It looks like you're new here. If you want to get involved, click one of these buttons!
Copyright 2021 Queer Indonesia Archive. See our Privacy Policy. Contact us at [email protected]
Dengan menggunakan situs ini berarti Anda setuju dengan Aturan Pakai.
BoyzForum.com adalah situs anti pedofilia!
Comments
All of Me
"....kriiinggg..." suara panjang dari alarm ku membuatku terbangun dari tidurku.
Kulihat langit fajar yang biru keunguan,aku mencoba membuka mata sepenuhnya dan melirik jam disamping tempat tidurku yang menunjukkan pukul 05.03.
Aku merasakan ada yang aneh dengan pakaian ku. Aku mencoba membuka selimut dan ternyata aku memakai jaket yang kukenal semalam.
Aku mencoba mengingat apa yang terjadi tadi malam. Terakhir yang kuingat aku memejamkan mataku ketika sedang diperjalanan pulang dengan Okta.
Bagaimana aku bisa sampai disini? Apa aku merepotkannya? Dan kalau aku masih memakai jaket ini berarti Okta tak memakai jaket diudara malam yang dingin.
Ah bodoh. Kenapa aku bisa tertidur saat orang yang aku cintai justru kedinginan diatas motor.
Setelah berputar dengan fikiran ku sendiri aku segera menyambar handuk dan melepaskan pakaianku,ku tatap jaket Okta dan kuhirup aromanya, aroma maskulin seperti biasa yang kuhirup.
Aku mandi dengan cepat mengingat ini adalah hari senin yang biasanya kemacetan tak dapat dihindari. Keluar kamar mandi dengan cepat dan menyambar seragam putih abu-abuku yang sudah tergantung didepan pintu lemari ku.
Saat hampir selesai melakukan persiapan dan saat ingin memasukan buku-buku ku kedalam tas, aku tiba-tiba terhenyak saat melihat buku Matematika dan Kimia.
Matilah aku. semalam seharusnya aku belajar untuk remedial hari ini.
Tak ada waktu lagi, batinku. Aku segera membawa tas dan jaket milik Okta keluar dari kamarku.
Aku bergegas menuju ruang makan.
"Wih..akhirnya putri tidur bangun juga hahaha" kata Jhony yang langsung meledek ku saat aku baru saja menaruh pantatku keatas bangku.
"Lucu lo" kataku yang langsung melahap bubur bayiku.
"Iya kamu tuh Man, masa bisa tidur dimotor. Kasian tuh temen kamu repot mindahin kamu ke kamar" kata Mama membuatku melongo sesaat.
"Jadi yang mindahin aku ke kamar itu Okta?" tanyaku untuk memastikan.
"Iyalah siapa lagi emangnya? Papa sama Mama udah tidur. Tau kamu pergi juga enggak. Jhony yang bukain pintu waktu kamu pulang" kata Mama yang langsung membuatku menoleh cepat kearah Jhony.
"Trus dia gimana dek? lo kenapa gak bangunin gue sih?" tanyaku cepat pada Jhony.
"Yeee tumben lo manggil 'dek', biasa aja tuh dia cuma keseleo aja keberatan gendong Putri Tidur" sahutnya cuek sambil terus menyatap nasi goreng sarapannya.
"Arman..Kamu kayaknya deket banget sih sama siapa itu tadi namanya? Okta ya? Emang ada apa sih?" tanya Papa tiba-tiba dengan tatapan ingin tahu jawaban dariku.
"Gak ada apa-apa kok Pa" jawabku sedikit gugup.
"Masa sih? ya kamu kalo cari temen yang baik-baik ajalah gak usah macem-macem" Kata Papa, bisa kulihat dari mimiknya ia masih butuh penjelasan.
"Iya Pa...." sahutku seadanya.
"Mas temennya udah dateng tuh" ujar Mba Ika membuatku bersyukur dan melesat cepat keluar rumah sebelum topiknya semakin mengancam.
"Hei...Gimana tidurnya? Nyenyak?" Sapa Okta ketika aku sudah berdiri disampingnya.
Aku mendongakan kepalaku untuk melihat wajahnya
"Ini ngeledek ya?" ujarku.
"Hahaha enggak kok..Pede banget sih kamu" sahutnya sambil mengacak-acak rambutku seperti biasa dan langsung berlari ke mobil. Dengan gemas segera aku lari mengikutinya ke arah mobil dan masuk kedalamnya.
Ternyata seperti biasa, Seseorang berkulit putih dan berkacamata itu duduk dengan angkuh dibangku belakang, wajahnya menatap keluar jendela.
"Hai.." sapaku pada seseorang itu untuk mencoba akrab karena tak enak juga kalau suasana mobil dingin karena sifatnya.
Namun bukannya menjawab cowok itu hanya melihat ku sekilas dan membuang tatapannya kearah jendela lagi yang langsung membuatku melongo sesaat.
"Sombong banget sih" ujarku sambil berusaha memasang seatbelt.
"Hufff...bisakah mobil ini jalan sekarang tuan?" tiba-tiba cowok itu berkata dengan dingin dan membuang nafasnya.
Tunggu..
Suaranya membuatku teringat sesuatu.
Aku teringat ketika aku berskype dengan Okta dan suara yang memanggilnya benar-benar mirip suaranya.
Kalau itu benar suaranya, berarti dia sedang berada dirumah Okta saat itu. Malam hari dirumah Okta dan membuka pintu kamar Okta tanpa ketuk pintu. Benarkah?
"Oktaaaaa..." panggil ku dengan berteriak dan memegang lengannya yang membuatnya kaget dan menginjak rem mendadak.
"Arman! Kamu bisa gak sih biarin aku konsentrasi nyetir? kamu gak liat lagi macet begini?! Liat tuh kita hampir nabrak pengendara motor!" Okta menghempaskan tangan ku dari lengannya dan membentak ku.
Aku baru sadar saat ini kita berada di perempatan jalan yang sulit dan dipadati kendaraan.
"Bego. Lo bisa diem gak?" tiba-tiba cowok dibelakang itu ikut membentak ku juga.
Belum habis kaget yang kudapati saat dibentak Okta sekarang aku pun dibentak kasar olehnya.
Aku tahu aku salah dan aku pun hanya bisa bersandar dan menundukkan kepalaku. Tangan ku menaikkan kancing di jaket Okta yang kemarin ku kenakan.
Tapi kurasakan mataku panas dan pandangan ku sedikit terhalang oleh berkas air mata.
Aku tidak pernah dibentak sekasar itu oleh siapapun sebelumnya. Kejadian tadi membuat aku kaget dan merasakan hatiku mencelos.
Jangan menangis...Aku berusaha sekuat mungkin menahan air mataku.
Sekitar 15 menit aku menahan kurasakan mobil ini sudah sampai di depan gerbang sekolah dan berjalan pelan ke arah parkiran.
Aku segera membuka seatbelt ku walaupun mobil ini masih mencari tempat parkir. Ketika sudah sampai dengan bergetar aku membuka pintu mobil Okta, membuang jaketnya kedalam mobil dan berlari secepat yang aku bisa. Aku bisa mendengar suara Okta yang memanggil namaku tanpa mengejar ku. Bagus.
Aku berlari menuju Toilet yang masih sepi dan masuk kesalah satu bilik dan mengeluarkan seluruh air mataku yang sedari tadi aku tahan. Aku menangis karena hatiku terasa mencelos dan aku sangat tidak suka cowok yang membentak dan Okta adalah orang pertama yang melakukan itu. Aku menangis membebaskan sesak yang sedari tadi aku tahan, Terakhir kali aku menangis adalah ketika aku putus dengan Rico.
"Teng...Teng..Teng.." kudengar suara Bel Besi yang dipukulkan tiga kali menandakan sekolah telah memulai aktivitasnya. Aku menyeka air mataku dengan bahu tangan ku dan bergerak keluar Toilet.
Sepertinya Okta pun tidak mencariku. Aku masuk ke kelas ku dan membuang tas ku diatas mejaku dan bergerak cepat ke UKS saat yang lain bergerak ke lapangan untuk upacara.
Aku merasa malas mengikuti upacara karena telah kehilangan mood ku.
"Eh Man, gak upacara?" tanya Renal saat aku masuk ke UKS dan berbaring disalah satu tempat tidur.
"Enggak. lagi gak enak badan" jawabku sekenanya.
"Butuh obat? Mau gue ambilin minum?" tawarnya
"Enggak, Makasih" jawabku lalu memejamkan kedua mataku yang masih sembab, Sepertinya Renal yang menjaga UKS hari ini.
Tak lama aku berdiam di UKS, seusai upacara aku kembali ke kelas dan memilih koridor yang lebih jauh dari pada harus melewati koridor kelas X.
Dalam perjalanan aku teringat kalau pagi ini aku harus melaksanakan remedial matematika yang dilaksanakan jam pelajaran pertama.
"Yuna...lu udah belajar buat remed belum?" tanyaku seraya menerjangnya
"Aduh...belum nih kyak gak tau gue aja" jawabnya dengan tatapan datar
Tiba-tiba seluruh teman-teman sekelasku berderap cepat ketempat duduknya masing-masing yang menandakan Bu Ana yang galak itu sudah mendekat ke kelas kami.
Aku dan Yuna segera duduk. Tanpa basa-basi Bu Ana memasuki kelas dan langsung mengeluarkan lembar soal.
"Arman,Bima,Rima,dan Yuna sekarang ikut ibu ke kantor. bawa kertas selembar dan pensil. Bukan bawa yang lain!" ujarnya sambil menatap garang. Aku sudah tau maksud kata "yang lain" adalah handphone,buku cetak dan segalanya yang mempermudah kecurangan. Aku segera menyobek kertas dan mengambil pensil serta menaruh Handphone ku kedalam tas.
"Yang lain kerjakan soal latihan halaman 56. Gak ada yang keluar kelas!" katanya ketus yang langsung diiyakan oleh seluruh murid dikelasku. Aku dan Yuna serta yang lainnya mengekornya berjalan ke kantor.
"Yuna kok dikantor sih? mati deh kita ini pertama kali nih gue" ujarku berbisik ke Yuna
"Udah ikutin aja" ujarnya santai membuat ku tak percaya. Gaya bicara Yuna dari tadi tidak menunjukkan kecemasan yang berarti.
"Awas kalo ada yang nyontek" ujar Bu Ana ketika menyuruh kita duduk di dalam kotak kumpulan guru Matematika disekolah ku. Aku duduk bersebelahan dengan Yuna dan sementara berhadapan dengan Rima.
Aku menatap soal yang diberikan Bu Ana. Masih soal yang sama dengan yang sebelumnya yang membahas tentang Integral Parsial dan saudara-saudaranya. aku mencoba mengerjakan yang kemarin sudah aku kerjakan. Setelah itu aku mencoba mengerjakan nomer yang menurutku mudah.
Namun lama sudah aku berkutat menghitung ini itu yang tak berujung. Aku mencoba nomer selanjutnya dan gagal lagi begitu seterusnya. Aku jadi menyesali kemarin malam seharusnya aku memanfaatkan waktu dan tidak pergi dengan Okta. Aku mendesah pelan.
Ku tengokan kepalaku perlahan kebelakang untuk melihat Bu Ana yang ternyata sedang mengkoreksi hasil ulangan kelas lain. Aku melirik Yuna yang malah sibuk mengurusi kuku tangannya.
"Husst..Yuna..yun.." aku mencoba menanggilnya dengan berbisik sepelan mungkin.
"Arman! Minus satu!" ujar Bu Ana sinis yang membuatku menegang. Sia-sia aku memanggil Yuna dan malah membuatku mendapat pemotongan nilai. Aku menunduk lesu. Aku menyerah, Tak satupun yang dapat kupecahkan selain 6 soal yang minggu lalu dapat kukerjakan. Kertasku sudah penuh dengan rumus perhitungan gagal diberbagai nomer.
"Ayo kumpulkan sekarang!" ujar Bu Ana membuatku mendongak dan memberikan kertas ku kepadanya dan berjalan lesu ke kelas.
"Bisa gak tadi?" ujar Yuna ketika aku sudah duduk disampingnya dan membuat ku melongo sesaat.
"Gigi lu bisa. lu juga budeg banget sih gue panggil sia sia malah dapet minus satu poin" kataku gemas dengannya.
"Gue gak nengok karena ntar lebih sia-sia lagi karena gue juga gak bisa" ujarnya kelewat jujur. Aku saja yang bodoh dan memang ide bodoh untuk mencoba bertanya padanya yang IQ nya mungkin tak beda jauh dariku.
Aku pusing memikirkan itu dan menjatuhkan kepalaku keatas meja dan aku bahkan tertidur selama jam pelajaran Kesenian.
Aku terbangun saat Pak Pardi guru Kimia ku memasuki kelas dan dengan tampang datarnya ia mengisyaratkan Aku duduk di meja depan yang kosong.
Aku pun berpindah tempat kedepan dan ini tandanya mimpi buruk. Aku mengerjakan soal kimia dengan duduk seorang diri? Aku rasa kejadiannya akan sama saat aku belajar dirumah kemarin.
30 menit kemudian aku mengumpulkan lembar jawaban ku dengan lemas ke Pak Pardi. Aku benar-benar pasrah hari ini. sepertinya ini memang hari sialku.
Saat bel berbunyi aku segera mengambil tas dan langsung keluar kelas dan ternyata sudah ada Elena dan Sandra yang duduk manis disisi koridor kelas XII. Elena menarikku kearah parkiran menuju kearah mobil Mazda berwarna putih miliknya dan memasukan ku kedalamnya. Aku hanya menurut saja karena aku merasa tubuhku sudah letih dengan semua yang ada dihari ini.
"Lo tadi kenapa sih sama Okta?" tanya Elena dibalik stir mobilnya.
"Eh kok lo tumben sih bawa mobil?" tanyaku untuk mengalihkan pembicaraan.
"Arman...jawab dulu pertanyaan gue" katanya menekan ku.
"Tau nih..udahlah Man bilang aja, gak usah ditutupin kita sahabatan udah lama kan? jadi gue tau lo banget" kata Sandra dari jok belakang.
"Huft...iya deh iya tapi bisa gak ngobrolnya gak disini? jalanin mobilnya please..panas tau disini" kataku yang sudah mual melihat banyaknya siswa yang berlalu-lalang di area parkir sekolah.
Akhirnya Elena pun mendesah dan mengalah dengan menyalakan mobilnya dan bergerak keluar. Kulihat Okta berdiri di mobilnya dan mencoba menghubungi seseorang melalui handphonenya.
"Mau turun disini?" kata Elena melihatku yang sedang memperhatikan Okta.
"Enggak enggak..jalan aja please.." ujarku cepat.
"Kok gue berasa supir taksi jadinya" katanya cuek sambil mengemudikan mobilnya yang sepertinya aku tau kemana arah yang dituju.
Dan akhirnya disinilah kita bertiga. Duduk di Sofa Solaria. Ini memang tempat favorit kami selain lokasinya yang dekat dengan sekolah dan suasananya yang cozy dan memang di takdirkan sebagai tempat untuk pelanggannya berlama-lama dengan segala sesuatunya. saat menunggu makanan yang kami pesan, Elena menatapku dengan mata yang menuntut penjelasan. Akhirnya aku menjelaskan detail cerita kejadian tadi pagi yang ternyata tadi pagi Elena melihatnya ketika memarkirkan mobilnya.
Aku menghembuskan nafasku berat
"Gue kan paling gak bisa dibentak El. Tau kan?"
"Iya sih tapi lo salah juga" sahut Elena sementara Sandra hanya manggut-manggut mengiyakan
"Kok gue salah? gue kan refleks mau nanya" sahutku yang memang merasa tidak salah.
"Tapi dia juga refleks nginjek rem mendadak karena kaget hampir nabrak motor pas lo teriak" sahut Sandra kemudian.
"Orang nyetir tuh butuh konsentrasi Man,kalo masih membahas topik ringan itu masih bisa tapi kalo dikagetin pasti dia kaget dan akhirnya kesal ke lo sendiri" kata Elena mencoba menjelaskan.
"Jadi gue harus gimana?" tanyaku menyerah, hari ini otakku benar-benar tak bisa berpikir terlalu berat lagi.
"itu sih terserah lo berdua. gue cuma bisa nyaranin buat gak dibawa serius masalahnya" kata Elena membuatku tertegun
"Iya man. masa masalah gini aja bikin kalian marahan sih" ujar Sandra menambahkan.
Aku berpikir sesaat dan mencoba mengecek handphone ku yang sedari tadi sudah terdapat 23 missed call dari Okta.
Aku kembali menarik dan menghembuskan nafasku berat.
Saat aku sampai dirumah aku benar-benar lelah dan segera menyambar handuk untuk langsung mandi dan keramas agar kepalaku terasa lebih ringan.
Setelah mandi aku langsung mengenakan Boxer dan Kaos tanpa lengan dan menjatuhkan diriku ke kasur. Hari ini membuatku gerah jadi aku memilih untuk tidak memakai piama. Aku merasa mataku benar-benar berat dan aku pun memejamkan mataku.
"...Krekkk..Brukkk"
Aku mencoba membuka mataku dan memasang telingaku lebih tajam. Sepertinya aku terbangun karena sebuah suara dari sudut kamar ku tapi suara apa yang kudengar? Aku menolehkan kepalaku ke bawah tempat tidur, kupikir mungkin saja ada tikus ternyata tak ada apapun aku meneliti lemari dan meja belajarku tapi tak ada yang aneh. kubalikan tubuhku ke arah jendela yang ternyata hari sudah gelap.
Aku mengalihkan pandangan ke pintu kamar mandi dan tak ada yang aneh juga disana.
"...Sreekkkk..." suara itu terdengar lagi seperti sepatu yang digesek.
aku menggerakkan leher ku pelahan...
Dan...
Aku menangkap sosok bayangan hitam dari ekor mataku yang berdiri di luar jendela.
Dengan segera aku menutup kepala ku dengan selimut dan membenamkan kepala ku diantara bantal dan guling.
Aku berpikir keras tentang sosok hitam tadi. Apakah itu? Mahluk dari mana? dan untuk apa?
Kemudian hanya hening yang kudengar.
Aku mencoba tenang dan bersugesti bahwa itu hanya halusinasi ku yang sedang kelelahan fikiran.
"...kreekk.." kemudian suara dari arah pintu balkon kamar ku berbunyi.
Aku kaget dan langsung mengucapkan doa-doa yang kubisa. Aku hampir tidak pernah membuka pintu itu. Apa aku tidak menguncinya? Bagaimana aku bisa lupa? Arman bodohnya kamu.
ku rasakan ada derap langkah kaki yang mendekati ku.
Aku memejamkan mataku saat suara itu makin dekat bahkan sangat dekat.
"Aaarrgghh....."
Aku segera menjerit ketika kurasakan seseorang memelukku dari belakang. Aku mencoba memberontak dan melawan pelukannya yang kuat.
"Hei hei..Arman. Arman. ini Aku sayang" ujarnya seperti suara yang aku kenal dan dengan cepat aku menolehkan kepalaku dan ternyata Okta.
Aku segera memeluknya dan melepaskan debaran jantungku yang sangat cepat dengan meringis.
"Kamu ngapain sih ngagetin aja. Aku benci kamu..." ujarku dengan nafas tersengal-sengal dengan merintih sedikit karena sakit di dadaku. aku melepaskan pelukannya dan berjalan goyah ke kamar mandi. Aku segera menyambar inhaler ku dan mulai menggunakannya. setidaknya disini oksigen tersedia hanya untukku melalui jendela kamar mandiku. Aku berusaha mengatur nafasku saat Okta mengetuk pintu kamar mandiku.
"Arman..maaf aku datang bikin kamu kaget. aku tau itu cara yang norak. Tapi aku minta maaf karena aku bener-bener gak sengaja bentak kamu tadi. Maaf...kamu keluar dong Man,jangan ngumpet gitu" ujarnya.
Saat kurasa nafasku sedikit lebih baik, Aku membuka pintu kamar mandi dan melihat Okta dengan Jaket kulit berwarna hitam,jeans hitam dan sepatu kets hitam, Okta berdiri sambil membawa gitar.
Aku menatapnya dan mencoba mendekat kearahnya. Dia mulai memetik senar gitarnya dan mulai bernyanyi sebuah lagu dari John Legend.
Dengan suaranya yang berat dan indah ditemani alunan petikan gitarnya membuat ku luluh.
" Cause all of me
Loves all of you
Love your curves and all your edges
All your perfect imperfections
Give your all to me
I'll give my all to you
You're my end and my beginning
Even when I lose I'm winning
Cause I give you all of me
And you give me all of you"
Setelah selesai memainkan gitarnya,iya menaruh gitarnya di lantai dan melebarkan kedua tangannya mengisyaratkan aku untuk datang kepelukannya. Aku memeluknya erat dan membenamkan kepalaku di dadanya sambil meneteskan air mataku karena terharu melihatnya.
"Maafin aku ya sayang" ujarnya berbisik sambil membelai rambutku kemudian memberiku kecupan dikening.
Aku berpelukan dengannya sangat lama dengan gerakan berputar layaknya orang yang berdansa. Okta menghentikan langkanya dan menaikan dagu ku dan mendekatkan wajahnya dengan wajahku. Jantungku berdetak tak karuan dan kupejamkan mataku saat Okta memberiku ciuman mesra dan lembut. Aku sangat menyukainya. Aku menahan tengkuknya dan menarik lehernya agar lebih dalam mencium ku.
Okta kemudian menghempaskan tubuhku diatas kasur dan menindihku serasa membuka sepatunya.
Aku benar-benar merasa canggung dan gugup saat menyadari posisi ku dengannya. Ciuman kami pun berubah menjadi lebih erotis dengan gigitan kecil sampai besar.
Aku merasakan Okta menindihku dan menggesekan pangkal pahanya ke tubuhku.
Ini adalah pengalam baru untuku. Aku bingung harus melakuan apa selain memeluknya.
Okta melepaskan ciumannya dan melepas jaketnya yang kini hanya menggunakan Tshirt hitam yang membentuk tubuhnya yang menggoda.
Dia melanjutkan ciumannya dengan menciumi rahang,leher,bibir dan keningku.
Okta meraba sesuatu dari Kaos yang kupunya.
Perlahan namun pasti ciuman kita mulai bertambah panas. Aku bahkan merengkuh pinggangnya. Aku menggerang saat Okta mulai memainkan putingku.
"Give me all of you Arman.." ujar Okta sambil mendesah.
Aku hanya menurutinya karena ini pertama kali untukku dan tak tahu apapun apalagi sebanyak Okta.
Beberapa saat kemudian aku dan Okta sudah tak memakai seuntas benangpun.
"Give me your virgin Arman" ujar Okta dengan nafas tersengal-sengal. Aku hanya memejamkan mataku dan berusaha siap untuk menerima Okta dalam tubuhku sepenuhnya. Okta mulai mencicipi setiap jengkal dari tubuhku ditemani dengan jagoan besarnya yang berhasil membobol gawang pertahan ku dengan rasa sakit,perih dan nikmat.
Aku meremas sarung bantalku saat menahan rasa sakit dan perih yang kurasakan bercampur dengan nikmat.
Sekitar sejam bermain dengan permainannya Okta menarikku dan memasukan jagoannya lebih dalam lagi. aku hanya bisa meringis menahan semua itu. Hingga cairan hangat membajiri seluruh bagian terdalam dari tubuhku. Aku menyeka keringat yang mengalir dikeningnya.
"I love you Man" katanya dengan wajah berkeringat seksi
"I...Love you..too Ta" balasku sambil berusaha tersenyum walaupun sangat kelelahan melayaninya.
Malam ini aku berusaha memberikannya semua yang kumiliki untuknya. hingga aku dan dia tergeletak lemas setelah bermain selama 3 putaran.
"Jangan tinggalin aku ya sayang" pinta Okta sambil menatap mataku dalam.
"Gak akan sayang" balasku
"Janji..." kataku dan dia berbarengan.
Malam ini aku tertidur pulas dalam pelukannya. Aku benar-benar mencintainya.
Now Playing : All Of Me - John Legend
" My head's underwater
But I'm breathing fine
You're crazy and I'm out of my mind
'Cause all of me
Loves all of you
Love your curves and all your edges
All your perfect imperfections
Give your all to me
I'll give my all to you
You're my end and my beginning
Even when I lose I'm winning
Cause I give you all of me
And you give me all of you, oh
Give me all of you, oh oh"