BoyzForum! BoyzForum! - forum gay Indonesia www.boyzforum.com

Howdy, Stranger!

It looks like you're new here. If you want to get involved, click one of these buttons!

Selamat datang di situs Boyzforum yang diarsipkan oleh Queer Indonesia Archive. Forum untuk komunitas gay Indonesia yang populer ini didirikan pada tahun 2003, dan ditutup pada tanggal 15 Desember 2020.

Forum ini diabadikan untuk kepentingan sejarah. Tidak akan ada konten baru di forum ini. Silakan menikmati forum ini sebagai potongan dari sejarah queer Indonesia.

Sepanjang Hidupku

15859616364

Comments

  • keren deh ceritanya
    mention me ya ..makasi
  • Mohon maaf kelanjutan cerita ini belum dapat kuposting. Sudah 3 hari ini aku sakit demam. Tapi sebagai gantinya, boleh kan aku memposting cerita selingan di sini? Cerita kehidupanku yang lain... Kuharap kalian semua menyukainya :)
  • edited August 2014
    Sepucuk Surat dari Zuki

    A real short story between him and me


    Lama nian aku tidak membuka kotak masuk email pada ponsel androidku. Biasanya dua hari sekali aku merefresh untuk memeriksa apakah ada surat yang masuk atau tidak. Mungkin cukup banyak notifikasi yang masuk di sana. Sejak aku menonaktifkan fungsi update otomatis di pengaturan, kesibukan ponsel androidku sedikit berkurang. LINE, WeChat, Facebook, Nimbuzz, Kakao Talk, BBM, WhatsApp, GTalk, Google Plus, PicsArt, Instagram, Flipboard, WordPress, YouTube, semua pembaharuan diberitahukan melalui email. Jarang sekali ada teman yang mengirimiku surat melalui email betapapun jauhnya jarak di antara kami, sampai akhirnya perhatianku teralihkan pada sebuah email yang selama ini kuabaikan. Sudah genap satu minggu email itu tersisihkan dalam inbox Gmailku. Bukan tanpa sebab aku enggan membacanya, “Palingan hanya percakapan biasa,” pikirku saat pertama kali melihat nama pengirimnya. Tapi entah mengapa kali ini tergugah rasa hatiku untuk membacanya meskipun mungkin isinya hanya obrolan yang tidak terlalu penting yang selama ini sering sekali kami lakukan.

    Baris demi baris mulai kubaca dengan ekspresi biasa saja, namun memasuki baris-baris selanjutnya sukses membuat otot mataku mengencang. Hatiku berdesir tatkala membacanya. Betapa panjang surat yang telah diketiknya untukku.

    ===============G===============

    Zuki D…. -28 july
    kepada sugih.sagitarius

    Untuk Bapak yang kusayang,
    Selamat hari raya idul fitri ya, Pak. Mohon maafkan aku kalau selama ini sering menyusahkan Bapak. Aku tahu begitu banyak kesalahan yang telah kuperbuat terhadap Bapak selama ini. Termasuk memaksakan perasaan Bapak kepadaku. Aku memang tidak tahu diri dan sering bersikap egois, untuk itu kiranya Bapak sudi memaafkanku.

    Meski Bapak tidak pernah menanggapi perasaanku selama ini, aku sangat bersyukur bisa dekat dengan Bapak. Berkat Bapak aku menemukan jati diriku yang sebenarnya. Jati diri yang selama ini terselubung dalam jiwaku, yang tak pernah bisa kuterima dengan hati yang terbuka.

    Baru beberapa minggu aku tinggal di Jakarta mengikuti saran Bapak, rasanya aku tidak betah. Aku ingin kembali ke Kalimantan menjadi orang kampung seperti biasanya. Aku rindu kita mandi di sungai bersama dulu, aku rindu kita berkemah bersama, aku rindu menyandau buah di hutan bersama, aku rindu mengikuti lomba telling story, pidato, dan debat Bahasa Inggris, aku juga rindu kata-kata Bapak yang selalu memotivasiku meskipun kita selalu tampil di kubu yang berlawanan. Mengapa Bapak selalu peduli padaku hingga aku menyalahartikan perhatian yang Bapak berikan padaku? Padahal aku yakin Bapak pun memiliki perasaan yang sama padaku. Aku ganteng kan Pak? Aku sudah mirip Irwansyah kan Pak, idola Bapak itu? Aku sekarang sudah menjadi artis Pak. Meskipun belum populer. Tapi aku yakin suatu saat nanti aku pasti akan menjadi artis terkenal yang dikagumi Bapak. Saat masa itu tiba nanti, mungkin perasaanku kepada Bapak sudah pupus terkubur dalam-dalam di relung hatiku yang kelam.

    Aku sudah membaca cerita-cerita Bapak di Boyzforum. Aku sangat terkejut kehidupan Bapak selama ini penuh warna. Beruntung sekali Mas Ary pernah menjadi pacar Bapak waktu SMP dulu. Terus terang aku jealous! Aku jealous, sangat jealous Pak! Seandainya saja Bapak mau menerimaku sebagai pacar Bapak yang terakhir. Aku akan sangat bahagia dan merasakan jati diriku seutuhnya. Aku semakin kagum pada Bapak dan juga Mas Ary, kalian berdua berani mengungkapkan perasaan masing-masing di usia yang begitu muda. Sedangkan aku, hanya bisa menjadi pengecut selamanya.

    Aku jadi teringat saat aku melihat Bapak pertama kalinya 7 tahun yang lalu. Waktu itu aku masih kelas 6 SD. Aku melihat penampilan Bapak di atas panggung lapangan KODIM yang begitu megah. Bapak menjadi salah satu finalis duta pariwisata tingkat kabupaten. Aku benar-benar terpukau melihat penampilan Bapak memperagakan busana-busana Melayu dan Dayak kabupaten kita, ditambah lagi saat menyaksikan Bapak menjawab soal-soal yang diberikan oleh juri. Aku sangat kaget karena melihat Bapak menjawabnya dalam beberapa bahasa secara bergantian mulai dari Bahasa Inggris, Jepang, Korea, Mandarin, sampai Italia. Sumpah aku pikir Bapak alien! Di pedalaman Kalimantan ada seorang laki-laki yang sangat pandai banyak bahasa, sangat jarang bisa kutemui mungkin satu di antara seribu. Sejak saat itu aku bercita-cita ingin bisa seperti Bapak.

    Aku tak pernah menduga kalau sejak saat itu kita akan berjodoh. Pertemuan kita selanjutnya adalah saat aku pertama kalinya mengikuti lomba telling story Bahasa Ingggris tingkat SMP sekabupaten. Aku benar-benar grogi karena melihat Bapak mendampingi seorang anak berseragam SMP sepertiku. Aku pikir anak itu adik Bapak atau keponakan Bapak, walaupun kuakui wajah kalian tidak mirip. Dan aku semakin grogi begitu tahu kalau Bapak adalah guru Bahasa Inggris sekaligus guru pendamping anak itu. Aku semakin minder dan terbukti kalau pada akhirnya aku kalah, aku bahkan tidak mendapatkan peringkat 3 besar. Di tengah kekecewaanku karena kekalahanku, Bapak datang menghampiriku setelah kontes itu bubar dan memberiku semangat. Tanpa sadar sejak saat itulah diam-diam aku semakin mengagumi Bapak. Sampai kontes yang kedua kalinya pun aku masih kalah dan Bapak kembali tersenyum menyemangatiku. Senyum itulah yang selalu kuingat sampai akhirnya aku berhasil masuk jajaran 3 besar dalam lomba pidato Bahasa Inggris pada pertemuan kita yang ke-4 kalinya meskipun aku tak berhasil mengalahkan siswa bimbingan Bapak yang selalu Bapak bangga-banggakan itu. Aku cukup puas kok.

    Aku sangat mendukung usulan para pembaca Boyzforum yang meminta agar cerita Scout Trainer dan Pembalasan Markonah dipos ulang di sana. Apalagi cerita tentang si Zaky. Anak itu benar-benar ada kan? Kenapa Bapak tidak pernah menceritakan tentang dia? Aku hanya tahu fotonya yang sering Bapak jadikan wallpaper di hp Bapak. Menurutku dia sama sekali tidak mirip Irwansyah. Justru akulah yang mirip Irwansyah. Tanpa sadar selama ini aku terobsesi menjadi seperti Zaky. Aku pikir bila aku mengikuti semua gayanya, perasaan Bapak akan berpaling padaku. Ternyata aku salah. Sukses selalu untuk cerita-cerita Bapak ya. Walau aku tak pernah mengomentari cerita-cerita Bapak, aku selalu menyukai semua yang Bapak tulis. Apalagi kalau Bapak menulis ‘I LOVE YOU, ZUKI!’ hee… ngarep!

    Menyesal dulu aku tidak mendaftar sekolah ke SMANSA RIAM. Aku pikir Bapak tidak mengajar di sana. Eh, malah Bapak termasuk guru senior di sana. Mengajar Sastra Jepang dan Inggris pula. Malahan Bapak aktif membina PRAMUKA. Keputusanku masuk SMK salah besar, aku pikir tadinya lulus SMK bakal langsung kerja, jadi aku tidak mendaftar ke SMA. Aku bahkan sangat kaget waktu mendengar cerita teman-temanku yang bersekolah di SMANSA RIAM. Katanya Bapak mengundurkan diri dari SMA. Teman-temanku itu sangat kecewa dan merasa sangat kehilangan Bapak. Sebenarnya apa yang membuat Bapak berhenti mengajar di sana? Apa karena kepala sekolah di sana juga sama seperti kita? Dia tidak pernah menggoda Bapak seperti cerita Scout Trainer yang Bapak buat kan? Atau karena Bapak sibuk dengan bimbel yang Bapak buka di rumah? Bapak sibuk banget ya, sampai membalas pesan di fbku pun tak pernah. WeChat, LINE, bahkan BBM-ku pun tak pernah Bapak gubris. Bapak sombong! Awas saja nanti kalau aku sudah menjadi artis terkenal, aku akan pura-pura tak kenal Bapak. Biar Bapak tahu rasa kaya apa rasanya dicuekin.

    Aku tahu emailku ini tidak akan Bapak tanggapi. Paling-paling pas Bapak baca emailku ini emailnya sudah lumutan di inbox hp Bapak. Tapi kalau seandainya Bapak sempat membacanya, please tolong diposting di Boyzforum ya! Terserah mau dibikin cerpen atau apa, dipasang di cerita hidup Bapak yang judulnya ‘Sepanjang Hidupku’ juga boleh. Aku pasti bakal ketawa ngakak baca tulisanku sendiri. Mau pasang fotoku juga boleh, asalkan jangan kasih tahu pembaca alamat emailku ini. Mereka pasti bakal jadi paparazzi yang ngejar-ngejar idolanya. Whuahahaha…. :D

    Love you Mr. Prince,

    Zuki D.
    ===============G===============

    Aku tersenyum membaca surat elektronik yang begitu panjang ini. Hatiku tergelitik mengingat semua kenanganku bersama Zuki. Kuamati gaya tulisan dan kata-kata yang dipakainya sangat mirip dengan gaya tulisanku dalam bercerita. Bahkan panjang suratnya inipun tampak sekali kalau ia ingin menyaingi panjangnya tulisanku. Hmm, dia memang suka meniru apa yang kuperbuat.

    “Hey, Zuki…. Puas kau tulisanmu Bapak muat?”

    Aku terhenyak melamunkan pertemuan-pertemuan pertama kami dulu. Wajah polos penuh kekaguman yang membuatku tersenyum-senyum sendiri. Pembaca ingin tahu flashback yang pernah kami alami? Mari ikuti kilas balik yang akan kututurkan di sini…

    Borneo, April 2007

    Aku baru saja dinobatkan sebagai duta pariwisata kabupaten oleh Bapak Bupati setelah memenangkan kontes ini beberapa saat lalu. Umurku genap 21 tahun. Bersama Fatimah yang menjadi pasanganku kami akan dikirim mengikuti kontes serupa di tingkat yang lebih bergengsi, yaitu kontes Putra-Putri Pariwisata Tingkat Provinsi. Ah, aku sama sekali tidak menduga di tengah penyakit yang sedang menggerogoti tubuhku aku berhasil menyabet gelar sang juara. Rombongan kepala sekolah pimpinanku tampak menari-nari di tengah lapangan bersama murid-murid SMA yang tak pernah berhenti memberiku dukungan agar aku tetap dapat tampil prima di hadapan ribuan penonton yang begitu membludaknya. Mereka turut bergembira menyambut kemenanganku.

    Ya, sejak aku lulus SMA pada tahun 2004 aku hijrah ke Kalimantan. Awalnya aku berniat hanya ingin mengunjungi Bibi Ridha yang sudah sangat lama tidak kujumpai, ternyata akhirnya aku malah tertanam di pulau ini, membuka sebuah usaha bimbingan belajar sambil membantu beberapa sekolah sebagai staf pengajar. Lucu kan tamatan SMA sudah menjadi guru? Ya, pamanku Mang Dicky suami Bibi Ridha menggembar-gemborkan tentangku kepada warga sekampung bahwa aku keponakannya yang berasal dari Bogor. Kalian tahu, orang Dayak sekampung tempat Bibi Ridha tinggal sangat mengelu-elukan Suku Sunda. Di mata mereka, Suku Sunda adalah suku yang perfect tiada duanya. Aku sangat diterima oleh mereka dan disambut dengan upacara adat khas Dayak pedalaman Kalimantan. Amazing bukan? Mang Dicky bahkan bersikap berlebihan membangga-banggakan aku sebagai keponakannya yang pandai beberapa bahasa asing, terlebih aku adalah mantan penyiar radio terkemuka di Indonesia. Semua warga di kampung tempat tinggal Bibi Ridha sangat segan dan bangga padaku hanya karena mereka beranggapan jarang ada orang pintar yang mau tinggal di kampung.

    Kembali ke belakang panggung tempat di mana aku berdiri seusai acara penobatanku sebagai juara duta pariwisata tingkat kabupaten, seorang bocah ABG tampak mondar-mandir tidak jauh dariku. Dia kelihatan sangat ragu dan gelisah. Tangannya menarik-narik lengan seorang bapak yang kusangka ayahnya.

    "Maaf Dek, keponakan saya mau minta foto bareng katanya. Boleh tidak?" Ucap bapak itu sangat sopan.

    Kusunggingkan senyumku kepada dua orang itu. "Boleh, mau di mana Pak berfotonya?" Tukasku ramah.

    "Nah, di situ!"Tunjuk si bocah tadi.

    Kami menghampiri tirai dekorasi penghias pentas.

    Paman si bocah menjepretkan ponselnya beberapa kali.

    "Terima kasih ya, Bang!" Kata anak itu seraya mengambil ponselnya dari tangan omnya.

    "Tunggu, nama Ading siapa?" Tanyaku hangat bersahaja sedikit membungkuk menyamai tinggi badannya.

    #Ading : Adik.

    "Zaki, Bang!" Ucapnya sambil berlalu.

    "Kami dari Desa Permata, tidak jauh dari desa Adek tinggal! Adek tinggal di Desa Baja KK3 kan?" Ucap bapak tadi setengah mengejutkanku.

    Aku mengangguk tanpa berhenti tersenyum. Sebagai duta pariwisata yang baik tentu aku harus bersikap ramah kan?

    "Oya, selamat ya Dek. Tadi penampilan Adek bagus sekali, keponakan saya sampai terpukau melihatnya. Dia bilang, dia ingin bisa seperti Adek. Ngomong-ngomong dulu Adek kuliah jurusan sastra asing?"

    Orang Kalimantan memang sangat familiar, tanpa harus berkenalan pun mereka senantiasa bersikap terbuka kepada siapa saja, walaupun kesannya sok kenal sok dekat.

    "Tidak Pak, saya mempelajarinya secara otodidak!" Sahutku merendah.

    "Waw, luar biasa. Hebat sekali, sekian banyak bahasa Adek kuasai hanya dengan otodidak?" Bapak itu berdecak mengagumiku.

    "Iya, Pak!" Kataku lagi.

    "Tuh, Zaki kamu dengar kata Abang ini?" Tunjuk beliau mengarahkan keponakannya.

    "Ding, kalau ada waktu main ke rumah Abang ya! Bilang saja sama warga Desa Baja di mana rumah Bang Ugie, mereka semua kenal sama Abang! Ading boleh kok belajar bahasa asing sama Abang," Kataku mengusap kepala bocah itu.

    Anak itu tak menggubris perkataanku. Di kejauhan tampak seorang panitia acara memintaku untuk berkumpul di tengah pentas guna mengikuti sesi pemotretan bersama Bapak Kepala Dinas Pariwisata dan Perhubungan.

    "Permisi Pak, Ding, sampai berjumpa lagi ya!" Pamitku kepada mereka berdua.

    Bapak setengah baya itupun berbalik berlawanan arah denganku mengajak keponakannya itu berjalan menjauh. Sempat kulihat anak itu beberapa kali menoleh ke arahku dengan tatapan yang tak dapat kuartikan. Ternyata setelah pertemuan perdana kami malam itu, anak itu tak pernah kunjung ke rumah. Akupun sudah melupakannya. Sampai akhirnya tahun demi tahun pun telah berganti.

    Borneo, Oktober 2009

    Hari ini aku ditugaskan oleh Ibu Siti kepala sekolah pimpinanku di SMPN 2 Riam, untuk mendampingi Rahmat siswa bimbinganku mengikuti lomba telling story Bahasa Inggris tingkat kabupaten. Selain mengajar di SMA akupun turut membantu mengajar Bahasa Inggris dan Matematika di SMP. Kebetulan jumlah kelasnya di SMP hanya sedikit, hanya 3 kelas karena baru 3 tahun berdiri, jadi tidak terlalu banyak jumlah jamku mengajar di sana. Kepala sekolah pimpinanku di SMA tidak begitu mempersoalkan aku harus mengajar bolak-balik antara SMPN 2 dan SMAN 1 Riam. Yang penting waktu mengajarnya tidak bentrok.

    Maka pergilah aku mendampingi Rahmat ke kota kabupaten. Kami bermalam di losmen yang telah ditentukan oleh Dinas Pendidikan selaku panitia penyelenggara kegiatan. Saat aku check in menemui resepsionis di lobi losmen, tatapanku bertumbukkan dengan mata seorang anak yang sedang membuka pintu kamarnya.

    "Rasanya pernah lihat, tapi di mana ya?" Pikirku mengingat-ingat.

    Tapi ingatanku tak berhasil kupindai.

    Saat kontes berlangsung, tak hentinya aku memberi motivasi kepada Rahmat agar jangan canggung membawakan dongeng yang akan disampaikannya nanti. Selama 2 minggu berturut-turut aku menculik Rahmat ke rumahku untuk kubimbing telling story Bahasa Inggris. Rahmat dituntut membawakan 2 cerita sekaligus. Aku mengajarinya mendongengkan cerita klasik Malin Kundang sebagai cerita lokal Nusantara, dan Ikuzaku sebagai dongeng internasional dari Jepang. Aku mati-matian melatih rahmat mulai dari olah vokal, gerak bibir, ekspresi muka, akting, sampai pronunciation yang membuatnya kelabakan. Pagi, siang, sore, malam, subuh, Rahmat mendapat perhatian eksklusif dariku. Semua perhatianku tercurahkan hanya untuk Rahmat selama 2 minggu berturut-turut. Beruntung semua itu dibarengi tekad Rahmat yang bersungguh-sungguh mengikuti bimbinganku.

    "Pak, saya minder ada Jessica juara tahun lalu. Katanya Kak Selvina kalah melawan dia tahun lalu!" Ujar Rahmat dengan hati berdebar.

    "Juara tahun lalu belum tentu juara tahun ini, oke?" Kuangkat sebelah alisku meyakinkannya.

    "Tapi Pak... "

    "Eeh, Rahmat bagi Bapak kalah-menang tidak jadi masalah. Pun begitu dengan Bu Siti kepala sekolah kita. Yang penting kamu memiliki pengalaman! Ingat, pengalaman adalah guru terbaik dalam hidup kita! Kamu harus percaya diri ya, Rahmat!" Aku menceramahinya begitu panjang.

    Rahmat mengangguk mengikuti nasihatku. Ia mempersiapkan kostum dan atribut yang akan dipakainya, tak ketinggalan perkakas-perkakas yang dapat mendukungnya membawakan cerita. Tampak olehku anak yang kujumpai tadi di losmen sangat gugup memandang ke arahku.

    Astaga, aku baru ingat. Anak itu ternyata anak yang meminta berfoto bareng denganku di malam penobatanku sebagai duta pariwisata 2 tahun lalu. Pandangan anak itu menelungkup malu-malu tatkala kulemparkan senyum padanya. Kalau tidak salah namanya Zaki! Ya, dia pernah menyebutkan begitu. Namanya adalah Zaki.

    "Pak, nama saya dipanggil!" Seru Rahmat bangkit berdiri.

    "Jangan lupa berdoa dulu, Mat!" Aku mengingatkannya, dan Rahmat pun mengikuti anjuranku.

    Anak yang bernama Zaki itu masih menelungkup gemetar.

    "Pak Amril kan?" Kuhampiri guru yang mendampingi anak itu.

    "Pak Sugih kan?" Beliau balas menebak namaku.

    "Hebat ya, anak bimbingan pian. Kelihatannya mantap tuh!" Pak Amril berdecak memuji.

    #Pian : Anda.

    "Latihannya berapa lama?" Selidik beliau lagi.

    "Cuma 2 minggu," kataku dengan nada biasa-biasa saja.

    "Cuma 2 minggu sudah sehebat itu?" Pak Amril tercengang tak percaya akan kata-kataku.

    Dilihatnya penampilan Rahmat di atas pentas, tampak Rahmat begitu percaya diri menampilkan dongeng Malin Kundang seraya memperagakan segala macam perkakas yang dibawanya. Bahasa Inggris yang dilafalkannya sudah sesuai dengan apa yang telah kuajarkan padanya.

    "Bagaimana dengan persiapan murid Bapak sendiri?" Selorohku menunjuk Zaki dengan ujung tatapanku yang sedikit terayun.

    "Ah, Pak Sugih ini bagaimana sih. Di sekolah kami mana ada guru Bahasa Inggris yang mau melatih lomba seperti ini. Saya kan guru Matematika. Saya di sini cuma mendampinginya, anak ini berlatih sendiri di rumahnya!" Seru Pak Amril tersenyum mengembang.

    "Apa?" Gantian aku yang terperangah.


    Tatapan mata Zaki sempat menoleh padaku sedikit terkejut. Buru-buru aku membungkam mulutku. Zaki mengalihkan perhatiannya melihat aksi panggung Rahmat. Terlihat Rahmat tengah berakting menjelma menjadi batu sesuai kutukan ibunya. Rahmat pandai mengubah suara sesuai tuntutan peran yang harus dibawakannya. Benar-benar presentasi yang sangat menarik. Tidak salah bila aku telah memilihnya sebagai peserta, selain karena sering juara kelas semasa SD-nya, Rahmat pun memiliki fisik yang manis sebagai anak Jawa di SMP tempatku mengajar. Entah mengapa melihat penampilan Rahmat, Zaki menjadi terlihat minder.

    Setelah Rahmat selesai membawakan dongeng Nusantara, pembawa acara menyebutkan nama peserta selanjutnya.

    "Zuki Dhar.... " ucap pembawa acara dengan sangat jelas.

    Zaki kemudian bangkit berdiri.

    "Lho, bukankah nama anak itu Zaki, Pak?" Tanyaku pada Pak Amril.

    "Namanya memang Zuki, Pak Sugih. Tapi bagi dia nama itu terkesan kampungan, maka dari itu dia minta dipanggil Zaki!" Terang Pak Amril.

    "Ooh.. begitu!" Aku mengangguk paham.

    Rahmat menghampiriku,"Bagaimana penampilan saya tadi Pak?"

    "Sangat bagus, saya jamin kamu juara satu!" Pak Amril mendahuluiku.

    "Terima kasih Pak, atas pujiannya!" Rahmat tersenyum senang.
    "Nih, rekamannya. Kamu lihat saja nanti di losmen!" Kuserahkan ponselku pada Rahmat yang biasa dimainkannya selama ia tinggal bersamaku.

    Aku memang sedikit terbuka terhadap muridku. Bagiku selama itu tidak mengganggu privasiku, siapapun boleh membuka ponselku. Toh, aku memang mempunyai ponsel khusus yang tidak boleh disentuh oleh siapapun dan ponsel umum yang boleh dipinjam murid-muridku ketika mereka memerlukannya. Biasanya Rahmat meminjam ponselku untuk menggunakan aplikasi Google Translate, ia kerap menirukan suara native speaker yang terdengar seperti suara robot. Rahmat pun berlatih telling story dari video yang berhasil kuunduh di YouTube. Karena itu bimbinganku terhadap Rahmat benar-benar maksimal. Bagaimana tidak, aku memfasilitasinya dengan segala daya dan upaya.

    "Pak, nanti video saya tak upload ke YouTube ya?" Ujar Rahmat dengan logat Jawanya yang kental.

    Aku mengangguk mempersilakannya.

    "He... Nanti banyak orang yang bakal mendownload videoku kalau mereka mau mengikuti telling story," gumam Rahmat terlebih pada dirinya sendiri.

    Zuki benar-benar terlihat nervous. Berulang kali ia kehabisan kata, blank sejenak dan mengingat-ingat naskah hafalannya. Padahal ia sudah membawa beberapa gambar sebagai metodenya bercerita. Ia mengisahkan tentang asal-usul nama Kota Surabaya. Beruntung dia berhasil mengingat semua hafalannya setelah 5 menit sempat mandeg terdiam. Padahal durasi waktu yang diberikan juri hanya 15 menit lamanya.

    Setelah sesi pertama berakhir, sesi kedua pun digelar. Jessica yang sempat ditakuti Rahmat tampak berhasil membawakan dongeng klasik Cinderella.

    "Ah, terlalu umum!" Komentarku.

    Dan giliran Rahmat naik ke panggung, seluruh dewan juri dan para penonton sangat terkesima menyaksikannya. Tak seorangpun tahu tentang dongeng Ikuzaku yang berhasil dipaparkan Rahmat sesuai arahanku. Rahmat kudandani menjadi pemuda Jepang. Ia memakai kimono yang sengaja kusiapkan untuknya.

    Dikisahkan Ikuzaku hidup di sebuah desa di bawah kaki gunung. Ia hidup miskin hanya berdua dengan ibunya yang sudah tua lagi renta. Konon pada masa itu, Kaisar memerintahkan kepada seluruh penduduk negeri untuk membuang para manula ke atas gunung karena dianggap menyusahkan negara. Dengan hati berat Ikuzaku yang sangat menyayangi ibunya menggendong ibunya di punggungnya mendaki ke atas gunung. Ia sama sekali tidak menyadari kalau ibunya membawa beberapa ranting kayu di selipan pakaiannya. Sepanjang perjalanan menuju ke puncak, ibu Ikuzaku tak henti-hentinya mematahkan ranting dan membuangnya ke tanah. Sampai akhirnya Ikuzaku pun menyadarinya apa yang tengah dilakukan ibunya. "Mengapa Ibu terus mematahkan ranting sepanjang jalan?" Tanya Ikuzaku kepada sang ibu. "Ketahuilah anakku, Ibu sengaja melakukan ini agar kau tidak tersesat saat mencari jalan pulang!" Jawab ibu Ikuzaku. Mendengar hal ini Ikuzaku menurunkan ibunya ke tanah, berlutut dan memeluknya erat seakan tak ingin terpisahkan. "Maafkan aku, maafkan aku Ibu!" Isak Ikuzaku menggendong kembali ibunya dan berbalik turun gunung kembali pulang. Saat kaisar melakukan penggeledahan ke rumah-rumah, tanpa takut sedikitpun Ikuzaku tetap melindungi ibunya. "Katakan padaku, hai anak muda. Mengapa kamu tidak membuang wanita ini ke atas gunung? Dia hanya akan menjadi sampah masyarakat!" Gertak sang kaisar kepada Ikuzaku. "Ampun beribu ampun paduka Yang Mulia, bagi hamba ibu hamba bukanlah sampah negara karena beliau tidak pernah menyusahkan hamba. Justru hamba yang selalu banyak menyusahkan beliau. Tidakkah Yang Mulia ingat, siapa orang yang telah melahirkan Yang Mulia ke dunia? Siapa yang telah menyusui, mengasuh, dan memberi makan Yang Mulia? Bukankah semua jawabannya adalah ibunda Yang Mulia? Maafkan atas kelancangan hamba!"Ucap Ikuzaku tenang dan sopan. Mendengar jawaban Ikuzaku, sang kaisar lalu tertawa terbahak-bahak,"Ketahuilah pemuda cerdas, aku memang sedang mencari pemuda pemberani sepertimu! Sejujurnya ibu bagiku sama seperti negeri ini, ibu pertiwi yang kucintai," ungkap sang kaisar seraya mengelus janggutnya yang panjang. "Pengawal, bawa pemuda ini bersama wanita tua itu ke istana! Akan kujadikan dia penasihat pribadiku!" Perintah kaisar. Alangkah terkejutnya Ikuzaku dan ibunya mendengar hal itu. Sejak saat itu, rakyat di negeri Jepang mulai menghormati para orang tua. Semua manula yang ditinggalkan di atas gunung dikembalikan ke desanya masing-masing. Orang tua dipandang hormat laksana langit yang senantiasa mereka junjung tinggi. Demikianlah arti dongeng Ikuzaku yang dibawakan oleh Rahmat dalam Bahasa Inggris. Banyak sekali pesan moral yang disampaikan oleh Rahmat membuat kepala dewan juri manggut-manggut senang mendengar ceritanya. Di akhir ceritanya Rahmat bernyanyi membawakan lagu Jepang klasik yang telah kuajarkan.


    Sakura... Sakura... yajoino sora wa...
    Izaya... izaya...


    Rahmat pun berdendang seraya menaburkan helaian-helaian bunga bougenville yang dipetiknya di depan losmen tadi pagi seolah itu adalah bunga sakura seperti yang diceritakannya dalam dongeng.

    "Gie, itu jadi kerjaan kamu ya. Jangan lupa bubar acara nanti kamu bereskan bekas kembang yang ditaburkan sama siswa kamu, tuh!" Tegur Bu Susi selaku ketua dewan juri.

    Beliau pernah menjadi juriku saat aku mengikuti kontes duta pariwisata 2007 dulu. Aku terkekeh menyahuti perkataan beliau. Bu Susi pun tersenyum menolehkan pandangan pada peserta yang tampil berikutnya.

    Saat giliran Zuki tiba, ia membawakan cerita tentang Pak Belalang yang pemalas. Zuki tersendat-sendat membawakan ceritanya, padahal gambar yang dibawanya sudah sangat mendukung visualisasi yang dipaparkannya. Ia juga tampak kaku membawakan tarian yang diperagakan Pak Belalang dalam gambar. Zuki kembali blank saat kedua mata kami saling bertatapan satu sama lain. Tuhan, apakah Zuki grogi karena melihatku di ruangan ini? Buru-buru aku keluar dan hanya melihat penampilannya dari jendela. Namun tampaknya Zuki kehilangan sejumlah kosakata yang telah dihafalkannya selama ini. Tiba-tiba saja bagian tengah cerita yang mengisahkan perjuangan Pak Belalang yang mengiba makanan kepada teman-temannya di tengah musim paceklik yang berkepanjangan sengaja diskip langsung menuju akhir cerita yang mana dikisahkan Pak Belalang ditemukan tewas di depan pintu rumah Pak Semut yang enggan berbagi makanan dengannya. Poor Zuki, dia memang membutuhkan guru atau teman yang dapat membimbingnya membawakan cerita.

    Para guru dari sekolah lain menduga-duga kalau Rahmatlah yang akan keluar sebagai juara tahun ini. Dan dugaan mereka ternyata benar, Rahmat memang keluar sebagai pemenang, dan Jessica yang ditakutinya tergeser menjadi runner up. Sementara juara ketiga dimenangkan oleh Asiati peserta dari SMPN 1 Riam, tetangga kami. Dan peserta tersebut masih terbilang muridku, ketika aku mengajar SD.

    "Memang enak kalau ada Pak Ugie di Riam. Saya jadi nggak capek melatih calon peserta yang harus saya didik. Sebab, mereka sudah mendapatkan basic Bahasa Inggris dari Pak Ugie waktu mereka SD!" Tukas Bu Uus rekan sesama guru Bahasa Inggris yang mendampingi sang juara ke-3.

    "Bukan berkat saya saja, Bu. Ibu Uus pun turut berperan membangun karakter mereka sehingga kemampuan mereka dapat terasah dengan baik!" Aku mencoba bijak.

    "Ah, Pak Ugie nih memang selalu merendah! Ini yang dinamakan seperti ilmu padi, semakin berisi semakin merunduk!" Timpal Bu Uus lagi.

    "Ibu bisa saja. Jangan terlalu memuji Bu, karena pujian itu tidak dapat mengenyangkan!" Kataku berkelakar.

    "Nah, supaya bisa mengenyangkan itu artinya Bapak harus mentraktir kami bakso! Kan Rahmat sudah juara satu!" Ternyata kalimatku barusan menjadi umpan balik Bu Uus untuk memintaku traktiran.

    "Ya sudah, selepas ini kita mampir di warung depan ya? Kebetulan di situ warung bakso langganan saya!" Kukabulkan permintaan beliau.

    "Wah, itu juga warung langganan saya, Pak. Ternyata selera kita sama!" Tutur Bu Uus penuh semangat.

    Sepulang mentraktir Bu Uus dan murid-murid kami, aku dan Rahmat kembali ke losmen. Hari sudah petang, dan kami diperkenankan check out esok pagi. Uang saku telah kami peroleh dari Dinas Pendidikan. Lumayan besar untuk kami berdua. Rahmat mendapatkan Rp500.000,00 untuk uang sakunya, plus Rp750.000,00 sebagai uang kejuaraannya. Sedangkan aku hanya mendapat Rp700.000,00 sebagai dana pengganti transportasiku. Belum lagi uang dari Bu Siti kepala sekolah kami yang berjumlah Rp600.000,00 dan kami bagi dua sama rata.

    "Bu, alhamdulillah Rahmat mendapat juara pertama, bulan depan kami maju ke tingkat provinsi!" SMS-ku pada Bu Siti.

    "Syukurlah, pertahankan ya Pak! Tahun depan Rahmat lagi saja yang mengikuti lomba telling story!" Balas Bu Siti cepat.

    "Insya Allah, Bu!" Ketikku membalas pesan beliau.

    Saat aku melangkah menuju kamar, langkahku terhenti karena melihat sosok Zuki yang tengah duduk menekuk di ujung koridor losmen. Kuhampiri dia yang wajahnya tampak muram. Jelas sekali kalau ia sedang bersedih.

    "Abang pernah mengalami apa yang kamu rasakan. Tak selamanya sang juara itu akan selalu bergelar juara! Contohnya kamu sudah lihat tadi kan?" Aku duduk di sampingnya.

    Zuki menoleh padaku, "Bapak pernah mengalami kekalahan?" Tatapnya sendu.

    "Heem..." aku mengangguk manis memiringkan kepalaku.

    "Bapak tidak sedih?" Tanyanya lagi. Ia lebih senang memanggilku Bapak karena aku seorang guru.

    "Sedih? Pasti! Tapi waktu Abang kalah mengikuti kontes duta pariwisata di tingkat provinsi, Abang langsung menghubungi sahabat Abang yang paling baik di Bogor melalui SMS. Dia membalas SMS Abang tepat di saat Abang akan menangis, katanya begini 'Bagi pemenang sejati kemenangan bukanlah segalanya. Proses menuju kemenangan itulah kemenangan sesungguhnya!' Lalu setelah Abang membaca SMS itu Abang urungkan niat Abang untuk menangis. Abang kembali bersemangat sampai akhirnya Abang dapat bangkit dari keterpurukan!" Ceritaku pada Zuki.

    Zuki termangu memperhatikan ucapanku.

    “Abang punya sesuatu buat kamu! Ini kamus Longman Handy, kamus American English. Di sini susah lho mencarinya. Harus cari di toko buku besar seperti Gramedia!” kuserahkan kamus saku yang biasa kupakai setiap kali belajar Bahasa Inggris.

    “Terima kasih, Pak!” Zuki mulai mengembangkan senyuman.

    “Panggil Abang saja!”

    “Tidak, Bapak kan guru!” mata Zuki berbinar.

    Mungkin sejak saat itulah aku mulai kerap melihat Zuki, terutama saat sedang berkunjung ke desa tempat tinggalnya aku sering melihat Zuki tengah duduk di teras depan rumahnya bersama teman-teman genknya. Tapi aku hanya melintas mengklakson motorku di depan rumahnya tanpa pernah singgah sekalipun.

    Setiap kali aku mengantarkan para siswaku mengikuti lomba entah itu Bahasa Inggris, maupun olimpiade SAINS di tingkat kabupaten, aku pasti selalu bertemu dengannya. Tampaknya ia siswa aktif di sekolahnya atau karena memang di sekolahnya tak ada siswa lain yang tidak dapat mengalahkan kepintarannya. Karena setahuku sekolah-sekolah di daerah kami jumlah muridnya tidak seramai di kota-kota besar. Umumnya setiap sekolah hanya memiliki rombongan belajar 2 unit ruang kelas (a-b) dan setiap kelas biasanya hanya berisi 20-an anak.


    Borneo, Maret 2012

    Zuki sudah tidak Nampak grogi lagi tatkala aku bertemu dengannya dalam perlombaan pidato Bahasa Inggris. Pertemuan kali ini Zuki dan Rahmat sudah sama-sama berseragam putih abu-abu. Bedanya Rahmat bersekolah di SMA tempatku mengajar, sedangkan Zuki bersekolah di SMK yang terdapat di desanya dan baru saja dibuka. Setahuku murid di sekolahnya hanya terdapat 17 orang saja karena angkatan pertama. Sedangkan SMA tempatku bekerja sudah terbilang maju dengan jumlah 12 kelas dan mencapai lebih dari 300 orang siswa.
  • Kemampuan Rahmat memang sudah tidak diragukan lagi, dengan kemampuan menghafalnya yang kuat, Rahmat berhasil mengalahkan puluhan kontestan lain yang banyak menggunakan naskah. Aku sempat memberi dorongan pada Zuki agar ia dapat tampil maksimal. Walau berhadapan dengan kompetitor lawan, aku bukan tipe guru yang senang menjatuhkan saingan sekolahku. Bagiku berbagi ilmu tidak harus dengan rekan sekawan atau sepihak dan sepemahaman saja. Ada kalanya kita pun harus berbagi ilmu dengan lawan atau saingan kita sendiri. Zuki memang kubu lawan bagi Rahmat, tapi justru aku senang mengajarinya berbagai hal yang kurang dipahaminya.

    "Pak, peserta yang sedang tampil ini pidatonya bagus banget. Saya takut kalah nih, Pak!" Rahmat gelisah sendiri di sebelahku.

    "Anaknya cakep banget ya, Mat! Siapa namanya, Mat? Pidatonya lucu, gayanya keren, gokil abis, tapi kamu nggak usah takut Mat. Durasi pidato yang dibawakannya sudah melewati batas, itu artinya dia sudah otomatis didiskualifikasi!" Kuusap punggung Rahmat menenangkan perasaannya.

    "Yang benar, Pak?" Rahmat bersorak girang. "Yes!" Ditariknya tangannya di samping badannya.

    "Anak itu namanya Yusuf Hidayat, Pak. Siswa SMKN 1 Sukma!" Ucap Rahmat lagi dengan senyum di kulum.

    "Oh, Yusuf Hidayat ya? Rasanya Bapak ada berteman dengan dia di Facebook, gak tahu deh siapa yang add duluan!" Kuotak-atik ponselku membuka akun facebookku untuk mencari namanya di daftar kontakku.

    Nama itu mengingatkanku pada nama sepupuku, anak Bibi Harti dan Mang Haryo yang tinggal di Sumedang. Sepupu yang waktu kecil sangat dibenci oleh Apih Hada karena kerap memukul kepala Apih Hada dengan martil. Tak disangka sepupuku itu tumbuh menjadi pemuda ganteng mewarisi kegantengan ayahnya dan para pamannya, adik-adik Mang Haryo. Dan Yusuf Hidayat yang sedang tampil di atas pentas pun memiliki paras yang sangat cute. Aku kira dia berasal dari Suku Dayak melihat kulitnya yang bening, ternyata kulihat di Facebook dia berasal dari Ciamis-Jawa Barat. Wow, orang Ciamis memang manis.

    Seperti metode sebelum-sebelumnya aku senantiasa mengisolasi Rahmat di rumahku selama 2 minggu menjelang lomba. Semua guru dan murid di sekolah kami sudah tahu kalau hubunganku dengan Rahmat sangat dekat, ibarat kakak dan adik. Tidak hanya Rahmat saja yang dekat denganku, termasuk teman-teman genk Rahmat sangat sering berkumpul di rumahku. Teman-teman Rahmat tak pernah ada yang iri melihat kedekatanku dengan Rahmat. Karena aku bersikap sewajarnya kepada Rahmat, dan tak pernah berbuat macam-macam kepadanya semacam perbuatan pedofilia atau sejenisnya. Rahmat hanya tinggal berdua pamannya di Desa Sekuningan, desa tetangga. Kedua orang tuanya tinggal di Solo dan tidak mampu membiayainya sekolah di sana, karena itulah Rahmat diurus dan dirawat oleh pamannya yang setiap hari sibuk bekerja. Oleh karena itu pula Rahmat lebih sering tinggal bersamaku yang masih membujang.

    Begitu Yusuf turun dari pentas dan semua para peserta telah tampil membawakan pidatonya masing-masing, aku memberanikan diri untuk mengingatkan komitmen yang telah diucapkan oleh dewan juri di awal perlombaan. Termasuk menyangkut durasi waktu yang telah melampaui batas pada saat Yusuf tampil di atas pentas. Dewan juri pun langsung mengiyakan janji yang kuperingatkan kepada mereka.

    "Hallo, pidato kamu bagus sekali. Lucu, kocak, dan sangat berbobot!" Kuhampiri Yusuf yang juga sedang dihampiri Zuki.

    Eits, lengket sekali tangan Zuki melingkar di bahu Yusuf. Mereka terlihat sangat akrab dan sedikit mesra karena tangan Yusuf pun melingkar di pinggang Zuki. Keduanya tersenyum riang membahas penampilan masing-masing.

    "Terima kasih, Pak. Tapi durasinya kelewatan!" Timpal Yusuf mengakui kesalahannya.

    Lho, anak ini tidak marah sama sekali padaku. Padahal tadi aku telah menyinggungnya kepada dewan juri perihal durasi waktu yang dipakainya. Dia terlihat santai dan tidak menyimpan dendam. Aku semakin mengagumi kepribadiannya.

    "Bapak yang menjadi juri debat di Palangka Raya bulan lalu, kan? Terima kasih sudah mengonfirmasikan permintaan pertemananku di Facebook ya, Pak!" Yusuf mencium tanganku.

    "Lho, memangnya kamu mengikuti lomba debat bulan lalu?"

    "Oh, Bapak pasti lupa. Saya menjadi the best speaker waktu itu, Pak!" Yusuf mengingatkanku.

    "Astaga, Bapak pikir kamu bukan anak itu! Tapi jujur, Bapak salut dengan gaya kamu berpidato tadi. Maaf lho, Bapak sampai merekamnya!"

    "Coba lihat, Pak!" Zuki dan Yusuf tertarik melihat hasil rekamanku, kuserahkan ponselku pada mereka.

    Sementara di atas panggung terdengar dewan juri sedang mengumumkan nama para pemenang. Dan lagi Rahmat memang keluar sebagai juara. Zuki berhasil menembus juara ketiga. Bukan main senangnya hati Zuki. Inilah kali pertama ia berhasil meraih jajaran 3 besar. Zuki melonjak-lonjak berpegangan dengan Yusuf. Lucu sekali ekspresi mereka. Hmm... apakah di antara mereka ada affair?

    Saat pulang ke losmen usai lomba kudapati pintu kamar Zuki terbuka lebar dan Zuki sedang duduk membelakangiku memainkan tabletnya. Aku mengendap-endap masuk ke dalam kamarnya bermaksud untuk mengejutkannya. Perlahan-lahan tubuhku sudah berada di belakangnya. Zuki sama sekali tidak menyadari keberadaanku di belakangnya. Dia begitu khusyuk membaca sebuah cerita.

    Astaga! Jantungku mau copot begitu aku mendapatinya sedang membaca cerita SCOUT TRAINER di blog Jalan Cinta Sesama yang tak lain adalah tulisanku sendiri. Tubuhku mendadak lemas seketika. Apakah Zuki tahu kalau aku adalah penulis cerita tersebut? Zukiiiii... apakah kamu sama sepertiku? Teriakku dalam hati.

    "Zuki..." lidahku kelu.

    "Bapak... " Zuki terkejut.

    Buru-buru ia membalikkan tabletnya agar tidak terlihat olehku. Aku berpura-pura tidak melihat apa yang baru saja dilihatnya.

    "Sudah makan belum? Makan yuk!" Ajakku padanya.

    Zuki menarik napas lega. "Sebentar ya Pak, aku mau buang air besar dulu!" Katanya meminta izin.

    Aku mengintip-ngintip, serta-merta kuambil tablet yang ditinggalkannya di atas tempat tidur. Kubuka history Opera Mini yang telah dipakainya, dan astaga mulutku menganga lebar begitu kutahu banyak sekali situs gay yang telah dibukanya. Tidak hanya itu, Zuki bahkan mengoleksi video gay dalam tabletnya. Mengapa aku tidak bisa merasakan kalau ia sama sepertiku?

    "Dah, beres Zuk?" Aku berdiri setelah sebelumnya mengembalikan tabletnya ke tempat semula tanpa sepengetahuannya.

    "Panggil Zaki ajalah Pak!" Katanya sedikit manja. Sekilas lalu tutur kata Zuki memang mirip gaya bicara perempuan, tapi kekurangannya tersebut mudah tertutupi oleh parasnya yang lumayan.

    "Susah Zuk!" Kataku mengedipkan sebelah mata padanya.

    "Ngomong-ngomong kamu sudah punya pacar?" Kurangkul bahu Zaki, melangkah di sampingnya.

    "..."

    "Kok diam?"

    Muka Zuki memerah lalu menggeleng.

    "Tampang ganteng gini kok belum punya pacar?" Sentilku usil.

    Zuki membalas rangkulanku dengan melingkarkan tangannya di pinggangku.

    "Bapak sendiri kenapa belum menikah? Apa belum punya calon?" Ia menangkis pertanyaanku.

    "Kamu tuh ya, bisa aja memutarbalikkan pertanyaan!" Kuacak-acak rambutnya yang runcing.

    "Pak, kata Bapak aku mirip Irwansyah enggak?"

    Aneh, mengapa tiba-tiba ia bertanya seperti itu.

    "Kenapa memangnya?" Kutatap wajahnya lekat.

    "Ah enggak, cuma tanya aja!" Zuki merapikan poninya.

    "Zuki, Zuki, kamu suka cowok ya?" Godaku menyikut bahunya. "Kamu suka Irwansyah? Wah, Bapak ngefans berat lho!"

    "Ih, Bapak. Ngomong apa sih?" Zuki menunduk malu.

    "Gak apa-apa Zuk, ngomong aja sama Bapak. Bapak orangnya fair kok!" Tampaknya aku mulai terbiasa menyebutkan diriku dengan panggilan Bapak.

    "Alah Bapak nih, ada-ada aja!" Ia mendecak melipat tangan depan dada.

    Kuakui penampilan Zuki sekarang ini jauh berbeda dengan tampangnya yang dulu pertama kali kukenal. Dulu parasnya tidak terlalu good-looking seperti sekarang.

    "Tuki love Zuki!" Bisikku di telinganya.

    Dia diam saja tidak menanggapiku.

    "Tommy love Zacky!" Kali ini aku berbicara lebih jelas.

    Mata Zuki terbeliak. Ia sangat kaget seperti baru dikejutkan oleh suara bom yang berdebum.

    "Bilang saja, tipe cowok kesukaanmu seperti apa? Apa yang seperti Yusuf?" Aku tidak tahan untuk terus menggodanya.

    Zuki membalikkan badannya dan kembali menuju kamarnya. Namun langkahku berhasil mendahului dan menghadangnya.

    "Zuki, ini 2012, kamu boleh cerita apa saja sama Bapak!" Kataku lembut.

    "Maafkan Bapak sudah lancang membuka tablet kamu, tapi kamu jangan takut, karena Bapak tidak akan menceritakannya kepada siapapun!"

    Zuki berbalik lagi meninggalkanku. Ia sangat marah padaku.

    "Ayolah!" Aku membujuknya.

    "Sebenarnya kita sama!" Ucapku pelan.

    Lagi-lagi Zuki terkejut, "Maksud Bapak?"

    "Kita berdua! Bapak dan kamu, kita sama! Bapak pun seperti kamu!" Ungkapku jujur.

    "Pak, jadi pacar Zuki aja!" Tiba-tiba saja Zuki menghamburkan diri memelukku.

    GUBRAK!

    Si Zuki ini kok lucu sekali. Seolah-olah dia cowok yang nggak laku. Ah, palingan dia bercanda ya pemirsa? :D

    "Zuki, Zuki, emang kamu suka cowok yang gimana?" Kuacak-acak lagi rambutnya.

    "Aku sekarang yakin, pasti Bapak yang menulis Scout Trainer kan?" Tebaknya.

    Haha... hebat. Tepat sekali tebakannya itu.

    "Bukan penulis cerita itu namanya Reynald!" Elakku.

    "Bapak gak bisa bohongin aku, di sana Reynald mengaku nama lainnya adalah Sugih!"

    "Haha... " akupun tergelak tak bisa mendustainya.

    "Jangan bilang siapa-siapa ya, kalau Bapak juga sama seperti kamu!"

    "Gampang, semuanya bisa diatur. Asal Bapak mau jadi pacar aku!" Bujuknya menarik lenganku.

    Sebenarnya Zuki bukan orang pertama yang mengetahui orientasi seksualku. Beberapa muridku juga ada yang mengetahui rahasiaku ini. Untunglah mereka selalu bungkam dan menutupnya rapat-rapat, bahkan rahasia tersebut tidak pernah tercium oleh siapapun karena mereka yang mengetahuinya telah pergi jauh meninggalkan kampung tempat tinggalku.

    Hari-hariku bersama Zuki semakin akrab. Kami mulai sering saling mengunjungi. Kadang aku mengajaknya pergi berkemah, memancing, atau jalan-jalan ke kota. Kadang pula Zuki mengajakku berenang di waduk samping rumah Bibi Ridha, menyandau durian (menunggu buah durian jatuh dari pohonnya), atau memintaku menjelaskan pelajaran Bahasa Inggris yang tidak dimengertinya.

    Zuki sering pula terlihat cemburu bila melihat Rahmat bertandang atau menginap di rumahku. Dikiranya Rahmat tahu semua seluk-beluk rahasiaku.

    "Lho, baru datang kok pergi lagi?" Kukejar Zuki di pelataran parkir halaman rumahku.

    Zuki memasang kembali helmnya, "Malas kalau di sini lagi ada pacar Bapak!"

    "Ya ampun, Zuki. Rahmat itu hanya murid... " belum selesai aku berbicara Zuki sudah menginterupsi perkataanku.

    "Murid peliharaan Bapak kan? Kenapa sih, Bapak perhatian banget sama dia? Apa karena dia pintar Bahasa Inggris?" Serangnya bertubi-tubi.

    Rasanya sulit untuk kujelaskan mengenai kedekatanku dengan Rahmat. Bagiku Rahmat hanya sebatas murid kesayanganku, bukan berarti aku ingin menjadikannya sebagai kekasih. Aku menyayanginya setelah aku mengetahui latar belakang keluarganya yang kurang mampu. Ia mengingatkanku kepada masa laluku yang nyaris terancam putus sekolah saat aku kelas 3 SMP dulu. Salahkah aku berempati kepada Rahmat? Sedangkan aku selalu menemukan figur Rahmat adalah figurku yang normal. Kepintarannya yang selalu menjadi juara kelas, semangatnya saat mengikuti berbagai pertandingan semuanya mengingatkanku kepada diriku sendiri. Oh Zuki, tolong pahami itu!

    "Pak, aku mau menjadi seperti Zaki dalam cerita Bapak. Aku ingin menjadi lelaki alim yang mirip dengan Irwansyah, tapi aku mau menjadi pacar Bapak. Kenapa sih Pak, Bapak nggak mau sama aku? Aku ganteng kan, Pak? Aku kurang apa?" Zuki terus berkoar panjang lebar.

    "Zuki, Zuki kalau mau bercanda jangan berlebihan! Kamu itu berondong, Bapak dah tua, kita berdua nggak cocok! Pacar Bapak mau dikemanakan coba?"

    "Bapak kan baru saja putus dengan Bang Aries!" Ucap Zuki membuatku tersentak.

    Tahu dari mana dia kalau aku sudah tak berhubungan lagi dengan Aries.

    "Minggu lalu aku baca status Fbnya Bang Aries, katanya kalian baru saja putus kan?" Tegas Zuki.

    Hebat! Salut sama kamu Zuki, kamu begitu pandai mencari berita.

    "Apa karena aku Kristen, Bapak nggak mau sama aku?" Selorohnya.

    "Kalau kamu seumuran Bapak, okelah Bapak terima!" Jawabku asal.

    "Bang Aries saja umurnya 5 tahun lebih muda daripada Bapak!" Protesnya. "Aku sudah mengagumi Bapak sejak pertemuan pertama kita dulu. Kupikir duta wisata seperti Bapak itu sombong, ternyata aku keliru menilai Bapak. Bapak sangat baik, ramah, dan perhatian!"

    "Dan kamu 9 tahun lebih muda daripada Bapak, it's too far, Ok?" Sanggahku.

    "Bapak nyebelin!" Dengusnya seraya menstarter motornya.

    Kedekatan kami memang sering diwarnai pertengkaran. Tapi bukan berarti setelah itu kami terus saling berjauh-jauhan. Biasanya beberapa hari setelah pertengkaran kami, salah seorang di antara kami pasti akan kembali mendekat untuk melepas rindu satu sama lain. Zuki bagiku adalah adik yang sangat kusayangi. Sama seperti halnya aku menyayangi Rahmat. Tidak pernah terbersit sekalipun dalam pikiranku untuk menyetubuhi Zuki, sekalipun ia kerap mengajakku berbuat ML. Aku tidak pernah terpancing oleh gairah rangsangan yang sering dilakukan oleh Zuki.

    "Lho, ngapain kamu pakai baju koko?" Tanyaku pada Zuki saat ia bermalam di rumahku.

    Kebetulan mama dan adik-adikku sedang pergi berlibur ke Pulau Jawa. Jadi aku meminta Zuki untuk menemaniku selama mereka tidak ada di rumah.

    "Biar kelihatan alim kaya Irwansyah dan si Zaky!" Tukas Zuki cuek.

    "Kau tahu nggak, baju koko itu dipakai untuk apa?"

    "Ya untuk dipakailah!" Jawab Zuki tanpa pikir panjang.

    "Bukan! Itu untuk shalat, mengaji, dan..."

    "Ah, tapi enak kok dipakainya. Memang orang Kristen nggak boleh ya pakai baju ini?"

    "Boleh saja sih, itu kan cuma baju. Tapi kamu pantas kok memakainya. Kamu jadi kelihatan lebih ganteng pakai baju koko itu!"

    "Makasih Bapakku sayang, kalau gitu aku bakal sering-sering pakai baju koko ya?" Zuki tersenyum sumringah.

    "Lebay!" Cibirku.

    "Sudah yuk kita tidur!" Ajakku padanya.

    CKLAK!

    Kumatikan lampu kamarku hingga gelap-gulita tanpa secercah pun cahaya.

    Saat lelap-lelapnya tidur, di tengah keheningan malam aku merasakan sebuah sentuhan di sekujur tubuhku. Tangan Zuki menyusup ke balik kaus yang kupakai, ia membelai-belai perutku merembet ke dada. Mataku memicing mengintip aksi perbuatannya. Semakin tahun Zuki semakin berani. Dia bukan lagi bocah pemalu yang dulu kukenal. Kubiarkan saja tangannya menggerayangi tubuhku tanpa kubalas dengan perlakuan yang sama. Namun di saat aku kembali mulai terlelap aku mendengar suara desahan di sampingku. Zuki tengah menggesek-gesekkan kemaluannya tepat mengenai pahaku. Aku tetap diam, karena aku tak berhasrat kepadanya. Selamanya dia hanya kuanggap sebagai adik. Tapi bila dia menginginkan perbuatan itu, aku hanya akan diam.

    Zuki terus mendesah sampai akhirnya ia berhasil mencapai klimaksnya.

    "Heeuuuh... " erangannya begitu kurasakan sesuatu yang memancar di balik celananya yang menempel di pahaku.

    "Katanya mau jadi cowok alim? Kenapa melakukan ini?" Sindirku begitu aksi perbuatannya selesai.

    Ia terkejut mendengar suaraku. Dipikirnya aku nyenyak tidur. Kubalikkan tubuhku membelakanginya. Tangan Zuki seketika melingkar di perutku.

    "Aku sayang Bapak!" Ucapnya mengecup tengkukku.

    "Iih, geli tahu!" Balasku ketus.

    "Pak kita ML, yuk!" Bujuknya memelukku kuat.

    "ALAIKU!" (Tidak mau!) Semburku pedas.

    "Yah, Bapak!" Zuki semakin manja.


    Borneo, Mei 2014

    "Uh, semuanya nyebelin! Enggak si Yusuf, enggak Bapak! Kalian berdua pada nyakitin perasaanku!" Zuki memberengut sewot saat kami tengah memancing di rawa-rawa yang terdapat di perkebunan sawit.

    "Kenapa sih uring-uringan begitu?" Kuperhatikan tangan Zuki yang nyaris membanting hpnya ke tanah.

    "Eh, daripada dilempar, BB kamu buat Bapak saja!" Cegahku.

    "Bapak tuh udah putus juga sama orang Filipin itu, masih aja nolak aku. Sekarang gantian si Yusuf yang punya gandengan baru manas-manasin aja!" Kedua kaki Zuki bergerak-gerak uring-uringan.

    "Kamu kalau seperti itu persis kaya cewek!" Tawaku tergelitik.

    "Biarin!" Sungutnya sebal.

    "Makanya biar gak dipanasin terus sama si Yusuf, terima aja cewek-cewek yang mau jadi pacar kamu. Banyak kan yang mendaftar?" Himbauku padanya.

    "Bapak ini gimana sih? Kan aku sukanya cowok, Bapak! Apalagi yang mature kaya Bapak!" Ia masih memberengut. Bola matanya dipenuhi mendung yang bergelayut.

    "Calon artis, gak boleh cemberut! Nanti penggemarnya pada illfeel lho!" Gurauku.

    "Cemberut juga tetap ganteng!" Timpalnya dengan nada narsis.

    "Haha... iya deh!" Kuusap wajah Zuki yang membuatnya semakin sebal.

    "Bikin lowongan aja di Boyzforum, kan banyak tuh cowok cakep di sana!" Himbauku lagi.

    "Males! Member Boyzforum pada kasar omongannya!" Celetuk Zuki.

    "Siapa bilang? Belum dicoba!" Tanggapku datar.

    "Itu tuh enggak real! Pacaran kok di dunia maya!" Balasnya mendesah.

    "Ah, susah nasehatin kamu!" Aku geleng-geleng kepala.

    "Siapa juga yang doyan nasehat!" Diangkatnya kail yang sedari tadi dipegangnya.

    "Ngomong-ngomong kapan lagi kamu lanjut shooting?" Selorohku.

    "Minggu depan paling!" Katanya tanpa menoleh ke arahku.

    Sudah beberapa bulan terakhir ini Zuki mulai bolak-balik Kalimantan-Jakarta guna mengikuti shooting film dan menjadi model majalah katalog suatu produk. Dulu ia memang kerap mengatakan kalau ia ingin bisa seperti Irwansyah. Syukurlah aku bisa menjembataninya untuk mewujudkan keinginannya tersebut dengan mendaftarkannya ke salah satu manajemen artis di Jakarta yang dapat membantu mewujudkan impiannya.

    "Lu sering-sering aja bawa orang Kalimantan ke mari! Biar semua orang Kalimantan pada jadi artis! Heran deh gue, tiap kali lu bawa temen dari Kalimantan pasti cakep-cakep semuanya ya!" Tutur Leo Chandra salah seorang temanku yang bekerja di manajemen artis tersebut.

    "Lu pindahin aja agensi lu ke Kalimantan!" Gelakku mencandainya.

    "Ah, elu. Entar deh kalo ibukota jadi dipindahin ke Kalimantan, gue pindahin juga agensi gue!"

    "Gue titip adek gue ya, Bro! Didik dia yang bener, awas lho kalo lu ngajakin dia ngobat!" Ancamku pada Leo.

    "Tenang, adek lu aman deh sama gue, dijamin kagak bakal lecet sedikit pun!" Leo mengangkat dua jarinya.

    Sejak saat itulah aku mulai terpisah dengan Zuki. Hari-hari selanjutnya aku hanya mengikuti perkembangannya melalui dunia maya. Update statusnya via bbm, LINE, WeChat, WA, dan Google+. Sepertinya Zuki mulai sibuk dengan berbagai casting, dan pemotretan. Tapi aku tak pernah melihatnya sama sekali di layar kaca. Seperti apakah dia berakting? Baguskah? Kakukah? Aku tak pernah tahu. Kelak suatu saat, bila ia sudah menjadi artis terkenal seperti yang diharapkannya, mungkin ia akan lupa kepadaku. Jauh sebelum hal itu terjadi, ada baiknya aku dahulu yang melupakannya. Maafkan Bapak, Zuki. Hati ini belum siap untuk jauh darimu.


    PING!
    PING!
    PING!


    BBMku penuh huruf berwarna merah itu pada layar chatku dan Zuki. Setiap hari hanya itu yang dikirimkannya ke layar BBMku. Sudah 2 bulan aku tak pernah menggubrisnya.

    "Bapakku jahat, aku ditelantarkannya!"

    "Tiap hari sibuk shooting, tapi tak ada yang memberiku dukungan!"

    "Aku tak peduli berapa tua pun umurmu! Selamanya akan tetap kutunggu!"

    "Ingin balik ke Kalimantan!"

    "Awas nanti kalau aku sudah terkenal, tak kuberi foto bareng bersamaku!"

    Begitulah status-statusnya yang kubaca di BBM. Aku tahu benar semua status tersebut sengaja ditujukannya kepadaku meskipun tidak melalui pesan chat.

    "Haaaah... Zuki, berjuanglah meraih mimpimu!" Aku menghela napas.


    Borneo, Agustus 20014

    Aku masih terdiam duduk termangu mengamati layar ponsel androidku. Kasihan juga semua pesannya di berbagai sosial media tidak kutanggapi. Ah, baiklah kupenuhi saja permintaanmu Zuki. Akan kuketik sekarang juga kisah tentang kita berdua, walau tak seberapa indah. Namun semua itu akan selalu membekas di ingatanmu dan juga ingatanku. Tertawalah Zuki saat kau membaca cerita kita ini. Tersenyumlah bila kau ingin tersenyum. Menangislah, bila kau ingin menangis walau ku tak bisa memberikan bahuku untukmu bersandar.

    Ketahuilah Zuki, dunia ini indah. Di luar sana mungkin banyak gadis-gadis ataupun lelaki yang mengharapkan cintamu. Mereka yang kelak akan menghiasi lembar hidup duniamu. Jangan kau harapkan cinta dari si tua yang busuk ini.

    Kubuka aplikasi BBM ponsel androidku. Layar chatku dengan Zuki hanya penuh oleh PING! yang sudah tidak terhitung banyaknya dan bertumpuk selama 2 bulan lamanya.

    PING!
    PING!
    PING!


    Hanya itu yang dapat kulakukan membalas pesanku.


    --Thanks for reading :) --

    ♔PrinceArga♔


  • skrg gmn kabarnya om kasmin?

    ada fotonya ga? :p
  • wah aku mau dong temenan sama zuki alias zaki mas sugih...

    Boleh ya?

    #jakarta, gw paling takut dengar nama kota, penuh dg hiruk pikuk masalah....!????
  • edited August 2014
    maaf ya mas, tulisan ku memang pendek2 gk bisa panjang, aku gk akan pernah marah pada mas, atau siapapun di BF semua punya hak untuk koment, toh semua ada balasan. Iya to.... ingat itu!!!!
  • wah, wah, wah laris bener ya omku ini ckckck
  • Ahhh... Indahnya suatu pengalaman.
    Penuh warna kehidupan ente ye. I love it :)
  • Kang Ugih pake pelet apa sih bisa digilai byk org??bagi² nah. :P
  • bang sugih 'alaiku' itu bahasa mana?
  • waduh mas Sugih sayang sekali padahal ganteng banget...! mungkin bukan tipenya mas @PrinceArga .
  • @elul itu Bahasa Dayak Desa Permata... kampungnya Zuki.

    @3ll0 asli beneran sumpah saya gak pake pelet, padahal jelek begini ya? #gakpededengantampangsendiri
  • Kang Ugih Si Zaki Maen Sinet apa ya?? #gak pernah liat sinet
Sign In or Register to comment.