It looks like you're new here. If you want to get involved, click one of these buttons!
Copyright 2021 Queer Indonesia Archive. See our Privacy Policy. Contact us at [email protected]
Dengan menggunakan situs ini berarti Anda setuju dengan Aturan Pakai.
BoyzForum.com adalah situs anti pedofilia!
Comments
Lempar-tangkap-lempar-tangkap. Itu yang sejak tadi kulakukan dengan ponselku. Bukan merek yang mahal tapi tahan banting, sering menjadi korban kebiadabanku. Aku sedang berpikir untuk menelpon Bobby. Telepon atau tidak? Sebaiknya telepon sajalah. Sekali lagi kulempar ponselku, tapi sayang tanganku kurang gesit. Alhasil ponsel itu lolos dan jatuh dengan keras sampai casing & baterainya terlepas.
“Sial!” umpatku. Segera kupungut benda itu dan kusatukan kembali.
Rupanya nasib buruk masih menghinggapiku, ponsel ini tidak mau menyala. Aku mendengus, kucabut baterainya lalu kucoba nyalakan kembali. Dan masih tetap sama.
“Bangsat!” aku mulai bersumpah serapah.
Kalau sudah begini mau tidak mau aku harus datangi Bobby. Aku langsung menyalakan motor dan memakai helm. Jadwal pagi ini seharusnya adalah main basket. Dulu aku dan Bobby sering main satu lawan satu dan dilanjut jogging.
Motor kupacu dengan kecepatan standar. Ragu-ragu aku menyambangi kostan Bobby, jika ibunya masih disana. Dulu Nyonya Fariza sempat kuanggap ibuku sendiri, dia benar-benar sosok ibu cerewet yang peduli dengan masa depan anaknya. Well, Ibu kandungku bekerja di luar kota dan jarang pulang. Sedangkan ayahku? Aku tidak pernah melihatnya. Ibuku single parent.
Kalau kata orang insting seorang ibu tidak pernah salah, kurasa itu benar. Karena Nyonya Fariza yang pertama kali menyadari perasaan tidak wajarku kepada putranya. Sebenarnya aku tidak terlalu mencolok, aku bahkan lebih seperti abangnya Bobby. Tapi, setelah kematian Sheila, adik perempuan Bobby yang masih balita, Nyonya Fariza mulai menyadari hal-hal yang selama ini tak dia acuhkan.
“Kamu tahu kan, Mi? Bobby darah-daging ibu satu-satunya? Ibu mohon kamu jangan melangkah lebih dari ini. Jangan rebut Bobby dari ibu. Ibu sayang Bobby.”
Aku menggelengkan kepalaku, berusaha membuang bisikan masa lalu. Aku berusaha menghapus percakapan itu dari memoriku sejak dulu. Dan kurasa aku gagal melakukannya.
“Kalau kamu sayang Bobby, kamu harus bisa merelakan dia, nak. Untuk kebaikan Bobby.”
Untuk kebaikan Bobby? Untuk kebaikan Bobby. Kalimat itu terus terngiang di kepalaku sampai motor kurem mendadak. Hampir saja aku menabrak pejalan kaki nekat.
Aku menepi sebentar untuk menarik nafas. Sampai pikiranku sudah kembali netral, kupacu kembali kuda besiku. Mengemudi dengan pikiran kelam adalah tindakan yang buruk.
Setiba di TKP, aku duduk sebentar di warkop mengamati sitasi. Tempat itu tampak sepi, tak ada tanda-tanda kehadiran Nyonya Fariza. Kurasa sudah aman, aku ingin sekalian mandi, badanku sudah lengket. Begitu aku memasuki teras, aku berpapasan dengan orang yang sama tak menginginkanku. Aku tahu dia, tapi mungkin dia tidak tahu aku. Dia adalah Arphan. Dia tidak se-”biasa” yang diceritakan Bobby, Arphan “lumayan” kalau menurutku. Dia sempat menatap ke arahku selama sepersekian detik. Aku pura-pura tidak melihat.
Bobby tampak terlalu suntuk dibanding sebelum pergi tadi.
“Bi?” panggilku.
Dia mendongakan kepala, lalu tersenyum kearahku.
“Hai, bro! Akhirnya kau datang juga,” ujar Bobby menarikku agar duduk disampingnya.
“Kamu nggak apa-apa?” tanyaku sambil meraba dahinya. “Kayak orang sakit gini?”
“Aku kan emang sakit,” sahut Bobby sambil tersenyum. Perlu waktu beberapa detik bagiku untuk mengerti maksud kata “sakit” itu.
Kudekap anak itu, Bobby selalu berusaha menutupi masalah yang dia punya. Sekilas dia akan terlihat seperti orang demam, tapi aku sudah sangat mengenalnya.
“Kalau ada sesuatu, katakanlah!” bisikku. “Aku masih tetap sahabatmu kan?”
Bobby menghela nafas, dia melepaskan pelukanku. Dia bangkit dan berdiri dengan mantap di hadapanku.
“Ayo kita main basket!” ujar Bobby sambil membuka bajunya. “Aku masih juaranya satu lawan satu?”
“Wow, jangan ngeremehin saya, pak!” balasku bangkit juga, melepas jaket dan menerima tangangan Bobby.
Dia masih pemain basket yang handal. Di surat kedua, aku ingat dia bercerita soal turnamen basket di universitas B. Basket adalah pelampiasan paling ampuh bagi Bobby. Untuk satu hal yang ini, aku tidak akan mengalah. Kami duel sampai titik keringat penghabisan. Tak peduli matahari yang semakin meninggi.
Aku ingin membuat permainan ini lebih seru. Pada beberapa kesempatan, saat aku berhasil men-dribble bola melewati Bobby, aku mengambil kesempatan untuk mengecup bibirnya. Hanya sepersekian detik, tapi seru. Kulakukan sampai tiga kali, hingga Bobby menatapku dengan ganas.
Bobby membalas merebut bola dengan teknik yang tak kusangka. Bola itu dilempar, dan dia menubrukku ke rerumputan. Bobby berada diatasku dengan kedua tanganku dipeganginya. Tatapannya ganas, seperti saat kami bercinta. Dia menatapku lurus-lurus. Aku menunggunya membalas cium. Namun dia tak kunjung melakukan itu, dia menundukan kepala di dadaku.
“Hei, kawan. Ada apa?” tanyaku.
Bobby membanting tubuhnya di sampingku, wajahnya kembali kuyu.
“Mama tahu tentang hubungan kita,” ujar Bobby. “Dia bakal ngejodohin gue sama anak temannya.”
Aku langsung diam, tenggorokanku terasa sakit untuk sekadar menelan ludah.
“Wew,” gumamku.
Bobby menatap ke arahku, menyentuh pipiku. Dia berusaha tersenyum, meski terlihat memaksakan diri.
“Kita bisa apa, Mi?” tanyanya pelan.
“Kawin lari?” usulku. Terlintas begitu saja di pikiranku.
Anak itu menghela nafas. “Kamu tahu kan aku sekarang anak semata wayang? Dan mama menginginkan cucu. Kurasa sekarang waktunya buatku untuk berbakti.”
Dia lalu bangkit ke posisi duduk, menggaruk kepalanya dan melihat ke kiri-kanan seperti orang linglung.
“Masak kamu nyerah, Bi?” tanyaku langsung galau.
“Kita harus sudahi permainan ini!” ujar Bobby sambil berdiri. Perlahan dia pergi meninggalkanku. Sepertinya dia mau mandi.
“But it’s time to face the truth, i will never be with you,” dendang Bobby dengan langkah ringan yang semakin menjauh.
Kamu salah, Bi! Hubungan kita ini bukan permainan. Aku cuma bisa memegangi kepalaku dengan kedua tangan, seolah kepalaku akan copot dan terbang ke angkasa. Saking beratnya kenyataan ini.
Aku duduk seperti patung di kasur Bobby, sesekali menoleh ke kamar mandi. Menunggu Bobby selesai dengan tugas sucinya. Aku ingin mengetuk dan bergabung ke dalam, tapi batinku menahanku. Kudengar dengan jelas Bobby menyanyikan berbagai lagu galau.
Aku tidak ingin berpisah dari Bobby, meski hanya bisa melihatnya dari jauh. Pindah ke Manado bukan sepenuhnya ide ibuku. Belakangan aku baru tahu, itu ide ibunya Bobby. Ibuku bekerja di sebuah panti asuhan, yang ternyata milik saudara Nyonya Fariza. Biaya sekolahku ditanggung yayasan itu.
Sekilas semua berjalan lancar. Tapi aku tidak bisa menganggap semua baik-baik saja. Aku mulai berperilaku bandel. Mencoba segala sesuatu yang bisa mengalihkan kesedihanku, sampai pasang tato. Yang membuatku diomeli siang malam oleh ibuku. Sempat menyesal juga, dulu aku tidak terlalu suka orang bertato. Tapi ya sudahlah, nasi sudah terlanjur jadi bubur. Orang frustasi bisa melakukan hal yang dia benci.
Dan seperti yang kukatakan, naluri seorang ibu memang tajam. Ibuku menyadari bahwa ada sesuatu yang tidak beres pada anaknya. Aku tahu ibuku akan menangis, kecewa, marah atau mungkin tak menganggapku anak lagi. Aku jujur kepadanya. Dan seperti yang kutebak, ibuku menangis. Tidak keluar kamar semalaman. Apapun konsekuensinya aku siap. Tapi, di luar dugaan, ibu menerimaku apa adanya. Meski aku tahu sebenarnya ibu sangat tidak rela.
“Kalau kamu cinta Bobby, perjuangkan dia! Ibu kan tidak bisa melarang dengan siapa kau jatuh cinta. Apapun yang membuat kamu bahagia, ibu akan dukung.”
Aku langsung sungkem menangis di pangkuan ibu. Kenapa baru sekarang aku baru sadar, ibuku adalah ibu terbaik di dunia? Aku tahu, aku menyakiti hati ibu. Tapi aku berjanji, akan menjadi orang yang membanggakan ibu.
“Jangan bengong! Ntar kesambet lho,” Bobby membangunkanku dari lamunan.
Aku cuma tersenyum, menatap Bobby yang masih bersenandung kecil mengubek-ubek lemari bajunya. Sambil sesekali dia menggosok handuk ke rambutnya.
“Kamu nggak mandi?” tanya Bobby. Nada bicaranya enteng.
“Nanti aja,” jawabku.
Bobby cuma mengangguk-angguk. Dia tentu tahu apa yang kurasakan, meski aku berharap dia mengatakan sesuatu yang bisa menghibur.
“Sebaiknya aku pulang,” ujarku bangkit.
“Ke rumah yang itu kan?” tanya Bobby cepat.
“Iya, ke rumah itu,” jawabku. Seolah dia takut aku pulang ke Manado.
“Kita masih akan bertemu lagi,” ujar Bobby.
“Aku harap begitu,” sahutku. Tidak cuma sekadar bertemu, tapi bersama terus.
Aku pamit pulang, berjalan lurus tanpa menoleh ke belakang.
~Arphan
Tidak salah lagi! Dia itu yang waktu itu di kampus Bobby. Si Hilmi itu! Aku tak akan pernah lupa wajahnya. Jadi dia memang benar-benar datang kesini. Terus terang saja, dia berhasil membuat hubunganku dan Bobby semakin harmonis. Aku harus memberinya hadiah terima kasih.
Aku duduk menunggu, tak peduli meski sampai malam. Tapi rupanya nasib mujur sedang berpihak kepadaku. Dia tampak keluar dari kostan Bobby, dengan motor besarnya yang berwarna hijau. Keren juga motornya, dulu aku sempat berhasrat untuk memiliki motor besar macam itu. Tapi sekarang entah kenapa aku benci melihat besi beroda itu. Kunyalakan motorku dan diam-diam membuntuti.
Tentu saja motor bebekku tak akan mampu mengejar, tapi disini Jakarta. Hampir di setiap titik akan betemu yang namanya kemacetan. Yep, setidaknya aku punya kesempatan. Menurutmu apa yang bisa kulakukan? Keledai tua melawan kuda perang? Oh, tenang saja! Aku cuma ingin memberikan sesuatu sebagai ucapan terima kasih. Itu niat yang baik bukan?
Tepat di lampu merah legendaris, saat detik-detik lampu hijau menuju lampu merah. Tak banyak yang mampu melewati medan ini. Bahkan untuk lelaki perantauan macam Hilmi. Tapi sepertinya aku salah, dia sudah cukup terlatih. Begitu pula aku.
Dipadu tunggangannya yang mumpuni dia melaju dengan penuh percaya diri. Begitu pula aku.
Kupacu kuda besiku pada limit maksimalnya. Aku melaju lurus searah dengan motor Hilmi. Di depan sana ada sekumpulan kendaraan roda empat yang menghalangi jalan. Dia menurunkan kecepatan, tapi tidak denganku. Tahu apa yang terjadi?
@lulu_75
@Tsunami
@Wita
@octavfelix
@elul
@susucoklat
@erickhidayat
@Zaldy
@BenNext
@arieat
@half_blood
@d_cetya
@Chy_Mon
@arifinselalusial
@rheeyant
@andre_patiatama
@3II0
Bobby beruntung dicintai oleh 2 orang sekaligus.
katakatanya indah dan rapih
hihihihi
terima kasih masih setia untuk menyimak
doakan saja, saya punya waktu luang dan mood yang pas buat menyelesaikan cerita ini sampai selesai