It looks like you're new here. If you want to get involved, click one of these buttons!
Copyright 2021 Queer Indonesia Archive. See our Privacy Policy. Contact us at [email protected]
Dengan menggunakan situs ini berarti Anda setuju dengan Aturan Pakai.
BoyzForum.com adalah situs anti pedofilia!
Comments
Saat aku ke ruang tatib, beliau sudah tidak ada di tempat. Aku menuju ruang guru, semua pun berkata kalau pak tatib sudah pulang, dengan segera aku ke tempat parkir motor. Sesampainya disana, aku tidak melihat motor Rio, melainkan Aris.
"Ris, koen gelem nganter aku nang omahe pak tatib ra?" (Ris, kamu mau nganter aku ke rumah pak tatib gak?) Tanyaku pada Aris.
"Ayo wes, mengko ora sido nang warnet brarti?" (Ayo deh, nanti gak jadi ke warnet dong?) Jawab Aris sambil memundurkan motornya.
"Koyo e ora ris, sepurane yo." (Sepertinya nggak ris, maaf ya) aku langsung naik keatas motornya.
Dan kami pun berangkat menuju rumah pak tatib killer itu. Rumahnya sekitar 15 menit dari sekolah. Sepanjang perjalanan Aris bertanya, mengapa aku dipanggil oleh pak tatib itu. Aku tidak menjawabnya dengan jujur, aku bilang kalau di minta tolong sesuatu. Kalau dia tahu pasti nantinya dia akan menganggapku aneh.
Sesampainya disana, aku langsung membuka pagar rumahnya.
"Ris, koen ngenteni aku po ninggal?" (Ris, kamu nunggu aku atau duluan ?) Tanyaku pelan.
"Karepmu, lha njalukmu piye? Opo mengko ak susul? Aku nang warnet disek, mengko sms en." (Terserah, lha maumu gimana?atau nanti aku jemput?aku ke warnet dulu, nanti sms aku) Jawabnya.
"Yowes, ati ati. Mengko tak sms." ucapku lagi.
Dia berjalan keluar pagar, dan pergi meninggalkanku. Dalam hatiku berkata jangan, jangan tinggal aku ris. Dia pun pergi, dan tinggal aku sendiri disini. Aku masuk ke pekarangan rumahnya, terlihat mobilnya yang terparkir di garasi yang masih terbuka.
Aku mengetuk pintu nya, sekali, dua kali, tiga kali, menunggu dibukanya pintu rumah ini. Sesekali aku menengok kesamping, tiba tiba pintu terbuka, dan sebuah tangan menjulur dari dalam rumah.
Tak sempat aku melihatnya, tangan itu menepuk pundakku dan menarikku kedalam rumah itu. Aku kaget dan berteriak saat tangan itu menarikku. Tiba tiba tangan satunya membungkam mulutku dengan kuat, membuatku sulit untuk bernafas.
Aku mencoba melepaskan tangan itu, tapi terlalu kuat. Badanku mulai lemas dan pandanganku mulai pudar. Perlahan badanku jatuh dan aku tidak sadarkan diri.
trims agan @Beepe emang rada ribet sih, ada saran utk penulisan gak?
soalnya bahasa jawanya buat memperkuat karakter juga sih..hehe
Bahasane wes enak bgt yo cuma iku terlalu rapet plus tanda bacane ga genah. .
Enak bgt 'kesusu' yo hahahaha
Sesampainya disana, aku langsung membuka pagar rumahnya. "Ris, koen ngenteni aku po ninggal?" (Ris, kamu nunggu aku atau duluan ?) Tanyaku pelan. "Karepmu, lha njalukmu piye? Opo mengko ak susul? Aku nang warnet disek, mengko sms en." (Terserah, lha maumu gimana?atau nanti aku jemput?aku ke warnet dulu, nanti sms aku) Jawabnya. "Yowes, ati ati. Mengko tak sms." ucapku lagi.
....
Sesampainya di sana, aku langsung membuka pagar rumahnya.
"Ris, koen ngenteni aku po ninggal?" (Ris, kamu nunggu aku atau duluan?) tanyaku pelan.
"Karepmu, lha njalukmu piye? Opo mengko aku susul? Aku nang warnet disek, mengko sms en." (Terserah, lha maumu gimana? atau nanti aku jemput? aku ke warnet dulu, nanti sms aku) jawabnya.
"Yowes, ati ati. Mengko tak sms." ucapku lagi.
gini lebih nyaman dibaca gak sih?
will be edited lah.
matur suwun krisar e
Pak Sugiono, guru tatibku. Setahuku dulu, sejak aku kecil, dia adalah teman ayahku. Memang lebih tua dia beberapa tahun dari ayah. Dulu dia adalah seorang tentara, sama seperti ayahku. Pangkatnya lebih tinggi dibanding ayah. Tak heran kalau di usia dini dia memilih untuk pensiun awal. Aku masih mengingatnya, saat itu kami pergi berlibur ke pantai. Aku, ayahku, Aris, Ayah dan ibu Aris, Pak Sugiono, istrinya, dan anaknya. Saat itu kami masih kecil, mungkin kelas 5 SD, kami bermain bersama. Tetapi, anak pak Sugiono lupa akan bahayanya ombak laut itu. Kejadian itu sangatlah lama, dan terjadi sangat cepat. Kami terseret ombak yang tiba tiba menjadi besar itu, dan tenggelam.
Hari itu, aku benar benar takut apakah aku akan mati? Saat aku sadar, orang orang mengelilingi kami, dan ayah terlihat sangat khawatir,begitu juga orang tua Aris. Aku menoleh kearah dimana anak pak Sugiono digendong oleh ayahnya. Keluarga pak Sugi meneriaki nya, menangis,dan memberi nafas buatan padanya, tetapi semuanya terlambat. Hari itu adalah hari yang tak bisa kulupakan, teman kami, anak pak Sugiono meninggal pada hari itu. Sejak kejadian itu dia sangat terpukul. Dan tak lama sejak kejadian itu, aku mendengar bahwa dia mercerai dengan istrinya, serta dia memilih untuk pensiun lebih awal, dan pada akhirnya dia memilih untuk menjadi guru disekolah kami.
Kubuka mataku dengan perlahan, dan melihat sekitar. Aku ada dimana? Kok bisa kaya gini? Gumamku dalam hati. Aku mencoba bangkit, tetapi terlalu lemas, dan keringatku bercucuran karena udaranya yang sedikit panas. Ku gerakkan tanganku,untuk meraba sekitarku. Dan aku baru sadar, kalau seragamku telah terlepas, ikat pinggang dan celanaku terbuka, tetapi tidak terlepas dari badanku. Aku takut, jantungku berdetak lagi, aku baru ingat kalau tadi aku pergi ke rumah pak Sugi sepulang sekolah.
Kupaksa badanku untuk bangun meskipun sedikit lemas, tiba tiba pintu kamar ini terbuka. Seseorang datang dari balik pintu itu, hanya mengenakan boxer dan bertelanjang dada, dan tak lain adalah Pak Sugiono. Dahiku mengernyit, apa yang dilakukan oleh pak Sugi tadinya, aku benar benar takut.
“Uwes tangi riz? Koen kekeselen tah?” (udah bangun riz?Kamu kecapekan kah?) Tanya pak Sugi dengan membawa minum dan makanan di tangannya.
Akupun hanya terdiam dan tertunduk, aku bingung sekali. “Sepurane bapak ora gawe klambi, panas hawane. Koen kok iso semaput iki mau ? Durung mangan? Iki ndang dipangan.” (Maaf bapak tidak pakai baju, hawanya panas. Kamu tadi kenapa bisa pingsan? Belum makan?cepat makan dulu) Ucap Pak Sugi sambil menyodorkan keduanya. Ya, mungkin aku pingsan,kepalaku tadi sangatlah pusing, mungkin karena efek matahari dan hawa yang panas hari ini.
“Ojo wedi, koen ora tak apak apakno. Hahaha” (jangan takut, kamu tidak saya apa apakan) Katanya dengan tertawa. Aku tetap diam dan memakai kembali bajuku.
“Klambimu tak buka ben ora panas, AC ne rusak le.” (Bajumu kubuka agar tidak kepanasan, AC nya rusak) Beliau membuka lemarinya dan mengambil bajunya.
“Maaf pak, kemarin saya nggak bisa dateng.” Jawabku, karena bahasa jawa krama ku tidak bagus aku memakai bahasa indonesia. Karena kurang sopan apabila berkata dengan orang yang lebih tua menggunakan bahasa kasar(ngoko).
“Ora popo le, piye keadaane bapakmu? Saiki tugas ngendi?” (Tidak apa nak, gimana keadaan ayahmu? Sekarang tugas dimana?) Tanya pak Sugi.
Aku terfokus pada badannya yang begitu terbentuk meskipun di umurnya yang sudah hampir memasuki kepala 6 ini. Wajah tampannya, otot dadanya yang besar, perutnya yang kotak kotak serta postur tubuhnya yang gagah telah menghipnotisku.
Dia mendekatiku, wajahnya mendekat padaku, dan hidung serta mulutnya menyentuh daun telingaku.
“Riz...” Dia berbisik memecah lamunanku.
“Eh..iya pak, di Sangatta pak.” Jantungku kembali berdetak, wajahnya tetap disampingku dan tidak bergerak.
Hidung dan mulutnya bergerak pelan menyusuri lekuk pipiku,melewati hidung dan mulutku, mata, leher dan kedua tangannya memegang kepalaku. Bibirnya mendarat di keningku, dan tangannya turun merangkulku.
“Coba wae Irfan isih ono yo Riz...”
Sangatlah hangat ...
Mengalir dengan lembut melewati wajahku ...
Dia menangis, aku tidak tahu mengapa. Irfan, oh iya, nama itu sudah lama tidak kudengar. Dia adalah anak pak Sugi yang meninggal beberapa tahun yang lalu saat kami pergi bersama. Sejak insiden itu Pak Sugi benar benar sedih, dan berkelanjutan ditinggal pergi oleh istrinya. Sekarang dia tidak mempunyai siapa siapa lagi, aku bisa merasakannya. Mataku mulai berkaca kaca mengingatnya, tetapi air mata ini enggan menetes. Aku ingat, hari ini adalah hari ulang tahunnya, umurnya sama sepertiku dan juga Aris. Aku juga masih mengingat ulang tahunnya dulu, janji kami bertiga.
“Ris, mben nek gede koen pengin dadi opo?” Tanya Irfan.
“Aku pengen dadi tentara, ben iso ngalahno penjajah.” Jawab Aris.
“Aku sisan, ben iso numpak tank!” Sahut Irfan.
“Nek koen Riz, pengen dadi opo?” Tanya Aris padaku.
“Aku...em..aku pengen dadi tentara sisan nek ngono.” Jawabku malu.
“Kok nek ngono, seng tenanan tah.” Tanya Irfan lagi.
“Iyo toh Riz, penginmu dadi opo mben?” Tanya Aris sambil membawa mainan pistol.
“Emm..aku pengin dadi dokter, nek koen kabeh keno tembak, tak sembuhno.” Jawabku malu
Aku ingat saat itu mukaku menjadi merah. Kami bertiga pun bermain perang perangan dulu, dan saat itu aku menjadi dokternya.
Pelukan pak Sugi mulai merenggang, dia kaget melihatku. Tak sadar aku menangis, mengingat hal itu.
“Wes gede kok nangisan seh riz riz..” (udah besar kok nangisan sih riz riz..) Ucap pak Sugi sambil mengusap air mata ku.
“Bapak sisan ngono.” (bapak juga gitu) Jawabku tersenyum. Aku tak tahu, siang ini akan jadi seperti ini. Pak Sugi yang terlihat killer di sekolah, ternyata selama ini menyimpan perasaan yang sangat menyakitkan. Siang itu dia curhat padaku, dan bertanya tanya tentang ayahku, hingga menelponnya. Seperti sedang reuni keluarga rasanya.
Tak terasa waktu berjalan sangat cepat, menunjukkan pukul 15.00. Aku lupa untuk mengirim sms pada Aris untuk menjemputku. Saat dia datang, kami diceramahi lagi untuk berhati hati saat mengendarai sepeda motor, apalagi belum memiliki SIM. Akhirnya kamipun pulang, aku bercerita banyak pada Aris tentang curhatannya.
Tiba tiba Aris mengerem motornya dan hampir membuat kami jatuh, karena ada motor balik arah yang sangat kencang.
“Woe janc*k iso numpak motor opo ora seh?!” (woi sialan!bisa naik motor gak sih?) Umpat Aris pada orang itu. Lalu orang itu berhenti dan melepas helm nya. Ternyata dia adalah Rio!
“Ooo...Asu! Tak kiro sopo” (Ooo...Anj*ng! Kukira siapa!) Kataku padanya.
“Maaf yoo, keburu balik aku. Abis dari mana?” Tanya Rio mendekati kami.
“Abis dari sana, maen maen aja.” Jawabku spontan.
“Yawes, aku duluan yo rek” Ucapnya sambil kembali ke motornya.
Kenapa yah Rio kok kelihatan tergesa gesa gitu?...
sambil ngerjain deadline kantor nih..
Mention ya klo update.