"Karena aku cinta sama kamu." Kenny berujar dengan datar, memandangku dengan senyum tulusnya.
Tapi aku kaku sejenak, mencerna dengan teliti sekali lagi apa yang ku dengar beberapa detik lalu. Masih dalam posisi tak mengenakan dengan di tatap Kenny seperti ini. Cahaya lampu taman yang redup tak mampu menyamarkan tulus senyumnya itu
Kenny? Mencintaiku?
"Stop this useless joke Ken, i..."
Belum usai ucapanku, lalu tanpa bisa ku cegah lengan kiri Kenny menarikku ke pelukannya dalam satu hentakan. Lalu sejurus kemudian bibirnya menyentuh bibirku, dengan perlahan dilumatnya dalam mata terpejam. Untuk beberapa detik awal tubuhku mengejang karena terkejut. Tapi tidak untuk detik-detik selanjutnya. Naluri membuatku memejamkan mata menikmati sensasi aneh ini. Tubuhku yang kaku tadi kini lemas sepenuhnya bersandar pada dekapan hangat Kenny. Aku hanyut dalam perlakuannya padaku.
Kami dalam posisi 'panas' ini nyaris semenit. Kurasakan lembut belaiannya mengusap rambutku saat ia melepas ciumannya. Kenny masih dengan senyumannya menyambut pandanganku saat mataku akhirnya terlepas dari pejam.
"Aku tulus mencintai kamu, Kevin."
"Tapi, ini... ini salah Ken, ini nggak mungkin. Aku, aku..."
"Apa yang salah Kev? Aapa kamu nggak merasakan hal yang sama dengan yang aku rasakan ini? Lalu apa artinya semua kebersamaan kita selama ini? Semua tanda yang kamu berikan padaku selama ini..."
"Bukan, bukan begitu Ken. Aku hanya..."
"Atau, ini cuma aku yang salah mengartikan semuanya? Apa benar semua yang..."
"Ken, no! Stop it!"
Aku tak tahan mendengar ia meneruskan kalimatnya, yang terlintas dibenakku adalah memeluknya agar ia menghentikan ucapannya.
Berhasil. Kenny menjadi tenang dan tak berujar lagi. Kurasakan kemudian lengannya yang hangat lalu melingkar di punggungku, memelukku dengan sayang. Ini pertama kalinya ia benar-benar memelukku. Rasanya nyaman sekali.
"Aku butuh waktu, Ken. Aku..."
Kenny perlahan melepas pelukannya lalu menggenggam kedua tanganku dalam jemari-jemarinya. Tatapannya memancarkan ketulusan yang begitu dalam. Satu tanya terbersit di hatiku, apa hebatnya aku hingga ada pribadi yang mencintaiku hingga sedalam ini?
"Aku siap menunggu, Kevin! Aku siap menunggu dan melakukan semua yang terbaik selama penantian itu. Asal kamu nggak ninggalin aku, selama apapun aku rela menunggu. Sampai kamu siap." Ujarnya dengan lantang.
"Thanks Ken, makasih untuk semuanya."
Aku lalu dipeluknya lagi, seperti tak surut hasratnya memelukku.
"Nothing i cant do for you, Kevin. It's all because i love you."
Lalu rembulan melengkapi keteduhan malam ini. Sinarnya bersanding mesra dengan kilau hamparan bintang yang tersebar indah di sekitarnya. Aku nyaris lupa, isi taman ini tak cuma kami berdua.
"Ehm, Kenny can we act like a common from now. Kita nggak tau ada berapa pasang mata yang sedang memantau kita sekarang kan. Jangan sampe foto kita berdua ada mading kampus besok."
"Haha, sorry handsome. Ok, kita cari makan sekarang deh! Aku lapar!"
Aku tertawa kecil melihat ia bertingkah manja seperti ini, ia menggandeng tanganku meniggalkan taman indah ini.
Rasanya seperti mimpi saja. Mendapatkan Kenny, sosok yang teramat sempurna bahkan terlampau sempurna untukku yang biasa, kini tengah dengan tulus memelukku. Memberikan cintanya begitu utuh untukku. Tapi entah apa yang membuatku masih tak mampu meluncurkan kata itu dari bibirku.
Cinta.
Padahal sebenarnya tak ada penghalang untuk kita berdua menjalin ikatan itu, merengkuh bahagia itu. Ini bukan soal dua lelaki baru saling mengetahui kalau salah satu dari mereka mencintai yang lainnya. Cinta seorang lelaki kepada lelaki lainnya. Kami sudah saling mengetahui kesamaan kami ini bahkan di awal masa kami saling mengenal. Ini hanya aku, yang masih menyimpan ragu. Rasa tak percaya yang masih berakar terlalu dalam di hatiku. Semoga saja benar, waktu bisa memupuk rasa ini menjadi lebih kuat hingga cukup kuat untuk terucap.
Dibawah sinar bulan, dapat ku tangkap senyum sumringah Kenny yang terlihat begitu teduh. Entah bagaimana senyum itu membuatku resah, aku tak mau menyakiti hatinya karena ragu ini.
(:
Comments
Aku akhirnya tiba di penghujung malam. Penghujung jalan-jalan kami membebas asa di separuh sisa hari ini.
Sebenarnya semua tak terencana. Bermula saat kami sama-sama mengantarkan paper Analisa Struktur kami ke ruangan dosen untuk di asistensi. Milikku langsung diterima tanpa dibolak-balik begitu lama, sedang milik Kevin bahkan di coret sana-sini karena banyak argumen dan penjelasannya yang membingungkan dosen untuk memahami.
Itu beberapa menit lepas tengah hari. Dan sepanjang sisa mentari bertengger menerangi siang hingga sore ia bersembunyi kembali di peraduan, murung di wajah Kevin tak kunjung pudar. Tapi mau murung atau cemberut seperti apapun, dia tetap lelaki paling sempurna yang pernah hadir dalam hidupku.
Butuh waktu hingga beberapa menit usai pukul lima sore, untuk membujuknya ikut denganku jalan-jalan. Aku menawarkan diri mengajaknya ke tempat manapun yang ia ingini, kecuali rumahnya jika ia minta di pulangkan dan perpustakaan kota jika ia ingin mengucilkan diri dalam kesalnya di sana. Dengan sedikit debat, lokasi yang menjadi pilihannya adalah Bukit Patah Hati. Suatu bukit yang letaknya di sudut kota ini, jauh dari keramaian. Bukit itu sebenarnya tak bernama, dinamakan patah hati oleh Kevin sendiri. Sebabnya adalah, tebing itu menjadi tempat dimana Jonathan pertamanya memutuskannya tanpa alasan yang jelas.
Tapi itu sudah dua tahun yang lalu. Kala ku tanya apa tujuannya tiap berkunjung ke bukit itu adalah mengenang Jonathan, lantang dijawabnya dengan tidak. Jelasnya, justru ia bersyukur Jonathan memperkenalkan tempat nan tenang itu padanya kala itu. Kevin jadi punya destinasi favorit melepas penat dan kesal jika tiba-tiba menyergap.
Kami tak mengobrol banyak disana, Kevin lebih banyak diam menikmati tenangnya tempat itu. Sedang aku sendiri ikut diam menikmati sempurnanya kesyahduhan tempat itu dengan adanya sosok indah Kevin di hadapanku.
Kami disana hingga pendar cahaya mentari terbenam yang masih berusaha mengintip ke cakrawala benar-benar hilang. Berganti gelapnya malam.
Ternyata teduhnya bukit ini betul-betul ampuh menghilangkan stres dari Kevin. Thanks to mantan pacarnya yang tak jelas itu.
*
Dari tempat itu Kevin masih mengajakku menuju satu tempat lagi. Taman kota.
Saat hari sudah gelap. Aku tak habis pikir ia datang ke sana hanya untuk mengambil potret dirinya dibawah pantulan sinar sang rembulan yang membias ke arah sebuah danau disana. Menurut ceritanya, semasa ayahnya masih hidup dulu. Beliau sering mengantar Kevin ke situ jika Kevin sedang cengeng. Ayah Kevin akan menyanyikan beberapa lagu sunda di gazebo itu hingga aku tenang, lalu kembali ke rumah dan dengan mudah membuatku tidur. Ibu Kevin yang awalnya ragu menjadi terbiasa dengan ritual ayah Kevin itu. Itulah sebab taman itu juga menjadi tempat favorit Kevin hingga sekarang.
Kejadian disana beberapa jam lalu, aku sendiri tak habis pikir bagaimana bisa ku lakukan itu. Sungguh tak punya daya lagi untuk menahan tak mengungkapkan rasa hatiku padanya. Naluri menuntunku melakukan segala sesuatu saat itu.
Rasa cinta yang sudah lama ku pendam.
Aku bersyukur ia tak menolak saat semua tindakan serta merta itu ku lakukan. Mengalir dibawa cinta yang telah lama menggebu ku rasa.
Aku percaya, dari sorot mata sendunya kala itu. Dia pun merasakan hal yang sama. Dia hanya butuh waktu untuk meyakini semuanya. Sungguh takkan henti juangku mendapatkan hatinya seutuhnya. Kevin, terlanjur sudah menjadi separuh duniaku di masa ini. Setelah semua sakit dan sepi yang kurasakan di lembar-lembar usang kisah cintaku dulu. Dia menjadi lembar baru yang teramat indah, teramat sempurna. Dan takkan lagi ku sia-siakan seperti yang sudah-sudah.
Dari taman kami sempat singgah makan dahulu, lalu aku mengantarnya pulang ke rumahnya. Ia meninggalkan hadiah kecil di pipiku sesaat sebelum ia berlalu di balik gerbang rumahnya. Satu kecupan kecil di pipiku. Beriring senyum penuh artinya kemudian sebelum ia menutup gerbang.
***
Dan disinilah kini aku, di atas ranjangku yang sudah ku huni sejak zaman SMP dulu. Tersenyum-senyum sendiri memandang langit-langit kamarku sambil mengelus-elus sisi kiri pipiku yang di kecup Kevin beberapa menit tadi.
Tak kupedulikan raut heran kak Leo yang tadi sempat lewat depan pintu kamarku yang tak tertutup. Mendapatiku seperti orang tak waras tertawa sendiri sembari mengelus-elus pipi kiri. Ini cuma satu bahagia kecil yang hanya bole ku miliki sendiri. Tidak untuk dibagi.
Hmm, mungkin belum. Nanti
"Kamu manis banget hari ini."
Aku merngernyit ke arah Kenny, anak itu tersenyum lagi.
"Aku tau." Balasku datar, lalu lanjut sibuk dengan paper manajemen air-ku.
"Ck, di puji ngerujak dia. Huh, bosen nih."
Kepalanya kini dibaring ke pangkuanku. Ku biarkan, terus ku kerjakan paperku.
"Rujak? Aku nulis paper, bukan ngerujak."
"Ngelunjak dudul! Siapa juga yang bilang ngerujak."
Sepertinya gilanya sedang kambuh, tapi aku sedang tak minat menyambung apapun. Hanya menggeleng kepala dengan bosan lalu kembali menekuri paperku.
"Aaaa... Kevin nggak seru, iya deh aku nyerah. Lagi pengen rujak ini, seriusan."
"Kamu ngidam?"
"Iya kali, haha. Ini gara-gara kak Leo, kemarin istrinya ngidam makan rujak juga. Maklum anak pertama. Tapi kok aku jadi ikutan pengen makan dari kemarin, Kev. Nggak kesampean terus. Kamu temenin aku nyari dong, yah yah?"
"Hih, emang saya suami kamu? Situ ngidam kok saya yang sibuk ya."
"Hahaha, belum suami sih. Calon suami, hahaha. Ayo dong temenin." Kenny memelas manja, sembari menarik-narik ujung kemejaku.
Dalam kondisi normal, beberapa bulan lalu. Jitakanku akan langsung bersarang di jidatnya jika ia melakukan hal-hal aneh bahkan kadang memalukan seperti ini. Tapi setelah semua yang terjadi akhir-akhir ini. Perlahan aku mulai menikmati semuanya, tingkah manjanya. Bahkan beberapa sifat yang tak sebelumnya ia tunjukan saat kami belum melewati fase ini.
"Ok, ok aku ikut!berhenti memelintir kemejaku. Ini kesayanganku." Ku rapihkan segera paperku. Hampir selesai lah. Sepertinya kepalaku juga butuh refreshing sejenak.
*
"Hei, pelan-pelan makannya. Kenny, you're not a little boy anymore." Ujaranku hanya mendapat cengiran tak jelas darinya.
Seperti biasa, anak ini akan sehening negeri seribu satu malam jika sedang berurusan dengan yang namanya makanan. Apalagi, yang sedang sangat ia inginkan seperti sekarang ini.
Aku tersenyum sendiri melihat diriku sekarang. Dulu mana mau aku makan seperti ini di pinggir jalan. Terlebih yang ku makan ini rujak. Sejak dulu aku terbiasa dengan makanan-makanan yang sudah langsung ada di meja makanku. Disiapkan oleh pembantu dan menunggu waktu ku di panggil mereka untuk ku makan.
Tak hanya makanan. Kebersamaan dengan Kenny mengubahku dari banyak sisi. Membuatku menjadi lebih terbuka dengan sekitar dan memperluas pandanganku tentang dunia.
Ia banyak mengenalkan hal-hal baru padaku. Dan yang paling nyata dan kian kuyakini hingga sekarang adalah. Kenny menawarkan cinta yang tulus dari hatinya untukku, begitu utuh hingga selalu membuatku merasa begitu berharga saat bersamanya.
Aku akan berusaha, membuatnya bahagia. Membuatku merasa seberharga ia membuatku saat di dekatnya. Cintanya begitu besar untukku.
***
Beberapa hari setelahnya...
Minggu pagi yang dingin. Mataku terbangun mendapati kaca jendela kamarku berbutir air hujan yang baru mendera.
Aku mendapati diriku terbangun di dalam dekapan Kenny. Tepat di atas dada bidangnya yang polos. Aku seperti tidak percaya, apa yang akhirnya kami lakukan bersama di atas ranjang malam tadi.
Tubuh kami sama-sama polos pagi ini. Aku masih tak percaya semalam kami benar-benar bercinta. Begitu panas dan penuh cinta. Aku membiarkan Kenny melakukan semua yang ia inginkan padaku, begitu sebaliknya. Ia tak membatasi apapun, yang ingin kulakukan padanya.
Kami membebas imaji liar yang entah sudah sejak kapan tersimpan di bilik benak kami masing-masing.
Hingga di sinilah aku sekarang. Kenny tengah tertidur pulas dalam posisiku yang dipeluknya dengan kedua tangan dan kaki. Dapat kurasakan kejantanannya yang setengah mengeras menyentuh paha kananku. Rasanya masih ingin jemari-jemariku memainkan benda ajaib itu kembali pagi ini. Seperti tak kunjung puas saja.
Tapi aku masih memikirkan diri kami. Kenny baru sembuh dari sakit beberapa hari lalu, aku tak mau ia kembali sakit lagi hanya gara-gara seks tak karuan seperti ini. Ditambah aku juga masih punya beberapa agenda tugas yang harus diselesaikan sebelum besok. Aku takkan sanggup melakukannya bila digempur Kenny seperti malam tadi, barang satu atau dua ronde lagi.
Menghindari hal-hal 'yang tidak diinginkan' tersebut terjadi, aku berinisiatif segera beranjak dari ranjang. Tak lupa ku pakaikan celana dalam dan kaus Kenny ke badannya sebelum kemudian ku urusi diriku. Aku tersenyum-senyum sendiri saat melakukannya. Aku sudah hafal, jika sedang letih walau di guncang-guncang seperti apapun ia takkan terbangun. Seperti saat ku kenakan kembali pakaian-pakaian dalamnya ini.
I'm definitely looks like his wife now
-,-
Aku ingin... sangat ingin, memasakannya sesuatu pagi ini. Tapi, aku bahkan belum pernah masak untuk diriku sendiri.
Tapi aku harus bisa, harus bisa!
Kita lihat dia punya apa di kulkasnya hari ini.
Mention ya kalau udah update. Makasih
Kupandangi dengan resah telur dadar tak berdosa yang sudah ku obrak-abrik di hadapanku ini. Semoga saja rasanya tak se abstrak bentuknya.
Tilt.
Lamunan gusarku dibuyarkan suara pemanggang roti yang sudah selesai melakukan kerjanya. Lima menit kemudian semua siap di atas meja makan. Aku tersenyum sejenak.
Tak terlalu buruk. Roti bakar dengan selai strawberry, telur dadar, dan susu hangat. Yah, kecuali telur dadarnya. Sedikit gelap dan tak berbentuk -_-
*
"Fiuh, i wish he likes this."
Ku putuskan membawa sarapan ini ke kamar. Sepertinya Kenny masih terlalu letih untuk bangun sepagi ini.
Menyibak pintu kamar, aku tersenyum melihat Kenny yang masih lelap tertidur di ranjangnya. Posisinya terlentang dengan kedua kaki membuka agak lebar, menyibak selimut yang menutupi tubuhnya. Mungkin merasa gerah. Ku letakkan dahulu nampan di atas meja belajarnya, lalu beringsut ke ranjang membangunkannya.
"Hey sleepy prince, time to wake up now! Sarapan..."
Aku berbisik tepat telinganya.
"Hemhhh..."
Kenny menggeliat malas, tangannya menggapai-gapai mencari tubuhku. Dengan gerakan cepat ia memelukku, membuatku malah ikut terbaring di sampingnya.
"Heh gimana sih, ayo bangun! Sarapan... Aku udah buatin kamu sarapan." tak ku coba melepas diri dari peluknya, aku suka sekali ekspresinya yang baru bangun seperti ini.
"Hehe, kamu masak apa?" Ujarnya sambil mencium pipi kiriku.
"Emm, ee... Roti bakar sama... telur dadar..."
"TELUR!" Aku tersentak saat tiba-tiba Kenny bangun lalu memeriksa isi celana dalamnya.
"Fiuh, masih ada... hehe..."
"Dasar gila!" Ku lempar wajahnya dengan bantal. Begini kalau gilanya sedang kumat. "Sudah cepat cuci mukamu sana, lalu sarapan."
"Hmm, wangi banget! Aku mau makan dulu, baru mandi. Laperrr."
"Ih jorok, yaudah ah terserah... eh tapi, dadarnya..."
Belum sempat ku berujar, satu suapan telur dadar sudah masuk terlebih dahulu ke mulutnya. Aku menatap cemas saat di kunyahan ke tiga ia berhenti, lalu memandang ke arahku dengan raut wajah penuh arti.
"Lumayan enak, kamu berbakat masak juga ternyata. Hehe. Sering-sering masakin aku nanti ya."
"Huh, nyenengin aku aja nih. Masak telur dadar juga. Abstrak lagi."
"Haha, iya sih. Tapi aku suka yang abstrak-abstrak kok."
"Hah? Kayak apa?"
"Kamu, hahaha."
"Kurang ajar."
-,-
Kenny makan dengan lahap, bahkan menghabiskan setengah jatahku yang tak sanggup ku kunyah lagi. Dia bilang aku itu seperti kucing, makannya irit sekali. Ya mau bagaimana lagi, dari dulu porsi makanku sudah segitu.
Aku selalu menikmati momen-momen makan Kenny yang tenang. Gaya ia makan, juga ekspresinya selalu betah ku pandangi. Aku aneh kan? Whatever.
"Hey..."
"Hello...?"
"Hoi!!" Lamunanku buyar, Kenny menjentikan jarinya di depan wajahku.
"Hah? A..apa?"
"Hahaha, kenapa? Aku cara seksi ya? Duh, mandanginnya sampe gitu banget." Kenny tertawa puas seraya menghabiskan gigitan terakhir roti bakarnya.
Aku membuang muka, rasanya malu sekali.
"Hahay, mau yang lebih seksi lagi nggak?"
Kenny beranjak dari duduknya, melangkah beberapa hasta lalu meraih handuk dari lemari pakaiannya.
"Apa sih? Ga jelas! Udah mandi sana!"
"Yakin nggak mau lagi? Ya udah!"
Dia sungguh memang ingin memancingku. Dengan cuek di lepasnya kaus putih dan celana dalam yang ku pakaikan tadi. Berpose bugil beberapa saat di hadapanku, lalu kemudian melilitkan handuk yang ia ambil tadi ke pinggulnya. Dengan perlahan, menyiksaku yang berusaha mengalihkan pandang sejak tadi.
"Hmm, sepertinya tak tertarik lagi. Ya sudah, aku mandi dulu ya... But inside there, the offer is still remains handsome." Kalimat terakhirnya di ucapkan dengan bisikan tepat di telingaku.
Aku makin tergoda, tapi kepalaku kemudian di hantam ingatan . Paper-paperku! Bisa-bisa gagal selesai untuk asistensi besok.
Argghhh! Kenny dasar gila!
Ku remas-remas kepalaku, berharap hasrat ini menghilang. Tapi gagal, malah pose-pose telanjang Kenny, bahkan pergumulan panas kami semalam malah kian terbayang di benak.
Aku kalah, bahkan sesuatu di balik celana dalamku kini sudah mendesak begitu kencang dan menyiksa.
Baru beberapa langkah aku bergegas menyusul Kenny ke kamar mandi. Ponselku berdering di meja belajar Kenny.
"Huh, mengganggu sekali!"
Dengan kesal aku berbalik menuju meja, mengambil ponsel sial itu.
"Nomor tak di kenal pula, huh! Siapa sih, pagi-pagi ganggu aja."
Dengan kesal ku pencet tombol terima lalu mengangkatnya.
"Halo? Ini siapa ya?"
"Halo Kev? Ah, it a long time not hearing your voice. I missed that so much."
Aku terperangah mendengar suara berat dan parau dari ujung talian ini. Suara ini, aku mengenalnya... Bagaimana mungkin dia...
"Seriously, wh...who is this?" Sahutku bergetar.
"Kamu lupa kah? Hmm, tak apalah. Aku memang pantas di lupakan, seseorang yang meninggalkan luka padamu."
"Jo...Jonathan?" Nafasku seperti tercekat.
"Kevin, aku... aku menyesali semuanya. Aku menyadari semua sekarang, tak ada yang bisa menggantikanmu. Tolong maafkan aku." Ujarnya panjang, suaranya agak serak. Ini, lebih terdengar seperti isakan.
Aku terdiam. Bagkan menahan nafasku untuk beberapa saat. Ini benar Jonathan, benar-benar dia. Mendengar suaranya seperti mengorek lagi luka lama yang sebenarnya hampir sepenuhnya kering itu.
Ia sudah lama pergi, tapi kenapa... kenapa setelah sekian lama, hatiku masih khawatir dan ikut merasa perih mendengarnya terisak seperti ini.
"Kevin? Please say something... Aku... aku merindukanmu... aku, masih mencintaimu."
"Jonathan... aku..."
Aku tak sanggup melanjutkan kalimatku, aku bingung harus berujar apa. Harus ku apakan hatiku kini. Dengan Kenny yang kini hadir dalam hidupku, memberi cintanya yang begitu utuh untukku. Dan kini Jonathan, kembali setelah sekian lama menghilang dengan menyisakan luka di hatiku.
Jonathan, seharusnya mendengar mohonnya ini aku akan dengan cepat memberinya makian, atau sumpah serapah. Mencurahkan amarah yang telah ku simpan bertahun-tahun. Tapi kenapa... rasanya tak sanggup ku lakukan. Aku tak mampu membohong hati ini. Rasa cinta, dan sayang yang terbina begitu lama. Bersamanya... Mungkinkan masih tersisa?
@greenbubles
@YANS FILAN
@Zazu_faghag
@Agova
@doel7
@Beepe
@TigerGirlz
@Lonely_Guy
Thanks for reading