BoyzForum! BoyzForum! - forum gay Indonesia www.boyzforum.com

Howdy, Stranger!

It looks like you're new here. If you want to get involved, click one of these buttons!

Selamat datang di situs Boyzforum yang diarsipkan oleh Queer Indonesia Archive. Forum untuk komunitas gay Indonesia yang populer ini didirikan pada tahun 2003, dan ditutup pada tanggal 15 Desember 2020.

Forum ini diabadikan untuk kepentingan sejarah. Tidak akan ada konten baru di forum ini. Silakan menikmati forum ini sebagai potongan dari sejarah queer Indonesia.

Sepanjang Hidupku

1545557596064

Comments

  • @balaka tolong uploadkan fotonya si Guntur yang dulu pernah kukirim di WA. Supaya @Tsu_no_YanYan tahu betapa jeleknya tampang si Guntur itu.

    @Tsu_no_YanYan kamu tahu, kekesalanku sudah kupendam sejak seminggu lalu di grup WA sampai kujelaskan kalau Guntur itu bukan aku. Oke, thanks buat maafnya. Thanks banget cerita yg kubuat sampai melekat di hati. But please, don't seduce me like that anymore. I hate it so much.
  • jadi seminggu ini abang memendam kesal...? kesal sama aku?

    jadi kemarin mention2 aku di tempatnya mas Mus, karna kesal? abang nyindir aku? ya ampun, aku pikir kita lagi becandaan/.- sorry utk ketidakpekaan aku

    maaf lagi karna udah buat abang kesal... maaf banget.

    'But please, don't seduce me like
    that anymore. I hate it so much.'

    abang, ini dunia maya, segala hal gak selalu harus dibawa serius, abang gak kenal aku, aku juga gak kenal abang... kita komunikasi cuma dengan tulisan, cuma tulisan.... intonasi saat baca kata perkata menciptakan perbedaan... abang, aku gak pernah bermaksud buat bikin abang kesal, aku bilang abang mirip Guntur, mirip Badai, itu cuma becandaan, aku gak tau fisik Guntur, gak tau fisik abang, aku cuma bercanda....

    ya Allah, maaf abang saat ini aku marah... maaf atas kesensitifan aku
  • Mohon maaf kelanjutan cerita ini belum dapat saya posting, sehubungan dengan kesibukan mempersiapkan hari raya.


    Kepada semua pembaca cerita saya, saya ingin mengucapkan :

    Selamat Idul Fitri, Minal aidin walfaidzin, Mohon maaf lahir dan batin

    Semoga dosa kita semua diampuni Allah swt. Amin, yarabbal alamin. :)
  • sama-sama mas @PrinceArga saya mengucapkan Minal aidin walfaidzin, mohon maaf lahir dan batin untuk mas dan keluarga. Amin
  • Mention ya gue suka karya2nya maaf selama ini jd silent reader :D peace ..
  • edited July 2014
    [IMG]http://eemoticons.net/Upload/Yoyo and Cici Funny Monkey/30.gif[/IMG] sama mas sugih ma'af lahir bathin juga.... juga buat seluruh rekan di BF jika berkenan mohon ma'afin aku ya..
  • Met Idul Fitri ya. Mohon maaf lahir dan batin utk bang Ugie dan member.
  • hmm jd ngiri
    aa sugih dikelilingin sm cowo2 keren hihi
  • #21

    ::::::::::Beautiful Birthday::::::::::

    Bogor, Desember 2001

    Dalam satu bulan ini aku telah bocor puasa 3 hari. Amat disayangkan olehku padahal Desember 2001 ini adalah tahun yang sangat istimewa bagiku. Karena 17 Desember 2001 merupakan hari ulang tahunku ke-16 dan bertepatan dengan hari raya Idul Fitri 1422 H. Seandainya aku tidak bertanding melawan Ryan di awal bulan ini, niscaya puasaku cacap 100% (tidak bolong). Gara-gara luka yang kuderita bekas pukulan Ryan mau tidak mau akupun terpaksa membatalkan puasaku, dan Marissa tidak malu membawakanku bekal makan siang untukku selama 2 hari berturut-turut. Untunglah teman-teman di kelasku cenderung cuek akan hal-hal seperti ini. Mereka tidak mempermasalahkan melihat Marissa menyuapiku meskipun mereka sedang berpuasa. Hanya saja aku jadi tidak enak hati kepada teman-teman sekelasku.

    “Yah, kita nggak jadi buka puasa bareng Kang Triko sama pacarnya di AW, deh!” keluh Marissa bertopang dagu begitu mendengar pengumuman libur sekolah yang disampaikan oleh Pak Ruspita.

    “Gak apa-apa, kan malah seru nanti kita ngedate barengnya habis lebaran,” kubelai rambut Marissa yang lembut.

    “Iya deh, tapi janji lho!” tuntut Marissa memainkan jemari tangannya.

    “Gih, pulang sekolah nanti tolong mampir ke rumah Ibu! Ibu mau minta kamu bantu-bantu Ibu, boleh kan?” Bu Euis muncul di ambang pintu kelasku.

    “Baik, Bu. Insya Allah, nanti saya mampir ke rumah Ibu,” jawabku sigap.

    Bu Euis kemudian melintas begitu saja.

    “Hari ke hari kamu jadi sering diperhatiin sama Bu Euis,” Marissa memutar-mutar bola matanya bak penari Bali.

    “Kebetulan aja tiap hari aku lewat rumah beliau di Gang Kayu Manis. Kenapa? Kamu cemburu ya?” tebakku menduga-duga.

    “Iiih geer, siapa yang cemburu? Aneh ajalah ada guru yang perhatian sama murid!” Marissa jaga gengsi.

    “Tenang, beliau sudah berkeluarga kok. Anaknya ternyata kakak kelas kita Kang Lukito anak kelas 3 IPA 1, sama si Reza adik kelas kita di SMPN 4, yang sekarang jadi pratama PRAMUKA GUDEP 05!” jelasku padanya.

    “Reza yang dijuluki si Bonbon Cat itu?” Marissa terkesima, kubalas pertanyaannya dengan sebuah anggukan.

    Kami memang menjuluki Reza dengan panggilan Bonbon Cat karena dia memiliki tapak merah tanda lahir di wajahnya yang mengingatkan kami pada tokoh kartun Bonbon Cat.

    "O, jadi dia anaknya Ibu Euis?" Ulang Marissa tidak yakin.

    Sekali lagi aku mengangguk membuatnya berdecak penuh surprise.

    Seperti yang telah kujanjikan, sepulang sekolah aku menyempatkan diri untuk mampir di rumah Ibu Euis, guru Bahasa Jepangku. Rumah beliau sangat sederhana, hampir di setiap ruangan aku menemukan berbagai pernak-pernik made in Japan mulai dari boneka Geisha dalam sebuah kotak kaca seperti akuarium, tikar tatami yang terhampar di ruang tengah, lampion Jepang yang dipasang di teras rumah, kalender bertuliskan huruf Kanji, lukisan lereng gunung di Jepang, boneka daruma, hingga layang-layang koinobori yang digantung di dinding, dan boneka-boneka kerajaan (hina matsuri) yang biasa dipajang oleh para anak perempuan setiap hari anak nasional tiba.

    Keluarga Bu Euis sangat ramah. Aku sangat akrab dengan Reza karena dia adik kelasku saat SMP. Tetapi aku paling suka berbincang dengan Rizky, adik Reza, yang baru masuk SMP. Rizky anaknya manis dan senang bercanda membuatku betah setiap kali berkunjung ke rumah Ibu Euis. Sedangkan aku paling tidak suka bertemu dengan Kang Lukito, sudah tampangnya jelek, kalau ngomong agak jutek dan sering nyelekit. Tapi untunglah, setiap kali aku berkunjung ke rumah Bu Euis, Kang Lukito jarang sekali berada di rumah. Seolah Tuhan sangat mengerti keinginanku kalau aku memang tak ingin bertemu dengannya.

    "Gih, bantu Ibu mengoreksi ulangan teman-teman kamu, ya! Kalau punyamu sudah Ibu koreksi tadi, nilaimu mendapat 100 lagi. Hadeuh, sudah dibedakan juga soal-soalnya sedikit lebih sulit, masih saja dapat 100. Terus Ibu harus ngasih berapa untuk nilaimu di rapor?" Bu Euis menyodorkan beberapa tumpuk kertas lembar jawaban soal ulangan teman-temanku plus lembar jawabanku yang sudah diberi nilai oleh beliau.

    "Sekalian kamu juga hitung nilainya, rumusnya jumlah betul dibagi 4!" Lanjut beliau.

    "Terima kasih, Bu!" Kataku penuh kepuasan.

    Hari ini lengkap sudah nilai ulangan yang kuterima. Hasilnya lumayan memuaskan, kisaran 70 hingga 100. Hanya mata pelajaran Akuntansi yang mendapat nilai 60, itupun dikarenakan materi yang disampaikan oleh Bu Sri Sudaryanti tidak menyangkut di otakku. Pasalnya cara beliau mengajar menurutku terlalu banyak lelucon konyol yang tidak penting yang disampaikan oleh beliau sehingga membuat konsentrasi belajarku buyar. Aku malah lebih suka pola mengajar Ibu Ati guru Kimia yang terkenal galak, namun memicu semangatku untuk serius belajar sekalipun sebenarnya aku tidak mengerti. Aku selalu tergerak untuk bertanya kepada para kakak kelas yang terkenal pintar di bidang SAINS (IPA dan Matematika). Kendati menyukai pelajaran IPA, aku kurang begitu tertarik terhadap pelajaran Fisika. Rumusnya itu lho, bikin kepalaku muter-muter keliling dunia.

    "Bu, semuanya sudah selesai. Tapi saya sangat terkejut, nilai teman-teman saya banyak yang mendapat do-re-mi-fa-sol," kuserahkan tumpukan kertas yang tadi kuperiksa. Terdapat 8 kelas yang telah kuperiksa.

    "Ya seperti itulah nilai Bahasa Jepang teman-temanmu. Ibu kurang apa sih Gih, kok banyak temanmu yang tidak mengerti pelajaran Ibu? Apa Ibu kurang jelas waktu menerangkan di kelas?" Tanya Bu Euis bersungguh-sungguh.

    "Saya tidak tahu, Bu. Mungkin merekanya saja yang malas belajar," kilahku sedikit berargumen.

    "Kalau seperti ini, Ibu bisa berhenti mengajar Bahasa Jepang. Balik lagi mengajar Bahasa Indonesia seperti dulu!" Ungkap beliau menghela napas panjang.

    "Oh, dulu Ibu mengajar Bahasa Indonesia?"

    "Iya, jauh sebelum Ibu mengikuti program penataran guru ke Jepang. Kebetulan saja dulu waktu bersekolah SMA di Bandung, Ibu pernah belajar Bahasa Jepang dan tertarik mengikuti program penataran guru ke Nara-Jepang. Alhamdulillah Ibu lolos seleksi dan mengikuti penatarannya selama 6 bulan di Jepang. Sepulangnya dari Jepang, Bu Sri Sudaryanti selaku wakasek kurikulum menugaskan Ibu untuk mengajar Bahasa Jepang saja!" Runut beliau.

    "Wah, asyik ya Bu bisa pelatihan ke Jepang?" Aku terpukau benar-benar takjub menyimak cerita beliau.

    "Kalau Sugih mau, ada juga program beasiswa kuliah di Jepang. Semuanya gratis dan ditanggung oleh pemerintah Jepang. Malahan dikasih uang saku setiap bulan lho!"

    "Yang benar, Bu?"

    "Nih, baca deh bukunya! Kamu sering-sering saja berkunjung ke perpustakaan kedubes Jepang di Jakarta. Di sana Ibu punya teman yang bernama Mbak Riri. Dia bisa memberi kamu banyak informasi seputar beasiswa ke Jepang!" Tandas beliau.

    "Wah, saya berminat Bu. Tapi persyaratannya berat sekali ya!" Kubolak-balik halaman buku yang diserahkan oleh Bu Euis tadi.

    "Buku ini boleh buat saya, Bu?"

    "Ambil saja! Kalau mau Ibu masih banyak majalah jepang lainnya!" Beliau menyodorkan satu kardus majalah koleksinya.

    "Wah, ini kan majalah Nipponia, Pasific Friend, dan Majalah Kedubes Jepang yang ada di perpustakaan!" Seruku mengerjap-ngerjap.

    "Yang ada di perpustakaan semua memang dari Ibu. Majalah-majalah itu Ibu dapat dari Kedubes Jepang dan The Japan Foundation, Pusat Kebudayaan Jepang, yang dikirim setiap sebulan sekali!"

    "Terima kasih banyak ya, Bu. Saya benar-benar minat berkunjung ke Jepang!"

    "Kamu sudah pernah ikutan Noryoku Shiken?" Telisik beliau.

    "Apa itu, Bu?"

    "Itu ujian kemampuan Bahasa Jepang yang diselenggarakan oleh The Japan Foundation setiap tahun di Bulan Desember. Tapi sayang kalau mau mendaftar tahun ini sudah terlambat. Pendaftarannya sudah ditutup, tesnya diselenggarakan besok!"

    "Yah, sayang sekali ya. Tapi ada manfaatnya Bu mengikuti tes tersebut?" Aku semakin antusias.

    Rizky datang mengantarkan minuman dan cemilan.

    "Makasih ya, Ky!" Kulemparkan senyuman pada Rizky. Segera kureguk minumanku sambil menikmati hidangan yang disajikan.

    "Lagi pada serius ngobrolin apa nih?" Rizky ikut nimbrung bersama kami.

    "Ini lho Riz, Kang Sugih tertarik ikut beasiswa ke Jepang. Sekalian biar ikut Noryoku Shiken juga!" Terang Bu Euis kepada anak bungsunya yang manis itu.

    Kemudian pandangannya beralih padaku, melanjutkan perbincangan yang baru saja terputus.

    "Jelas banyak manfaatnya dong, Gih! Salah satunya kamu dapat diterima bekerja di perusahaan Jepang dan ditugaskan di negara Jepang. Atau kamu berminat jadi atase, syukur-syukur kamu bisa jadi duta besar atau diplomat Indonesia untuk Jepang!"

    "Wah, saya mau Bu!" Lonjakku penuh ambisi.

    "Nah, tahun depan kamu langsung ikutan Noryoku Shiken level 3 saja. Ibu perhatikan kamu sudah menguasai Kanji dasar. Padahal di sekolah anak-anak kelas 2 saja banyak yang tidak bisa membaca huruf Kanji!"

    "Kalau boleh tahu anak kelas 2 siapa yang paling pintar Bahasa Jepang, Bu?" Aku mulai penasaran.

    "Kamu kenal Aryo anak kelas 2-5? Sama Triko anak kelas 2-7?"

    Aku sedikit terkejut saat mendengar nama Kang Triko disebutkan. Wah, diam-diam ternyata idolaku itu jago Bahasa Jepang juga.

    "Kalau Kang Triko saya kenal dekat, Bu. Tapi kalau Kang Aryo saya belum tahu!" Kataku jujur.

    "Oh, Ibu sering lihat kamu bercanda sama Triko. Kelihatannya kalian berdua sangat akrab ya? Kaya kakak-adik. Kalau Aryo, orangnya memang sedikit pemalu. Dia pernah lama di Jepang, Gih. Dari TK sampai SMP sekolahnya di Jepang. Bapaknya seorang atase yang bertugas di sana!"

    "Ckckck... Hebat sekali ya, Bu. Pasti Bahasa Jepang Kang Aryo sudah mendarah daging!" Seruku terpukau.

    "Iya, tahun lalu dia juara pidato Bahasa Jepang tingkat nasional," cerita Bu Euis lagi.

    "Hebat Ma, murid Mama itu. Kapan atuh giliran Mama yang tugas ke Jepang? Biar Rizky ikut sama Mama!" Komentar Rizky menimpali perkataan ibunya.

    "Mama mah tas wareg cicing di Jepang, Ky!" (Mama nih sudah kenyang tinggal di Jepang, Ky!) Sahut Bu Euis mengusap rambut Rizky.

    "Ih, si Mama mah Rizky teu diajakan!" (Ih, si Mama nih Rizky enggak diajakin!) Cibir Rizky cemberut.

    "Kan waktu itu Mama lagi hamil kamu!" Balas Bu Euis lagi menarik hidung putra bungsunya yang bangir.

    "Wah, kalo gitu berarti Rizky udah ke Jepang dong? Hayo Kang Sugih kapan mau nyusul Rizky ke Jepang?" Soraknya girang.

    Aku hanya tersenyum menggelengkan kepala melihat tingkahnya yang lucu.

    "Iya, nanti Akang susul kamu ke Jepang secepatnya, asal kamu yang ngongkosin ya! Hehehe..." Aku terkekeh senang.

    "Ih, si Akang mah teu modal!" (Ih, si Akang nih nggak modal!) Rizky menjulurkan lidahnya padaku.

    "Bu, saya permisi pamit dulu takut kemalaman soalnya!" Kusalami tangan Bu Euis.

    "Hati-hati di jalan ya! Terima kasih sudah membantu Ibu hari ini!" Beliau membalas salamku seraya memasukkan sebuah amplop ke dalam saku celanaku.

    "Lho, apa ini Bu?"

    "Buat jajan Sugih, Ibu senang hari ini ada yang bantuin Ibu!"

    "Tidak usah Bu, saya juga senang bisa membantu Ibu!" Kukembalikan amplop pemberiannya tadi.

    "Sudah, terima saja! Hitung-hitung Sugih memang kerja pada Ibu!" Beliau menolak kembali amplop pemberiannya.

    "Tapi Bu, saya tidak enak menerimanya. Sudah kewajiban saya sebagai murid untuk membantu guru saya sendiri!"

    "Jangan! Jangan! Ibu ikhlas ngasih uang itu untuk kamu!" Tolak beliau lagi.

    "Ya udah atuh Kang, kalo nggak mau buat Rizky aja!" Canda Rizky menyengir lebar seraya mengangkat alisnya.

    "Rizky!" Bu Euis menjewer telinga anaknya.

    Rizky pun mengaduh kesakitan,"Aduuh, lepasin Ma! Sakit Ma!"

    "Sekali lagi terima kasih untuk semuanya, Bu!" Akhirnya kuterima juga amplop pemberian Bu Euis tadi. Lumayan Rp50.000,00 untuk menambah uang lebaran.

    Sejak saat itu hubunganku dengan Bu Euis menjadi sangat dekat. Beliau menganggapku seperti anaknya sendiri walaupun sudah memiliki 3 orang anak yang kesemuanya laki-laki. Demikian pula dengan suami beliau, tak pernah segan memintaku untuk membantu melakukan pekerjaannya di rumah. Ternyata suami Bu Euis adalah pegawai BALITBIO yang sering menjadi pelangganku untuk menjagai bola setiap kali beliau bermain tenis di Cimanggu.

    ♯♬♭♪♯

    Allaahu akbar.. Allaahu akbar.. Allaahu
    akbar.....
    Laa - ilaaha - illallaahu wallaahu akbar.
    Allaahu akbar walillaahil - hamd..
    Allaahu akbar kabiiraa walhamdulillaahi
    katsiiraa,...
    wasubhaanallaahi bukrataw - wa ashillaa.
    Laa - ilaaha illallallahu walaa na'budu illaa
    iyyaahu mukhlishiina lahuddiin walau karihal -
    kaafiruun, walau karihal munafiqun, walau
    karihal musyrikun. Laa - ilaaha - illallaahu
    wahdah, shadaqa wa'dah, wanashara 'abdah, -
    wa - a'azza - jundah, wahazamal - ahzaaba
    wahdah. Laa - ilaaha illallaahu wallaahu akbar.
    Allaahu akbar walillaahil - hamd..

    Gema takbir terus berkumandang di dalam mesjid. Aku dan Ary berjalan meninggalkan pelataran mesjid setelah lelah memukul beduk bertalu-talu secara bergantian. Sarung yang kami pakai telah kami selempangkan di bahu turun ke pinggang.

    "Lu kok dari tadi diem terus?" Ary menendang batu-batu kecil yang ditemuinya sepanjang jalan.

    "Gue ingat waktu kita kecil sama Ryan, Asep, dan Teguh. Coba kita bisa takbiran bareng mereka lagi kaya dulu!" Ucapku tertahan.

    "Ryan... Orang nggak waras mana bisa diajakin takbiran," Ary mencebik.

    "Ry, kenapa sih lu kagak bisa maafin dia sekali ini aja?" Aku menunduk gamang.

    "Buat apa gue maafin dia kalo dia nggak mungkin bisa balik lagi kaya Ryan yang dulu pernah kita kenal?" Perkataan Ary menangkis ucapanku.

    "Besok udah lebaran. Gak baik lu masih menyimpan dendam. Gimanapun juga dia sahabat kita dari kecil!" Balasku.

    Ary terhenyak merenungkan perkataanku.

    "Gue selalu ingat semua kenangan kita waktu kecil. Dulu kita sering maen langit lupa, in line skate hockey, kereta ulat paku, jahat lawan jagoan, sama bikin rumah pohon di atas pohon jambu air yang ada di depan rumahnya Anton. Semuanya benar-benar indah buat gue!"

    Ary tersenyum kecut, "Itu juga kenangan indah buat gue!" Katanya diiringi tawa dengan suara tertahan.

    "Gue juga ingat kita dulu suka maen petasan di dekat mushala di belakang rumah elu!" Imbuhnya menggigit-gigit bibir bawahnya.

    "Besok kita lebaran ke rumah dia yah!" Bujukku halus.

    "Ya udah deh, gue ngikut aja apa kata elu!" Akhirnya Ary pun pasrah.

    Sesuai yang telah kami janjikan tadi malam, hari lebaran ini kami bertiga dengan Anton mendatangi rumah Ryan untuk bermaafan. Sari kakaknya Ryan membukakan pintu untuk kami. Kami sempat bersalaman dengannya berlebaran-ria.

    "Ryan, teman-teman genk kamu tuh pada datang!" Teriak Sari di bawah tangga kamar Ryan yang berada di lantai atas.

    Mama dan papa Ryan muncul dari ruang dalam. "Kalian!" Seru mereka bersamaan.

    "Maaf lahir batin Om, Tante!" Kami bertiga menyalami kedua orang tua Ryan.

    "Sama-sama, Om dan Tante juga minta maaf pada kalian seumpama ada salah kepada kalian selama ini! Tolong dimaafin ya!" Kata papa Ryan dengan senyum mengembang.

    Ryan berjalan menuruni tangga dengan langkah perlahan. Di tengah tangga langkahnya terhenti begitu pandangannya menangkap sosok kami bertiga.

    "Ngapain kalian ke sini?" Sambarnya ketus.

    "Lho, Ryan, kamu kok gitu? Teman-teman kamu ke mari untuk berlebaran sama kamu!" Tutur papa Ryan membujuknya untuk turun.

    Ary menyikut lengan Anton. "Tuh, apa kan gue bilang?" Bisiknya di telinga Anton dan terdengar jelas di telingaku.

    Anton memberi isyarat kepada Ary agar perasaan Ary bisa berdamai dengan Ryan.

    "Betul Ryan, kami ke sini mau minta maaf sama elu. Lu mau kan maafin gue sama Ary?" Kataku menghampiri Ryan.

    "Anton juga!" Anton mengiringi langkahku.

    Ary hanya berdiri mematung di belakang.

    "Percuma kalian ke sini! Gue gak akan bisa maafin kalian," seru Ryan angkuh.

    "Astagfirullah, Ryan! Kamu itu ngomong apa sih? Papa nggak pernah ngajarin kamu bersikap seperti itu!" Bentak papa Ryan melengking tinggi.

    Ryan menarik ujung bibirnya berlawanan dengan arah ujung mata yang ditariknya. Benar-benar arogan.

    "Ryan, lu gak mau maafin gue ya? Ini kan hari lebaran Ryan, gue pengen hubungan kita membaik seperti dulu!" Ungkapku sedikit muram.

    "Sugih aja lho Ryan, sudah berjiwa besar ngalah sama kamu. Kurang baik bagaimana coba, selama kamu diopname di rumah sakit dia rajin jengukin kamu, walaupun kamu selalu kasar sama dia. Coba teman sekolahmu, mana ada yang nengokin kamu kaya Sugih!" Mama Ryan turut membujuk.

    Lalu Ryan turun dengan langkah gontai. Ia mengulurkan tangannya padaku, namun enggan menatapku. Pandangannya dipalingkan ke samping membuang muka.

    "Jangan gitu dong Ryan! Kalau maafan itu harus ikhlas!" Mama Ryan memutar kepala Ryan agar wajahnya menatapku.

    "Tolong maafin gue, ya!" Kurengkuh tubuh Ryan ke dalam pelukanku. Tangan Ryan terjuntai ke bawah enggan membalas pelukanku.

    Di saat yang bersamaan Anton turut memeluk kami berdua. Hanya Ary yang masih terdiam dari tadi. Ia enggan beranjak menghampiri kami. Anton memberinya isyarat untuk mendekat. Ary pun berjalan mendekat bergabung memeluk kami beramai-ramai. Akhirnya tangan Ryan terangkat ke atas menyentuh wajahku dan wajah Anton diiringi sedikit senyuman.

    "Nah, gitu donk! Damai itu indah!" Seru papa Ryan tersenyum senang.

    "Janji ya, kita sahabatan lagi!" Kelingkingku mengait kelingking Ryan bercantelan.

    Haha... Rasanya hari ini sangat membahagiakan bagiku.

    Siang hari selepas dzuhur setelah aku dan keluargaku berhalal-bihalal mengelilingi Cimanggu dari rumah ke rumah, mama mengajakku, Dyah, dan Mang Ega untuk berlebaran di Leuwiliang, keluarga besar kami. Seperti tahun-tahun sebelumnya rumah Umi Encih, kakak tertua Apih Hada menjadi basis perkumpulan keluarga besar kami. Betapa ribet berlebaran di Leuwiliang itu. Sebab kami harus mengisi buku hadir anggota keluarga terlebih dahulu layaknya mengisi buku tamu undangan pernikahan. Dalam buku tersebut terdapat sejumlah data keturunan Apih Jumsih, kakek buyutku. (Cerita mengenai silsilah keturunan Apih Jumsih baca Sepanjang Hidupku episode 6).

    "Ini nama si Fariz masih tercantum juga di silsilah keluarga kita?" Mata mama melotot mengamati buku daftar hadir anggota keluarga.

    "Biar saja Iis, buruk-buruk papan jati! Seburuk apapun kelakuan si Fariz itu, bagaimanapun dia tetap anakmu. Darah daging kamu!" Tegur Umi Encih dan Umi Ating.

    "Iya Ma, Aa Fariz itu tetap Aa-nya Ugih!" Belaku.

    "Uwak sama Bibi tidak tahu bagaimana kesalnya perasaan Iis. Kamu juga Gih, masih saja nganggap si Fariz itu Aa kamu!" Ujar mama kesal.

    "Jangan begitu! Seandainya nama kamu yang dicoret dari silsilah keluarga Apih Jumsih bagaimana?" Tantang Umi Encih.

    "Eceu ini bagaimana sih, malah membalikkan keadaan sama si Iis?" Protes Umi Ating kepada kakak sulungnya itu.

    #Eceu : Kakak (perempuan)

    "Jangan terlalu kamu bela keponakan kesayanganmu itu!" Tutur Umi Encih. "Keturunan Apih Jumsih kan dari tahun ke tahun semakin bertambah, cucunya saja sekarang sudah 71 orang, belum lagi cicitnya hampir 200 orang! Bisa bikin kampung sendiri kita kaya Pak Momo kakeknya si Iis yang di Cimanggu itu! Satu Cimanggu masih terikat hubungan keluarga semua!" Sambung beliau lagi.

    "Kita juga satu Kecamatan Leuwiliang ini kan masih banyak terikat hubungan saudara dengan warga lainnya!" Umi Nyai turut menimpali percakapan 2 orang kakaknya itu.

    "Tuh dengar, kata Bu Camat kita!" Umi Encih menyentak Umi Ating.

    "Kenapa jadi bahas keluarga yang di Cimanggu?" Mama terperangah.

    "Ah, sudahlah! Sekarang ini sedang suasana lebaran, cepat segera kita mulai acaranya! Mau saling memaafkan tidak?" Seloroh Umi Nyai mengatur barisan para anggota keluarga.

    Umi Encih dan para saudara kandung Apih Hada berderet di ruang utama. Sementara para anak-cucu dan cicit mereka berbaris di ruang tamu memanjang hingga keluar dari pintu halaman menembus hingga ujung gang di tepi jalan. Aku sendiri mendapat posisi tepat di depan pagar pekarangan saking banyaknya keturunan Apih Jumsih. Sayang, Apih Hada tidak kunjung datang mengikuti acara perkumpulan keluarga besar ini. Entah di mana rimbanya keberadaan Apih Hada saat ini.

    "Sst... Lucky! Lu sini aja, belakang gue!" Panggilku pada Lucky jauh di belakangku.

    "Kan sesuai urutan!" Lucky segan mengikuti ajakanku.

    "Udah, cuek aja lagi! Serobot semua yang ada di depan elu!" Perintahku.

    "Ya udah atuh. Permisi Kang, Teteh, saya mau duluan ya!" Lucky tersenyum nyengir membungkukkan badan.

    "Woy, ngantri dong!" Teriak sepupu kami yang lain.

    "Peace ah, sekali-sekali nyerobot gak apa-apa dong!" Kata Lucky cuek.

    "Maaf lahir batin Umi, Aki, Nini, Abah, Apih!" Kusalami semua jajaran sesepuh keluargaku.

    Walau dengan mama dan Mang Ega sudah berlebaran di Cimanggu namun tetap kusalami kembali mereka berdua dalam acara keluarga ini. Belum afdol rasanya kalau tidak menyalami dua kali. Hanya keluarga Mang Wana dan Bibi Harti yang tidak menghadiri acara perkumpulan keluarga besar ini, entah apa alasan yang menghalangi keberangkatan mereka ke Bogor. Sementara Bibi Ridha dan Mang Bagas masih bisa dimaklumi karena mereka tinggal nun jauh di pelosok Kalimantan. Perlu waktu yang cukup lama dan biaya yang tidak sedikit agar dapat mudik ke tanah Jawa.

    "Nih, cucu kesayangan Umi, selamat ulang tahun ya!" Umi Ating menyerahkan sebuah bingkisan untukku beserta sebuah angpau berisi uang lebaran. Dikecupnya kedua belah pipiku kanan dan kiri.

    Kulirik Lucky yang duduk di sebelahku. Tampak jelas air mukanya menunjukkan ekspresi cemburu.

    "Cucu kesayangan!" Gumam Lucky pelan membuang pandangannya ke arah lain.

    "Sst, nih angpau gue buat elu aja!" Kuberikan angpau pemberian neneknya itu padanya agar ia tidak cemburu lagi.

    "Buat apa?" Lucky terbeliak.

    "Lu kan sepupu kesayangan gue! Gue rela bagi-bagi sama lu!" Ucapku tulus.

    "Gue tahu kenapa gue jadi sepupu kesayangan lu! Karena gue sepupu lu yang paling ganteng kan?" Tebaknya dengan gaya sangat narsis.

    "PD emen! Tapi berhubung sekarang lagi dalam suasana lebaran, semua omongan lu, gue he'ehin aja deh!" Kataku pura-pura gengsi.

    "Thanks brother! You are very kind cousin!" (Makasih saudaraku! Elu sepupu yang sangat baik!) Lucky melingkarkan tangannya di tubuhku.

    "Happy birthday, wish you be wiser and always lucky!" (Selamat ulang tahun, semoga elu lebih bijaksana lagi dan selalu beruntung!) Ucapnya di telingaku.

    "So many thanks!" (Makasih banyak!) Balasku menempelkan pipiku dengan pipinya secara bergantian.

    Sebenarnya hari ultahku jatuh pada hari lebaran kedua. Berhubung acara keluarga dilangsungkan pada hari pertama, maka aku mendapatkan ucapan selamat lebih awal dari waktu yang seharusnya. Banyak anggota keluargaku yang memberikan bingkisan kado padaku. Mereka mendoakan semoga aku cepat dewasa, tetap rajin shalat, rajin belajar, dan senantiasa mendoakan orang tua.

    Setelah saling bersalaman dan saling memaafkan antar sesama anggota keluarga, tibalah waktunya jamuan besar di ruang makan. Seluruh ruangan sangat penuh, padat, dan sesak. Kami berbaris mengantri mengambil hidangan yang disajikan di ruang makan oleh Umi Encih. Tak terbayang olehku seperti apa tadi malam keluarga yang berasal dari jauh bermalam di rumah Umi Encih yang tidak seberapa besar itu. Mungkin sebagian terpaksa mengungsi ke rumah-rumah anggota keluarga terdekat yang lain.

    "Gie, doain gue ya. Supaya tahun depan bokap gue bisa beliin gue motor. Kalo tahun depan gue dah punya motor, gue janji gue bakal ngajakin elu jalan-jalan ngelilingin Bogor dari ujung ke ujung!" Kata Lucky sambil mengunyah makanan di mulutnya.

    "Lucky, kalo makan jangan sambil ngobrol!" Tegur Umi Ating pada cucu tergantengnya.

    Kuseka bibirku yang belepotan oleh saus dengan menggunakan tisu. Satu piring opor ayam dan rendang sapi habis disantap olehku berdua dengan Lucky. Kami makan sangat lahap, terkadang saling menyuapi satu sama lain. Kami berdua memang pasangan sepupu yang sangat kompak. Padahal hubungan kami hanya sepupu jauh, karena hubungan sepupu sebenarnya adalah mamaku dengan Bi Titin mamanya, anak dari Umi Ating yang mantan bintang film itu.

    "Iya, pasti gue doain! Janji lho, lu mau ngajakin gue muter-muter ngelilingin Bogor!" Kutepuk sebelah pundaknya.

    Lucky mengacungkan jempolnya tanpa berani berkata-kata lagi takut kena tegur neneknya yang super cerewet. Lucky memang sangat sensitif terhadap sikap Umi Ating yang cenderung keras terhadapnya. Dari dulu ia selalu beranggapan kalau cucu yang disayangi neneknya itu hanya aku semata. Bukan Intan, Angga, maupun Yogi para saudara kandungnya. Bukan pula Hasan, Husen, Umar, dan Amir para sepupunya, cucu Umi Ating dari anak-anaknya yang lain.

    "Tatu, Tita, Tito, Tuti, kalian sudah mengucapkan selamat belum sama Sugih? Kebetulan besok dia ulang tahun lho!" Panggil Uwak Yanah anak tertua Umi Encih kepada keempat orang anaknya.

    "Yah, ulang tahunnya juga besok Ma! Ya, besok lagi aja ngucapinnya!" Sahut Tito tidak begitu menghiraukan seruan Uwak Yanah.

    "Nanti malam kita langsung pulang ke Tangerang, sayang! Kita kan nggak ngasih apa-apa sama dia, setidaknya kita ngasih ucapan selamat dong!" Uwak Yanah membelai rambut putra tunggalnya itu.

    "Ya udah, ayo Kak, kita kasih ucapan selamat buat Sugih!" Ajak Tito kepada dua orang kakaknya, Tatu dan Tita, disusul oleh adiknya Tuti.

    "Selamat ulang tahun ya, Gih! Maaf nih nggak bisa ngasih apa-apa soalnya gak tahu kalau ada keluarga yang berulang tahun!" Tutur Tita menyalamiku.

    "Enggak apa-apa kok Teh, Ugih juga berterima kasih atas ucapan selamatnya!" Balasku santun.

    Umurku dengan Tita terpaut 2 tahun, dengan Tatu 4 tahun, sementara dengan Tito kami sebaya sama-sama kelahiran 1985. Ia hanya lebih tua 2 bulan dariku. Sedangkan dengan Tuti, umurnya 2 tahun lebih muda dari umurku.

    "Kapan-kapan kamu maen ke Tangerang ya!" Ucap Tito memintaku untuk berkunjung ke rumahnya.

    "Insya Allah kalau ada kesempatan nanti main ke sana!" Janjiku sungguh-sungguh.

    "Sip. Ditunggu deh!" Timpal Tatu.

    "Eh, anak-anak semuanya dengerin! Tanggal 24 minggu depan, kita semua akan melakukan kunjungan ke Cirebon ke rumahnya Apih Aat. Kita akan mengadakan pertemuan besar bulanan keluarga kita sekaligus arisan keluarga. Bagi yang tinggal di wilayah Cianjur, Bandung, dan Sumedang akan kami jemput supaya kita bisa konvoi sama-sama. Mengingat pentingnya pertemuan ini guna mengikat tali silaturrahim keluarga kita, maka pertemuan ini wajib diikuti oleh seluruh anggota keluarga keturunan Apih Jumsih yang berada di Pulau Jawa tanpa kecuali. Barang siapa melanggar acara ini, siap-siap saja namanya dicoret dari silsilah keluarga!" Pengumuman dari Umi Nyai bernada sedikit mengancam.

    Tampak sebagian keluarga merasa senang dengan adanya pengumuman tersebut. Namun tidak sedikit pula anggota keluarga yang menyoraki Umi Nyai karena merasa kurang enak mendengar buntut dari pengumuman yang diberikannya karena nada bicaranya terdengar identik dengan ultimatum.

    "Huuu..." sorak kami pada Umi Nyai yang super seksi.

    "Bu Camat, akomodasinya ditanggung sama ente ya!" Gurau Apih Ahmad adik Apih Hada yang juga pensiunan tentara.

    "Asal ente jangan tembak mati ana aja!" Cibir Umi Nyai membetulkan posisi kacamatanya.

    "Halah, kalau ente pemberontak negara ini, ane pasti tembak ente seperti para pembelot GPK di Irian!" Tandas Apih Ahmad sedikit serius membuat Umi Nyai bergidik ketakutan.

    Semasa pengabdiannya sebagai abdi negara, Apih Ahmad dikenal sebagai salah satu pasukan penembak mati para residivis yang kerap melakukan gerakan separatis terhadap keutuhan NKRI. Oleh karena itu Apih Ahmad sangat disegani oleh para anggota keluarga besar kami. Padahal watak asli beliau sebenarnya penakut. Beliau sering merasa dihantui perasaan bersalah setiap usai mengeksekusi para residivis tersebut yang biasa dijatuhi hukuman tembak mati setiap pukul 12 tengah malam. Konon menurut pengakuan beliau ada berkisar 86 orang yang pernah ditembak mati oleh beliau. Oleh sebab itulah beliau sering ngeri sendiri bila mengingat tugas negara yang pernah dilakukannya. Tak ayal aku dan para saudaraku yang lain turut ketakutan juga tiap berada di dekat beliau.

    "Ky, entar kalo berangkat ke Cirebon, gue semobil sama elu ya!" Pintaku pada Lucky.

    "Sip, beres deh!" Lucky mengedipkan sebelah matanya.

    "Ayo Gih, kita pulang! Sudah sore nih, takut banyak tamu yang datang ke rumah!" Ajak mama mencolek punggungku.

    "Yah, masih mau ngobrol sama Lucky nih!" Berontakku.

    "Eeh, minggu depan juga masih ketemu lagi!" Ujar mama menarik tubuhku agar segera bangkit dari tempat dudukku.

    "Gih, jangan lupa ya, kapan-kapan main ke Tangerang lho!" Tito mengingatkanku lagi pada janji yang tadi kuucapkan.

    "Yoi, kamu juga maen ke Cimanggu ya kalau sempat!" Gantian aku memintanya untuk berjanji.

    "Beres bos!" Tito memberi hormat ala tentara padaku.

    Kulayangkan tembakan dengan jempol dan telunjukku ke arahnya. Tito pun berpura-pura terjatuh terkena tembakan. Lantas kami tergelak bersama.

    "Semuanya Ugie pamit dulu ya. Makasih buat doa, angpau dan ucapan selamatnya. Sekali lagi minta maaf kalau Ugie punya salah sama kalian," pamitku kepada para sepupu dan saudara seumuranku.

    "Mamang, Bibi, Umi, Apih, Nini, Aki, Uwak, Ugih pamit dulu!" Kusalami semua sesepuh keluargaku.

    Satu karung kado kubawa pulang ke Cimanggu.

    "Gih, entar minggu depan bawa kaset The Greatest Love ya, gue mau pinjam!" Seru Lucky mengejar langkahku di ambang pintu.

    Kuacungkan jempolku padanya.

    "Aa, Dyah nanti minta kadonya satu ya!" Tatap Dyah penuh harap begitu kami menaiki angkot.

    "Yah, kalo isinya ada peralatan tulis pasti Aa kasih buat kamu!" Kucubit hidung adikku yang mungil itu.

    ♔♕♗

    Hari ini adalah hari ulang tahunku yang ke-16, tepat hari kedua Idul Fitri 1422 H. Pagi-pagi sebelum berangkat ke Jakarta untuk berhalal-bihalal ke rumah budenya, Ary menyempatkan diri untuk menyerahkan kadonya padaku. Sebuah jam tangan bermerek Seiko warna biru dongker kesukaanku.

    "Happy birthday, honey. May our love will always be everlasting!" (Selamat ulang tahun, sayang. Semoga cinta kita akan selalu abadi!) Kecupnya di keningku.

    "Thanks, dear. You're the spirit of my life!" (Terima kasih, sayang. Elu adalah semangat hidup gue!) Kubalas kecupannya di keningnya.

    "Sorry, can't stay with you tonight. But I promise, tomorrow we'll have fun together, just we're alone!" (Maaf, nggak bisa temenin elu nanti malam. Tapi gue janji, besok kita bakal senang-senang bareng, cuma kita berdua!) Katanya dengan tatapan redup.

    "It's okay. I understand! Just go, and don't think about me!" (Baiklah. Gue ngerti! Pergi aja, jangan pikirin gue!) Kataku mengizinkannya pergi.

    "Thanks in advance!" (Makasih sebelumnya!) Pamitnya melepaskan pelukanku.

    Malam ini aku berangkat siaran ke RRI seorang diri. Anton berhalangan mengantarku karena dia diminta Ryan untuk mengantarnya mengunjungi teman-teman sekolahnya.

    "Mungkin Ryan ingin meminta maaf kepada teman-teman yang pernah dilukainya," pikirku berusaha positive thinking.

    Setibanya aku di studio siaran, kudapati ruangan itu kosong melompong sama sekali tak ada orang. Tak ada konduktor yang biasa menemaniku bersiaran, juga tak ada Mbak Dian bersama teman-teman genk di kampusnya. Sejak aku masuk SMA, kami siaran English Service Program tidak lagi berdua, tetapi berempat bersama Kang Tosan pacar Mbak Dian, dan Mas Dody presiden organisasi Bogor Radio English Club yang juga merangkap Presiden English Club kampus IPB.

    Tampang Mas Dody sangat cute, matanya sedikit sipit, kulitnya bersih kuning cerah, sangat khas Jawa karena asalnya dari Jogja. Konon ia masih bergelar 'raden' di depan namanya yang bernama lengkap Hendrady Hendra Kusuma (baca dengan aksen Jawa). Dia baru saja beberapa bulan pulang dari Jerman setelah 12 tahun menetap di sana bersama kedua orang tuanya. Terus terang aku sangat ngefans kepadanya sejak pertemuan pertamaku dengannya. Dia hadir ke hadapan kami bertepatan dengan pemilihan presiden Radio English Club organisasi kami. Pada saat itu juga seluruh mata para anggota REC tertuju kepadanya dan mengkandidatkan dirinya untuk menjadi presiden organisasi bersaing dengan Kang Tosan, kekasih Mbak Dian.

    Entah mengapa aku sangat suka tiap kali Mas Dody meremas jemari tanganku saat kami sedang berduaan di dalam mobil. Mas Dody memang sering mengajakku jalan-jalan bila kami sama-sama sedang memiliki waktu luang. Kami pergi hanya berdua mengitari tempat-tempat yang indah di Bogor. Sikapnya begitu romantis kepadaku, membukakan pintu mobil untukku sebelum dan sesudah mengendarai mobil pribadinya. Aku tidak tahu, apakah ini pertanda bahwa ia juga sama sepertiku? Apakah ia diam-diam menaruh perasaan kepadaku? Namun aku hanya menganggapnya sebagai kakak. Aku hanya mengagumi ketampanan dan kepintaran yang dimilikinya. Bukan berharap untuk bisa menjadi kekasihnya.

    "Wah, gawat apa Mbak Dian dan yang lainnya lagi pergi mudik ya?" Aku menepuk keningku.

    Kucari Mrs. Mery di studio lain barangkali ia sedang menyiarkan sebuah acara.

    "Permisi Bu Heni, Mrs. Mery di mana ya?" Tanyaku pada salah seorang penyiar senior yang cukup kukenal.

    "Mrs. Mery baru saja pulang!" Jawab Bu Heni sambil mencocol kentang goreng ke pisin saus. "Oya lebaran dulu ya, minal aidin walfaidzin!" Bu Heni melap tangannya dengan tisu dan menyalami tanganku.

    "Mohon maaf lahir batin, Bu!" Kataku, "Lalu bagaimana dengan siaran English Service Program?" Tanyaku lagi.

    "Wah, saya kurang tahu. Sebentar saya hubungi ponselnya," Bu Heni meraih handphone dari dalam tasnya.

    "Halo Mbak Mery, ada yang mau ngomong sama Mbak nih!" Sapa Bu Heni seraya menyerahkan ponselnya ke tanganku.

    "Halo Mrs. Mery, saya Sugih. Acara ESP malam ini tidak disiarkankah?" Kataku to the point.

    "Oh Sugih, siaranlah!" Jawabnya singkat.

    "Tapi konduktor musik yang bertugas tidak hadir malam ini. Mbak Dian dan yang lain pun tidak datang juga. Apa mereka mudik?"

    "Ya sudah, kamu siaran sendiri saja kalau begitu!" Perintahnya begitu enteng.

    "Tapi bagaimana dengan opening music-nya? Masak saya langsung cuap-cuap begitu saja? Lantas siapa pula yang akan memutarkan lagu untuk para pendengar?" Serangku bertubi-tubi.

    "Kamu itu, memangnya sudah berapa lama siaran, sih? Kaya gitu saja kok tidak bisa?" Selorohnya sedikit meninggi.

    "Tapi... "

    TUT!

    Belum sempat aku menyampaikan kalimatku, terdengar nada sambung telepon telah diputus secara sepihak.

    SHIT!

    "Bagaimana ini? Kalau tidak siaran aku bisa kena marah para pendengar setiaku!" Risauku bingung.

    "Ini terima kasih banyak, Bu!" Kuserahkan ponsel yang kupakai kepada pemiliknya.

    "Bu, bisa minta tolong tidak?" Tanyaku ragu.

    "Mau minta tolong apa? Kamu mau cemilan? Nih, habiskan saja kentang goreng Ibu!" Disodorkannya sebungkus kentang goreng yang belum dimakannya.

    "Terima kasih untuk cemilannya. Saya mau minta tolong bantu putarkan lagu selama saya siaran, bisa kan Bu?" Tatapku mengiba.

    "Waduh maaf, Ibu tidak bisa karena sekarang pun harus siaran. Sudah ya, Ibu ditungguin tuh di studio 3!Bye, Sugih!" Pamit beliau menggamit tas dan jaketnya.

    HUFT!

    "Bagaimana ini?" Keluhku lagi. Tak seorangpun dapat membantu. Semua studio tampak sibuk, dan tak seorangpun staf RRI yang stand by di ruang kantor.

    Akhirnya dengan penuh keyakinan aku mencoba untuk tetap bersiaran sambil mempelajari cara memutarkan backsound, dan lagu yang akan dipersembahkan untuk para pendengar yang merequest.

    "Semuanya pasti ada di komputer!" Pikirku.

    Setelah siaran rohani yang diputarkan secara otomatis di studioku telah selesai diperdengarkan, aku mulai memasang headphone di telingaku sambil mencoba mengotak-atik komputer yang ada di hadapanku.

    "Good evening everybody, meet again with me here on pro 1 RRI Bogor 94,25 FM, I'm Sugih in English Service Program!" (Selamat malam semuanya, jumpa lagi dengan saya di sini pro 1 RRI Bogor 94,25 FM, saya Sugih dalam acara Pelayanan Bahasa Inggris!) Kubuka acara dengan perasaan riang.

    PUMP PUMP PUMP PUMP PUMP PUMP PUMP PUMP PUMP PUMP PUMP PUMP PUMP PUMP PUMP PUMP PUMP PUMP PUMP...

    Kukukuk... Kukukuk... Kukukuk... kukuk...
    Kukukuk... Kukukuk... Kukukuk... Kukuk...

    Tak bisa memutarkan opening music yang biasa diperdengarkan, aku tak kehilangan inisiatif untuk menirukan bunyi musik tersebut dengan suara-suara yang kubuat dengan bibir yang kutepuk berkali-kali sambil bersiul riang. Agak konyol memang, tapi inilah jerih payahku menghibur para pendengar.

    "Well, first of all I would like to say minal aidin walfaidzin, please forgive me if there are some mistakes that I have said to you during broadcast this program. Happy Eid Mubarakh day 1422 Hijriah. So we must be happy, because in this celebration day we must forgive each other by shaking hand in hand and there are so many activities that we can do during the eve. Would you like to share your story about Idul Fitri? Please, let us know your story!" (Baiklah, pertama-tama sebelumnya saya ingin mengucapkan minal aidin walfaidzin, mohon maafkan saya bila terdapat kesalahan yang saya ucapkan selama saya menyiarkan acara ini. Selamat Idul Fitri 1422 Hijriah. Jadi kita harus gembira, karena pada perayaan ini kita harus saling memaafkan satu sama lain dengan berjabatan tangan dan ada banyak sekali kegiatan yang dapat kita lakukan selama perayaan. Maukah kalian berbagi cerita mengenai Idul Fitri? Ayo, izinkan kami mengetahui cerita kalian!) Aku bercuap-cuap tanpa henti.

    "Just dial 3124...!" (Tekan saja 3124...!) Pesanku menyebutkan nomor telepon line studioku.

    TUT! TUT!

    "Oh, we get one caller!" (Oh, kita mendapat satu penelepon!) Seruku menerima panggilan pertama.

    "Hello... Good evening, who is it?" (Halo... Selamat malam, siapa ini?) Sapaku kepada si pemanggil.

    "Hello, Sugih. This is me, Dian. What a crack humming crow! It's so so bad unmelodious voice I've ever heard!" (Halo, Sugih. Ini aku, Dian. Alangkah kicauan gagak yang hancur! Itu benar-benar buruk, suara yang tidak merdu yang pernah kudengar!) Cerca Mbak Dian tiba-tiba.

    "Ah, Miss Dian... Where are you tonight? I'm so lonely without you and the others. Please come here, and stay away with me!" (Ah, Mbak Dian... Di mana Mbak malam ini? Aku sangat kesepian tanpamu dan yang lainnya. Tolong ke sini, dan temani aku!) Bujukku pada Mbak Dian.

    "Hey, listen! Don't do such a silly thing like you did before! I do not like it at all!" (Hey, dengarkan! Jangan melakukan hal konyol seperti yang kamu lakukan sebelumnya! Aku tidak menyukainya sama sekali!) Omelnya jengkel.

    Aku sangat terkejut mengapa nada bicara Mbak Dian berubah ketus seperti itu. Tapi kucoba untuk menahan amarahku sebelum mendengar penjelasan darinya.

    "Aduh Sugih, jangan lagi-lagi mengulangi hal-hal seperti tadi! Itu sangat memalukan tahu!" Bentak Mbak Dian.

    "Ergh... Miss Dian we are in English Service Program, so speak English please!" (Eh... Mbak Dian, kita sedang di English Service Program, jadi berbicaralah dalam Bahasa Inggris!) Pintaku padanya sekadar mengingatkan.

    "Eh, suka-suka gue dong! Mulut, mulut gue kok. Terserah gue mau ngomong pake bahasa mana aja, mau bahasa alien kek, bahasa binatang kek, bahasa genderuo kek! Emang lu mau apa?" Sambarnya emosional.

    "Hah? What's wrong with you Miss Dian? It's not you to be unfriendly like this!" (Hah? Ada apa denganmu Mbak Dian? Kamu tidak biasanya tidak ramah seperti ini!) Aku benar-benar terkejut.

    "Hell with you! Mending lu cabut aja dari situ!" Katanya dengan nada yang sangat menjengkelkan.

    "Apa sih, maunya Mbak Dian?" Rutukku dalam hati.

    TUT!

    Sambungan telepon terputus. Padahal aku ingin sekali mengingatkannya kalau sekarang ini masih dalam suasana lebaran.

    "Okay listeners, when you call me here, please speak English! Because we are here learning English together. We want to hear you speak up yourself, try to communicate with us here to share your idea, opinion, story, and maybe your experience. And don't forget please be polite when you speak up! Ah, I get the next caller. Helloooo... Who is it?" (Baiklah para pendengar, ketika kalian meneleponku di sini, tolong berbicara Bahasa Inggris! Karena kita di sini sedang mempelajari Bahasa Inggris bersama. Kami ingin mendengar kalian berbicara lebih keras, mencoba berkomunikasi dengan kami di sini untuk berbagi ide, opini, cerita kalian, dan pengalaman kalian. Dan jangan lupa bersikaplah sopan saat kalian berbicara! Ah, saya mendapatkan penelepon selanjutnya. Halooo... Siapa ini?) Lanjutku bercuap-cuap.

    "Hi Sugih, this is Dody! I'm going to confirm you that you should not be there. You don't have a schedule for broadcasting tonight. So just go away! Leave the studio now!" (Hai Sugih, ini Dody! Aku akan memberitahumu kalau kamu seharusnya tidak di situ. Kamu tidak punya jadwal siaran malam ini. Jadi pergilah, tinggalkan studionya sekarang!) Tutur Dody kalem dan santai.

    "Oh, Dody come on I have just called Mrs. Mery she confirmed me that we are broadcasting tonight. So why you're absent right now? Just come here, and please stay with me!" (Oh, Dody ayolah aku sudah menelepon Mrs. Mery tadi. Dia memberitahuku kalau kita siaran malam ini. Jadi mengapa kamu absen sekarang? Ke sinilah, temani aku!) Sahutku menegaskan pada Mas Dody.

    "No, no, no! You got a mistake! We're off tonight. According to what Miss Dian said, she's true you may not disturb our listeners with that craw voice! It hurts, you know!" (Tidak, tidak, tidak! Kamu salah! Kita libur malam ini! Sesuai apa yang dibilang sama Mbak Dian, dia benar kamu tidak boleh mengganggu para pendengar kita dengan suara gagak itu! Itu melukai, tahu!) Sanggahnya ngotot.

    "Sorry for the embarrassing thing that I did. But I would like to assure you if tonight we're really having the schedule on!" (Maaf untuk hal memalukan yang kuperbuat. Tapi aku ingin meyakinkanmu kalau malam ini kita sungguh memiliki jadwal siaran!) Tegasku.

    "Em, You don't have an access to power this program yourself! I'm the president of the Radio English Club, you must obey to my command!" (Em, kamu nggak punya akses untuk menguasai acara ini sendiri! Aku presiden Klub Bahasa Inggris Radio, kamu harus nurut sama perintahku!) Dody berkeras hati.

    "Uhm, really Mr. President? Should I follow what you ask for?" (Oh, begitukah Pak Presiden? Haruskah aku mengikuti apa yang kamu minta?) Tentangku.

    "Owh, what a pathetic boy!" (Owh, dasar cowok perasa!) Tanggapnya sinis.

    "Dody, don't kid me! I know you and Miss Dian try to trick me, right?" (Dody, jangan candai aku! Aku tahu kamu dan Mbak Dian mencoba untuk mengerjaiku, kan?) Tebakku.

    "Uuu... So confident you are! You know, I'm talking with you seriously! Don't make me angry!" (Huuu... PD sekali kamu! Kamu tahu, aku ngomong sama kamu serius! Jangan bikin aku marah!) Bentaknya.

    "Ah, so sorry listeners, I think there is a miscommunication with those my partners!" (Ah, mohon maaf pemirsa, saya pikir ada kesalahpahaman dengan para partner saya itu!) Kataku menutup line telepon Dody tanpa sepengetahuannya.

    "Alright, before going to listen to a song, let hear whose voice it is! Hellooo... Good evening!" (Baiklah, sebelum mendengarkan sebuah lagu, mari kita dengar suara siapa ini! Halooo... Selamat malam!) Sapaku beramah-tamah kembali kepada para pendengar.

    "Good evening Sugih!" (Selamat malam Sugih!) Bu Sjahandari membalas sapaanku.

    "Oh, Miss Ndary. Happy lebaran's day. Happy Eid Mubarakh, Happy Idul Fitri, minal aidin walfaidzin. I would like to apologize for the mistakes that I have done, both incidentally and unincidentally!" (Oh, Bu Ndary. Selamat lebaran. Selamat Idul Fitri, minal aidin walfaidzin. Saya ingin memohon maaf atas kesalahan-kesalahan yang telah saya perbuat baik yang disengaja maupun tidak disengaja!) Ucapku tulus.

    "Of course you need to say it. Your mistakes are so many many and uncountable!" (Tentu saja kamu harus mengucapkannya. Kesalahanmu sangat sangat banyak dan tak terhitung!) Balasnya datar.

    Aku sedikit terkejut apakah beliau sedang bercanda atau tidak. Tidak biasanya Bu Sjahandary berkata dingin seperti itu.

    "Yeah, I know!" (Ya, saya tahu!) Responku tidak semangat.

    "Apa mereka semua sedang mengerjaiku karena hari ini aku sedang berulang tahun?" Batinku gusar.

    "It sounds you get panic. I guess you have so many problems, don't you?" (Kedengarannya kamu sedang panik. Saya rasa kamu punya banyak masalah, iya kan?) Tanya beliau memastikan keadaanku.

    "Not at all, Miss Ndary. I'm just confused with those two previous callers!" (Sama sekali tidak, Bu Ndary. Saya cuma bingung dengan 2 penelepon sebelumnya!) Kataku berterus terang.

    "Ah yes, I know. I guess you should go home and take a rest at home better than you serve our listeners tonight unhappily!" (Ah ya, saya tahu. Saya rasa kamu seharusnya pulang dan beristirahat di rumah daripada kamu melayani para pendengar malam ini tidak dengan gembira!) Nasihatnya.

    "I'm just fine, Miss Ndary!" (Saya baik-baik saja, Bu Ndary!) Kataku meyakinkannya.

    "Well, you just open the door and let them change your position!" (Kamu buka saja pintunya dan biarkan mereka menggantikan posisimu!) Perintah Bu Sjahandary.

    "Them?" (Mereka?) Aku mendadak bingung.

    Segera kubuka pintu studio tempatku bersiaran. Dan dadaku berdegup kencang tatkala kudapati di ambang pintu...

    "Surprise!" Teriak mereka bersamaan.

    "VJ UTT? Oh, NO! Is it real?" (VJ UTT? Oh, tidak! Apakah ini nyata?) Kupegangi kedua pipiku berdiri terpaku.

    Segera sesudahnya buru-buru aku melonjak kegirangan memeluk tokoh idolaku itu. What an amazing day!

  • #21

    Aku masih tak percaya dengan apa yang kulihat. Seorang VJ terkenal idola para remaja se-Asia dan juga idolaku sendiri tengah berada di hadapanku. Mbak Dian, Kang Tosan, Mas Dody, Bu Sjahandary, dan juga Mrs. Mery berdiri di belakangnya membawakan sebuah kue tart untukku.


    "Happy birthday Sugih! Happy birthday Sugih..." mereka berdendang bersama-sama.


    Tiba-tiba pintu lemari di dalam studio terbuka lebar. Dan muncullah Pak Rinto, konduktor yang biasa memutarkan lagu setiap kali aku bersiaran.


    PREEEEET...


    Ditiupnya terompet begitu panjang yang sukses membuatku terkejut setengah mati. VJ Utt tertawa berderai memperhatikan ekspresiku yang menurutnya lucu. Asli, sumpah, VJ UTT itu ternyata ganteng banget! Tubuhnya tinggi, atletis, dan sangat cute. Badanku langsung lemas tidak kuat berdiri lama-lama mengagumi paras tampannya.


    VJ Utt menepuk-nepuk pundakku. "Come on, blow the candle!" (Ayo, tiup lilinnya!)


    Astaga! Aku sampai lupa saking terkesimanya diriku mengagumi tokoh idolaku itu. Bagaimana mungkin seorang VJ terkenal kaliber internasional bisa berhadapan denganku yang hanya seorang 'Ordinary People' alias 'rakyat jelata kamseupay' (tapi nggak pake 'ieewh').


    "Hello listeners, I'm still here. And I'm not alone because tonight I have a very very special guest for you live from Pangrango Street Number 34!" (Halo pemirsa, saya masih di sini. Dan saya tidak sendiri karena malam ini saya mempunyai seorang tamu yang sangat sangat istimewa untuk kalian langsung dari Jalan Pangrango nomor 34!) Kembali kuraih headphoneku dan bercuap-cuap depan mic.


    "Well, do you know the person actually? Let me give you the clue! He's smart and very talkative guy, same with Sugih!" (Baiklah, apakah kalian mengenal tokoh ini sebenarnya? Biarkan saya memberi kalian gambarannya. Dia pintar dan cowok yang sangat cerewet sama dengan Sugih) Mas Dody turut berceloteh di sampingku.


    "He's an idol, my idol of course, good host, cool and the most handsome guy in Asia!" (Dia seorang idola, idola saya tentu saja, pembawa acara yang baik, keren, dan cowok paling ganteng di Asia!) Mbak Dian turut menambahkan.


    Ish, Mbak Dian ganjen juga pemirsa! Sudah punya Kang Tosan juga! Grrr...


    "And especially for you all, please don't envy me. Because from far away he comes for me to make a beautiful surprise, celebrating my birthday! Huhuhu... lucky me!" (Dan terutama untuk kalian semua, tolong jangan iri padaku. Karena dari jauh dia datang untukku membuat sebuah kejutan yang indah, merayakan hari ulang tahunku! Huhuhu... Beruntungnya aku!) Seruku girang tak terperi.


    "Whoooo... I envy you!" (Huuu... Aku iri sama kamu!) Canda Mbak Dian menarik-narik pipiku.


    "Alright, please welcome our special guest, VJ UTT!" (Baiklah, mari kita sambut tamu istimewa kita, VJ UTT!) Seru Kang Tosan menjawab rasa penasaran para pendengar kami.


    "Thank you! Thank you! Hello, I'm Utt from MTV Asia!" (Terima kasih! Terima kasih! Halo, saya Utt dari MTV Asia!) Sambut VJ Utt hangat bersahaja. Mendadak nada sambung telepon terdengar mengantri.


    PREEEET.... PREEEET...

    Pak Rinto tak henti-hentinya meniup terompet.


    "First of all, I wanna say 'happy birthday to your beloved DJ'. I'm so enthusiastic to meet a young DJ in this radio station, RRI. I was very impressed seeing his act when he slowly served the emotional callers with a great patience! Happy birthday DJ Sugih, wish all your dreams come true and always be kind and generous DJ, getting more beloved by all your listeners!" (Pertama-tama aku ingin mengucapkan selamat ulang tahun untuk DJ tercinta kalian. Aku sangat antusias berjumpa seorang DJ muda di stasiun radio ini, RRI. Aku sangat terkesan melihat aksinya ketika dia pelan-pelan melayani para peneleponnya yang emosi dengan rasa sabar yang hebat! Selamat ulang tahun DJ Sugih, semoga semua impianmu tercapai dan selalu menjadi DJ yang baik hati serta dermawan, semakin dicintai oleh para pendengarmu!) Ucap VJ Utt dengan aksennya yang sangat cepat.


    "Thank you very much, VJ Utt. You know, one of my dream is to meet a great VJ like you. Because I'm the one of your big fan!" (Terima kasih banyak, VJ Utt. Kamu tahu, salah satu impianku adalah bertemu seorang VJ hebat sepertimu. Karena aku adalah salah satu penggemar beratmu!) Kataku bersungguh-sungguh.


    "Okay, so our topic tonight is talking about surprise! Have you ever felt a very unforgettable surprise in your life? What kind of surprise that you're experienced? If you want to share about your story, just dial 3124... !" (Oke, jadi topik kita malam ini adalah kejutan! Pernahkah kalian merasakan sebuah kejutan yang tak terlupakan dalam hidup kalian? Kejutan seperti apa yang kalian alami? Jika kalian ingin berbagi cerita kalian, tekan saja 3124....) Mrs. Mery mengambil alih acara.


    Para penelepon pun kembali berlomba-lomba menghubungi kami. Telepon yang kami angkat pertama ternyata adalah Azhary, sahabatku yang tinggal di Loji. Dia mengucapkan selamat Idul Fitri kepada kami semua, mengucapkan selamat ulang tahun padaku, dan juga bercerita tentang pengalamannya yang tak terlupakan. Ternyata Azhary menceritakan kejutan istimewa yang tak terlupakan olehnya adalah saat aku datang mengunjunginya semasa SMP dulu setelah 9 tahun lamanya kami tak bertemu. VJ Utt sangat terpana mendengar penuturan cerita Azhary.


    "Your friendship reminds me to my best friend in USA! Unfortunately I never meet him again because of my job here in Asia!" (Persahabatan kalian mengingatkanku pada sahabatku di Amerika Serikat! Sayangnya aku tak pernah menjumpainya lagi karena pekerjaanku di Asia sini!) Ungkapnya penuh rasa haru.


    Tak terasa 2 jam lamanya kami bersiaran, bagiku terasa hanya sekejap mata. Padahal bila tidak ada kehadiran VJ Utt di tengah-tengah kami, 2 jam itu terasa sangat lama dan membosankan. Rupanya kunjungan VJ Utt ke kotaku adalah adanya kontrak VJ Utt dengan Bu Sjahandary selaku promotor iklan yang dibintanginya. VJ Utt tengah membintangi iklan bank yang kebetulan dimanajeri oleh Bu Sjahandary. Karena Bu Sjahandary kebetulan mengetahui kalau aku sangat mengidolakan VJ Utt maka beliau sengaja berinisiatif untuk memberikan kejutan padaku. Tidak hanya itu, Bu Sjahandary juga memberi sebuah bingkisan kado istimewa lainnya untukku. Sebuah ponsel Nokia berlayar monokrom dan dering ringtone polyponic. Jangan tanya apakah tahun 2001 sudah ada hp berfitur lengkap seperti zaman sekarang! Seingatku hp berfitur kamera VGA saja baru muncul pada kuartal ketiga setahun setelah aku mempunyai ponsel. Aku merasa perhatian yang diberikan Bu Sjahandary padaku terlalu berlebihan. Entah berapa banyak jumlah uang yang telah diberikannya padaku mulai dari beasiswa sekolah, uang saku, telepon genggam, hingga mempertemukan VJ Utt denganku.


    "This is my phone number and email address!" (Ini nomor telepon dan alamat emailku!) VJ Utt menyerahkan sebuah kartu nama padaku dengan gambar fotonya berukuran 3x4 cm. Sangat cute dan charming, aku sangat terpesona memandanginya.


    Mas Dody mengajariku bagaimana cara menyimpan kontak baru di ponselku, saat kami menikmati makan malam bersama di Caffe Catelia, salah satu caffe langganan kami. Mbak Dian dan Kang Tosan sudah pamit pulang duluan karena mendapat telepon dari ibunya Mbak Dian yang memintanya untuk pulang cepat dan jangan terlalu larut malam.


    "Thank you very much VJ Utt!" (Terima kasih banyak VJ Utt!) Kataku dengan mata berbinar.


    "Call me just UTT!" (Panggil saja aku, UTT!) Tegasnya bersahaja.


    Mas Dody turut memasukkan kontak ponselnya ke dalam daftar kontakku. Begitu pula dengan Bu Sjahandary.


    "Terima kasih banyak Bu, Mas!" Ucapku kepada mereka berdua.


    "Terima kasih. Saya suka kata-kata itu!" Ucap VJ Utt dalam aksen Melayu yang lumayan fasih.


    Setelah acara makan malam bersama usai, Utt meminta kami untuk menemaninya berkeliling-keliling melihat panorama malam kota Bogor. Ia sangat terkesima melihat kemegahan Istana Bogor yang dibangun pada masa pemerintahan Gubernur Jendral Inggris, Sir Thomas Stamford Raffles yang juga pendiri pembangunan negara Singapura, negara ketiga di mana kini Utt tinggal setelah Amerika Serikat dan Thailand tempat kedua orang tuanya berasal.


    "Besok pagi, saya ingin masuk ke dalam Kebun Raya itu untuk melihat-lihat segala isinya!" Celetuk Utt penuh keseriusan. "Tolong temani saya, bisa kan?" Hey, lancar juga VJ Utt berbahasa Melayu.


    "Aduh gawat, sebenarnya aku masih trauma dengan kejadian yang pernah menimpaku dulu di sana," risauku gelisah dalam hati.


    "Tapi ini permintaan Utt, aku harus bisa memenuhinya. Kapan lagi bisa ngedate sama idola? Walaupun hanya sebatas menemaninya jalan-jalan!" Aku mencoba mensugesti untuk melupakan masa laluku saat berdagang di dalam Kebun Raya dulu itu.


    "Okay Utt, I'll pick you up at 8 AM!" (Oke Utt, aku akan menjemputmu jam 8 pagi!) Janjiku padanya.


    Bu Sjahandary tampak terkantuk-kantuk di bangku depan mobil bersama Mas Dody yang tengah menyetir.


    Kami mengantar Utt ke Hotel Pangrango tempatnya menginap tepat pukul 1 dini hari setelah puas melihat-lihat keindahan panorama spotlight Kota Bogor pada malam hari. Anehnya Utt merasa tidak kelelahan sama sekali. Heran, entah vitamin apa yang dikonsumsinya sehingga badannya tetap bugar meskipun begitu banyak aktivitas yang dilakukannya. Demikian pula dengan usia Utt yang telah mencapai 27 tahun, tetapi mengapa ia terlihat seperti masih remaja seumuranku?


    "The recipe is doing more sport! So your body will keep healthy!" (Resepnya adalah lakukan lebih banyak olah raga! Sehingga tubuhmu akan tetap sehat!) Himbaunya seolah tahu apa yang sedang berkecamuk dalam pikiranku.


    "Okay Utt, sampai jumpa besok ya!" Pamitku di depan pintu kamarnya.


    "Terima kasih!" Sahutnya riang.


    "Uhm, may I hug you before leaving? Boleh saya peluk kamu sebelum pergi?" Pintaku malu-malu.


    Tak kuduga dengan hangatnya Utt langsung membuka kedua tangannya lebar-lebar. Kurengkuh tubuh indah itu sesegera mungkin, melingkarkan kedua tanganku di pinggangnya erat. Utt mengusap punggungku hangat.


    "Utt, you're so sweet!" Ucapku dalam hati.


    Kubenamkan kepalaku di dadanya yang bertubuh lebih tinggi dariku. Dalam satu tahun ke depan aku pasti akan mengejar tinggi tubuhnya itu, yakinku dalam hati. Diam-diam aku mencium dadanya yang beraroma sangat harum. Ia pasti memakai parfum yang sangat mahal karena aku belum pernah mencium aroma sewangi itu. Apa gerangan nama parfum yang dipakainya? Semoga kelak aku bisa menemukannya. Aku tidak pernah menduga kalau 10 tahun yang akan datang nanti, Utt akan menggegerkan dunia maya dengan skandal video porno (masturbasi) yang sengaja diuploadnya. Entah benar entah tidak kebenaran isu tersebut.


    "Bye Utt, have a nice dream. Good night!" (Bye Utt, semoga mimpi indah. Selamat tidur!) Kulangkahkan kakiku meninggalkannya.


    "Bye Sugih! Sweet dream too! Nite!" (Bye Sugih! Mimpi manis juga! Malam!) Balasnya seraya masuk ke dalam kamar dan menutup pintu kamarnya kemudian.


    Mas Dody dan Bu Sjahandary menungguku di basement tempat parkir mobil.


    "Ibu, terima kasih banyak untuk semua yang Ibu berikan kepada Ugie. Ugie tidak tahu harus bagaimana lagi membalas semua kebaikan Ibu?"


    Bu Sjahandary ternyata pindah duduk ke bangku belakang tempat bekasku sebelumnya. Mas Dody segera menyalakan mesin mobil.


    "Kamu tidak perlu berterima kasih. Tetaplah menjadi anak Ibu selamanya!" Ucap Bu Sjahandary tertunduk seraya mengurut keningnya.


    "Tetapi maaf Bu kalau Ugie lancang menanyakan ini, sebenarnya apa yang menyebabkan Ibu begitu sayang kepada Ugie? Terus terang semua perhatian yang Ibu berikan kepada Ugie, rasanya amatlah berlebihan. Sekali lagi Ugie mohon maaf, beribu-ribu maaf atas kelancangan ucapan Ugie ini!" Ucapku sangat hati-hati.


    Bu Sjahandary terdiam cukup lama, matanya terpejam rapat. Apakah beliau sudah tidur? Tanyaku dalam hati. Sebelum kami benar-benar tiba di rumah Mas Dody karena kami akan bermalam di rumahnya, kulihat Bu Sjahandary melepas kacamata yang dipakainya. Air matanya menitik di pelupuk matanya yang meleleh jatuh ke samping wajahnya.


    "Parasmu, senyummu, tatapanmu, gerak tubuhmu, tutur katamu semua mirip Herman cinta pertama Ibu!" Ungkapnya dengan suara berat.


    Aku terperanjat mendengar pengakuannya. Tak pernah kuduga kalau selama ini Bu Sjahandary memendam cinta yang begitu dalam kepada... Ah, rasanya benar-benar pilu.


    "Dia meninggal dunia 20 tahun lalu karena tertimpa kecelakaan di kota ini. Oleh sebab itulah walaupun Ibu tinggal di Jakarta, Ibu selalu mengunjungi kota ini di sela-sela kesibukan Ibu! Selama ini Ibu telah berjanji kepadanya bahwa Ibu akan selalu setia kepadanya sampai kapanpun. Hati Ibu benar-benar pedih ditinggal mati olehnya. Andai maut datang menjemput Ibu lebih cepat, mungkin Ibu akan bahagia mendampinginya di peristirahatannya!" Bu Sjahandary terisak.


    "Selama ini batin Ibu tersiksa tak bisa melupakannya. Sampai Ibu pada akhirnya bertemu kamu, semangat Ibu kembali terbit, Ibu seperti melihat Herman hidup kembali. Betapa Ibu sangat merindukannya selama ini!"


    "Jadi karena itu Ibu terus membujuk Ugie untuk ikut pindah tinggal bersama Ibu di Jakarta?" Selorohku ragu.


    Bu Sjahandary mengangguk mengakui pertanyaanku.


    "Bu, peluk Ugie, Bu! Bila Ibu sangat merindukan sosok cinta pertama Ibu itu!" Kataku mempersilakannya untuk meluapkan kerinduannya.


    Mas Dody terhenyak menyimak perbincangan kami berdua. Bu Sjahandary menatapku lekat. Kucoba meyakinkannya agar jangan meragukan apa yang baru saja kuucapkan.


    "Terima kasih, Gie! Terima kasih, Ibu sayang kamu!" Serta-merta Bu Sjahandary mendekapku erat.


    Lama aku terdiam membiarkan wanita itu melepaskan kerinduannya kepada kekasih yang sangat dicintainya.



    "Pak Herman, beristirahatlah dengan tenang dan damai!" Doaku dalam hati.


    Selang sepuluh menit berlalu kami pun tiba di rumah Mas Dody yang megah dan mewah di kawasan Warung Jambu tidak jauh dari Mall Ramayana Jambu Dua. Mas Dody mempersilakan Bu Sjahandary untuk beristirahat di kamar khusus tamu, sementara aku diajaknya untuk beristirahat di kamarnya.


    Aku duduk terdiam setelah membasuh kakiku. Mas Dody menghampiriku dan menegurku.


    "Kamu masih kepikiran soal Bu Sjahandary tadi ya?" Tebaknya sangat tepat.


    "Iya Mas, aku sangat kasihan sama Bu Ndary. Tidak seharusnya beliau terpuruk seperti itu!" Kataku muram.


    "Kamu harus bisa membantunya bangkit dari kesedihannya!" Mas Dody menepuk bahuku pelan.


    "Kadang hidup itu seperti sinetron ya, Mas!" Kataku bergumam pelan.


    "Ya, sinetron kan merupakan potret kehidupan manusia!" Mas Dody menarik napas perlahan.


    "Mas Dody benar!" Tukasku segera naik ke atas tempat tidur.


    Mas Dody menarik selimut menutupi tubuhku agar tidak kedinginan. Kemudian ia mematikan lampu kamar. Kami pun segera terlelap setelah beberapa saat. Entah sejak kapan Mas Dody menggenggam jemari tanganku dalam genggaman tangannya. Ketika kuterbangun di pagi hari aku baru tersadar kalau genggaman tangannya begitu kuat kurasakan.


    "Tuhan, jangan katakan kalau Mas Dody menyukaiku! Aku belum siap untuk mendengarnya. Aku belum siap untuk menerimanya. Karena aku masih mencintai Ary di hatiku!" Perasaanku bergemuruh.


    "Pagi, Gie!" Mas Dody terbangun di sebelahku.


    "Mas, aku mau mandi. Tolong dilepas pegangan tangannya!" Ekor mataku melirik ke bawah.


    "Ups, maaf!" Mas Dody mendadak canggung.


    Segera aku bangun dan membersihkan diri. Aku ingin tampil prima di hadapan Utt pagi ini, sebelum ia kembali terbang ke Singapura nanti sore.


    "Aku harus melupakan kejadian itu! Demi Utt, aku harus bisa!" Tekadku sudah bulat. Selalu kuingat slogan yang diucapkan oleh Utt saat ia membawakan acara MTV Asia, "Be sparkling! Be yourself!"



    Kalau ada typo mohon dimaafkan ya! Mumpung masih dalam suasana lebaran.

    Cheers,

    ♔PrinceArga♔
  • @princearga. maaf lahir batin
  • such a nice story...
    i always waiting for the updates of this story..
  • Mohon maaf lahir batin bang @PrinceArga
    aku ngebayangin abang nulis part ini sambil senyum-senyum mengenang masalalu ketemu sama idola.. Uwaaahhhh
    kapan ya aku bisa ketemu sama idolaku
Sign In or Register to comment.