuh
    harap.
    "Kakek memintaku untuk
    bertemu dengannya nanti, kau
    sama sekali tidak ma-"
    "Aku bilang tidak bisa ya tidak
    bisa." potong pria itu , sama
    sekali tidak membiarkan anak itu
    menyelesaikan kalimatnya, sambil
    memutar kedua matanya pria itu
    mengambil koran yang ada di
    hadapannya dan kembali
    membaca koran itu. Menunjukan
    pada anak itu bahwa dia tidak
    ingin di ganggu.
    "Tidak bisakah kau bertindak
    layaknya orang tua pada
    umumnya?" desis anak itu sambil
    duduk di samping pria itu.
    "Aku sedang tidak ing-"
    BRAKK !
    Dengan kasar pisau yang di pakai
    Ryu yang sedang memotong
    ayam di dapur beradu dengan
    tatakan, menghentikan debat
    anatara anak dan ayahnya.
    "Turuti keinginan anakmu, atau
    kau kukirim ke neraka pagi ini
    juga!" tanpa sopan santun antara
    pelayan dan majikan, Ryu
    mendesis dengan nada rendah
    yang menekan.
    Di belakang Ryu sosok Joe yang
    terkenal dingin mulai terlihat
    sedikit pucat setelah mendengar
    desisan tajam dari Ryu. Tidak
    seperti biasanya entah kenapa
    dia seperti gemetaran saat
    mendengar suara Ryu yang
    seperti nyanyian upacara
    kematian.
    Hiii ~ !
    Mendadak Joe bergiding horror.
    Anak dan ayah itu kini saling
    bertatapan, seolah bicara lewat
    tatapan mereka lalu keduanya
    mengangkat bahu mereka dan
    mendesah pelan bersama.
    Sungguh pasangan anak dan
    ayah yang kompak. Ryu
    membatin geli.
    "Ya ya, aku tidak janji. Tapi akan
    aku usahakan-" jawab Joe sambil
    melirik horror ke arah Ryu yang
    sudah anteng dengan ayamnya.
    "Dan, mana hasil ulanganmu?"
    lanjut Joe lalu kembali menatap
    anaknya.
    Dengan wajah berseri-seri Winnie
    mengambil buku ulangannya
    yang ada di dalam tas dan
    memperlihatkan halaman buku
    ulangan itu. Ulangan matematika
    dengan nilai sempurna.
    Senyuman mengembang lebih
    tepatnya cengiran Winnie
    memamerkan hasil ulangannya.
    Tidak terasa, rasa bangga mulai
    menyelimuti hati Joe. Yah,
    pantaslah dia anakku. Akupun
    pintar seperti dia. Batinnya mulai
    narsis tingkat akut.
    "Jangan tersenyum seperti itu,
    kau tidak pantas tersenyum lebar
    seperti itu, Dad." ucap Winnie
    merasa jijik dengan senyuman
    lebar ayahnya.
    "Ehem.." dengan membersihkan
    tenggorokannya yang sempat
    tercekat oleh celetukan sang anak
    membuatnya sedikit salah
    tingkah dan mencoba secepat
    mungkin merubah ekspresi
    mukanya dengan datar kembali.
    "Pertahankan nilaimu, aku tidak
    mau ada nilai 7 atau 8 di
    ulanganmu." kata Joe setelah
    menangani kegugupannya yang
    tertangkap basah menunjukan
    dirinya yang keluar karakter
    sebagai orang dingin.
    "Hn." jawab Winnie bergumam
    tidak jelas lalu memasukan
    kembali buku ulangannya ke
    dalam tas.
    "Makanan siap, aku mau mandi
    dulu. Kalian sarapanlah, dan kau-"
    kata Ryu lalu menunjuk Joe
    dengan sebilah pisau yang
    mengacung tepat di depan
    hidung Joe. "Antar Winnie ke
    sekolah." lanjut Ryu tenang
    seperti membicarakan cuaca pagi
    yang indah ini, lalu melenggang
    pergi meninggalkan anak dan
    ayahnya yang sedang shock
    dengan perlakuan mengejutkan
    dari pengasuh anaknya.
    WTF ?
    Bukan hanya penampilannya
    yang mengerikan, tapi
    kelakuannyapun demikian. Batin
    Joe horror sudah serumah
    dengan iblis bertampang alien.
    Glek !
    Dengan susah payah dia
    membasahi tenggorokannya
    yang mendadak kering, lalu
    melirik Winnie yang sangat damai
    sambil mengunyah makanannya.
    Tidak peduli jika ayahnya akan
    meregang nyawa di hapannya
    oleh pengasuhnya sendiri.
    "Dia memang seperti itu, tapi dia
    orang yang baik." ucap Winnie
    santai.
    Baik?
    Mana ada orang baik hampir
    membunuh orang seperti tadi?
    Batin Joe makin miris setelah
    mendengar pemikiran anaknya
    yang tidak mau bersekutu
    dengannya. Anak durhaka.
    Ckckck !
  • Di sebuah rumah sederhana
    pinggiran kota, rumah yang di
    huni oleh 4 anak itu pagi ini
    terlihat ramai.
    Pemuda berumur 24tahun kini
    sedang duduk di undakan pintu
    sambil memijat pelipisnya lalu
    kembali melirik kedalam rumah.
    "Tidak bisakah kalian lebih cepat,
    kita hampir terlambat." teriak
    pemuda itu lalu kembali melihat
    jamnya yang sudah menunjukan
    pukul 07:05 a.m.
    "Kak, kaos kakiku hilang." teriak
    anak kecil sambil berlarian
    kesana-kemari mencari kaos
    kakinya.
    "Pakai saja sepatu, tanpa kaos
    kaki, tidak masalah untukmu.
    Cepatlah. Evan, cepat kancingkan
    seragammu dan Mira jangan
    dandan terus. Astaga." pemuda
    itu kembali memijat pelipisnya,
    kepalanya mulai sakit dengan
    kebiasaan aneh dirumahnya yang
    selalu heboh tiap pagi.
    "Kaos kakinya di pakai sama Kak
    Evan." ucap anak laki-laki itu
    dengan tatapan miris, kaos kaki
    satu-satunya di pakai oleh sang
    kakak yang sedang
    mengancingkan seragamnya.
    "Ya sudah kau pakai sepatu saja."
    jawab Mira yang sedang memakai
    sepatu di belakang pemuda itu.
    "Aku duluan." ucap Evan setelah
    mengancingkan seragamnya.
    "Kak Evan, kaos kakiku." seru
    anak itu lalu memegang erat kaki
    Evan sambil meratapi kaos
    kakinya.
    "Lepas, aku pinjam." jawab Evan
    enteng lalu menghentakan
    kakinya mencoba melepaskan
    adiknya yang memegang erat
    kakinya.
    BRUK !
    Anak itu jatuh dari pelukannya
    yang ada di kaki sang kakak.
    Pemuda itu dan Mira hanya
    menatap miris mendadak dapat
    tontonan film Cinderella.
    "Sudah ayo berangkat." kata
    pemuda itu lalu membersihkan
    celananya.
    "Tapi Kak Sam, kaos kakiku." anak
    itu merangkak ke arah pemuda
    yang di panggil Sam.
    "Pulang kerja nanti aku belikan
    untukmu. Ayo, ini sudah siang."
    jawab Sam lalu mengangkat
    adiknya yang merangkak.
    "Aku duluan, daahh ~" ucap Evan
    yang melenggang pergi
    meninggalkan dua adik dan
    kakanya di belakang.
    Sam hanya menghela nafas,
    maklum dengan sikap adiknya itu,
    bagaimanapun Evan sudah SMA
    mana mau di antar ke sekolah.
    Dia lebih memilih memakai
    kendaraan umum.
    "Ayo Kak Sam." ajak Mira yang
    sudah menggandeng adiknya
    untuk berjalan kaki menelusuri
    jalan-jalan tikus tempat mereka
    tinggal.
    "Ya." jawab Sam lalu menutup
    pintu rumahnya.
    Di dalam kereta..
    Setelah mengantar dua adiknya,
    Sam langsung ke stasiun kereta.
    Tidak mau menyia-nyiakan
    waktunya yang sudah hampir
    mepet, dan tentu tidak mau dapat
    omelan dari atasannya karena
    telat masuk kerja untuk kesekian
    kalinya.
    Ha-ahh ~
    Sam memikirkan bagaimana dia
    di waktu dulu, bangun
    seenaknya, makan enak tanpa
    memikirkan kebutuhan yang lain,
    belanja pakaian bagus dan hal-hal
    yang orang kaya lakukan.
    Tidak seperti sekarang yang
    harus menjadi tulang punggung
    ketiga adiknya yang aneh. Yang
    satu berandalan, yang satu ribet,
    yang satu jago akting.
    Batin Sam miris dengan nasibnya.
    "Tidak baik melamun di pagi
    hari." kata seseorang di samping
    kiri Sam, membuyarkan lamunan
    miris Sam beberapa saat yang
    lalu.
    Sam menengok kearah seseorang
    yang menegurnya, seorang pria
    dengan kacamata putih yang
    membingkai matanya yang
    sedang membaca koran pagi.
    Dengan kemeja putih berdasi
    merah tak lupa juga jas hitam dan
    celana bahan hitam yang melekat
    di tubuh pria itu. Tatapannya
    serius saat membaca koran pagi
    ini.
    "Hanya memikirkan suatu hal."
    jawab Sam lalu menyandarkan
    punggungnya.
    "Sesuatu yang menyenangkan?"
    tanya pria itu tanpa mengalihkan
    tatapannya pada koran yang
    sedang di bacanya.
    "Ya, tapi tidak terlalu
    menyenangkan." jawab Sam lalu
    mendesah pelan.
    "Nikmati hidup, maka semua hal
    akan sangat menyenangkan."
    kata Pria itu lalu melipat korannya
    dan menatap Sam dengan
    senyuman simpul di bibirnya.
    "Aku selalu berharap bisa seperti
    itu." jawab Sam lalu menundukan
    kepalanya yang terasa berat.
    Pria itu hanya diam sambil
    menatap miris Sam yang terlihat
    galau. Ck !
    "Aku pergi dulu, tidak baik galau
    pagi-pagi." kata pria itu
    berpamitan. Reflek Sam langsung
    mengangkat kepalanya menatap
    pria yang hendak
    meninggalkannya.
    "Siapa namamu?" tanya Sam
    tanpa sadar mengatakannya.
    Bodoh! Apa yang kau lakukan,
    Sam? Batin Sam mengutuk dirinya
    sendiri.
    "Kelvin, aku pergi dulu. Sampai
    jumpa." jawab Pria itu, lalu
    melenggang pergi tanpa
    mendengarkan Sam yang
    meneriaki nama Sam sendiri
    mencoba berkenalan. Kelvin, pria
    yang ada di dalam markas
    kepolisihan kemarin malam.
    Di Markas..
    Joe menatap sepasang kekasih
    sekaligus parter kerja yang
    sedang menunduk dalam dengan
    posisi saling berpelukan.
    "Apa alasan kalian kali ini?" tanya
    Joe, auranya penuh intimidasi
    membuat dua orang yang saling
    berpelukan hanya menengguk
    ludah mereka membasahi
    tenggorokan yang mulai
    mengering.
    "Kita sudah berusaha, lolosnya
    pelaku itu di luar scenario." jawab
    pemuda yang masih berpelukan
    dengan wanitanya.
    "Tidak ada yang syuting film laga
    disini." bisik wanita itu kepada
    kekasihnya yang bertindak konyol
    di hadapan singa.
    "Alasan apa itu,huh?" tanya Joe
    sambil mengangkat sebelah
    alisnya menatap dua orang di
    depannya dengan arrogan.
    CEKLEK !
    Pintu terbuka menampilkan sosok
    pria yang tak lain adalah Kelvin.
    "Aku ingin bicara, ikut aku." kata
    Kelvin tanpa sapaan selamat pagi.
  • Ruang kerja kelvin tampak seperti
    ruang kerja kepala kepolisian
    biasanya. Hanya saja di ruangan
    ini tampak terlihat berbagai
    perabotan seperti tv, sofa dan
    kulkas.
    "So, ada apa?" tanya Joe setelah
    masuk ke ruang kerja Kelvin dan
    duduk di sofa panjang
    sedangkan Kelvin duduk di
    hadapannya.
    "Kau sekali datang membawa
    masalah tanpa membawa oleh-
    oleh untukku." ucap Kelvin santai
    layaknya sedang membicarakan
    cuaca pagi hari yang tenang.
    "Oleh-oleh?" tanya Joe dengan
    wajah cengo, tidak mengerti
    maksud rekan sekaligus rivalnya
    ini.
    "Biasanya kau akan
    membawakan minuman atau
    buah apel kesukaanku. Tapi kau
    datang ke sini hanya membawa
    masalah." jawab Kelvin sambil
    menyilangkan kaki kanannya
    yang bertumpu di kaki kirinya.
    Joe hanya bisa mangap-mangap
    tidak habis pikir dengan
    rekannya yang satu ini.
    "Kau yang mengundangku kesini,
    bodoh!" kata Joe dengan tatapan
    sinisnya sambil menyandarkan
    punggungnya ke sisi sofa dan
    melipat tanganya di dada dengan
    gaya arrogan.
    "Aku hanya mengharapkan hal
    yang lebih darimu." Kelvin
    beranjak dari sofanya dan
    melangkah ke arah meja kerjanya.
    "Tidak bisakah kau berhenti
    mengeluh?" seru Joe frustasi
    menghadapi rekannya yang bisa
    di sebut calon pengguni rumah
    sakit jiwa.
    "Pembunuhan yang terjadi akhir-
    akhir ini, tanda salib itu dan
    kaitannya dengan pejabat negara.
    Tidak di ragukan lagi, akhirnya
    waktunya telah tiba." jelas Kelvin
    sambil menatap nanar berkas
    yang ada di tangannya.
    "Lalu, apa yang kau fikirkan?"
    tanya Joe menyelidik, tatapannya
    kembali serius. Menyimak apa
    saja yang akan di sampaikan
    Kelvin, sebagai clue yang bisa di
    simpulkan.
    "Di balik ini semua pasti tak jauh
    dari aksi balas dendam." jelas
    Kelvin lalu memberikan berkas itu
    pada Joe.
    "Apa motif dia balas dendam
    pada pejabat negara? Apa dia
    juga salah satu dari pejabat
    negara yang lain?" tanya Joe yang
    malah pusing sendiri.
    "Bisa jadi, kau ingat
    penggulingan calon presiden
    beberapa tahun silam?" tanya
    Kelvin lalu duduk di sofanya.
    "Iya, penggulingan di lakukan
    dengan cara penembakan kepada
    calon presiden beserta calon ibu
    negara." jawab Joe yang memutar
    kejadian itu di kepalanya.
    "Hal itulah yang mungkin di
    jadikan pondasi dendam. Bisa di
    bilang semua korban itu adalah
    orang-orang yang terlibat dalam
    kasus penggulingan tersebut--"
    ucap Kelvin, sejenak
    menengangkan dirinya. "--tapi
    akupun masih belum yakin. Kasus
    pembunuhan itu langsung di
    tutup tanpa bisa melacak
    keberadaan pembunuh."
    lanjutnya.
    "Jika memang ini adalah misi
    balas dendam, dengan kata lain
    yang melakukan ini adalah anak
    atau kerabat calon presiden?"
    tanya Joe memikirkan segala
    kemungkinan.
    "Bisa di bilang seperti itu. Tapi
    anehnya, semua anak-anak dari
    calon presiden itu identitasnya
    menghilang dari catatan sipil
    negara." jelas Kelvin yang
    sekarang tampak makin frustasi
    dengan kasus yang di hadapinya.
    "Melenyapkan identitas dan
    mengganti identitas yang asli
    dengan identitas yang lain demi
    keamanan tersendiri. Hebat
    sekali." timpal Joe yang sama
    frustasinya dengan Kelvin.
    "Bisa kau selidiki di tempat
    tinggal calon presiden itu?
    Tanyakan kepada masyarakat
    sekitar yang mengetahui keluarga
    itu." tanya Kelvin memberi jalan
    keluar.
    "Akan kucoba." jawab Joe lalu
    kembali pada berkas yang ada di
    tangannya.
    "Biar kukirim adikku untuk
    membantumu. Masalah Oka dan
    Shawla, aku ada tugas lain untuk
    mereka." kata Kelvin lalu beranjak
    dari sofanya.
    "Adik? Sejak kapan kau
    mempunyai adik?" tanya Joe yang
    memang kurang tahu seluk beluk
    keluarga rekannya ini.
    "Sejak usiaku 2 tahun. Dia adik
    kandungku. Awas kau berani
    macam-macam." ancam Kelvin
    sambil tersenyum miring.
    "Kau mengancamku, Sir?" tanya
    Joe dengan nada mencela.
    "Sedikit memperingati." jawab
    Kelvin dengan senyuman manis
    namun terlihat berbahaya.
    "Fake smile." seru Joe sambil
    memutar kedua bola matanya.
    Yang hanya di tanggapi oleh
    Kelvin dengan mengangkat
    bahunya tidak peduli.
    "Boleh aku bertanya?" tanya Joe
    masih fokus pada berkas di
    tangannya.
    "Katakan." perintah Kelvin-bossy.
    "Apa Ayahmu juga ada di daftar
    korban selanjutnya?" tanya Joe
    hati-hati.
    "Entah, kita tunggu saja apa
    Ayahku akan mendapat surat
    ancamannya atau tidak." jawab
    Kelvin, matanya menerawang
    kearah jendela seperti jendela itu
    adalah hal yang sangat menarik.
    Dia memikirkan nasib ayahnya
    yang juga pejabat negara.
    "Ha-aah, menarik sekali, bukan?"
    ujar Joe lalu meletakan berkas itu
    di meja.
    "Ya, bahkan pembunuh itu bisa
    membuatku juga bertindak. Ck!
    Merepotkan." jawab Kelvin sambil
    tersenyum aneh, dia menikmati
    permainan sang pembunuh.
    "Aku pergi dulu." ujar Joe
    berpamitan. Sedangkan Kelvin
    hanya diam saja memandang
    jendela.
    Ceklek!
    Blamm!
    Pintu ruangan itu di tutup oleh
    Joe, hembusan nafas berat sudah
    beberapa kali Joe lakukan.
    Pertama, dia sama sekali tidak
    mengerti jalan pikiran rekannya.
    Bukannya terlihat risau tapi dia
    seakan menikmati. Kedua, harus
    bekerjasama dengan orang yang
    belum di kenalnya. Itu sangat
    merepotkan. Tapi mau
    bagaimana lagi?
    Ha-aah ~ !
    Bersambung...
    Ketemu lg di chap selanjutnya.
  • Menarik, jangan lama" ya @samuelkelvinAk1 updatenya takut lupa hehe *digampar tees:D
  • nice ... lanjutt gan :D
  • pengeran miskin metamorfosis *.*
Sign In or Register to comment.