It looks like you're new here. If you want to get involved, click one of these buttons!
Copyright 2021 Queer Indonesia Archive. See our Privacy Policy. Contact us at [email protected]
Dengan menggunakan situs ini berarti Anda setuju dengan Aturan Pakai.
BoyzForum.com adalah situs anti pedofilia!
Comments
@Tsunami
@jacksmile
@3ll0
@lulu_75
@Wita
@BenNext
@jacksmile : ikutin crita gw trus ya bro
Kalau gw inget tentang seseorang yang jarang banget ketemu, pasti yang langsung kebayang adalah kejadian atau peristiwa yang pernah terjadi atau sesuatu yang pernah dia lakuin. Nah, begitu pun dengan Iko. Ada beberapa hal yang saat gw ingat tentangnya, “peristiwa-peristiwa” ini pun bakalan ikutan membayang di pikiran gw. Judul di atas adalah beberapa “insiden” yang nggak bisa dilepas dari seorang Iko. Biar lebih mudah, gw penggal aja ceritanya jadi tiga bagian.
1. Skandal Sebuah Lukisan
Gw pikir Iko ini nggak akan pernah bisa diam dan berhenti gangguin gw, namun dugaan gw salah. Dia bisa juga diam-diaman sama gw kurang lebih semingguan. Keanehan itu disebabkan karena sebuah prakarya kesenian.
Sebelumnya kami diberi PR untuk bikin ukiran di bagian pinggir kertas karton yang menjadi bahan prakarya kami. Kertas kartonnya bukan karton biasa, jadi agak tebal dan ukurannya kurang lebih satu meter. Ukiran di pinggirnya dibikin menyerupai bunga atau motif lainnya yang udah Guru Seni Rupa kami contohkan. Karena itu PR dan sudah kami selesaikan di rumah, hari itu kami diberi instruksi lain, kami diminta bikin lukisan/gambar (yang temanya terserah) di bagian tengah prakarya tersebut.
Nah, saat itu gw sibuk bikin gambar pohon besar yang banyak rantingnya di prakarya gw, karena kebetulan motif di pinggir yang gw bikin adalah dedaunan. Di tengah asyiknya menggambar, gw baru sadar kalau nggak bawa pensil warna. Akhirnya gw minjam ke Iko, dan kami pun berbagi pensil warna. Ketika minjam, sesekali gw mandang juga ke prakaryanya si Iko, karena pensil warnanya berserakan di sekitar lukisannya (jadi sengaja nggak sengaja gw pasti melihatnya waktu mau ambil).
Awalnya gw perhatiin lukisan yang dibikin Iko tuh adalah gambar dua orang (yang kayaknya pasangan) yang lagi gandengan tangan. Gw cuek dan nggak tanya-tanya tentang gambarnya Iko, gw masih fokus sama gambar gw sendiri. Namun, saat melihatnya lagi, gw merasa agak aneh karena ternyata gambar si Iko adalah dua orang cowok. Gw masih nggak terlalu ambil peduli, karena Iko nih anaknya memang beda sendiri. Ntar kalau gw tanya dia bakal jelasin cerita panjang lebar yang bikin gw bete sendiri.
Saat gambar Iko mau selesai, gw kaget dan akhirnya terpaksa harus ambil peduli sama lukisannya si Iko. Soalnya di salah satu kaus gambar orang yang lagi dia bikin ada nama lengkap gw yang dibikin dengan huruf besar. ANDIO XXXXXX. Sementara di kaus orang yang satu lagi dibikin nama lengkap dia sendiri. IKO XXXXX. Setelah gw perhatiin lagi, gambar orang yang ada nama gw, fisik sama wajahnya juga dibikin miripan sama gw. Dan gambar orang dengan namanya IKO gitu juga, dia dibikin lebih pendek dari gambar gw. Otomatis gw kesal (apalagi saat lihat gaya dua orang di gambarnya yang lagi gandengan tangan dengan mesranya layaknya sepasang kekasih).
“Ko, kok lu bikin gambar kayak gitu sih?” tanya gw ke dia.
“Mang kenapa Yo? Bagus kan? Jadi ini gambar kita berdua loh, jadi ceritanya kita lagi jalan-jalan di gunung. Tapi gw belum bikin gunungnya, nih mau gw bikin,” kata Iko tanpa rasa bersalah. Padahal ekspresi gw udah bete banget
“Gw nggak suka ada nama gw dibikin di sana. Hapus gih,” perintah gw.
“Loh? Napa dihapus? Ini bagus lagi,” kata Iko cuek, dia masih asyik sama lukisannya.
“Lu nggak denger apa yang gw bilang tadi? Gw nggak suka ada nama gw disana, lagian maksud gambar lu tuh apa? Kita pasangan yang lagi kencan? Aneh tahu kalau dilihat sama orang,” kata gw lagi.
“Biarin,” kata Iko.
“Hapus nggak!” perintah gw dengan nada tinggi, kali ini gw nggak bisa lagi nahan emosi.
“Lu napa sih, Yo? Gambar kan gambar gw, kok lu yang sewot sih. Terserah gw dong mau bikin apa, gambar lu aja nggak gw protes tuh,” ucap Iko santai.
Gw tambah kesal dengar jawabannya.
“Ko, nanti lukisan lu bisa jadi skandal loh. Kita bisa diketawain sama anak-anak yang lain kalo mereka lihat,” kata gw coba ngasih penjelasan ke dia.
“Nggak masalah tuh, biarin aja mereka ketawa, kan tanda mereka perhatian sama gambar gw, Yo” kata Iko nggak nyambung.
Waktu itu gw benar-benar kesal karena sikap dia yang seenaknya. Gw udah ngotot sama Iko agar setidaknya nama gw dihapus, tapi Iko keras kepala dan malah cuekin gw. Akhirnya gw nekat ambil penghapus dan hapus sendiri nama gw di lukisannya si Iko. Iko agak kaget juga karena gw lakuinnya tanpa ngomong apa-apa, dia sempat ngehindarin prakaryanya dia, tapi karena gw gigih, gw dengan cepat mencoba buat hapus nama gw dari lukisannya dia.
Iko tetap nggak rela gambarnya mau gw hapus, dia sempat narik-narik prakaryanya dan berusaha dorong gw agar menjauh, tapi gw tetap kukuh untuk ngehapus nama gw dari sana. Karena si Iko sibuk narik-narik prakaryanya, sementara gw berusaha menghapus jejak identitas gw di lukisan yang berpotensi bakal jadi ‘sesuatu’ yang kontroversial, tanpa kami sadari lukisan dengan judul ‘Iko dan Andio piknik di tengah bukit berbunga’ pun robek.
Yup, prakaryanya robek di bagian gambar orang yang dikausnya ada nama ANDIO XXXX, robekannya nggak panjang, tapi sukses bikin bagian tengah prakaryanya si Iko bolong. Gw cuma bisa bengong sementara Iko kelihatan shock. Gw nggak tahu harus ngomong apa. Iko nyentuh bagian lukisannya yang robek, trus dia akhirnya mandangin gw. Gw kaget waktu lihat mata Iko berkaca-kaca.
Gw mau minta maaf sama dia, tapi entah kenapa waktu itu gw nggak ngelakuinnya. Mungkin karena saat itu gw mikirnya itu salah si Iko juga, kan sebelumnya gw udah minta baik-baik sama dia buat hapus nama gw dari lukisannya. Coba waktu itu dia dengerin apa yang gw bilang, jadinya nggak bakalan kayak gini.
Gw cuma diam melihat Iko berusaha menghapus gambar orang yang ada nama gw dari prakaryanya dia, namun nggak berapa lama, gw baru sadar kalau dia menghapus semua gambar yang dia bikin tadi. Iko mau bikin lukisannya dari awal lagi. Gw merasa bersalah juga, karena gambarnya tadi lumayan bagus (minus di bagian yang ada namanya gw) dan lagian bentar lagi tugas prakarya kami ini bakal dikumpul. Iko cepat-cepat bikin gambar baru di prakaryanya, gw nggak ingat saat itu dia mau bikin gambar apa, karena nggak berapa lama Guru Seni Rupa kami masuk dan beri kami instruksi buat ngumpulin prakarya yang kami buat. Mau nggak mau si Iko ngumpulin tugas prakaryanya yang belum selesai. Setelah itu, Guru Seni Rupa kami malah bilang kalau tugas Prakarya tadi bakalan berpengaruh sama nilai kesenian di rapor.
Gw bisa bayangin kalau penjelasan Guru tadi kayak taburan garam di atas luka bagi Iko. Setelah Guru itu keluar, si Iko ambil tas dia dari laci meja, trus dibukanya resleting tas tersebut lebar-lebar. Awalnya gw pikir dia sibuk mencari buku atau apa. Tapi nggak berapa lama gw dengar isakannya dia. Dengan kepala masih di dalam tasnya (tas Iko waktu itu tas punggung yang lumayan gede), si Iko diam-diam nangis agar nggak dilihat sama gw atau teman-teman yang lain (gw tahu dia nangis karena beberapa kali kedengeran dia terisak dan ada suara kayak ngehirup ingus gitu )
Mendengar Iko nangis, gw merasa bersalah juga. Dan parahnya gw nggak bisa ngomong apa-apa ke dia (gw juga bingung gimana caranya minta maaf). Jadinya hari itu dan beberapa hari ke depannya, Iko nggak mau ngomong sama gw dan kami saling diam-diaman.
Awalnya sih gw lumayan canggung karena masih merasa udah jahatin Iko, tapi akhirnya gw nyaman juga karena nggak ada yang ajak gw ngobrol dan gangguin gw lagi. Yang tersiksa kayaknya malah si Iko, dia beberapa kali ngelirik gw dan kelihatan mau ngomong sesuatu, tapi tiba-tiba dia diam lagi (kayaknya dia langsung inget kalau lagi marahan sama gw).
Gw juga pernah coba nyapa dia dan ngajak dia ngobrol (untuk ngetes dia masih marah atau nggak), tapi Iko malah nyuekin gw dan pura-pura nggak dengar apa yang gw bilang. Gw pun jadinya nggak peduli lagi sama dia, selama satu minggu kami saling diam-diaman dan nggak saling negur. Beberapa hari setelah itu, kami tetap dalam kondisi ‘perang dingin’. Iko atau gw cuma saling bicara kalau ada sesuatu yang benar-benar penting, hingga anak-anak di kelas pun pada heran karena si Iko yang biasanya adalah biang ribut di kelas, berubah jadi anak yang feminim dan nggak banyak bicara.
Namun, se-pendiam-pendiamnya burung beo, pada akhirnya akan berbicara juga (peribahasa apa ini???). Iko akhirnya kembali menjadi dirinya yang sediakala karena suatu peristiwa. Kejadian itu gw rangkum di kisah gw yang kedua:
2. Sekantong Buah Aneh
Ditengah-tengah aksi ‘mogok bicaranya’ Iko, gw tiba-tiba terserang demam panas. Sebenarnya demam biasa, tapi gara-gara gw waktu itu lagi males-malesnya sekolah, akhirnya gw jadiin alasan “demam” gw untuk nggak masuk sekolah selama dua hari.
Di hari keduanya gw libur, siangnya ada seorang anak yang datang ke rumah gw. Gw waktu itu lagi baca komik di dalam kamar, jadi nggak tahu siapa yang datang.
“Dio, ada teman dari sekolah kamu nih datang nengokin kamu,” kata Abang gw, yang kebetulan bukain pintu.
Deg. Awalnya gw kaget karena nyangkain ada kunjungan dari wali kelas sama anak-anak lain gara-gara gw sakit, tapi itu bukannya kalau absen sakitnya udah lebih dari 3 hari ya? Atau sakit gw lumayan parah yang sampai harus rawat inap di RS. Gw sibuk bertanya-tanya dalam hati sambil keluar dari kamar, jantung gw lumayan deg-degan buat nyambut ‘teman-teman’ yang datang buat lihat keadaan gw, apalagi saat itu gw udah nggak demam lagi, apa kata wali kelas kalau gw ketahuan pura-pura sakit.
Pas keluar kamar, senyum sumringah si Iko langsung nyambut gw.
“Kaget ya, Yo,” katanya sambil senyum-senyum nggak jelas.
“Cuma kamu yang kemari, ko? Nggak ada teman-teman yang lain?” tanya gw celingukan ke belakang Iko.
Iko menggeleng.
Gw langsung lega, tapi gw penasaran juga bagaimana tuh anak bisa kemari. Soalnya belum ada sebelumnya teman-teman gw di SMP yang datang ke rumah (jarak antara rumah gw ke sekolah lumayan jauh, dari sekolah ke rumah gw harus naik dua kali angkot), jadi nggak ada anak yang tahu di mana lokasi rumah gw. Jadinya gw heran dari mana Iko tahu alamat rumah gw.
“Trus, darimana lu tahu rumah gw, Ko?” akhirnya gw bertanya juga saking penasarannya.
“Dari biodata lu di binder, kan lu pernah ngasih ke gw,” jawab Iko masih cengengesan.
Gw baru ingat nih anak pernah maksa-maksa gw untuk ngisi biodata gw di kertas binder yang bergambar (pasti tahu kan, zaman dimana anak cewek hobi banget ngoleksi yang namanya kertas binder beraneka warna dan biasanya mereka tuh punya kebiasaan minta-minta biodata teman-teman di kelas/ kalau lu tahu berarti kita sezaman ). Awalnya gw heran juga kok si Iko punya binder juga (karena Iko ini bukan tipe anak yang doyan sama mainan anak perempuan), tapi akhirnya gw tahu kalau dia minta tuh kertas dari salah satu teman cewek kami. Gw masih ingat pertanyaan dia di kertas binder mulai dari nama gw, nama bapak gw, nama ibu gw, hobi gw apa, zodiak gw, anime favorit sampai ke tinggi badan dan berat badan gw saat itu.
Ok, balik ke cerita kita, gw hanya angguk-angguk mendengar penjelasan Iko. Trus gw juga tanya kalau bukannya dia masih ngambekan dan marahan sama gw (intinya mengapa dia mau datang nengokin gw), dan dia jawab gini dengan pedenya.
“Sebenarnya gw masih marah sih, yo. Tapi gw nyesal karena udah egois dan ngambekan nggak jelas sama lu. Gw nggak nyangka kalau Dio bakalan tertekan sama sikap Iko dan jadinya sakit kayak gini. Sumpah, gw nyesal dan tersiksa banget, Yo. Makanya gw kemari.”
Saat itu gw hanya bengong dan nggak tahu harus ngomong apa.
Jadinya hari itu Iko habisin waktu di rumah gw sampai sore hari, dia jadi pusat perhatiannya kakak sama abang gw karena hobinya yang ngomong terus (Abang gw malah bilang kalau mulut si Iko kayak mulut Ikan maskoki, gak bisa berhenti gerak). Dia juga sempat berantakin kamar gw dengan obrak-abrik komik-komik koleksi gw, manjatin pohon-pohon di belakang rumah gw (kebetulan di rumah gw waktu itu banyak pohon buahnya), trus nonton anime di ruang keluarga bersama gw dan saudara-saudara.
Waktu mau pamit, si Iko ngeluarin sesuatu dari dalam tasnya.
“Oh ya, Yo. Gw bawa sesuatu nih, hampir aja gw lupa ngasihnya ke lu. Nih ada terung pirus, buahnya asem sih, tapi bermanfaat banget bwt orang yang lagi sakit. Bagus untuk nambah darah juga kata Nyokapnya gw,” jelas Iko sambil ngasih sekantong buah ke gw.
Gw hanya ngangguk-ngangguk dan ucapin terima kasih ke Iko, setelah nganterin Iko sampai ke jalan besar (sambil nungguin dia dapat angkot), gw kembali lagi ke rumah.
Sesampainya di rumah, gw ngelihat abang sama kakak gw lagi di ruang tamu, dengan buah-buah pemberiannya Iko di atas meja. Mereka duduk berdampingan sambil masang tampang kayak orang yang lagi mikir keras.
“Yo, ni buah apaan sih?” tanya Kakak gw saat ngelihat gw nongol di pintu.
“Tadi kayak ada kata ‘terungnya’ waktu Iko bilang namanya, tapi aku lupa terung apa,” kata aku sambil nyamperin mereka.
“Motongnya susah banget lo, tadi udah gw coba, tapi kulitnya licin banget, sampai jari tangan gw luka jadinya,” celoteh abang gw sambil mamerin jari tangannya yang tergores pisau.
“Yup, dikelupas apalagi. Kulitnya licin dan keras banget, susah jadinya” timpal Kakak gw.
“Trus makannya gimana? Digigit aja?” tanya gw.
“Nggak mungkin, tadi udah si Abang coba juga, keras banget buahnya kalau digigit . Dipotong sama pisau aja nggak mempan, apalagi digigit sama gigi,” komentar kakak gw.
Akhirnya hari itu kami hanya bisa mandangin tuh ‘sekantong buah aneh dari Iko’ karena nggak tahu bagaimana cara makannya. Kami sempat berspekulasi kalau sebenarnya itu bukan buah, Abang gw ngira kalau Iko kebetulan lihat tuh buah di tengah jalan trus dibawa deh kerumah gw jadi buah tangan. Kakak gw malah pikir kalau tuh buah belum masak, jadinya keras.
Tapi apa pun spekulasi kami, tiga orang anak yang kelaparan tetap hanya bisa memerhatikannya, tanpa bisa mencicipinya sedikit pun. Sore itu, muncul sebuah pertanyaan di benak kami. Ini sebenarnya buah apa dan bagaimana cara memakannya.
Ketika orangtua kami sudah pulang ke rumah, kami bertiga baru bisa nyicipin buah si Iko (maksudnya buah pemberian si Iko ). Jadi akhirnya kami tahu kalau tuh buah namanya terung pirus dan cara makannya nggak bisa langsung digigit. Jadi buahnya harus dibagi dua secara memanjang dengan hati-hati (karena kulitnya memang licin dan keras), setelah udah kebagi dua, isi buahnya dikorek pake sendok, trus dimakan deh (kata nyokap gw kalau langsung diicipin, bibir setelah itu bakalan sakit dan luka karena daging buah di bagian kulitnya lumayan keras).
Dan benar kata iko, rasa buah terung pirus memang asam. Tapi bagi gw nggak asam-asam amat, karena ada rasa manisnya pas udah di dalam lidah. Dan nggak tahu kenapa, sejak saat itu gw jadi suka sama terung pirus. Apalagi kalau dibuat jadi jus trus ditambah susu. Yummy! Dan tiap makan buah terung pirus atau minum jusnya, sesekali wajah iko waktu SMP kebayang di ingatan gw. Soalnya dialah yang pertama kali ngenalin gw sama terung pirus. Sekaligus ngingetin gw kalau Iko dan terung pirus nggak beda-beda jauh, walau pun iko sering berulah dan gangguin gw (analoginya rasa asam di buah terung pirus), seenggaknya sesekali dia bisa juga bersikap manis dan baik sama gw (sama kayak rasa manis terung pirus saat udah di dalam mulut).
3. Misteri Hilangnya Tokoh Dunia
Setelah kedatangan Iko ke rumah gw, Iko kembali seperti sediakala di sekolah. Malahan dia lebih banyak omong dan cerewet (kayak menebus aksi diamnya selama seminggu). Dan ditambah satu kebiasaan baru yang lumayan bikin gw bete. Yakni kebiasaan dia buat nyuruh gw main ke rumahnya dia.
“Ayo dong, Yo. Main ke rumah gw, ya. Kan gw kemarin udah datang ke rumah lu, sekarang giliran Dio dong main ke rumahnya gw. Ya. Ya,” desaknya sambil masang tampang melas.
Gw lumayan keki juga karena waktu dia jengukin gw ke rumah waktu itu dijadiin alasan. Padahal gw sama sekali nggak minta buat ditengokin sama dia. Jadi, saat Iko udah ngerayu-rayu gw buat ke rumahnya dia, gw bakal ngasih seribu alasan buat nolak. Pernah waktu itu dia ngajakin lagi, trus gw bilang kalau gw nggak bisa karena harus piket, tapi bukannya nyerah si Iko malah bilang kalau dia bakal nungguin gw selesai piket. Nah, gw sengaja tuh lama-lamain piketnya, gw pikir dia bakalan bosan dan pulang. Tapi ternyata nggak, dia malah senyum sambil merhatiin gw yang lagi piket dari jendela di luar kelas.
Gw akhirnya bohong lagi dengan bilang kalau gw harus pulang cepet-cepet karena Orangtua gw ada perlu sama gw. Iko kayak kecewa gitu dan gw jadinya merasa bersalah gara-gara udah bohong sama dia. Tapi saat itu gw bener-bener takut banget ke rumahnya Iko, kalau ngelihat sikapnya yang agresif sama gw, bukan nggak mungkin kalau nantinya saat di rumahnya dia, gw bakalan diapa-apain sama Iko.
Karena ajakan Iko buat kerumahnya dia sering gw tolak, dari alasan yang masuk akal sampai diluar logika, akhirnya si Iko berhenti juga maksa-maksa gw buat ke rumahnya dia.
Nah, suatu hari gw bawa buku komik ke kelas. Kebetulan waktu SMP gw hobi banget bolak-balik Pusda (Perpustakaan Daerah), gw masih inget kalau buku yang sering pinjam dulu adalah Goosebumps, Animorphs sama komik seri tokoh dunia. Yang hari itu gw bawa adalah salah satu komik dari seri Tokoh dunia, gw lupa siapa tokoh yang gw baca waktu itu. Anggap aja Julius Caesar.
Saat istirahat, gw nggak ke kantin dan malah habisin waktu baca tuh buku, dan kebetulan Iko juga di dalam kelas. Jadinya dia ngelihatin gw yang lagi baca.
“Komik apa tuh, Yo? Bagus ya?” tanya Iko.
“Tentang tokoh dunia, Ko. Kayak biography yang dibikin komik gitu, kalau menurut gw bagus sih,” jawab gw sambil terus baca.
“Oo, kok lu bacanya di sini sih, Yo?” tanya Iko lagi.
“Besok mau gw balikin lagi ke Pusda soalnya, Ko. Sayang kan kalau gw belum selesai baca tapi udah dibalikin.”
“Oh, gitu. Cepat-cepat gih bacanya, Yo. Ntar kalau udah selesai pinjamin gw ya, besok gw kembaliin deh.”
“Hah? Nggak ah, besok batas waktu ngembaliinnya, Ko. Nggak bisa,” kata gw ketus.
“Ya udah deh kalo gitu,” kata iko nyerah. Lalu dia diam.
Gw pikir masalahnya udah berakhir sampai disitu, tapi waktu udah pulang sekolah dan balik ke rumah, saat gw meriksa tas sekolah, gw sama sekali nggak nemuin buku komik yang tadi gw baca. Julius Caesar gw hilang. Padahal gw yakin banget saat bel tanda masuk bunyi, gw langsung masukin tuh komik di dalam tas. Jadinya hari itu gw mikir-mikir dimana gw taruh sampai nggak ada di dalam tasnya gw.
Karena udah gw bolak-balik tas nggak ketemu juga, gw akhirnya berpikir mungkin pas gw masukin ke tas tadi bukunya jatuh di dalam laci meja gw. Besoknya gw datang pagi-pagi ke sekolah, takut ntar ada anak lain yang lihat dan ambil tuh buku. Waktu gw meriksa laci meja, gw sama sekali nggak nemuin buku tersebut. Gw juga nengok ke bawah meja dan kursi gw, hasilnya sama. Gw juga tanya ke anak-anak yang piket kemarin, nggak satu pun dari mereka yang melihat buku gw.
Gw jadi bertanya-tanya kemana hilangnya ‘Tokoh Dunia’ gw.
Akhirnya sepanjang hari itu, gw cuma manyun di kelas. Gw mikirin berapa harus bayar denda karena udah hilangin tuh komik. Gw gelisah dan nggak konsen di kelas. Iko pun sadar hal tersebut.
“Lu napa, Yo? Daritadi gelisah terus?” tanya Iko.
“Komik gw ilang, Ko.”
“Oo, yang si Julius Caesar itu ya?”
“Yup.”
“Nggak usah kuatir, Yo. Bukunya sama gw kok,” kata Iko santai.
“Eh? Beneran? Kok bisa sama lu? Lu nemuin di laci gw ya?”
“Eh.., itu.., nggak sih, sebenarnya gw sengaja ambil dari tas lu kemarin,” kata Iko gugup, dia nggak berani noleh ke gw.
“Kok lu bisa ambil seenaknya gitu sih, Ko?” tanya gw mulai emosi, muka gw terasa panas saat itu.
“Habis, gw mau pinjam kemarin, tapi lu nggak mau ngasih. Jadinya gw ambil aja,” alasannya ngasal.
Gw geram dan saking marahnya tangan gw gemetar karena nggak tahan buat ngasih pelajaran ke Iko. Pengen banget gw bejek-bejek si Iko, tapi gara-gara waktu itu lagi belajar, gw nggak berani.
“Ok, sekarang kasih ke gw bukunya,” kata gw sambil nahan emosi.
“Ya.., gw nggak bawa, Yo. Gw tinggalin di rumah tuh. Lu harus ke rumah gw kalau mau ambil tuh komik,” kata Iko tanpa tampang berdosa.
Sumpah, waktu itu kepala gw mau pecah saking nggak kuatnya nahan kemarahan gw ke Iko.
“Lu gimana sih, ko. Kan bukunya besok mau gw kembaliin,” kata gw kesal.
“Tahu sih, makanya ke rumah gw aja sekarang. Gitu aja kok repot,” ujar Iko sambil senyum-senyum.
Saat itu gw langsung ngehubungin tingkah Iko yang nyelundupin buku gw dengan hobinya yang ngajak-ngajak gw ke rumah dia sebelumnya. Udah pasti ini cara si Iko buat maksa gw ke rumah dia.
“Ini ide lu ya, biar gw bisa main ke rumah lu?” tanya gw.
Iko ngangguk-ngangguk dengan semangat. “Habis lu susah banget sih diajakin, makanya buku lu sengaja gw ambil biar lu bisa ke rumah gw. Maaf ya Iyo, tapi gw cuma pengen lu main ke tempat gw aja kok, nggak ada niat lain.”
Trus gw ngomel-ngomel sama Iko tentang sikapnya yang seenaknya dan bikin orang jadi susah, tapi mau nggak mau gw akhirnya pergi juga ke rumahnya. Untuk jaga-jaga (dari perilaku Iko yang kadang abnormal), gw ajak dua orang teman lagi yang kebetulan tinggal dekat dari rumah Iko untuk main ke rumahnya dia.
Saat sampai di rumahnya Iko, kami nggak disambut siapa pun. Rumahnya kosong. Trus gw tanya kemana orangtuanya Iko, dia jawab kalau Ibunya lagi kerja. Di ruang tamu ada foto seorang pria yang berpakaian kayak tentara, trus karena sadar gw merhatiin foto itu trus, si Iko malah ngomong,
“Itu bokap gw, Yo. Gw benci banget sama dia,” kata Iko ketus.
Gw cuma bengong.
Ketika Iko ke dapur untuk bawain kami minum sama snack, dua orang teman gw yang lain langsung jelasin mengenai bokapnya Iko. Tentang Bokap Iko yang nggak kembali dari tugasnya lumayan lama, tapi pas kembali dia udah bawa istri lain. Itu terjadi saat Iko masih berumur tujuh tahun. Gara-garanya Nyokap Iko harus banting tulang untuk ngehidupin Iko dan dirinya sendiri (pergi pagi, pulang sore). Jadinya yang tinggal di rumah cuma Iko sendiri.
Saat itu gw lumayan berempati sama Iko, gw jadi mikir tentang sifatnya yang cerewet, suka menarik perhatian, trus nggak bisa diam, dan kadang sikapnya yang diluar batas normal (kayak ngendus gw atau maling buku gw diam-diam). Bukannya sok-sokan atau gimana, tapi terkadang saat seseorang berbuat sesuatu yang ‘salah atau aneh’, yang gw pikirin adalah ‘mengapa dia bisa lakuin hal tersebut?’
Karena menurut gw, seseorang butuh ‘pengertian dan pemahaman’ bukan sebuah ‘penghakiman’. Gw jadi lumayan ngerti mengenai sikap-sikap iko yang gw sebutin tadi, yang ternyata dia lakuin hanya untuk mencoba ‘diperhatikan’ oleh gw dan anak-anak di kelas, karena memang dia nggak mendapatkannya di rumah−yang seharusnya menjadi tempat dimana dia bisa menemukan orang-orang yang care ke dia.
Gw jadi inget sama tingkah gw waktu kecil. Kira-kira saat itu umur gw masih lima tahun, dimana banyak orang yang kalau ketemu gw sering banget merhatiin gw atau seenggaknya cubit-cubit pipi gw. Nah, waktu itu kebetulan gw sekeluarga pergi ke kampungnya Nyokap gw karena nenek gw meninggal. Saat disana, keluarga gw malah sibuk sendiri dan nggak ada satu pun orang yang peduli sama gw. Karena kesal, gw ambil vas bunga di atas meja, trus gw banting sampai pecah. Gw pikir dengan melakukannya, orang-orang bakalan berhenti sama kesibukan mereka dan mau merhatiin gw.
U know what? Terkadang tanpa kita sadari, kita berusaha agar seseorang bisa peduli dan merhatiin kita. Meski kadang cara yang kita lakuin salah. Sejak saat itu, gw lumayan bisa ngerti dan bisa menerima sikapnya Iko yang suka diperhatiin. Karena dia nggak mendapatkan ‘perhatian itu di rumah’, gw berusaha sebagai teman seenggaknya bisa menjadi tempat dimana dia mendapatkan perhatian itu. Beberapa kali gw juga sempat ajak dia main ke rumahnya gw, si Iko senang banget (Karena bisa ketemu Abang dan Kakak gw).
Satu hal yang masih gw ingat sampai sekarang adalah kata-katanya Abang gw. Dia sempat bilang ke gw, kalau Iko tuh adalah tipe teman yang betul-betul care sama gw, teman kayak Iko adalah tipe orang yang rela ngelakuin apa pun demi temannya sendiri−dan itu gw. Gw nggak nanya darimana Abang gw bisa tahu. Gw cuma ngangguk aja saat itu. Tapi kedepannya, gw baru tahu kalau apa yang Abang gw bilang itu benar.
@jacksmile
@3ll0
@lulu_75
@Wita
@BenNext
@arifinselalusial
@3ll0 Sebenarnya gw udah belok dari sononya, tapi mungkn wktu SMP baru nyadarnya. Ntar gw ceritain deh gimana gw tahu kalau gw belok.