BoyzForum! BoyzForum! - forum gay Indonesia www.boyzforum.com

Howdy, Stranger!

It looks like you're new here. If you want to get involved, click one of these buttons!

Selamat datang di situs Boyzforum yang diarsipkan oleh Queer Indonesia Archive. Forum untuk komunitas gay Indonesia yang populer ini didirikan pada tahun 2003, dan ditutup pada tanggal 15 Desember 2020.

Forum ini diabadikan untuk kepentingan sejarah. Tidak akan ada konten baru di forum ini. Silakan menikmati forum ini sebagai potongan dari sejarah queer Indonesia.

KUMPULAN CERPEN KARYA FUUMAREICCHI

Cerita ini saya ketik sewaktu mengerjakan POV Rei lanjutan yang kemarin.
Cerpen ini lebih dulu selesai daripada Pov-nya si Rei..

Sedikit bocoran.. Dalam pengerjaan cerita Alfi, pikiran saya sering terdistraksi oleh ide-ide cerita tapi justru tidak ada sangkut pautnya dengan cerita Alfi itu sendiri. Karena itu, saya sering break untuk mengetik ide-ide cerita yang beterbangan bebas dan saya tangkap satu persatu. Daripada mubazir pikir saya.

Cerpen ini pure fiksi. Jika ada kesamaan nama, karakter atau apapun itu.. Pastinya bukan merupakan suatu unsur kesengajaan.. Cerpen ini sedikit mainstream. Tapi sengaja saya sajikan sambil anda menunggu lanjutan cerita Alfi..
***************************

Cerpen ini memiliki alur maju-mundur. Banyak flashback. Dan untuk yang masa lalu, masa yang diinget-inget sama si tokoh utama, saya kasih tulisan warna hijau.. biar ga bingung.. So, here one of my cerpens..

Happy Reading guys..
***

DON’T MAKE MY MONDAY BLUE

“Yup. Selesai..”

Sekali lagi aku memeriksa penampilanku. Rambut spikeku tertata rapi membuat iri. Wajahku mulus tanpa noda berarti. Polo shirt hitam dengan jeans belel favoritku. Sempurna. Semua harus sempurna. Haaahhh...

Drrrttt Drrrttt

Handphoneku berbunyi. “Halo Jul.. Ada apa?”

“Kamu ada acara ga Jun? Jalan yuk.. Bosen nih di rumah libur semester gini..”

“Sorry hunh.. Aku udah ada acara.. Mang mau kemana gitu?”

“Tadi sih mau ngajak nonton Jun.. hehe.. Eh btw mau jalan sama Evan yaa..”

“Iya nih. Sorry ya Jul ga bisa nemenin..”

“...” hening sebentar lalu, “Oh iya gapapa.. Ya udah have fun ya Jun..”

“Thanks..” Have fun..? mungkin..

*

Tok Tok

Wajah rupawan itu langsung menengok karena ketukanku. Kami telah sepakat untuk bertemu di warung donat yang ada di stasiun kota ini. Aku tidak mengijinkannya menjemputku, karena kami akan pergi liburan ke bogor pulang-pergi naik kereta api..

Pria yang bernama Evan ini pacarku. Hubungan kami berdua telah berjalan sekitar 6 bulanan. Aku jadi ingat awal mula kami bertemu dulu. Dari awal bertemu, aku tidak menyangka jika akhirnya kami bisa bersama sebagai kekasih.

*FLASHBACK*

KREEKKK WHOAA

“Huwaaa.. Robeeekkkk..” Saat itu aku sedang mengambil formulir pendaftaran untuk ikut seminar yang diadakan oleh BEM kampus. Sialnya, aku yang terburu-buru seenaknya mengambil kertas formulir bersamaan dengan seorang lelaki yang sudah memegangnya terlebih dahulu (tapi tidak mengangkatnya) itu. Alhasil, aku yang terlalu semangat mengambil dan lelaki itu terlalu kuat memegangi kertasnya. Robeklah kertas pendaftaran itu.

“Cih. Dia yang salah dia yang berisik. Alay! Lebay!” Desis lelaki itu sukses menjlebkan hatiku. Aku diam saja karena malu.

“Ck. Udah salah ga minta maaf lagi” another jleb didesiskan lelaki tadi.

“Huh ribet. Masih banyak keleus kertas pendaftarannya. Woles bro. Nyinyir gitu kayak cewek dateng bulan aja” balasku tak kalah pedas.

Segera saja kuisi formulir itu dengan cepat. Moodku bisa berubah jelek jika lama-lama dekat dengan lelaki menyebalkan itu. Setelah formulir selesai kuisi kutaruh di meja administrasi. Lalu segera berlalu meninggalkan lelaki itu. Yang menjengkelkan, baru beberapa langkah aku berlalu. Lelaki itu menyebutkan sedikit keras namaku. ‘AHMAD JUNAEDI JUNED a.k.a JUN JUN’. Sial. Namaku Ahmad Junaedi, tidak pakai embel-embel Juned atau bahkan Jun Jun. Ugh, seenaknya mengganti nama orang. Mukaku panas.

Aku berbalik badan menghadapinya. Kutatap wajahnya. Kubikin tanda peace dengan jari telunjuk dan jari tengah. Lalu kuarahkan kedua jari tersebut ke mataku lalu kearah lelaki menyebalkan itu. Yang dibalasnya dengan gerakan yang persis sama. Hanya ditambahkan dua jari diarahkan ke leher dan kode #gorok kuterima. Glekk. Atuuutttt..

Sejak itu kami resmi menjadi teman bertengkar. Dimana melihat dia, aku tak kuasa untuk tidak mencibirnya. Begitupun sebaliknya. Anehnya, kami tidak pernah sampai adu jotos. Hanya saling balas olok-olokan saja. Sejujurnya, aku cukup menikmati ketika kami menjadi teman bertengkar.
*END OF FLASHBACK*


“Jun.. Ayo, kereta udah datang tuh..” Aku mengangguk mengikuti langkahnya.
Setelah mendapat tempat duduk, “Tumben kamu mau ke Bogor Jun. Ada angin apa? Terakhir kita kesana kan..” aku mengangguk. mengerti arah pembicaraannya. Karena terakhir kami ke Bogor ketika kami jadian dulu. Ketika aku menembak Evan dan memintanya menjadi kekasihku. Aku tidak menyangka. Evan menerimaku. Aku terharu.

*FLASHBACK*
“Drama!”

“Cih. Masbuloh?”

“Guys. Please.. Jangan jadi Tom and Jerry sekarang. Kita rapat karena butuh saran, bukan pertunjukan balas pantun.” Sial. saling mengejek kok dibilang balas pantun. Tapi benar juga. Aku lupa tempat. Kami lagi rapat sekarang.

Hanya saja hal ini sering terjadi. Kami sering terlibat ceng-cengan tidak jelas awal permasalahannya. Hingga akhirnya kami dipaksa bekerja sama dalam satu kepanitiaan acara kampus. Kami terpaksa menahan ego untuk saling mengolok-olok kala itu. meski ternyata ‘balas pantun’nya membuatku rindu. Terasa ada yang kurang jika tidak begitu.

Dalam kepanitiaan itu kami merasakan ada sesuatu yang salah. Ada rasa yang tak seharusnya ada. Dari yang awalnya teman bertengkar, kami saling merindukan sapaan untuk bisa berkelakar. Rasa yang hangat hadir di dalam hati dan sulit untuk ditepis pergi.

Selepas acara yang kami garap bersama. Kami sempat tidak saling bertemu selama sekitar 4 mingguan karena libur semester genap. 4 minggu itu adalah saat-saat paling menyiksa dalam hidupku. Sehari saja tidak melihat wajahnya aku resah. Tak mendengar desisan-desisan sinisnya aku merana. Sudah jelas ada yang salah. Rasa ini tak seharusnya ada. Kalaupun dia muncul secara nyata, bukan padaku seharusnya dia menggema. Karena kami sesama pria. Aku dilema.

Akhirnya, karena tersiksa selama 3 minggu memikirkan sosok Evan. Aku putuskan menghabiskan sisa seminggu terakhir liburanku di Bogor tempat sepupuku. Disana aku selalu temukan kedamaian. Berangkatlah aku dengan segera kesana. Tapi apa mau dikata. Dimanapun aku berada, sosok evan selalu terbawa di dalam setiap lamunan. Tak jarang, dengan kurang ajarnya dia berani mengusik mimpiku. Membuatku tersipu-sipu oleh kelakuannya dimimpi itu. Aku malu-malu mau. Sial.

Ketika di Bogor itu, entah mengapa aku memiliki dorongan untuk pergi ke kebun raya. Seumur-umur aku berkunjung kesana, belum sekalipun kujejakkan kaki disana. Karena sepupu tidak bisa menemani, alhasil aku pergi sendiri.

Sedang asyiknya jalan-jalan mengitari kebun raya Bogor, sosok Evan selalu menghantui. Ketika baru masuk gerbang aku melihat tubuh belakang yang sangat mirip dengannya. Lalu sekarang, ketika aku sedang jalan di pohon cinta, aku melihat orang dengan wajah mirip Evan. Aku pasti berhalusinasi. Evan tinggal di Jakarta. Tidak mungkin dia ada di kebun raya sekarang kan? Lebih mustahil lagi kalau dia ada di kebun raya dihari yang sama denganku. Kalau benar itu dia, mungkinkah kami berjodoh?

“Heh Juned. Ngapain lo ada disini?”

“Ish dasar Evanlube. Lo stalking gue ye. Bisa-bisanya ketemu lo disini” wajahku panas. Ternyata itu benar dia. Aku senang. Tapi tak mungkin kuperlihatkan. Kulirik Evan. Wajahnya pun merona. Senangkah dia bertemu denganku? Mungkin malah kesal?

“Bagus deh lo disini Juned” Dia menghampiriku. “Hmm.. Makasih ya udah bantu gue pas acara kampus kemarin” aku tersipu. Cara dia mengatakan sambil malu-malu itu membuat hatiku tak menentu. Lalu aku teringat lamunan dan mimpi-mimpiku. Gerah. Bogor panas. #KipasKipas.

Aku mengangguk. Percuma untuk bertengkar sekarang. Tiada lagi moodku untuk itu. Hatiku terlanjur jatuh dalam rasa yang aku pun masih ragu. Lalu kami berpisah. Disaat hatiku masih resah. Masih belum puas memandangi dirinya. Baru sadar jika sosoknya tampan luar biasa. Kemana saja aku selama ini? Alisnya, bibirnya, senyumnya yang jarang itu pun baru kurasa menarik. Haahh.. telat..

Hari terakhir liburan aku pamit kepada uwak dan sepupuku. Dorongan untuk berkunjung ke kebun raya pun menggelayuti diri. Segera saja aku teruskan naik angkot tanpa berhenti di stasiun Bogor tapi langsung ke kebun raya. Aku harap bisa bertemu lagi dengan sosoknya. Sangat kecil kemungkinannya memang. Tapi salahkah aku berharap?

Lagi, aku langsung bergerak ke pohon cinta. berharap menemukan sosok Evan seperti beberapa hari yang lalu. Sampai aku duduk-duduk beberapa lama disana sambil memikirkan sosok Evan. Juga terlintas saat-saat yang telah kami lalui sebelumnya. Mungkinkah teman bertengkar menjadi pacar? Aneh. Lucu. Dan sangat mustahil. Terlebih kami sesama lelaki. Itu mimpi..

Benar saja. Evan tak ada. Tak akan ada. Mungkin sudah balik ke Jakarta dari kemarin itu. Ketika aku hendak bangkit dari dudukku, mataku melirik torehan nama yang terukir pada kulit pohon cinta itu. Benarkah? Mungkinkah? Mungkin hanya sama saja? Ada torehan nama ‘Evan <3 June’ di pohon itu. Pasti itu bukan aku. Namanya saja June. Itu nama cewek kan? Tetapi, inikah yang dinamakan pertanda?

Aku segera bangkit dari pohon itu. Kusampirkan tasku. Hatiku masih mengharap bahwa nama itu memang namaku. Sekarang aku tidak ragu, aku yakin aku suka pada ‘teman bertengkar’ku itu. Kata cinta mungkin lebih tepat menggambarkannya.

Ketika aku berlalu, terdengar ada suara yang memanggil namaku. Aku kenal tone suaranya. Namun tidak pernah mendengar nada suaranya sehalus dan selembut ini memanggilku.

“Jun.. Jun.. tunggu..” aku balik badan. Kutolehkan kepala. Benar saja. Itu dia. Itu Evan.

Aku hanya bisa terdiam. Tidak mengira harapanku kan nyata.

“Dari tadi Jun?” aku masih belum terbiasa dengan tone suaranya yang lembut padaku. Membuat hatiku melambung tinggi, mengusik kalbu.

Aku mengangguk. “Iya. Kita ketemu lagi..” dengan bodohnya, sambil nyengir kukatakan itu. cengiranku pun kurasa terlalu lebar saat itu. Seolah menegaskan ‘aku (sangat) senang ketemu kamu’. Walau memang iya. Aku memang rindu.

“Aku udah nunggu kamu dari kemarin” HAH? WHAT THE KAMSUD? Tunggu.. tunggu.. sejak kapan pake aku-kamu? “Sejak kita ketemu pertama disini. Aku setiap hari dateng ke kebun raya ini, di jam yang sama kayak waktu kita ketemu kemarin itu” HAH?! CIYUSAN?! BENERAN?! SUMPAH DEMI APA?! Berarti ini hari ketiga dia kemari? Ngapain?

“Aku belum nunjukin rasa terima kasih aku ke kamu. Kemarin aku mau traktir kamu. Tapi kok canggung banget ya. Aku takut kamu ngeledek aku kalo aku sok akrab..” aku tersenyum. Lebih tepatnya nyengir. Iya juga sih. Habisan kita berdua emang sering banget ledek-ledekan. Ga pernah ada yang mau kalah. Pantes Evan mikir gitu.

“Ga lah. Kalo traktiran mah gue jabanin.. Hehee..” Aku masih takut menggunakan aku-kamu. Takut disangka SKSD. Astaga. Ini pikiran yang Evan bilang tadi. Sial. Kenapa bisa sama?

“Dasar. Ga berubah kamu Jun. Selalu ceria. Aku iri sama kamu..” Selalu ceria? Iri? Sejak kapan?

“Siapa dulu.. Junaediii.. hehe..” Dia tertawa. Aku tersenyum. Suara tawanya renyah. Hatiku serasa bahagia. “Tapi Van, lo cuma mau traktir gue sampe bolak balik ke kebon raya 3 kali? Kurang kerjaan banget..” Anjiiirrr.. baru juga kita berdua adem. Kata-kata tanpa saringan gue udah ngejeplak. Sial.

Evan terlihat mikir. “Ga tau nih Jun kenapa. Tapi kok perasaanku ga enak dari sejak selesai acara kemarin itu. aku ke Bogor ini juga tadinya mau nenangin pikiran. Eh syukurnya orang yang ganggu pikiranku ada disini juga..” Wait.. wait.. wait.. kok bisa samaaa.. Ih ini mah fix atuh.. Mestilah kita berdua jodoh. Eh tapinya emang ada yah jodoh sesama pria? #Plaakk *Khayalan Babu*

“Aku juga sama Van” Akhir aku kemukakan juga hal yang kurasakan sama padanya. Haruskah aku jujur padanya tentang rasaku yang salah ini?

“Van..” “Jun..” ujar kami berbarengan. Agak sedikit canggung jadinya. Kami saling mempersilakan masing-masing untuk berkata lebih dulu. Ih ih ih.. tinggal ngomong aja apa susahnnya. Repot ih..

“Oke. Aku duluan” Potongku sedikit melengking dari yang kuniatkan.
Hening. Setelah berkata begitu aku malah terdiam. Evan pun diam. Menunggu kata yang sialnya susah sekali kuucapkan.

“Hm.. anu Van..” Aish. Anu Van? Anunya Evan? Bodoh. Ga ada yang lebih keren gitu Jun.. Aku merutuki kebuntuan kata-kataku. Heran. Aku pribadi yang apa adanya dan selalu mengutarakan apa yang kurasa. Namun disini, dengan Evan berdiri dihadapanku, mulutku kelu, lidah pun kaku. Aku hanya bisa tergagu.

“Jun..” dengan pandangan matanya Evan menguatkanku. Menyuruhku untuk mengutarakan kata-kata yang belum juga bisa kukeluarkan. Sial. Ditatap begitu mana bisa aku berkata-kata.
Baiklah. Siap tidak siap, aku harus siap. Apapun risikonya. Biarpun nanti dia membenciku. Walau jika mau diakui memang aku dan tidak jarang sekali beramah tamah. Jadi tak ada beda kan? Tapi kenapa tetap terasa susah? Haaahhh..

“Van.. Aku.. Aku itu.. Anu.. aku..”
“Anu kamu kenapa Jun?” Sial. kenapa dia mengatakan itu dengan senyum tersungging begitu. Dasar oli Evanlube.

“Ish. Pake dipotong. Aku kan mau bilang kalo aku tuh suka ama kamu!” WHAT?! AMPUN DEH! Gara-gara Evan mancing emosi nih.. Jadi bocor dengan terlalu lancar deh tuh kata-kata. Dasar oli.

“...” Tuh kan dia jadi bengong. Ini mah siap-siap diledekin terus dijauhin kayanya. #TertundukLesu

“Jun.. serius?” Eh.. kok nanyanya gitu dengan ekspresi binar cahaya gimana gitu.. Bikin dag dig dug deh.

“Serius Van..” Sudahlah. Terlanjur berujar. Hadapi saja konsekuensinya. “Aku baru sadar ada yang beda ketika acara kampus yang kita tanganin berdua selesai. Bahkan alesan aku ke Bogor karena aku mau ngilangin pikiranku dan rasaku yang aneh ini ke kamu. Tapi semakin berusaha kutepis, bayang-bayang kamu selalu mengganggu lamunan dan tidur malamku. Aku serius dengan ucapanku Van. Aku suka kamu..”

“Kalo gitu sekarang kita jadian?” HAH?! ADUH KUPING GUE?! INI BENER GA SIH?!

“Jun, kok diem? Berarti sekarang kita jadian kan?” Aku menatapnya ragu-ragu. Tak percaya dengan pendengaranku. “Kan tadi kamu udah nembak aku. Berarti sekarang kita resmi pacaran..” Telingaku aman saudara-saudara. Ternyata memang benar itu semua persis kata-kata Evan. Tapi aku bingung, aku yang nembak atau dia yang nembak yah kalau begitu? Kenapa dia yang bilang kami jadian? Aah sudahlah. Yang penting kami resmi pa-ca-ran. #SorakSorai^^

“Jun.. kamu tahu mitos pohon cinta ini?” Eh, iya. Pernah denger kayaknya. Tapi lupa.. “Apa?” jawabku.

“Konon katanya, mereka yang ketemu dan jadian disini bakal langgeng sampe aki-aki dan nini-nini. Tapi kalo orang yang pacaran dateng ke pohon cinta ini, mereka pasti putus..” Hah syukur deh. Untung kami berdua jadian disini. Semoga benar akan langgeng. Mungkinkah?

“Kalo gitu aku ga bakalan mau kesini lagi ah sama kamu. Aku ga mau kita putus..” itu benar. Entah kenapa aku sudah merasa takut kehilangan Evan..

“Eh, gimana kalo mitos ini kita jadiin kode?” Tampang Evan bertanya-tanya.

“Kode?”

“Iya kode. Kode putus. Saat kita berdua susah untuk mengungkapkan kata putus.. entah untuk alasan apapun, cukup bilang ‘Ayo kita ke pohon cinta?’, gimana?”

“Hmm.. baru jadian udah ngomongin putus. Ga mauu..” hahaha.. aku baru tahu sisi merajuk Evan yang ini.. Aku makin cinta. “Bolehlah.. Tapi aku ga bakal mau ngomong itu karena aku ga mau kita putus..”

“Walaupun kamu ga mau, tetap harus dikatakan. Dengan begitu aku tahu kalo kamu memang ga mau putus dengan aku tapi keadaan yang memaksa kita putus. Hubungan kayak kita ini sulit untuk langgeng Van. Kita harus sadar sama realita itu..”

Evan hanya mengangguk dan kami segera berlalu dari tempat ini..

*END OF FLASHBACK*


“Jun.. Udah mau sampe.. Ayo bangun” Aku mengangguk. Eh aku baru sadar Evan sudah berdiri. Tempat duduk di sebelahku sudah dihuni ibu-ibu yang sudah tua. Aku baru tahu Evan itu memang baik sejak kami resmi jadian dulu. Sayangnya terlalu baik.

“Van kita ke Takol (Taman Koleksi) dulu yuk..” Evan mengangguk. Tempat bernama Takol (taman koleksi) ini terletak di samping Botani Square, masih dalam kampus IPB Baranangsiang. Ada yang berjualan Ayam timmbel, nasi goreng, banyak macam. Untuk pecinta ayam goreng macam Upin dan Ipin, boleh dicoba rasa ayam goreng disini. Harga masih ramah kok, dan ada fasilitas wifi-nya. Tetapi untukku yang terpenting bukan itu. Ditempat itulah kami merayakan jadian kami. Tak lama setelah ‘tembak-tembakan’ itu, Evan mengajakku kesini.

“Van mampir ke es cendol samping 88 dulu yuk..” Es cendol di samping toko 88 adalah favoritku ketika turun dari stasiun. Harganya yang murah, dengan rasanya memuaskan membuat es cendol itu jadi salah satu favoritku.

“Van kamu masih inget tempat ini?” tanyaku setelah sampai di Takol.
Evan mengangguk. “Ini tempat makan jadian kita dulu kan..” bisik Evan pelan. Dulu. Kenapa kata itu seolah ada penekanan?

“Oiya.. Tadi sebelum berangkat Juli nelpon aku lho. Harusnya aku ajak ya. Beberapa bulan ini kan kita selalu bertiga kemana-mana..” Juli.. Sahabatku.. Sahabat baikku..

*FLASHBACK*

“Juunn..?!”

“Julii.?!”

“Apa kabar?” “Apa kabar?” Sahut kami berbarengan.

Juli adalah sahabatku ketika SMP dulu. Dia cantik. Kami sudah seperti kakak adik. Nama panggilan kami yang seperti nama bulan (June-Juli) membuat kami dijuluki sepasang anak kembar. Kami sudah sekelas dari SD. Tapi terpaksa pisah ketika SMU. Karena ayah Juli pindah kerja ke Bandung. Karena itu aku kaget bercampur gembira ketika kami ternyata satu kampus sekarang. Juli beda fakultas denganku. Karena itu aku jarang melihatnya.

“Kangen deeeehhhh...”

“Iya. Aku juga Jul..”

Kami berdua pun larut dalam sukacita dan memori kebersamaan kami dulu.

*

“Jadi gitu Van..” Aku menceritakan tentang Juli pada Evan.

“Kami baru sadar satu kampus karena ga sengaja tabrakan di lobbi depan.. kangennya.. Kamu harus ketemu Juli ya.. Nanti aku kenalin. Kalian pasti langsung akrab”

“Iya ya..”

“Eh itu celana kamu kenapa kotor gitu?”

“Oh tadi ada motor yang ngebut seenaknya en hampir nyipratin air kotor ini ke cewek yang lagi jalan. Karena aku liat, aku buru-buru lindungin itu cewek..” Dia memang baik dan sedikit heroik.

“Yaelaahh.. pasti modus karena cewek itu cantik kan..?”

“Aku aja ga inget mukanya. Ga terlalu merhatiin..” berkata begitu tapi kenapa tidak melihat mataku?

*END OF FLASHBACK*
*

“Bogor makin macet aja yah Van?” Dia hanya mengangguk.

“Kamu masih suka ke tempat sodara kamu yang di Cibatok?” tanyaku.

“Udah jarang. Terakhir yang kita ketemu dulu itu..” Evan dulu ke tempat saudaranya di Cibatok untuk melepaskan gundah sepertiku. Ternyata kita berdua sama saja. Salahkah jika aku menganggap kami jodoh?

*FLASHBACK*
“Jun, kamu udah punya pacar?” Degh! Aku hanya tersenyum menjawab pertanyaan Juli.

“Eh kok cuma senyum-senyum gitu. Pasti udah yah.. Maen rahasia-rahasiaan ya sekarang..” Mungkinkah aku katakan, Jul aku udah punya pacar. Namanya Evan. Dia cowok. dan itu berarti aku gay. Oke? Urgh.. Bahkan dipikiranku itu terdengar mengerikan. Ga banget.

“Kamu sendiri gimana? Pasti banyak yang naksir ya? Kamu cantik begini.. Udah berapa cowok yang kamu bikin patah hati?” Aku mengalihkan pembicaraan.

“Ngga ada Jun.. Aku jomblo..” Aku tahu Juli bukan pemilih. Dia tipe yang jujur dengan perasaannya. Juli selalu bilang ‘Jika aku bertemu seseorang yang tepat, hatiku akan mengatakannya’. Dulu aku tak tahu maksud perkataannya. Tapi sekarang aku paham akan setiap kata yang ada. Hati kita jujur. Juli menantikan debaran dag dig dug itu..

“Tapi..” Juli melanjutkan. “Aku bertemu seseorang yang baik kemarin.. Dan hatiku berbisik-bisik mengusik hatiku dan menggelitik perasaanku Jun..”

“Waaahhh.. siapa? Siapa? Aku kenal ga?”

“Baru ketemu kemarin kok Jun. Cuma sekali. Tapi debaran ini ga mau berhenti..” Lalu kami larut dalam pikiran masing-masing.

*

“Van.. Kenalin ini Juli.. Jul kenalin ini Evan. Sahabatku..” Eh.. kenapa dengan ekspresi mereka berdua?

“Maaf ya waktu itu belum terima kasih..” Hmm.. Juli udah kenal Evan toh? Kudet nih aku..

“Ngga apa-apa..” Lho.. Evan kenapa canggung begitu..?

“Udah kenal Jul, Van?”

“Itu.. Celana kotorku waktu itu..” Oh yang nolong cewek itu ya.. Bukannya Evan bilang tidak ingat wajah cewek itu? Kenapa berbohong..

*END OF FLASHBACK*


*

“Van.. Sebenernya aku bawa bekal.. kita piknik ke kebun raya aja yuk..” Evan termenung.

“Udah jangan kebanyakan mikir.. yuk..” Aku gamit lengannya dan kutarik-tarik dia.

Tadi pagi aku sudah menyiapkan roti isi sosis goreng. Jadi bikinnya itu, roti tawar dioles mayonaise lalu diisi sosis dan dilipat sambil ditekan-tekan. masukkan dalam telur yang sudah dikocok lepas dan baluri tepung roti lalu goreng. Voila.. Jadilah Roti isi sosis goreng. Lebih enak dimakan selagi hangat dengan saos botolan untuk cocolannya..

“Enaaakkk.. Kamu pinter masak yah ternyata. Aku kangen nasi goreng bikinan kamu Jun..” Nasi goreng ya.. Sudah lama aku tidak membuatkan nasi goreng untuknya. Sejak kejadian itu..

*

*FLASHBACK*
“Van cobain sandwich bikinan Juli nih.. Nasi goreng aku nanti aja dicobanya. Sandwichnya nak banget lho..” promosiku..

“Iya.. Enak” kenapa kaku begitu jawaban Evan..

“Maaf ya Van. Aku emang ga jago masak kayak Jun. Padahal aku cewek.. hehee..” Juli senyum dipaksakan. Sebegitu berartinyakah pendapat Evan untuk Juli?

Evan juga aneh. Biasanya, masakan siapapun akan dibilang enak olehnya. Tapi ini..

“Bukan begitu Jul.. Aku lebih suka nasi ketimbang roti..” Fix ini mah. Mereka berdua aneh. Kenapa hatiku gundah begini..

*

Juli dan Evan. Sedang duduk berdua di bangku yang ada di taman kampus. Ada yang sedang mereka bicarakan. Agak jauh dari orang-orang. Seolah tidak ingin didengar. Aku mendekati mereka dengan pelan, ingin mengagetkan mereka dari belakang.

“... Aku suka kamu Van.. Sejak kamu nolong aku dari motor waktu itu...” JEDEERRR. Lututku lemas. Juli ternyata menyukai Evan. Rasa tidak enak dihatiku belakangan ini.. Haaahhh..

“Maaf. Aku sudah punya seseorang.. Kalo aku belum pacaran, kamu pasti kuterima..”

“No. Kamu bilang gitu untuk menyenangkan hatiku aja kan.. Kita selalu bersama, kamu, aku dan Jun.. Kemana-mana selalu bertiga. Aku ga pernah ngeliat kamu jalan sama satu cewek pun.. Kecuali.. Hah.. Ga mungkin.. Kamu.. Jun.. Ga mungkin kan Van..?” Juli tahu.. Dia tahu.. Tuhan.. Aku tidak bisa merasakan kakiku. Aku berdiri terpaku dibalik pohon perdu.

“Kamu benar. Jun.. Kekasihku..”

“Itu.. mustahil.. Kalian.. Kamu.. You look so straight.. how come you be gay..? Aku ga percaya.. Ga mau percaya..”

“Sayangnya itu benar. Aku dan Jun udah pacaran. Mungkin kalo ga ada Jun aku..”

“Kalo ga ada Jun kamu pasti nerima aku.. Sayangnya udah ada Jun yah.. Abaikan.. Jun sahabatku. Aku yang salah menaruh hati padamu. Andai kutahu dari dulu..”

“Itu benar. Sayangnya waktu tak bisa diputar kembali..” Aku merosot di tanah mendengar kata-kata Evan. Menyesalkah dia dengan hubungan kami? Tapi dia sudah jujur menolak Juli kan? Kenapa? Aargh.. kepalaku pusing.

Aku kuatkan hati. Lututku masih menolak kompromi. Kupaksakan berdiri. Bagaimana pun aku harus menghadapi ini. Juli sahabatku dan Evan kekasihku. Apapun yang terjadi, semoga kami tetap bersama dan tak ada rasa permusuhan nantinya. Bisakah?

“Vaaannn..” Kupanggil Evan dengan sisa tenaga yang kupunya. Aku tidak menyangka nada suaraku tinggi juga. Tenang Jun.. Lagi. Kukuatkan hati.. “Eh hai Jul.. Lagi pada ngomongin apa? Maksi (makan siang) yuk?” kucoba cairkan suasana yang kaku diantara mereka. Aku tidak mengenali suaraku sendiri. Dan senyumku, kenapa bisa selebar ini?
Hari senin itu, hatiku kelabu..
*END OF FLASHBACK*


*

“Kamu beneran suka roti isi sosisnya Van..?”

“Hu,uh enak. Kamu pinter masak..” diacak-acaknya rambutku..

“Bukannya kamu ga gitu suka Roti ya?”

“Dulu iya..” Dulu.. sejak kapan kamu suka? Mungkin pertanyaan yang tepat, Karena siapa kamu bisa suka?

*FLASHBACK*
Hari itu, aku sengaja mengundang Juli dan Evan ke cafe berdua saja. aku tidak bilang pada Evan aku mengajak Juli, pun pada Juli aku bilang hal yang sama. Sementara aku? Aku tidak akan datang, dan membiarkan mereka menikmati waktu berdua. Aku bukannya tidak datang. Aku hanya tidak memperlihatkan diri saja.

Juli sahabatku, aku tahu perasaannya pada Evan masih tertuju. Dia tidak marah atau benci padaku setelah tahu Evan dan aku menjalin kasih. Sedang Evan kekasih yang setia dan baik. Terlalu baik hingga tidak tega mengatakan putus denganku??

Aku tahu ini salah. Tapi Evan lelaki, aku lelaki. Dengan Juli dia akan memiliki masa depan yang pasti. Salahkah tindakanku ini?

“Lho.. Jun mana? Tadi dia sms ngundang aku makan disini..”
“Duduk Jul.. Aku juga di sms. Sebentar lagi mungkin..”
“Hadeuh si Jun ini, dia yang bikin janji malah telat..”
“Nanti juga datang Jul. Jun pantang ingkar janji..”
“...” Lalu sunyi tak ada suara lagi.

“Aku senang waktu tau Jun ternyata satu kampus sama aku. Sejak dulu kami udah kayak saudara. Jun emang ceplas ceplos. Tapi karena itu banyak teman-teman yang suka sama dia. Semua ikut ceria ada di dekat Jun..” Suara Juli..

“Kok Jun masih belum dateng ya.. telatnya parah nih..” suara Juli melanjutkan.

“Bisa ga.. kita ga ngomongin Jun? Dengar kamu ngomong tentang Jun bikin aku makin ga enak. Keadaan ini bukan salah siapa-siapa. Aku juga ga bisa apa-apa. Jun.. terlalu baik.. Maaf Jul, aku ga bisa balas perasaan kamu. Aku udah ada Jun..” Mendengar suara Evan ini hatiku nyelekit. Sakit. Udah ada Jun.. Jadi kalo belum ada berarti.. apa itu artinya Evan juga suka Juli?

“Hiks.. Hiks..”

“Percuma nangis Jul. Aku ga bisa ngelakuin apa-apa..” Benaarrrr.. ternyataaa..

Jadi Evan juga suka dengan Juli? Aku tidak mendengar. Tidak ingin mendengarkan lebih jauh lagi. Aku tidak dengar apa-apa. Tidak tahu apa-apa..

Dengan langkah gontai kutinggalkan cafe itu tanpa sepengetahuan mereka berdua. Apa yang harus kulakukan? Haruskah aku relakan cintaku? Ini membuatku pilu..
*END OF FLASHBACK*


*

Kami sedang jalan menyusuri jalan di kebun raya. Aku teringat tujuanku ke tempat ini. Hari ini hari senin. Sengaja kupilih hari ini karena dulu aku dibuat kelabu di hari ini.

“Van..”

“Hmm..” Kami berjalan bersisian kadang lengan kami bersentuhan. Susahnya memperlihatkan kemesraan pada hubungan semacam ini. Ingin berpegangan tangan saja susah sekali. Takut dengan pandangan orang lain.

“Van.. Kita ke pohon cinta yuk..” Langkah Evan terhenti..

Aku pun menghentikan langkahku. Dua langkah kaki di depannya. Aku masih menunggu efek kata-kataku. Ini kode kami. Kode yang dulu kukatakan untuk tidak akan pernah kusebutkan. Tapi keadaan sekarang ini.. Salahkah aku jika ingin menyenangkan semua orang? Aku mengikhlaskan dirinya untuk sahabatku Juli..

“Jun.. Jangan becanda. Aku ga suka!” sergah Evan keras.

“Van.. Aku.. ga becanda.. aku”

“JUN!” Potong Evan. “Aku ga suka. Kita pulang sekarang..”

“Van.. kamu belum jawab pertanyaanku.. Kita liat pohon cinta yuk..?” Katakanlah.. sehingga kita bertiga tidak lagi tersiksa. Ucapkanlah meski kau tak mau..

“Jun.. tolong..”

“Van aku tahu.. aku tahu tentang Juli.. Jadi katakanlah meski kau tak mau.. Ayo Van kita ke pohon cinta?” Kenapa aku memaksa? Padahal hatiku tersiksa. Jika saja keadaannya tidak seperti ini.. Haaahhh.. hanya bisa mengurut dada..

“Jun.. Maaf..” Degh!

Habis sudah. Semua telah berakhir. Aku tahu ini adalah keputusan yang sudah kuambil. Tapi kenapa hatiku masih terasa sakit begini? Perih pedih tiada terperi. Aku segera berlari meninggalkan tempat itu. Tak mendengar kata-kata Evan selanjutnya.. Kutinggalkan Evan yang berteriak mengejarku. Sudah. Tidak perlu dikejar lagi..

Tidak ada yang kusesali
Tidak juga kau dan sedu sedan ini
Keputusan ini bukan tanpa perih
Tapi ini terlanjur terjadi
Dan membuat luka dihati
Aku sudah berujar
Yang membuat mimpi buyar
Dan semua bubar
Aku ingin begini
Aku ingin sendiri
Meratapi puing-puing mimpi yang tak mungkin menepi
Walauku tak ingin begini...
Tapi ini terlanjur terjadi...


**

EPILOG

Tiga tahun berlalu setelah kode itu..

“Hei Jul.. Udah lama?”

“Baru kok”

“Evan mana? Kok ga bareng..?” Kami sudah janjian untuk bertemu di Potato Head yang ada di pasific place dekat dengan kantor Evan dan Juli.

“Masih ada kerjaan dari big boss..” Oh. Aku mengangguk.
Setelah lulus kuliah, Juli dan Evan bekerja dalam satu kantor yang sama. Mereka bekerja pada perusahaan swasta yang bergerak di bidang investment.

“Apa kabar Jun? Kurusan sekarang..”

“Iya nih.. lagi banyak kerjaan.. Banyak kasus baru. Terus juga aku disuruh nyusun draft kontrak yang tingginya segunung.. mana sempat makan.. Urgh. I can eat this table right now..” Kami berdua tertawa. Enak sekali bisa tertawa lepas seperti ini..

“Can we order right now dear? I’m starving..” Juli tersenyum dengan kata-kataku. Lalu dia memanggil pelayan.

“Aku Philly cheese steak sandwich and Devilled cake and mineral water please..” itu pesananku.

“Saya Eggs benedict with smoked salmon and mineral water juga..”

“Are you on diet hunh?”

“Hey.. body ini tidak datang dengan sendirinya Jun..”

“Tapi kamu udah ‘diiket’ non..”

“I know.. but..”

“Oiya mas.. sekalian French Onion Soup sama Cappucino yaa..” potongku sebelum pelayan itu pergi.

“Ada lagi yang mau dipesan mas?”

“No. Udah cukup. Kamu ada lagi Jul?” Juli menggeleng. Dan pelayan itu tersenyum dulu kepadaku sebelum berlalu. Hm.. Ternyata aku masih memiliki pesona ya..^^

“Kamu pesen buat Evan tadi? Masih inget aja ya Jun kesukaan Evan..” Wajahku panas.

“Hai! Dari tadi?” Suara Evan. “Hai Jun.. Jul.. Sorry, si boss rese’ ngasih kerjaan dadakan. Udah pada mesen?” aku dan Juli mengangguk serempak.

“Ay.. Maaf ya nunggu lama..” aku memalingkan wajah mendengar suara Evan.

“Ehem.. Ehem.. Guys please. Behave..” Wajahku semakin panas. Aku pasti sudah mirip kepiting rebus sekarang.

“Aku udah pesenin buat kamu tadi Yang.. French Onion soup sama cappucino kan?” Kataku pada Evan..

“Si Ay emang paling tahu semua kesukaan aku.. Aku beruntung jadi pacar kamu Ay..”

“Aku lebih dari beruntung Yang.. aku ga pernah berhenti bersyukur waktu dulu kamu minta aku tarik kata-kataku. Aku bisa tahu betapa kamu sungguh-sungguh.. Makasih Yang..”

“Ish.. jangan bikin iri deh. Calonku masih di luar negeri nih..” Potong Juli.

Aku dan Evan hanya tersenyum. Dan aku mengingat saat-saat dulu.

Ketika aku sudah mengikhlaskan hubunganku dulu, jawaban yang kuterima sungguh di luar dugaanku. Evan memang sempat mengatakan maaf. Dia pun mengakui tertarik pada Juli. Tapi itu hanya refleksi dirinya sebagai seorang lelaki. Mengagumi kecantikan seorang wanita. Tapi Evan bilang cinta yang dia punya hanya untukku. Hanya buatku seorang. Tak ada yang lain. Tak ingin yang lain. Hanya aku, Cuma aku, yang didambanya, selalu..

Hari ini hari senin.. Tapi senin ini tidaklah biru.. Dan tidak akan kubiarkan lagi biru.. akan kuisi dengan warna baru. Warna milik Evan dan Aku..

DON’T MAKE MY MONDAY BLUE – TAMAT

**

Oiya rencananya saya mau terus posting terus cerpen-cerpen saya disini. Jadi buat kalian-kalian yang namanya saya copy dari daftar di Alfi, kalau keberatan namanya saya mention bilang aja yah..
And buat SR.. Please..
Berapa kali saya bilang? Tinggalin jejak kalo mau dimention.
Last.. Happy Reading guys..^^
«13456711

Comments

Sign In or Register to comment.