It looks like you're new here. If you want to get involved, click one of these buttons!
Copyright 2021 Queer Indonesia Archive. See our Privacy Policy. Contact us at [email protected]
Dengan menggunakan situs ini berarti Anda setuju dengan Aturan Pakai.
BoyzForum.com adalah situs anti pedofilia!
Comments
Di pagi itu, terdengar suara bel berbunyi, dan langkah kaki anak-anak berlarian menuju gerbang sekolah.
Begitu juga aku, yang tak sadar dengan waktu yang terus berjalan.
"Rizki, ndang tangi!wes awan iki!gak sekolah tah?!" (rizki, cepat bangun!udah siang,gak sekolah kamu?!) bentak pakdhe sambil menggedor-gedor pintu kamarku.
Aku segera bangun dari tidurku, dan segera bergegas.
"Coba aja aku gak begadang semalam buat nonton film itu, pasti gak telat kaya gini."gumam ku. "Aku berangkat pakdhe!" Aku berlari sembari membuka pagar rumahku.
Namaku Rizki, saat ini aku kelas 2 SMA. Yah, aku merasa bahwa ada yang salah pada diriku. Aku memang suka dengan wanita, tetapi ketertarikanku kepada lelaki lebih dominan. Mungkin mulai dari kecil aku sudah merasa seperti itu, karena kurangnya kasih sayang sari orang tuaku(mungkin). Ibu ku meninggal saat melahirkanku, dan ayahku adalah seorang tentara. Aku tinggal bersama pakdhe ku. Rumahku tidak jauh dari sekolah, jadi aku terbiasa santai saat berangkat. Jam tanganku menunjukkan pukul 7.05.
"Asuuu...jam piro iki?!"(anj*ng...jam berapa ini?!) ucapku dengan nafas tersengal. Aku terlalu fokus pada jam dan tak memperhatikan jalan.
"Awaas!"
Bruakk!! Tubuhku terpental beberapa meter sampai tanganku terbentur pinggiran jalan.
Untungnya hanya tergores sedikit dan tenagaku masih kuat untuk bangkit.
"Matamu dek endi seh cok jancok!" (matamu di mana sialan!) sontak aku bangun danenpleh padanya.
Kulihat orang itu terduduk di tengah jalan dan terlihat darah di lutut celana abu abunya.
Serta motornya sudah tersungkur di sebelahnya.
"Maaf, aku nggak liat kamu nyabrang tadi" ucapnya tersengal dengan medhok nya.
Akupun membantunya berdiri dan berpikir, memang semua ini salahku menyeberang jalan tidak melihat kanan kiri serta mengangkat motornya. Kulihat goresan dan cat yang terkelupas di body motornya. Aku tahu ini adalah motor sport yang sangat keren dan mahal, dan aku berpikir bagaimana cara aku membayar ganti rugi atas semua ini kalau memang semua salahku. Kembali aku menegok jam tanganku, dan wakti menunjukkan pukul 7.15. Aku menelan ludah dan bergegas pergi ke sekolah.
"Nanti siang kita ketemu disini lagi, aku udah telat ini, maaf." Aku meninggalkannya dengan berlari terpincang pincang.
Gerbang sekolah tertutup rapat, dan guru tatib sudah ada dibalik gerbang itu. Aku menelan ludah, karena hanya aku yang telat saat ini. Hari ini memang sial, aku benar benar benci hari ini. Pintu gerbang pun dibuka, aku masuk dengan kepala tertunduk. Guru tatib ku tersenyum bengis mempersilahkan aku masuk kedalam sekolah.
Aku tak tahu lagi apa yang akan terjadi nanti, aku pasrah dengan semua ini. Guru tatib menggandengku menuju ruang tatib. Dari jauh terdrngar suara motor yang berhenti di depan gerbang sekolah. Biarkan saja lah.
Setibanya disana, kami berdua masuk dan pintunya ditutup olehnya. Namanya pak Sugiono.
"Riz,aku bosen ndelok dapuranmu telatan, ngopo seh sakjane? Bosen sekolah?"(riz,saya bosan melihat kamu telat terus, kenapa sih sebenarnya?bosan sekolah?) ucap guruku.
Aku hanya bisa terdiam saja, dan menulis namaku pada buku tatib yang hampir penuh dengan nama dan tanda tangan orang tua ku. Tangannya menyentuh pipiku, dan turun ke dagu ku.
"Delok aku, riz." (lihat saya riz) beliau angkat daguku dan menghadapkan pada mukanya yang tegas dan seram itu.
Wajahnya mendekati wajahku, nafasnya tercium jelas dan dekat, dan cukuran jambangnya menggesek pipiku. Dia mengendus endus pipiku,turun ke leher dan memutar. Badanku sudah setengah lemas, tetapi di satu sisi ada bagian yang tiba-tiba memberontak. Uh, sial kenapa berdiri ini. gumamku.
Wajahnya yang terlihat sedikit tua dan sangat gagah itu membius diriku. Tampangnya yang garang, rambutnya yang cepak membuatnya terlihat sempurna. Yang kutahu dia adalah teman ayahku, tetapi aku kurang tahu juga apakah dia pensiun dari pekerjaannya dulu sebagai tentara, sama seperti ayahku.
Aku benar benar tidak tahan dengan perlakuannya itu. Aku takut apa yang akan terjadi nantinya.
"Riz, aku pengen kowe mengko balik sekolah nang omahku. Iso kan?" (tiz,saya ingin kamu nanti setelah pulang sekolah kerumah saya, bisa kan?)Bisiknya.
Aku hanya mengangguk. Seluruh badanku tidak mau diajak kompromi. Tangannya turun kebawah, dan mengarah ke perutku, dan semakin ke bawah.
"Bagaimana riz?" ucapnya dekat pada telingaku.
"SS..SIAAP..P.PAK!" jawabku keras dan sedikit tersengal. Sontak ia lepaskan sentuhan mautnya itu.
"Bagus, saiki balik nang kelas."(bagus,sekarang kembali ke kelas) ucapnya.
Aku pun bergegas kembali ke kelas, dan berpikir kenapa hari ini begitu sial dan aneh, tiba tiba saja pak tatib seperti itu dan tidak biasanya, apakah dia mengerti jika aku seperti ini? Apakah dia juga seperti itu?
Terdengar kebisingan dari kelas, dan saat itu guru belum memasuki beberapa kelas, termasuk kelasku.
"Weh, si raja ngaret wes teko. Turu ae kerjoane!" (weh,si raja ngaret udah dateng. tidur aja kerjaannya!) sahut teman temanku. Aku sudah terbiasa dengan sebutan itu, dan tidak juga merasa kalau itu jadi masalah, yang penting teman teman mengenalku.
"Ngopo awakmu riz?kok rusuh kabeh sragammu?Mari lugur tah?" (kamu kenapa riz?kok kotor seragam mu?abis jatuh ya?) ucap teman sbangku ku.
Namanya Aris, dia adalah temanku mulai kecil, tetapi rumah kami tidak berdekatan. Sekitar 3km dari rumahku. Kulitnya sawo matang, tinggi, dan manis. Tetapi aku tidak pernah macam macam dengannya, bahkan dia tidak tahu kalau aku seperti itu.
"Iyo ris, biasa. Keplayon" (iya ris, biasa.lari lari) jawabku sambil mengeluarkan buku pelajaran.
"Pancet ae kon iku riz riz" (tetep aja kamu itu riz riz) iya tersenyum. Suasana pun kemudian terdiam, saat guru masuk kelas ku. Semua berdiri dan mengucapkan salam.
"Murid murid, saat ini kelas kita ada anak baru, dia pindahan dari semarang. Baik baik dengan dia ya." ucap guru ku sembari memanggilnya.
Dia berjalan pincang dan tertatih saat memasuki kelas. Aku melotot, dan kaget melihatnya,badanku otomatis reflek dan terdorong kebelakang. Seluruh murid pun kaget melihatku. Dia adalah anak yang tadi menabrakku.
"K..kk..koen.." Ucapku tersengal sambil menunjuknya.
"Kowe ?" balasnya kaget.
Ini memang benar benar hari sialku.
*koen,kowe : kamu
baru nulis cerita jadi berantakan
bahasanya jawa timuran campur tengah, jadi sedikit menambah translatenya juga
kayaknya bakal seru, lanjuutt ya^^/
Aku kaget sekali, badanku serasa lemas lagi dan sedikit demi sedikit keringat dingin mulai menetes. Murid yang lain terheran melihat tingkahku, melihatku dengan tatapan yang aneh juga.
"Ngopo riz?" Bisik Aris.
"Aku rapopo ris" Balasku sambil membungkukkan muka ku.
"Ehem..udah,cepat perkenalannya, durasi." ucap guruku memecah keheningan.
Semua murid kembali fokus pada anak itu.
Aku hanya bisa tertunduk malu dan jantungku berdetak kencang. Jangan sampai nanti dia marah untuk kejadian tadi pagi.
"Nama saya Satrio Kusumah Pradana, saya dari magelang,dari sekolah X......" Aku tidak memperhatikannya, yang kudengar adalah suara paraunya.
Perlahan ku bangun dan melihatnya. Suaranya benar benar jantan, sampai merinding aku mendengarnya. Postur tubuhnya yang tegap dan tinggi serta wajahnya yang menurutku lumayan lah, menjadi perhatian para gadis gadis. Aku hanya bisa berdiam diri dan menerima semua yang telah dan yang akan terjadi nanti nya. Secara jelas, dia lebih besar dan tinggi dariku, karena aku pendek dan...aaargh...sial...kenapa hari ini jadi sangat sial?! Gumamku dalam hati.
"Satrio, kamu duduk di bangku itu dengan Fadli" Ucap guruku sambil menunjuk kearahku.
Asuuu...kenapa duduknya mesti di depanku. Jantungku serasa mau copot, keringat mulai bercucuran dari telapak tanganku, Aris melihatku bingung. Dia berjalan kemari, dengan setengah pincang, dan aku tertunduk malu lagi.
Aku tak berani melihatnya, mukaku kecut dan tidak tahu harus bagaimana. Dia langsung duduk dan tidak menghirukan keberadaanku. Fadli memulai percakapan dengannya, menanyakan luka di lututnya begitu juga yang lain, membuat suara kecil dalam kelas.
Aku diam saja dan mengambil buku dari tas ku, membayangkan ini semua hanyalah mimpi atau semacamnya. Guruku mulai berdehem membuat mulut semuanya tertutup rapat, dan pelajaran pun di mulai.
Bel istirahat pun berbunyi, semua berdiri dan mengucap salam pada guru yang perlahan meninggalkan kelas kami. Semuanya berbondong bondong menuju meja Satrio, dan mulai membuat kebisingan yang tidak pentong untuk di dengar. Akupun bergegas pergi dari kerumunan itu, dan keluar dari kelas.
"Riz,ntenono!" (riz, tunggu!) sahut Aris langsung berlari mengikutiku.
Aku berjalan menuju kantin dengan muka tertunduk, tak tahu harus berbuat apa. Tiba tiba seseorang menarik tanganku.
"He, riz! ngopo seh koen iki? Koyo mari ndelok setan ae!"
Ternyata Aris yang menarik tanganku.
"Rapopo ris..ora penak awak wae.." (aku gak kenapa kenapa ris, gak enak badan aja)jawabku lemas.
Sesampainya di kantin aku tetap termenung, tak ada nafsu untuk makan ataupun melepas dahagaku.
Plakk!! Aris menyentil hidungku, sakit sekali.
"Cok!!Ta*k...lapo seh?" (sialan, ngapain sih?) Aku terbangun dari lamunanku.
"Makane gausah ngelamun, cerito wae tah" (makanya jangan melamun,cerita aja)Jawabnya tertawa.
Aku menceritakan padanya tentang kejadian tadi pagi, hanya dialah sahabat dan orang yang kupercaya dari dulu, meskipun aku tidak ingin memberitahukan tentang kelainanku.
"Oalah, ngono tah. Biasa wae lah, yo mengko tak kancani njaluk sepuro nang areke." (oalah,ternyata begitu. Biasa ajalah, ya nanti aku temani meminta maaf padanya) Ucapnya sambil membawa makanan dan minuman.
Akhirnya kami memilih untuk makan meskipun aku tidak begitu berselera. Kemudian dia datang, dengan beberapa teman sekelasku. Mereka adalah anak anak yang bisa disebut berandalan atau apalah, anak metal,anak motor, terserahlah. Dia cepat beradaptasi dengan mereka, suatu hal yang sedikit membuatku tercengang. Aku kembali fokus ke makananku, dan ingin cepat cepat semuanya selesai. Aku meliriknya, dan dia menoleh padaku, spontan aku reflek dan menundukkan kepalaku lagi. Aris melihatku dengan tatapan datar.
Tak lama kemudian, bel masuk pun berbunyi. Aku dan Aris kembali ke kelas, Aris merangku pundakku.
"Santai wae riz, ono aku." (santai aja riz,ada aku) ucapnya. Aku tersenyum kecil dan berjalan terus.
Saat pelajaran dimulai, dia menjadi fokus utama para murid lain dan guru. Dia pintar dan aku tidak tahu mengapa rasanya sedikit sakit dihati. Memang, aku sedikit iri dengannya,karena aku terbiasa dipanggil guru untuk mengerjakan soal soal yang diterangkan, bukan karena aku sombong tetapi rasanya...nyesek!
Bel pulang sekolahpun berbunyi, semua telah bersiap untuk pulang dan meninggalkan kelas. Sedangkan aku, hanya duduk diam termenung menanti tuhan memanggilku. Plakk! Aris membuatku kaget dengan menepuk pundakku.
"Ayo mulih, tak terno nang areke sisan." (ayo pulang,kuantar pada dia juga) Aris mengajakku. Aku melihat Satrio jalan keluar kelas, dan aku mulai bangkit kembali. Kami bertemu di tempat parkir motor sekolah. Aris mendorongku kearah Satrio yang sedang
mengambil helmnya.
"Ehm....ss..sat..." jantungku berdetak tidak aturan.
"Ya? Oh yang tadi, gimana tanganmu?Kakimu? gak kenapa kenapa kan?" Sahutnya saat menoleh padaku.
Aku terdiam dan bingung, kukira dia akan marah padaku sejak kejadian tadi pagi dan tidak menghiraukannya.
"Maaf ya, aku tadi juga tergesa gesa. Gak sempat lihat jalanan, langsung main ngebut aja." ucapnya tersenyum.
Tiba tiba mukaku memerah, perasaanku benar benar kacau. Dia sangat lembut dan manis seperti ini, jantungku berdetak lagi.
"I..iya..gakpapa..Aku yang seharusnya minta maaf soal tadi" balasku.
"Aku Satrio, panggil aja Rio. Namamu?" Dia mengulurkan tangan padaku.
"Aku Riz...." Tak sempat membalas salamnya, anak berandal datang dan berbicara padanya. Akupun mundur dan kembali ke tempat Aris.
"Piye? wes mari?"(gimana?udah selesai?) Tanya Aris yang sedang mengeluarkan motornya.
"wes ris, ayo balik." Jawabku sembari naik ke motornya. Aris menarik gas motornya dan memboncengku pulang.
"Riz, sido opo ora nang warnet?" (riz,jadi atau tidak ke warnetnya?) Tanya Aris saat memboncengku.
"Iyo ris, balik disek tapi yo." (jadi ris, tapi pulang dulu ya) jawabku.
Aku berencana untuk bermain game online dengannya sepulang sekolah. Setelah aku pulang dan ganti baju, Aris menjemputku. Dia menunggu di depan rumahku. Saat ku keluar dari rumah, aku melihat Satrio yang sedang menaiki motornya, sedikit pelan, bahkan lebih pelan.
"Hoi, ketemu lagi. Rumahmu disini ya?" Satrio memanggilku dan berhenti. Dia turun dari motornya dan berjalan menuju arahku. "Namamu siapa tadi?" Tanya Rio. "Rizki, rumahmu dimana?" Jawabku mengulurkan tangan. Kami pun berjabat tangan. "Gak begitu jauh sih, mau kemana nih? Oh iya, aku Satrio" Rio mengulurkan tangan pada Aris. "Aku Aris" Jawabnya sedikit ketus.
"Mau ke warnet nih, mau ikut?" Jawabku spontan.
"Boleh, aku juga lagi males dirumah." Sahutnya.
Aku dan Aris bergegas pergi, diikuti Rio. Sepanjang perjalanan Aris diam dan tidak mengatakan sepatah katapun, tidak seperti tadi. Aku menoleh ke belakang, melihat Rio. Tak tahu mengapa mulai tumbuh perasaan suka kepadanya, padahal tadi...sudahlah..
@respati_kasih hehe..dikit, tapi lebih ke arah Malangan..
Sesampainya di warnet, kami langsung menuju meja yang biasa kami tempati. Rio bingung memilih meja yang mana. Aku menyarankannya untuk meja disebelahku, karena peripheralnya lumayan bagus.
"Biasanya kamu main apa Rio?" Tanyaku sambil menghidupkan PC.
"Bisa DoTA an gak ?" Sahut Aris.
"Bisa lah, ngapain ikut kalo gak bisa. Hahaha.." Jawabnya tertawa.
Kamipun mulai bermain bersama, dan tak terasa sudah 2 jam kami bermain. Selain DoTA, aku juga bermain game online yang lain, bertema MMORPG. Dan tak kusangka, saat melihat karakter milik Aris, terdapat equip yang sangat bagus dan langka.
"Wih, ngono yo saiki, duwe drop-drop an boss meneng wae." (Wih,gitu ya sekarang, punya item drop boss diem aja) Ejekku
"Bah, charmu yo ora dadi wae kok" (Biarin, charmu jelek juga kok) Aris mengejekku.
"Hahaha...aku juga maen itu, bentar." Sahut Rio.
Setelah dia login, aku melihat karakternya yang sudah melampaui milikku, bahkan sangat keren. Dia menunjukkan semua item keren padaku, dan memberiku beberapa darinya, senang sekali.
Tak lama, terdengar suara adzan maghrib, kami pun bersiap untuk pulang.
"Makasih ya Rizki, Aris. Aku balik dulu." Ucap Rio dan langsung menarik gasnya.
Aku hanya tersenyum dan senang melihatnya senang, tak tahu mengapa hari ini aku menjadi seperti ini, melupakan hal yang terjadi tadi pagi. Tapi, aku teringat sesuatu, tadi pagi guru tatib memintaku untuk datang ke rumahnya sepulang sekolah.
"JANC*K! Aku lali!" (sial!aku lupa!) Sontak aku kaget dan bergegas pulang. Akhirnya kami kembali kerumah.
"Ngopo kok kesusu? Selak metu tah?" (kenapa kok tergesa gesa? Mau pergi kah?) Tanya Aris sesampai di depan rumahku.
"Seng mau ris, pak tatib. Haduh piye iki?" (yang tadi ris, pak tatib. Haduh, gimana ini?) Jawabku bingung.
"Yawes, mene wae isuk njaluk sepuro maneh." (Ya sudah, besok pagi minta maaf lagi) Ucap Aris sedikit cuek.
"Ngopo koe ris kok koyo gak semangat ngono?" (Kenapa kamu ris kok kelihatan gak semangat gitu?) Tanyaku penasaran.
"Rapopo riz, rapopo." Aku balik sek. (gapapa ris,gapapa. Aku balik dulu.) Jawabnya dan langsung pulang.
Perasaan baru saja hatiku lega dan tenang, tapi mengapa kembali was was lagi, sial. Badan ku kembali tidak bertenaga dan segera masuk kedalam rumah.
Aku langsung berlari menuju sekolah agar tidak telat lagi. Bim bim! Terdengar suara klakson motor dibelakangku. Aku menoleh dan betapa bahagianya aku bisa melihatnya lagi. Pemuda gagah nan tampan ini, Satrio. Ahh...membuat matahari bersinar lebih terang dari biasanya.
"Ayo bareng." Ajak Rio.
Langsung aku menaiki motornya dan berangkat ke sekolah. Kami berdua terdiam.
"Kakimu udah sembuh?" Tanyaku memecah suasana.
"Oh, udah kok. Luka begini aja kok, udah biasa. Tanganmu udah sembuh?" Jawabnya kembali.
"Aku rapopo." Jawabku singkat dengan nada lucu.
Dia pun tertawa, dan kami bercanda sepanjang jalan, melupakan bahwa aku penyebab motornya yang tergores itu. Tepat di parkiran motor, aku bertemu Aris.
"Lah ris, koen gak sms aku blas wingi. Pulsamu ntek tah?" (Lah ris, kamu nggak sms aku sama sekali kemarin, pulsamu habis kah?) Aku turun dari motor Rio dan menuju kearahnya. Aris melihatku dengan wajah datar, dan ,menjawab seadanya.
"Nggak, males wae. Eh Rio, aku duluan ya." Dia berjalan cepat seperti benci padaku. Aku tidak tahu apa salahku, tapi biarlah, mungkin dia lagi ada masalah.
"Ayo kita ke kelas." Ajak Rio sambil merangkul pundakku.
Wajahku memerah, jantungku kembali berdetak kencang, tangannya yang hangat seakan menompa jantungku. Kami pun bergegas menuju kelas.
Bel berbunyi, tanda waktunya dimulai pelajaran. Sepanjang waktu, tak henti hentinya aku melihat Rio, membayangkannya, seakan dia membuatku mabuk cinta. Hahaha, lebay ya? Disamping itu, Aris menjadi sedikit canggung, dan tidak biasanya dia sedikit bicara, ada aja topik si Aris itu, tetapi hari ini aneh. Saat jam istirahat aku mulai bertanya padanya.
"Ris, koen ono masalah tah? Cerito wae, kok mulai wingi kok koyo ora semangat ngono." (Ris, kamu ada masalah kah? Cerita aja, mulai kemarin kamu seperti gak semangat gitu) Tanyaku.
"Rapopo riz." Jawabnya singkat.
"Genah e?!" (yang benar?!) tegasku.
"Aku sariawan riz, hehehehe" Jawabnya dengan senyum yang kecil.
"Janc*k! Tak kiro ngopo, asu ancen arek iki." (Sialan, ku kira kenapa, anj*ng bener anak ini) Jawabku tertawa lega.
Kami tertawa melihat Aris seperti itu, kasihan sekali dia, senyumnya kecil. Rio mengajak kami ke kantin untuk membeli makanan, dan akhirnya kami bertiga bersama sama saling bercerita satu sama lain. Aku senang sekali.