BoyzForum! BoyzForum! - forum gay Indonesia www.boyzforum.com

Howdy, Stranger!

It looks like you're new here. If you want to get involved, click one of these buttons!

Selamat datang di situs Boyzforum yang diarsipkan oleh Queer Indonesia Archive. Forum untuk komunitas gay Indonesia yang populer ini didirikan pada tahun 2003, dan ditutup pada tanggal 15 Desember 2020.

Forum ini diabadikan untuk kepentingan sejarah. Tidak akan ada konten baru di forum ini. Silakan menikmati forum ini sebagai potongan dari sejarah queer Indonesia.

Sepanjang Hidupku

1484951535464

Comments

  • moga aja Bang sugihnya menang?
    tapi ntar malah jadian ama anton, gmn? secara anton ada rasa ama sugih?
    Lubis tambah ganjen tuh, dpt jatah gk ya dari bang sugih?

    Trs cewek yg nasir ama bang sugih siapa dong?

    #pokoknya semangat dech,,, walaupun bulan puasa!
  • edited July 2014
    _
  • edited July 2014
    _

  • ★☆★☆★☆★☆★☆★☆★☆★☆★☆★☆★☆★☆★

    #19


    ---Bertarunglah!---

    Bogor, Juli-Desember 2001

    "Enam bulan?" Kuhempaskan tubuhku di kasur. "Ya, 6 bulan aku harus berpisah dengan Ary! Sanggupkah aku menjalani hari-hariku lagi tanpanya?" Tak henti-hentinya aku menggerutu dalam hati.

    Baru saja aku dan Ary menikmati indahnya kebahagiaan kami, sekarang kami harus terpisah lagi oleh orang ketiga di antara kami. Mengapa Ryan berubah menjadi iblis yang ingin merusak kebahagiaanku?

    "Aku harus sabar! Aku harus sabar! Bukankah selama ini aku selalu sabar menantikan kepulangan Ary dari Filipina hingga dua setengah tahun lamanya? Sekarang hanya enam bulan syarat yang diajukan Ryan. Itu belum seberapa dibandingkan dengan penantianku dulu!" Kucoba menenangkan pikiran dan perasaanku.

    Ini adalah hari ketiga di mana aku tidak bertemu dengan Ary semenjak perjanjianku dengan Ryan sore hari itu.

    DRRR... DRRR...

    "Hallo!" Kuangkat horn telepon di rumahku.

    "Sayang, gue kangen!" Suara itu...

    "Ary, lu mau bikin gue gagal ngelawan Ryan?"

    "Eh, tenang dulu dong, sayang! Ryan kan cuma ngelarang kita ketemuan sama jalan bareng aja kan? Tapi dia kan nggak ngelarang kita teleponan!"

    Terdengar suara Ary tertawa renyah.

    "Iya juga sih! Tapi kan tetap aja sama, ini kan berarti kita ketemuan di telepon!"

    "Em, ini sih bukan ketemuan. Tapi perbincangan!"

    "Sama kali, Ry! Perbincangan apa coba?"

    "Perbincangan 2 remaja yang saling merindukan!" Ary terkekeh.

    "Yee... Emangnya Cici Paramida?"

    "Dan gue Fery Irawan-nya!"

    "Narsis lu!" Sungutku.

    "Gue kan emang ganteng kali!"

    "Terus gue nyanyi lagu Wulan Merindu gitu?"

    Ary semakin tergelak, "Jangan Wulan Merindu! Purnama Merindu aja!"

    "Hem... Jadi Siti Nurhaliza atuh!" Protesku.

    Saat itu memang sedang hangat-hangatnya musim lagu Wulan Merindu yang dibawakan oleh Cici Paramida dan video klipnya dibintangi oleh aktor tampan Fery Irawan. Juga lagu Purnama Merindu yang dibawakan oleh artis cantik negeri jiran, Siti Nurhaliza. Walaupun sudah lewat beberapa tahun, namun lagu tersebut masih menjadi hits di kotaku.

    "Lu masih ingat gak sama puisi yang pernah gue baca di balkon rumah lu pas kita kelas 6 SD? Waktu itu gue ngelukis awan biru sambil baca puisi tentang purnama kan?"

    "Tentu aja gue ingatlah, Ry!"


    Andai awan itu biru...
    Mungkinkah langit malam
    Selamanya akan kelam?
    Menghapus relung-relung
    Jiwa yang sunyi dan tenggelam
    Oleh lena dan asa yang terpendam



    Ary membacakan sebait puisi yang dulu pernah dibacakannya untukku. Tak kusangka dia masih mengingat puisi itu. Kulanjutkan puisi yang baru saja dibacakannya.




    Menghantarkanku kepada kebisuan
    Agar purnama selalu terang
    Dan tak pergi meninggalkan
    Para insan yang mencintainya



    Ary sempat terkejut mendengarku begitu hafal penggalan puisi miliknya. Kemudian kami melanjutkan membaca bait ketiga puisi itu bersama-sama.



    Bila awan itu benar biru
    Bolehkah aku duduk di sana?
    Memangku purnama
    Agar tak pernah pergi selamanya...



    "Kok elu hafal puisi gue sih?" Ary benar-benar kaget.

    "Gue kan emang udah suka sama elu dari dulu, jadi apapun yang elu omongin ke gue pasti gue akan selalu mengingatnya!"

    "Haha... Keren! Berarti cinta lu ke gue lebih dalam daripada cinta gue ke elu. Jadi malu gue," Ary memelankan suaranya.

    "Lu nggak serius sama gue?"

    "Bukan gitu, Gie. Selama ini lu banyak berkorban demi gue. Lu bikin buku kumpulan puisi buat gue selama gue di Filipina. Lu beliin jaket yang sama buat gue. Sekarang lu juga terima tantangannya si Ryan hanya untuk mempertahankan hubungan kita. Sementara gue cuma bisa diam. Gue ngerasa malu sama elu!"

    Kudekap depan dada horn telepon yang kupegang. "Ary, betapa gue sayang sama elu!"

    "Ry, pengorbanan lu buat gue udah banyak! Gue cuma nggak mau hubungan yang baru aja kita bina ini menjadi sia-sia!"

    "Gie, gue gak bisa berbuat apa-apa buat ngebahagiain elu!"

    "Ary, selama ini lu udah bikin gue bahagia banget kok! Elu ngebalas buku kumpulan puisi gue sama album kenangan lu yang elu buat di Filipina. Elu yang selalu ngelindungin gue waktu kita berangkat sekolah hujan-hujan. Elu yang ngerelain jaket lu buat gue waktu gue kalah lomba interview sama bule di Kebun Raya. Elu yang selalu nganterin gue tiap kali gue berangkat siaran ke RRI. Dan elu juga yang selalu ngegendong gue ke ranjang tiap kali gue ketiduran pas kita belajar bersama!"

    "Itu karena gue cinta sama elu!" Katanya dengan suara berat.

    "Oleh sebab itu Ry. Gue juga pengen ngebuktiin kalo gue cinta sama elu, Ry!"

    "Gue kangen sama elu Gie, my Cute Prince!"

    "Gue juga kangen sama elu Ry, my Cool Prince!"

    Lama kemudian kami saling terdiam. Sampai akhirnya tiba-tiba Ary menyanyikan sebuah lagu untukku.

    More Than Words


    Sayin' I love you
    Is not the words I want to hear from you
    It's not that I want you
    Not to say it, but if you only knew
    How easy it would be to show me how you feel
    More than words is all you have to do to make it
    real
    Then you wouldn't have to say that you love me
    Cause I'd already know

    What would you do if my heart was torn in two?
    More than words to show you feel
    That your love for me is real
    What would you say if I took those words away?
    Then you couldn't make things new
    Just by saying I love you

    (la di da, blah di da da dada)
    More than words
    (lad di da da di da)

    Now that I've tried to talk to you and make you
    understand
    All you have to do is close your eyes
    And just reach out your hands and touch me
    Hold me close don't ever let me go
    More than words is all I ever needed you to show
    Then you wouldn't have to say that you love me
    Cause I'd already know

    What would you do if my heart was torn in two?
    More than words to show you feel
    That your love for me is real
    What would you say if I took those words away?
    Then you couldn't make things new
    Just by saying I love you

    (la di da da di da di da da da)
    More than words
    (la di da da di da di da da da)
    More than words
    (la di da da di da di da da da)
    More than words
    (la di da da di da di da da da)
    la di da da da da
    More than words
    Ooooohhhhhhh ooooohhhhhhh
    More than... Words


    Ary sungguh romantis. Hanya dengan puisi dan lagu aku terbuai oleh pesonanya. Aku terlena mendengar untaian kata yang dilantunkannya.

    "Semoga kebahagiaan itu dapat segera kita raih kembali ya sayang!"

    ***

    Hari-hari di sekolah terus kujalani penuh keceriaan meskipun tanpa adanya kebersamaan Ary di sisiku. Aku masih tetap siaran tanpa diantar olehnya. Sebagai penggantinya Anton selalu menemani hari-hariku yang sepi tanpanya. Antonlah yang selalu mengantar-jemputku siaran ke RRI di samping dia pula yang menjadi sensei-ku, melatihku karate dengan jurus-jurus yang dikuasainya.

    "Gie, ada titipan surat dari Ary!" Anton menyerahkan sebuah amplop berwarna biru padaku.

    Beberapa hari terakhir ini aku tidak menerima telepon dari Ary. Aku memang sengaja tidak mau menerima telepon darinya karena aku ingin fokus latihan bela diri bersama Anton. Kubuka amplop surat di tanganku. Isinya hanya selembar kertas. Sebuah lukisan. Kuamati dalam-dalam dan kutelisik setiap goresan dalam lukisan itu. Taman Satin. Tempat biasa kami bermain berdua. Sebatang pohon bungur berdiri kokoh di tengah rerumputan hijau yang terhampar di taman. Langit biru terbentang luas berpayungkan awan. Namun tiada matahari yang tergores dalam lukisan itu. Hanya terdapat seorang anak yang terlukis di sana, tengah duduk di rerumputan tepat di bawah pohon bungur yang bunga-bunganya tengah bermekaran. Mungkin Ary ingin memberitahuku kalau akhir-akhir ini ia sering pergi ke sana. Kulipat kertas itu dan kusisipkan ke dalam buku agenda yang biasa kubawa.

    "Ary, kita harus sabar! Aku yakin cinta kita dapat diperjuangkan!" Yakinku.

    "Kalo kata gue sih, lu batalin aja duel lu ini sama si Ryan!"

    "Ton, kenapa lu malah nyuruh gue buat jadi pengecut? Cowok sejati nggak akan pernah mundur dalam menghadapi tantangan!"

    "Gie, gue bukan mau minta lu jadi pengecut! Ada kalanya mengalah itu merupakan jiwa seorang kesatria! Tinggalin Ary, berpalinglah sama gue!" Tatapnya dengan mata berkilat.

    Kupalingkan wajahku menghindari tatapannya.

    "Gila lu! Si Leisya mau dikemanain? Gue bukan tipe cowok playboy yang gampang gonta-ganti pacar!"

    "Lu gak tahu jadi playboy itu asyik!" Anton menyandarkan punggungnya di kursi mobil. Mendesah.

    "Parah!" Cibirku ketus.

    "Ayo buruan turun! Mumpung belum terlalu malam, kita sempetin latihan dulu sebentar!" Kutarik tangannya hingga tubuhnya terseret keluar.

    "Enerjik banget sih lu, gak ada capeknya! Apa jangan-jangan lu itu sebenarnya robot?"

    Aku bersiap-siap latihan, mengambil posisi siap, merentangkan kedua tanganku, merapatkan kedua telapak tanganku seakan memberi sembah, dan kemudian bergerak posisi kuda-kuda. Kedua tanganku mengepal di samping pinggang, dan menggerakkan beberapa jurus pukulan.

    "Lu pernah belajar Pencak Silat, ya?" Anton berjalan menghampiriku mengamati setiap gerakan yang kubuat.

    "Waktu SD pelajaran Mulok di sekolah gue emang Pencak Silat, mulai belajar dari kelas 3 sih, makanya masih ingat setiap gerakannya!"

    "Pantesan aja gerakan lu cukup gesit," komentar Anton berputar mengelilingiku.

    "Tapi gerakan pukulan yang ini kalo gak salah kan gerakan KATEDA!" Anton tampak linglung.

    "Dulu gue emang suka merhatiin Mang Ega latihan KATEDA di rumah. Gue sering lihat dia latihan tenaga dalam," kataku masih terus mengulangi gerakanku.

    "Oh iya, gue baru ingat om lu itu kan alumni sekolah gue, ya?" Telunjuk Anton melintang di dagunya dengan siku ditekuk depan dada.

    "Ton, si Ryan itu udah tingkat sabuk apa sih karatenya?"

    "Setahu gue sih di karate dia udah sabuk cokelat! Kalau di taekwondo dia sabuk merah satu strip, terus kalau di judo gue gak tahu, kayanya sih baru nyampe kyu ketiga!" Anton mengingat-ingat.

    "Hap!" Serangku pada Anton secara dadakan.

    GUBRAK!

    Aku terjengkang.

    "Lu sengaja mau ngecohin gue? Sorry, buat karateka sabuk cokelat kaya gue gak bisa elu tipu!" Anton menyeringai.

    "Ya, gue emang gak peduli mau udah tingkatan apa si Ryan itu! Gue gak akan mundur buat ngelawan dia. Nyali gue kagak menciut!" Aku segera bangkit melakukan penyerangan kepada Anton.

    "Gerakan lu gak beraturan!" Anton berkelit memiringkan badannya ke belakang menghindari setiap pukulan yang kulepaskan.

    "Hap! Hap! Hap!" Serangku bertubi-tubi tapi justru malah tanganku yang berhasil dipelintirnya ke belakang kakinya bertumpu di punggungku begitu aku jatuh ke tanah.

    "Bangun!" Perintahnya.

    Aku meloncat dan berbalik. Kugerakkan kakiku menendang ke arahnya sesuai dengan gerakan dasar yang pernah kupelajari dalam Pencak Silat saat SD dulu.

    "Hup! Hup!" Usahaku berkali-kali gagal. Malah Anton berhasil menahan kaki kananku dan aku berdiri dengan sebelah kaki.

    "Uwaaa..." Aku kehilangan keseimbangan.

    "Gerakan lu kaku!" Ujarnya.

    "Nggak pemanasan dulu sih soalnya," dalihku.

    Karena jadwal sekolah kami yang berbeda, Anton sekolah pagi dan aku sekolah siang maka mau tidak mau kami hanya dapat berlatih pada malam hari. Hanya pada hari Minggu kami dapat berlatih pada pagi dan sore hari. Namun kami melakukannya cukup telaten dan secara rutin. Anton cukup sabar membimbingku mengarahkan jurus-jurus yang dikuasainya, hingga tanpa terasa minggu demi minggu pun terus berlalu.

    Menginjak bulan ketiga Anton sudah mengajariku bagaimana cara menghancurkan bata yang bertumpuk sampai 3 tumpukan, dan besi dragon baik dengan menggunakan tangan maupun dengan kepala.

    "Hiaat!" Telapak tanganku menghantam batu bata di hadapanku. "Adaaw..." Pekikku meringis kesakitan.

    "Pakai telapak bagian dalam! Berkonsentrasilah, kerahkan tenaga dalam lu!" Cetus Anton mengarahkanku.

    "Rasanya lumayan sakit. Tapi aku rela. Aku rela melakukannya demi kamu, Ary!" Tekadku membara.

    Hampir setiap minggu Ary menitipkan surat untukku melalui Anton. Terakhir surat yang kuterima darinya adalah sebuah lukisan semangkuk bakmie yang pernah kami makan di Rumah Makan Sahabat tempat kami berkencan dulu.

    "Apa Ary berkunjung ke sana akhir-akhir ini?" Pikirku berkecamuk.

    Sampai terpikir olehku mungkin ada baiknya juga aku berkunjung ke tempat-tempat yang pernah kami datangi bersama. Sepertinya ia menyimpan pesan tersembunyi di sana.

    Pagi-pagi sekali sebelum berangkat ke sekolah, kuputuskan untuk mengunjungi Taman Satin terlebih dahulu. Kupaksakan agar dapat menyempatkan diri bertandang ke sana untuk membuktikan kalau Ary telah meninggalkan pesan untukku di sana. Jalan menuju Taman Satin berlawanan arah dengan jalan menuju sekolahku. Tentu saja ini akan menyita waktu dan tenagaku karena aku menempuhnya dengan berjalan kaki.

    Kuhempaskan tubuhku duduk di bawah pohon bungur tempat biasa kami menghabiskan waktu berdua sepanjang hari. Tak ada peralatan melukis yang kubawa hari ini. Tak ada puisi yang ingin kubuat hari ini. Aku hanya ingin mencari pesan yang mungkin Ary ingin sampaikan padaku melalui lukisan-lukisan yang dikirimkannya padaku. Kuamati sekelilingku. Hanya ada rerumputan, bunga-bunga beraneka macam jenis dan warnanya, serta bangku taman yang terletak di sebelah lampu taman berbentuk seperti permen lollypop. Tanganku menggapai-gapai batang bungur tempatku bersandar. Kujelajahi pokok keras itu hingga tanpa kusadari ujung-ujung jariku menyentuh sesuatu yang tergores di batang. Itu dia!

    Ya itu dia pesan dari Ary! Dia telah mengukir sebuah hati dengan nama kami berdua di dalamnya. Kupandangi dengan cermat tulisan-tulisan kecil yang telah digoreskannya di batang.


    "Tiga hari rasanya tiga tahun
    Tiga minggu rasanya tiga abad
    Tiga bulan rasanya tiga millenium
    Ah, rindu itu begitu berat!"


    Sepertinya ukiran ini baru saja dibuat beberapa hari yang lalu. Karena kalimat ketiga yang tertera di sana menandakan waktu saat ini. Kuamati lagi tulisan-tulisan lainnya.


    "Pohon ini akan menjadi jembatan waktu yang mempertemukan kita. Meskipun saat ini kita tak dapat bertemu, namun aku yakin kamu akan selalu mencariku di sini! Ary ♡ Ugie!"


    Kutengadahkan kepalaku meratapi bunga-bunga bungur yang terus berguguran. Beberapa kelopaknya jatuh mengenai kepalaku. Pandanganku tiba-tiba tertuju pada sebuah bandana yang diikat pada dahan pohon yang tertinggi. Tanpa ragu kupanjat pohon itu guna melepaskan ikatannya dan mengambil bandana itu dari sana.

    "Ini kan bandana yang sering dipakai Ary!"

    Lama kuperhatikan setangan tiga berwarna biru gelap itu. Tertulis dengan jelas pada dasar kain dengan huruf berukuran besar 'ARY SAYANG UGIE' . Segera aku melompat turun melabuhkan diri di rerumputan.

    "Ah... Ary, mengapa cinta ini membuatku sesak?" Aku tak kuasa menitikkan air mataku walau setetes.

    "Hey kamu! Jangan merusak pohon itu! Pohon itu juga makhluk hidup ingin disayangi bukan untuk disakiti!" Hardik seorang bapak tua mengarahkan gagang sapu lidi yang dipegangnya ke arahku. Terlihat dari seragam yang dikenakannya kalau beliau adalah petugas kebersihan di taman ini.

    "Maaf Pak, saya hanya ingin membaca tulisan-tulisan di batang pohon ini!" Kataku membalas ucapan si pak tua.

    "Oh, Bapak pikir kamu anak muda yang sering ke sini setiap sore!" Kata pak tua itu lagi.

    "Setiap sore? Bapak hafal bagaimana ciri-ciri orangnya?" Seruku memburunya.

    "Ya, tentu saja Bapak hafal. Orangnya tinggi, kira-kira sebaya kamu. Rambutnya tebal, kulitnya terang. Agak kurus. Biasanya dua atau tiga hari sekali, dia duduk di bawah pohon itu sambil melukis. Atau kadang kala dia hanya menulis-nulis, entah apa yang sedang ditulisnya," terang si pak tua.

    Tidak salah lagi. Itu memang Ary. Dia pasti menulis puisi untuk mengusir kesepiannya. Buru-buru kutulis sesuatu di secarik kertas agendaku, dan kusampaikan kepada si pak tua.


    "Jarak kita sangat dekat. Namun kita terpisahkan oleh waktu. Jangan pernah memutuskan jembatan ini! Karena kita takkan pernah terhubung selama jembatan ini putus!    My ♡   is you!"


    Tulisku pada kertas itu. Kulipat kertas itu membentuk origami seekor angsa. Konon origami angsa melambangkan kesetiaan.

    "Pak, boleh saya minta tolong?" Tatapku penuh harap.

    "Mau minta tolong apa?" Mulut si pak tua menganga lebar.

    "Saya mau titip kertas ini. Mohon sampaikan pada anak laki-laki yang Bapak ceritakan tadi! Bilang saja saya berpesan agar dia tidak merusak pohon bungur itu lagi!" Kuserahkan angsa putih buatanku ke tangan si pak tua.

    "Baiklah, nanti akan Bapak sampaikan!" Ucapnya bersungguh-sungguh.

    "Terima kasih ya, Pak!" Kuhampiri kembali pohon bungur tadi dan kuikatkan sepucuk saputangan pada salah satu ranting terendah di sana.

    Bapak tua itu melanjutkan pekerjaannya setelah sempat melihat apa yang kuperbuat. Kulangkahkan kakiku meninggalkan taman dan langsung menuju ke sekolah.

    Hari masih pagi memang, namun aku harus menyelesaikan tugas Kimia di perpustakaan. Terkadang jika beruntung tidak hanya referensi dari perpustakaan saja yang kudapat. Ada saja kakak kelas yang mau berbaik hati menerangkan pelajaran yang sulit kumengerti. Biasanya mereka hanya mau mencubit pipiku dengan gemas setelah selesai mengajariku hal-hal yang sulit bagiku.

    "Sekarang, kamu dah ngerti?" Tanya Teh Irene yang kutodong untuk membantuku di sela-sela jam istirahatnya.

    "Iya, mengerti Teh. Terima kasih ya Teh, sudah membantuku menyelesaikan tugas Kimia!" Kulemparkan senyuman manisku ke arahnya.

    "Duuh, senyum kamu itu bikin Teteh melting tahu gak sih!" Cubit Teh Irene di pipiku.

    Lumayan sakit, sih! Tapi namanya juga sudah bikin repot, anggap saja ini sebagai tanda balas saja.

    "Hayoo... Irene, kamu jangan keganjenan sama daun muda!" Goda Mas Agus dengan gayanya yang lebay.

    "Iih, Mas Agus! Si Ugie ini ngegemesin tahu! Coba di rumah adekku cowok secakep dia. Aku bakal betah kali bercanda sama dia!" Ucap Teh Irene tengsin.

    "Emang adek kamu cewek?" Timpal Mas Agus penuh antusias.

    "Cowok juga sih. Tapi nyebelin! Gak ada sopan-santunnya sama sekali. Udah gitu dekil dan jorok lagi. Mana malas belajar. Apalagi kalau disuruh pergi ngaji, malah melengos pergi ke rumah temannya!" Curhat Teh Irene.

    "Anak ini mah romantis. Kalem lagi. Kata-katanya manis. Waktu MOS kemaren aku dikasih bunga lho sama dia!" Teh Irene mengungkit kembali kisah-kisah MOS yang telah silam.

    Mas Agus hanya tersenyum tergelitik mendengarkan penuturan Teh Irene.

    "Udah, bawa pulang aja gih ke rumah si Ugie-nya! Tukerin sama adek kamu! Suruh adek kamu pulang ke rumahnya si Ugie!" Tukas Mas Agus pada Teh Irene, sesaat kemudian pandangannya menoleh ke arahku,"Di mana Gie alamat rumah kamu?" Tanyanya padaku.

    "Cimanggu, Mas!" Kataku menjawab pertanyaannya.

    "Nah tuh, ke Cimanggu sana!" Kata Mas Agus lagi pada Teh Irene.

    Eva teman sesama anggota Siswa Peduli Buku denganku, turut menimpali percakapan mereka, "Cie... Cie... Ugie digemari sama Teh Irene!"

    Mukaku tersipu malu seketika. "Eva ah, cuma senior tahu!"

    "Udah ya, Teteh mau balik dulu ke kelas. Dadah Ugie!" Teh Irene melambaikan tangannya padaku.

    "Yasmine, Farah, Diba sini! Mau beli parfum enggak?" Panggil Mas Agus pada Yasmine dan teman-temannya yang baru saja datang. Mereka bertiga dikenal sebagai Trio Bawahab. Karena sama-sama keturunan Arab bermarga sama.

    Hadeuh! Pustakawan satu itu bukannya mengelola perpustakaan dengan baik malah berjualan parfum di muka pintu perpustakaan. Beliau memang pandai mencuri kesempatan dalam kesempitan. Para pengunjung yang seharusnya membaca buku di perpustakaan malah diajaknya berbisnis. Cukup banyak bisnis yang dilakukannya, mulai dari berjualan parfum sampai produk-produk sepatu dan pakaian yang ditawarkannya melalui katalog. Ada juga bisnis pemesanan kaset dan CD. Dia mengcopy lagu-lagu yang dipesan peminatnya dan membakarnya di CD. Aku pernah beberapa kali memesan kaset padanya, memintanya mengcopy lagu-lagu lawas yang ditembangkan oleh Iwa K, Deny Malik, Katon Bagaskara, Kahitna, sampai lagu-lagu modern yang dipopulerkan oleh Melly Goeslaw, Utada Hikaru, Larc n Ciel, SMAP, dan Westlife. Lumayan murah satu kaset hanya Rp7.500,00.

    "Eva, kamu tahu anak ini enggak?" Tunjukku pada sebuah foto yang akan kutempel di buku daftar anggota perpustakaan.

    Aku mendapat tugas dari Mas Agus untuk melengkapi biodata para anggota perpustakaan. Termasuk menempelkan foto-foto mereka ke dalam buku yang harus kuisi.

    "Seingat Eva, cewek itu namanya Marissa. Kalau enggak salah dia anak kelas 1-8!" Jawab Eva mengingat-ingat.

    "Kok kamu tahu?"

    "Soalnya Eva satu organisasi sama dia di klub drama!" Jawab Eva lagi.

    "Ooh. Cantik ya? Mukanya mirip Marini Zumarnis!" Aku membulatkan bibirku.

    "Ugie naksir ya?" Tunjuk Eva berseri-seri ke wajahku.

    "Ah Eva, dari tadi ngegodain terus. Wajar dong kalo cowok muji cewek. Namanya juga lawan jenis kan?" Kelitku.

    "Iya sih. Tapi kalau menurut Eva, Marissa itu lebih cantik daripada artis yang Ugie sebutin tadi!" Serunya.

    "Masak sih? Jadi penasaran kaya apa orangnya!" Gumamku pelan.

    "Mau Eva kenalin?" Tawar Eva penuh semangat.

    "Enggak usah deh! Cukup lihat fotonya saja!" Aku berusaha untuk diam.

    Eva orangnya sangat lugu, polos, dan sopan. Ia berasal dari Lampung. Aku sangat senang berteman dengannya walaupun kami tidak satu kelas. Dia kelas 1-3 sekelas dengan Fitri dan Fahrul, teman-teman SMP-ku dulu. Menurut pengakuannya ia berasal dari suku Rejang yang masih terikat budaya tradisional. Tak jarang Eva mengajariku aksara Rejang yang berasal dari daerahnya. Huruf-huruf Rejang tidak jauh berbeda dengan aksara Sunda dan Jawa yang berbunyi suku kata dasar : Ha Na Ca Ra Ka Da Ta Sa Wa La Pa Dha Ja Ya Nya Ma Ga Ba Ta Nga.

    "Gie, Ugie! Sini!" Panggil Nuzul di muka mesjid. Dia kenalanku dari kelas 1-8. Parasnya imut-imut dan cakep. Tapi kadang-kadang kalau sedang bad mood sifatnya kelewat jutek.

    "Apa Zul?" Sahutku menghampirinya.

    "Hari ini kelas lu ada pelajaran Kimia, kan?" Tanya Nuzul setengah berbisik.

    Aku mengangguk padanya.

    "Gue pinjam catatan sama LKS elu donk!" Ucapnya tanpa malu.

    Walau sekolahku termasuk favorit di kotaku namun sayangnya contek-menyontek sudah menjadi tradisi yang membudaya turun-temurun di sekolahku.

    "Elu mah, belajar napa sih!" Kataku sedikit ketus sambil menyerahkan buku-buku yang dimintanya.

    Nuzul hanya cengengesan tak mempedulikan kata-kataku. Segera ia masuk ke dalam mesjid dan langsung dikerubungi kawan-kawan sekelasnya, termasuk kawan-kawan sekelasku dan kawan-kawan dari kelas lain.

    "Nih, gue dipinjemin si Ugie! Dia paling jago Kimia di kelasnya kan?" Seru Nuzul memamerkan buku-bukuku.

    "Beuh, anak itu mah jangan ditanya! Waktu SMP aja sering masuk juara umum kok!" Sahut Ichsan yang kebetulan nimbrung di situ.

    "Gue pinjem dong! Gue pinjem dong!" Teman-teman Nuzul berebut.

    Segera mereka duduk melingkar di pojokan mesjid mengcopy-paste jawaban-jawaban tugas yang telah kuselesaikan.

    Setelah aku mengambil wudhu dan melakukan shalat sunat, aku duduk beritikaf menunggu waktu dzuhur tiba.

    "Gie, thanks ya, buat contekannya!" Seru Nuzul dan teman-teman yang lain.

    "Lu kok bisa ngerjain soal-soal yang rumit gitu? Apalagi yang namanya sistem periodik unsur dan persamaan reaksi kimia! Itu kan susah banget!" Nuzul penasaran.

    "Enggak juga ah. Asalkan kitanya mau belajar!" Sahutku menyanggahnya.

    "Iya sih. Tapi sumpah, gue mah gak ngerti pelajaran Kimia. Apalagi gurunya galak gitu. Bu Ati mana pernah mau nerangin pelajaran! Bisanya cuma nyuruh kita baca, baca, dan baca sendiri. Belum lagi kalo kita disuruh maju ke depan buat ngerjain soal-soal yang dia kasih, bisanya cuma ngebentak kita doank. Ngatain kita bego-lah, dongo-lah, tablo-lah, semua marga orang oon dia sebutin!" Keluh Nuzul penuh rasa kecewa.

    "Bener banget tuh kata si Nuzul! Mana bisa kita jadi pinter Kimia, lha wong gurunya aja kagak pernah ngejelasin!" Timpal Ichsan menambahkan keluhan Nuzul.

    "Memang tuh Bu Ati guru killer!" Harry turut menambahkan. Tahu juga dia istilah killer.

    "Kalian jangan pada suudzon, enggak baek!" Tiba-tiba Makbul muncul di hadapan kami.

    "Benar tuh kata Makbul! Karakter orang kan beda-beda. Enggak mungkin kan kita menuntut Bu Ati supaya mengubah cara mengajarnya jadi kaya Bu Sri Sudaryanti yang nyentrik, Bu Maria yang lembut, atau Pak Dudi yang kocak?" Kataku membela Makbul.

    "Tuh, dengerin kata orang pintar!" Ucap Makbul memujiku membuatku sedikit geer.

    Nuzul dan yang lain hanya terdiam mendengarkan kata-kataku dan Makbul.

    "Buku catatan gue mana?" Aku baru menyadari kalau yang dikembalikan Nuzul baru LKS saja.

    "Tuh, lagi dipake sama si Fredy!" Tunjuk Nuzul ke arah pojok mesjid.

    DEG!

    "Nama itu rasanya pernah dengar. Tapi di mana ya?" Aku tercenung larut dalam pikiranku.

    "Astaga! Kalau tidak salah Ary pernah menyebutkan nama itu!" Memori ingatanku mulai pulih.

    "Apa mungkin ya, itu memang Fredy yang pernah diceritakan oleh Ary?"

    Kuhampiri anak yang bernama Fredy itu di tempatnya. Ia tampak sibuk menyalin catatanku ke buku catatannya. Lama kuperhatikan laki-laki ini lumayan ganteng juga. Tapi tetap saja dia bukan tipe kesukaanku secara fisik. Wajahnya agak mirip dengan El Rumy. (Hanya saja El Rumy belum populer sodara-sodara, masih bocah ingusan sih! :D )

    "Sudah selesai?" Tegurku padanya.

    "Belum, tinggal dikit lagi!" Ia membalikkan halaman bukuku.

    "Nama lu Sugih ya? Tulisan lu kok rapih banget sih? Kaya tulisan cewek!" Pujinya sambil terus asyik mencatat.

    "Thanks! Tapi sorry gue nggak punya hadiah buat pujian yang elu kasih. Lu bukan orang pertama yang memuji tulisan gue!" Candaku menyunggingkan senyuman simpul.

    "Ngomong-ngomong lu Fredy ya? Lu alumni SMPN 8 bukan?" Tanyaku mencoba mencari tahu sekadar memastikan.

    "Iya. Kok elo tahu gue anak SMPN 8?" Dia menoleh padaku.

    Hmm... Asli cakep kalau berdekatan seperti ini! Tapi jantungku tidak berdebar-debar kencang saat menatap paras wajahnya. Mungkin mataku sudah terbiasa menatap paras cowok ganteng saking banyaknya cowok ganteng di sekolahku. Setiap lima meter ke manapun aku melangkah pasti selalu ada cowok cakep yang aku temui. Bahkan dalam kelasku saja terdapat 7 hingga 10 orang laki-laki ganteng di antara 25 orang murid laki-laki. Sedangkan sisanya dapat dikategorikan lumayan, sedang, pas-pasan, bahkan jelek.

    "Gue cuma nebak aja!" Kataku beralasan. "Ngomong-ngomong lu kenal sama Ryan enggak? Matanya sipit, rambutnya keriting, badannya kurus. Dia hobby bela diri di SMP-nya dulu!"

    Tiba-tiba saja ekspresi wajah Fredy berubah dingin. Aku yakin dia belum selesai menyalin catatanku. Diserahkannya bukuku dengan sikap yang kurang sopan. Ia mengemasi peralatan tulisnya ke dalam tasnya dan langsung beranjak pergi dari hadapanku begitu saja.

    "Hey, elu kenapa?" Panggilku namun ia tak mempedulikan seruanku.

    "Kenapa dia?" Tanya Ichsan yang berjalan mendekat ke arahku.

    Aku hanya bisa mengangkat kedua bahuku.

    "Mana Makbul?" Tanyaku pada Ichsan mengamati sekeliling ruangan mesjid.

    "Tuh!" Tunjuk Ichsan ke sudut lain cukup jauh dari tempatku berdiri.

    Tampak jelas olehku Makbul sedang bertadarus begitu khusyuk. Dari pancaran wajahnya dia memang terlihat seperti orang beriman. Sangat kharismatis dan memiliki aura yang shaleh. Tindak-tanduknya pun tak pernah berlaku negatif seperti kebanyakan lelaki pada umumnya, selama aku mengenalnya. Ah, tidak salah kalau dulu aku mengaguminya selama kami SMP. Sampai sekarangpun aku masih mengaguminya bukan sebagai seseorang yang kuharapkan untuk menjadi kekasihku. Sejauh ini hubungan kami murni just best friend. Dia termasuk sahabat yang sangat berarti bagiku.

    Kulihat Nuzul dan teman-temannya tengah mengerubungi seseorang. Setelah kuperhatikan baru kusadari kalau yang sedang mereka kerumuni adalah si Mr. Jutek Handsome, siapa lagi kalau bukan Kang Gatot kece yang kecenya nggak ketulungan saking kelewat juteknya dia.

    "Jadi, waktu jam pelajaran Kimia tiba. Akang sama teman-teman sekelas Akang pada pergi ninggalin kelas. Gak ada seorangpun yang tinggal di dalam kelas! Kita semua pada pergi menyebar, ada yang ke kantin, maen basket di lapangan, baca buku di perpustakaan, tidur di UKS, shalat di mesjid. Pokoknya kelas dibikin kosong selama jam pelajarannya Bu Ati!" Cerita Kang Gatot.

    Masih membahas guru Kimia tadi toh? Hadeuh-hadeuh, itu topik enggak ada habisnya. Aku menggeleng-gelengkan kepala.

    "Terus Kang, gimana reaksi Bu Ati setelah melihat kelas Akang kosong?" Tanya Ule yang menyimak cerita Kang Gatot begitu seriusnya.

    "Kita semua pada dipanggilin sama guru BK. Terus sama kepala sekolah, kita sekelas dijemur di lapangan upacara. 'Apa-apaan kalian ini? Bukannya belajar malah pada mainan?' Teriak kepala sekolah. Kemudian ketua kelas kami angkat bicara, 'Kami semua enggak suka sama Bu Ati, Pak! Beliau terlalu galak, dan enggak pernah nerangin pelajaran. Bisanya cuma nyuruh ngerjain tugas dan ngebentak-bentak kami ngatain kami bego kalau kami enggak bisa ngerjain tugas dari beliau!' Lantas Bu Ati yang ngedenger omongan ketua kelas kami langsung ngerasa malu dan nangis di kantor. Besoknya guru Kimia kami diganti sama Bu Lia. Lumayanlah jadi lebih enak belajar Kimianya. Kita semua cepat ngerti kalo diajarin sama Bu Lia!" Ungkap Kang Gatot menceritakan pengalamannya.

    "Oh, gitu. Ya udah kita juga bikin demo aja supaya Bu Ati diganti sama guru Kimia yang lain!" Celetuk Ule penuh semangat.

    "Setuju! Setuju!" Sahut yang lain.

    Lagi-lagi aku hanya bisa geleng-geleng kepala melihat aksi mereka. "Manusia... Manusia... Enggak pernah ada puasnya!" Pikirku membatin.

    "Allahu akbar! Allahu akbar!" Terdengar suara adzan membahana ke seluruh penjuru.

    Untung saja wudhuku belum batal jadi bisa langsung menunaikan shalat dzuhur berjamaah. Sementara teman-temanku yang menggunjing guru Kimia tadi berhamburan ke luar untuk mengambil air wudhu. Kulihat di muka pintu mereka berebut sandal bakiak yang biasa kami pakai saat berwudhu.

    Usai shalat aku melenggangkan kakiku menuju kelas. Kudapati Intan dan Wiwin tengah asyik bercengkerama bersama teman-teman genknya dari kelas sebelah. Perhatianku sempat tersita oleh salah satu di antara mereka.

    "Rasanya aku pernah melihat wajah itu, tapi di mana ya?" Pikirku.

    "Udah ya Ntan, gue masuk dulu ke kelas gue!" Pamit gadis itu pada Intan disusul teman-temannya yang lain.

    "Ntan, yang barusan itu siapa?" Tanyaku mencolek Intan yang duduk di depanku.

    "Oh, itu namanya Marissa. Kenapa memangnya?" Intan balik bertanya.

    "Cantik banget!" Jawabku singkat.

    "Ugie suka ya sama Marissa?" Goda Intan.

    "Ah, elu Ntan ada-ada aja!" Aku tersipu malu dibuatnya.

    "Tahu nggak kenapa dia buru-buru pergi barusan?" Pancing Intan.

    Aku menggeleng pelan.

    "Dia itu malu ketemu Ugie!" Jawab Intan.

    Aku mengernyitkan keningku, "Malu kenapa?"

    "Soalnya dulu waktu SMP, Marissa itu naksir sama elu, Gie! Cuma karena dia sering ngeliat elu berduaan sama Sachi, dikiranya kalian berdua itu pacaran. Padahal cuma temenan aja kan?" Tatap Intan mengangkat alisnya yang tipis.

    "Terus si Marissa-nya sampai sekarang perasaannya udah berubah belum?" Wahyu ikut nimbrung bersama kami.

    Yasmine yang baru masuk pun langsung ikut bergabung begitu ia mendengar nama Sachi, sahabatnya semasa SMP, disebutkan.

    "Ah, elu Gie, coba dulu jadian sama Sachi! Kasian tahu dia sering curhat sama gue, katanya dia itu nungguin terus elu nembak dia!" Ungkap Yasmine blak-blakan.

    "Yasmine, elu nggak tahu apa yang dulu sebenarnya terjadi di antara kita! Cewek yang dulu gue taksir itu bukan Sachi, tapi elu Yasmine! Sachi itu salah sangka!" Jeritku dalam hati tak mampu kulontarkan secara nyata.

    "Sampe sekarang Marissa itu masih suka lho sama Ugie! Makanya tadi dia langsung ngeloyor pergi, saking groginya dia ketemu sama cowok yang ditaksirnya!" Kata Intan penuh keseriusan.

    "Nah, kesempatan tuh! Tembak aja dia, Gie!" Wahyu mendorongku pelan. "Lu lagi jomblo kan?" Pancingnya lagi.

    "Gue..." Aku bingung harus berkata apa.

    Tidak mungkin kan aku bilang pada teman-temanku seperti ini : "Halloo... Gue punya bokin lho! Bokin gue cowok! Ganteng lagi! Namanya Ary! Kita berdua GAY!" Bisa habis aku dikucilkan teman-teman sekelas.

    "Udah Ntan, kita comblangin aja mereka berdua!" Seru Wiwin tidak ambil pusing.

    "Iya! Iya! Kita comblangin aja si Ugie nih! Jangan bisanya ngegantung perasaan cewek mulu!" Tukas Yasmine mendukung Wiwin.

    "Jadi cowok harus bisa nentuin sikap, Gie! Jangan nunggu bola, elu yang harus ngelempar bola duluan!" Wahyu tak henti-hentinya mendorongku.

    Lama diserang teman-teman sekelasku aku hanya bisa diam mendengarkan ocehan mereka. Sampai akhirnya mereka semua sepakat untuk menjodohkanku dengan si cantik Marissa. Aku baru sadar kalau Marissa yang sedang dibicarakan ini adalah Marissa yang tadi kubahas bersama Eva di perpustakaan.

    "Yu..." Panggilku pelan pada Wahyu di tengah-tengah pelajaran.

    "Apa sih?" Wahyu masih sibuk mencatat tulisan di papan tulis.

    Hari ini Bu Yani guru Bahasa Indonesia kami berhalangan untuk hadir. Beliau menitipkan tugas catatan kepada guru piket, dan Dwie Putri selaku sekretaris di kelas kami mencatatkannya di papan tulis.

    "Emangnya gue cakep ya?" Tanyaku malu-malu dengan mimikku yang polos.

    "Dasar narsis lu!" Wahyu mengacak-acak rambutku.

    "Iih, gue serius nih! Menurut lu, gue cakep kagak?" Selaku.

    "Emangnya kenapa?" Tanya Wahyu geregetan.

    "Gue ngerasa aneh aja. Tiap kali gue ngaca, perasaan muka gue jelek deh. Tapi kok ada aja cewek yang naksir sama gue? Enggak banyak sih, tapi mereka lumayan cantik. Apa mata mereka nggak salah lihat?" Aku bingung sendiri.

    "Gue pernah dengar sih. Katanya waktu kita kelas 2 SMP, elu pernah ditembak sama si Tessa kan? Terus elu tolak dia kan?" Wahyu berhasil membuatku terkejut.

    Aku tidak menyangka kalau berita itu tersebar begitu cepatnya meluas sampai ke kelas-kelas tetangga. Padahal ketika kami kelas 2 SMP, kelas Wahyu sangat jauh di ujung dari kelasku. Aku kelas 2-A, sementara Wahyu 2-H.

    "Enggak cuma Tessa aja. Waktu kelas 1 SMP, gue malah pernah bikin si Fitri nangis gara-gara gue dekat sama si Sachi! Fitri cemburu ngedenger pengaduan Ule kalo gue lagi berduaan sama Sachi di pojokan tangga dekat kelasnya Sachi!" Ceritaku pada Wahyu mengungkit masa lalu.

    "Masak sih? Fitri anak kelas 1-3 pacarnya si Fahrul?" Wahyu menatapku tak percaya.

    "Ya kan waktu itu Fitri sekelas sama gue. Fitri juga belum jadian sama Fahrul!" Kataku sedikit tersendat.

    "Emang pas kelas satu, lu kelas satu apa?" Wahyu telah selesai mencatat. Ditariknya jari-jari tangannya yang pegal.

    "1-I" kataku singkat.

    "Oh, pantes kita nggak pernah ketemu pas kelas satu dulu. Berarti kelas lu di atas ya sama kelas 1-H?" Tanya Wahyu antusias.

    Aku bergumam pelan, "Hem!"

    "Gie, mungkin di mata para cewek, lu itu kelihatan punya aura yang kharismatis yang bisa ngejebak perasaan mereka sehingga pada naksir sama lu!" Tatap Wahyu sangat serius.

    "Atau jangan-jangan lu make pelet ya pas tatapan mata sama cewek? Kalau enggak omongan lu yang ada peletnya!" Canda Wahyu membuatku geram padanya.

    "Asem lu, Yu!" Kutonjok lengannya yang berotot.

    Body Wahyu memang macho. Dia tampak sangat maskulin di samping tubuhnya tegap. Karena itulah dia dipilih menjadi ketua kelas berdasarkan aklamasi saat MOS tempo hari.

    "Kalo gue jadi elu Gie, gue nggak akan sia-siain si Marissa buat jadi bokin gue! Secara dia kan cantik banget. Cuma cowok bego yang nolak si Marissa!" Nasihat Wahyu berapi-api.

    Intan berbalik menghadapku. Ia menguping pembicaraanku dengan Wahyu. Padahal suara kami berdua tadi kurasa sudah sangat pelan. Tapi dasar Intan, jarak sepuluh meterpun mungkin suara orang yang berbisik mampu ia dengar.

    "Gie ingat gak waktu SMP dulu, Intan suka borong kroket jualan Ugie banyak-banyak?" Cerocos Intan.

    "Ingat! Kenapa emangnya?" Selidikku janggal.

    "Sebenarnya kroket yang Intan beli tuh bukan buat Intan sendiri lho! Tapi buat Marissa yang kepengen nyobain kroket buatan nyokap elu, Gie!" Cerita Intan lagi.

    "Oowh..." Aku membulatkan bibirku.

    "Nah, semenjak itu tuh Marissa kepengen beli lagi beli lagi, cuma dia malu ketemu langsung sama elu!" Terang Intan menambahkan.

    "Marissa itu pemalu ya?" Komentarku.

    "Ya, gitu deh!" Sahut Intan riang.

    Aku hanya bisa terpekur bertopang dagu.

    "Udah, tembak aja si Marissa!" Desis Wahyu menggodaku.

    Tak kugubris segala godaannya sampai ia bosan sendiri.

    -w-

    Hari-hari terus berganti. Masa-masa SMU-ku semakin penuh warna. Aku semakin aktif berorganisasi dan memperluas pergaulanku. Semakin banyak teman dari kelas lain yang kukenal. Baik teman-teman seangkatan sesama kelas satu. Maupun kakak kelas 2 dan kelas 3.

    Waktu itu aku sedang mencari kamus Oxford di Gramedia Baranang Siang pada suatu sore hari Minggu. Kebetulan hari itu Anton sedang berhalangan untuk melatihku bela diri dikarenakan ada acara keluarga. Sudah 2 hari ia dan papanya pergi ke Jakarta menghadiri resepsi pernikahan tantenya yang bungsu. Entah apa gerangan yang menahan mereka di Jakarta. Padahal jarak antara Bogor-Jakarta sangat dekat.

    Jari-jari tanganku tengah asyik berseluncur menyusuri deretan buku di rak yang sedang kuamati. Sampai tiba-tiba sentuhan dingin mencolek leherku berkali-kali di belakangku.

    "Sst! Sst!" Panggilan suara di belakangku membuatku terkejut.

    Aku membalikkan tubuhku menghadap si pemanggil.

    "Kak Gia?" Pekikku girang.

    Serta-merta aku menghamburkan diri ke dalam pelukannya.

    "Lama nggak ketemu, Kakak tambah keren!" Senyumku terus mengembang.

    Kak Gia hanya menganggung-anggipkan dagu runcingnya. "Rita bilang sekarang kamu cuek sama dia?"

    "Bohong tuh, Kak! Teh Rita mah sentimen sama aku!" Mulutku cemberut.

    "Haha... Perasaan kamu sekarang tambah tinggi, Gie!" Kak Gia memegangi bahuku memandangiku dari ujung rambut sampai ujung kaki.

    "Ya iyalah Kak, sekarang aku kan udah SMA. Kak Gia gimana kesibukannya di SMAN 1? Asyik banget ya?"

    "Ya kurang-lebih hampir sama kaya waktu di SMP dululah!" Katanya melepaskan tangannya.

    "Sekarang Kakak sibuk ngeband!" Ceritanya.

    "Wow, keren tuh! Ajak-ajak aku donk!" Tatapku penuh harap.

    "Wah, sorry lowongan sudah penuh!" Suaranya terbahak.

    "Ah, si Kakak mah! Suka pelit sendiri!" Cibirku.

    "Lagi ngapain di sini?" Tanya Kak Gia melirik-lirik ke arahku.

    "Ya lagi nyari buku atuh, Kak! Masak mau nyari celana dalam?" Kelakarku membuatnya kembali tergelak.

    "Kali aja celana dalam kamu keselip di buku-buku ini!" Guraunya. "Buku apa?" Kedua alis lelaki keren itu bertaut.

    "Kamus Oxford, Kak! Minggu kemaren aku beli kamus Longman Handy ternyata itu kamus American-English!" Kataku memberi penjelasan.

    "Oh, harusnya kamu beli kamus Chamber! Itu kamus komplit grammarnya sama contoh kalimat cara penggunaan tiap kosakatanya! Di situ lengkap perbedaan antara spelling Amerika sama spelling Inggris!" Kak Gia memberiku informasi.

    "Wah, kira-kira di sini ada nggak, ya?" Decakku terpana.

    "Eh, ngomong-ngomong Kakak sendiri di sini lagi apa?" Selidikku.

    "Oh, iya. Sampai lupa. Kakak ke sini cuma nganterin anak ini nih, vokalis band Kakak!" Kak Gia berbalik ke belakang dan memanggil seorang gadis yang berdiri agak jauh di belakangnya. Gadis itu sedang membungkuk mengamati alat-alat tulis yang terdapat di etalase kaca.

    "Rissa!" Panggil Kak Gia setengah berteriak.

    Aku terperanjat tatkala melihat gadis itu membalikkan badannya menghadap kami.

    "Marissa?" Pekikku pelan.

    "Sugih?" Marissa tertegun.

    "Kalian satu sekolah kan? Nah, kalau gitu nanti kalian berdua pulangnya barengan ya! Soalnya Kakak ada janji sama Teh Rita!" Ucap Kak Gia membuatku bergeming.

    Walau teman-teman sekelasku tengah berusaha menjodohkanku dengan Marissa, aku masih kikuk untuk berbicara dengannya. Selama ini Intan dan kawan-kawan sering mengisengi kami kirim-mengirim salam. Mereka mengatakan padaku kalau Marissa menitip salam untukku, ataupun sebaliknya mereka mengada-ada kepada Marissa kalau aku telah menitip salam untuknya. Upaya tersebut sengaja mereka lakukan agar aku dan Marissa bersatu dan resmi menjalin hubungan sebagai sepasang kekasih.

    Aku heran sendiri mengapa teman-teman sekelasku itu begitu berambisi agar aku jadian dengan Marissa. Tak bosan-bosannya mereka mendesakku untuk menembak Marissa tanpa melakukan pendekatan terlebih dahulu. "Yang penting sama-sama suka! Ngapain mesti pedekate segala macam?" Kilah mereka kompak. Oh God! Tidak tahukah mereka kalau diriku sedang dirundung masalah? Tapi ah percuma, sebab bagaimanapun hubunganku dengan Ary belum tentu mereka terima. Di mata teman-temanku aku adalah lelaki straight yang hanya menyukai lawan jenis.

    "Kamu lagi nyari buku?" Tanyaku memecah kesunyian di antara kami.

    "Eng... Enggak! Aku lagi nyari alat-alat tulis aja!" Katanya sedikit gugup.

    Kak Gia datang membawakan sebuah buku tebal untukku. "Nih Gie, kamusnya!"

    Kubaca cover depan kamus itu : CHAMBER.

    "Ini teh kamus, Kak?" Mataku terbeliak.

    "Sumuhun kasep!" (Iya ganteng!) Keluar juga logat Sundanya Kak Gia.

    "Subhanallah, tebal sekali! Baru sekali ini aku melihat kamus setebal ini!" Tak henti-hentinya aku terpukau.

    "Mau pilih mana nih? Ini kamus Oxford!" Kak Gia menyerahkan satu buah buku lagi.

    Kamus Oxford sangat mungil dan pas di saku. Aku tertarik untuk memiliki keduanya. Setelah menimbang-nimbang kuputuskan untuk membeli kedua jenis kamus tersebut. Walaupun harus kubayar cukup mahal untuk anak sekolah sepertiku. Tapi untung saja aku membawa kartu kredit pemberian Bu Sjahandari bulan lalu. Ah, ibu angkatku itu dari hari ke hari semakin baik saja padaku. Aku dimanjakan oleh beliau macam aku anak kandungnya sendiri.

    "Udah ya, Kakak duluan. Udah ditunggu sama ayank Rita soalnya nih!" Kak Gia mengamati jam di pergelangan tangannya.

    "Terima kasih banyak ya, Kak! Nanti malam telepon aku kalau sempat! Masih kangen, nih!" Tuturku menutup pertemuan kami hari ini.

    "Kakak titip Marissa lho! Awas jangan kamu apa-apain, masih perawan dia!" Kak Gia mengedipkan sebelah matanya sambil terus ngeloyor pergi meninggalkan kami berdua.

    Marissa menunduk malu digoda demikian oleh Kak Gia.

    "Kamu masih ada yang dicari?" Tanyaku sungkan.

    "Sebentar ya, aku mau beli komik dulu!" Marissa meminta izin.

    "Ya, silakan aja! Aku nyantai kok!" Kataku mencoba bersikap wajar.

    Tak sampai lima menit Marissa sudah mendapatkan komik yang dicarinya.

    "Udah?" Tanyaku dan dibalasnya dengan anggukan.

    Kami berjalan menuju kasir. Kusodorkan kartu kredit dalam dompetku pada kasir yang melayani kami.

    "Biar aku saja yang bayar semuanya!" Kucegah Marissa mengeluarkan uang dari dompetnya.

    Tanpa sadar tanganku telah mencekal pergelangan tangannya.

    "Ups sorry!" Ucapku melepaskan peganganku.

    "Aku jadi merepotkan kamu!" Katanya merasa bersalah.

    "Sama sekali nggak merepotkan kok!" Elakku melemparkan senyumanku untuknya.

    "Ini Mas, kartu kreditnya!" Kasir tadi mengembalikan kartu kredit yang kuserahkan padanya.

    "Makasih ya, udah bayarin belanjaanku!" Marissa tak sekalipun mengangkat dagunya menatapku.

    Kuambil kantung plastik belanjaan kami. Pelayan itu memberikan salam pada kami dengan sangat sopan seraya mengucapkan terima kasih karena kami telah belanja di toko tempatnya bekerja.

    Aku dan Marissa menyeberang jalan bersama-sama. Buru-buru kami melangkah menapaki jalan raya sebelum mobil-mobil kembali berlalu-lalang.

    "O iya, kamu pulang ke mana?" Tanyaku pada Marissa.

    "Taman Cimanggu!" Jawabnya singkat.

    "Oh, pantesan ya Kak Gia nyuruh kita pulang bareng. Ternyata kita satu tujuan!"

    Marissa hanya terdiam seperti bingung mau berkata apa. Hanya rona kemerahan yang terlihat jelas di wajahnya. Aku tak bisa menafsirkan apa yang sedang dirasakannya saat ini.

    "Apa benar, orang secantik Marissa naksir berat padaku?" Hatiku bertanya-tanya.

    "Tidak mungkin! Pasti banyak lelaki yang naksir sama dia!" Kuenyahkan pikiranku jauh-jauh.

    Begitu angkot 03 jurusan Baranang Siang-Bubulak melintas segera kami menyetopnya. Kami pun naik ke dalam angkot.

    "Aduh!" Marissa terdorong oleh seorang bapak yang kebetulan akan turun dari angkot.

    HUFT!

    Aku berhasil menahan tubuh Marissa yang nyaris terjengkang ke belakang dengan lenganku. Walah! Berasa benar-benar sinetron banget! Kedua pasang mata kami saling bertemu pandang.

    "Jadi naik nggak Dek? Kaya film India saja pake acara lirik-lirikan segala!" Tegur supir angkot dari dalam mobil.

    Sekelompok ibu-ibu penumpang di dalam angkot tampak tersenyum-senyum menyaksikan kecanggungan kami berdua setelah tersadar dari keheningan saat kami bertatapan tadi.

    "Neng, pacarnya baek ya, mau ngejagain Neng? Coba kalau nggak ada pacarnya tadi pasti Neng sudah jatuh ke jalan!" Goda salah seorang ibu sambil tertawa cekikikan.

    Marissa tersipu malu digoda demikian oleh para ibu di pojokan angkot. Sepanjang perjalanan kami hanya terdiam, tak sepatah katapun yang terucap di bibir kami. Mungkin kami terlalu sibuk bergelut dengan pikiran kami masing-masing.

    Keesokan harinya kelasku mendadak geger akan pertemuanku dengan Marissa di toko buku. Terutama Intan yang sangat mengharapkan agar kami berdua cepat jadian.

    "Cie... Cie... Yang habis ngedate di Gramedia kemaren!" Goda Wahyu yang mendapat informasi dari Intan kalau aku telah pulang bareng dengan Marissa kemarin sore.

    "Tahu nggak, pulang dari Gramed, si Rissa langsung nelepon Intan lho! Katanya dia senang banget belanjaannya dibayarin elu! Udah gitu, katanya elu sempat nopang badan dia pas mau jatoh dari angkot! Iih, Intan nggak nyangka Ugie benar-benar romantis!" Cerocos Intan membuat seisi kelas gempar.

    "Eh, yang benar Tan?" Chairani mulai tertarik mengikuti perbincangan kami.

    "Wow, asyik nih! Buruan tembak dia, Gie!" Support Dwie Putri menunjukkan wajahnya yang cerah.

    "Haduuh... Kelasku ini rasanya membuatku bete!" Umpatku dalam hati. "God, berikanlah aku kesabaran menghadapi mereka semua!"

    Tiba-tiba Ule muncul bersama Imelda, anak kelas tetangga, 1-8, kelasnya Marissa yang juga teman genknya Intan. Mereka berjalan tergopoh-gopoh menemui Intan.

    "Tan, gawat Tan, si Marissa mau ditembak sama Kang Gatot!" Kata Imelda dengan napas tersengal-sengal.

    "Yang benar Mel, lu kata siapa?" Intan bangkit dari duduknya.

    "Itu tadi gue ngedenger cerita Kang Jimmy! Kang Gatot kan sekelas sama Kang Jimmy! Rencananya pas istirahat nanti Kang Gatot mau nembak Marissa katanya!" Ule menjelaskan.

    Tiba-tiba saja Intan menarik tanganku secara paksa. "Ayo Gie, ini enggak boleh dibiarin!"

    "Eh, apa-apaan sih?" Langkahku terseret-seret.

    Wahyu, Ule, Chairani, Wiwin, dan Imelda turut menarik-narik tanganku. Bahkan beberapa temanku yang lainnya turut mendorong tubuhku agar aku mengikuti langkah mereka keluar dari kelas.

    "Pokoknya elu harus nyatain duluan sebelum Kang Gatot yang jutek itu keburu nembak dia!" Paksa Intan.

    "Iya Gie, si Rissa itu nggak demen sama Kang Gatot! Maunya cuma sama elu doank! Bayangin udah lama lho dia ngebet sama elu!" Imbuh Imelda ikut mendesakku. "Dari SMP tahu nggak!"

    "Tapi... Tapi..." Lidahku kelu untuk berbicara. Aku sangat gugup.

    "Gak ada tapi-tapian, Gie! Entar terlambat lho! Lu masih normal kan? Lu bukan homo kaya yang pernah dituduhkan si Nia waktu SMP kan?" Kata-kata Ule benar-benar telah menamparku.

    Aku mengangguk lemah. Terpaksa aku mengikuti langkah mereka. Bagai terpidana yang diseret para sipir untuk masuk menuju Hotel Prodeo.

    "Jadian! Jadian! Jadian!" Teman-temanku terus merongrong.

    Langkah kami terhenti tatkala kami berpapasan dengan Marissa di lorong sekolah, persis di samping pintu toilet. Antara kelasku 1-7 dengan kelas 1-8 terpisah oleh ruang toilet dan ruang OSIS. Marissa terpaku melihat kami datang beramai-ramai. Tubuhku didorong oleh teman-temanku untuk berhadapan langsung dengan Marissa.

    "Ayo Gie!" Sorak teman-temanku.

    Kupandangi wajah mereka satu-persatu. Wajah memelas penuh permohonan agar aku dapat membahagiakan Marissa.

    "Mau jadian kok dekat toilet? Mikir atuh!" Batinku gusar.

    "Ya Tuhan, apa yang harus kulakukan? Ary, apakah aku harus mengabulkan permintaan teman-temanku? Aku benar-benar dilema! Di satu sisi aku tidak mau mengkhianati hubungan kita, Ry! Namun di sisi lain aku tidak ingin mengecewakan perasaan teman-temanku! Bagaimana kalau mereka berubah membenciku bila aku tak memenuhi keinginan mereka?" Pikiranku bergejolak.

    Kupejamkan mataku dan kutarik napas dalam-dalam. Dengan mengucap bismillah, aku berharap semoga tindakanku ini tidak salah.

    "Kang Gatot, bersiaplah mewujudkan singkatan namamu! Karena hari ini usahamu untuk menembak Marissa, aku yakin akan berakhir GAGAL TOTAL!" Pikiran Iblis mempengaruhiku untuk berkata demikian walau tak terucap di bibirku.

    "Marissa..." Suaraku terhenti.

    Teman-temanku di belakang tak hentinya menyuarakan agar aku cepat mengungkapkan perasaanku pada Marissa. Agar aku bersegera menembak Marissa saat ini juga.

    Marissa terdiam menelungkupkan pandangannya.

    "Aku..." Kataku canggung.

    "Ayo!" Seru teman-temanku tidak sabar.

    "Aku mau..." Aku semakin canggung.

    "Heueh... Grogi amat sih nih anak!" Chairani geregetan.

    Kuberi mereka aba-aba agar mereka semua tenang. Suasana berubah hening, tak seorangpun bersuara selain diriku. Beberapa pasang mata mulai tegang. Terlihat mereka sangat berdebar-debar menantikan aksiku.

    "Aku mau jadi pacar kamu, Marissa!" Kataku sedikit lantang.

    Marissa terkesiap mendengar pernyataanku. Kedua tangannya membekap mulutnya seakan tidak percaya dengan apa yang baru saja terlontar dari mulutku.

    "Kata teman-teman, kamu naksir aku. Tapi aku nggak percaya Marissa!" Kataku polos.

    "Yah, pake bawa-bawa kita segala!" Protes Wiwin di belakangku.

    "Karena itu salahkah aku bila aku mengungkapkan perasaanku padamu? bahwa aku suka kamu!" Tandasku.

    Mata Marissa berbinar, berkaca-kaca. Begitu pula dengan teman-temanku di belakang.

    "Terima! Terima! Terima!" Sorak mereka lantang.

    Sempat kulihat sekilas sosok Fredy yang melintas keluar dari pintu toilet menuju ruang kelasnya. Ia sempat menoleh ke arahku dan Marissa. Saat Fredy melangkah masuk ke dalam kelasnya, anak-anak kelas 1-8 mengintip kami dari jendela.

    "Aku... Aku juga suka kamu, Gie!" Jawab Marissa malu-malu.

    Kuraih tubuh Marissa masuk ke dalam pelukanku. Badanku sedikit gemetar saat melakukannya. Aku benar-benar grogi ditonton teman-temanku sendiri.

    "Horee!" Sorak mereka girang.

    "Ciuman! Ciuman!" Teriak mereka lagi membuatku dan Marissa semakin grogi.

    "Hush! Apaan sih?" Sanggahku.

    "Maafin gue ya, Ry! Gue nggak bermaksud serius sama Marissa kok! Gue cuma gak mau ngecewain teman-teman gue!" Hanya hatiku dan Tuhan yang tahu bagaimana perasaanku yang sesungguhnya.





  • Entah mengapa Fredy datang menghampiriku saat aku selesai menunaikan shalat ashar di sela-sela jam istirahat.

    "Sorry ya atas sikap gue tempo hari!" Fredy mengulurkan tangannya padaku.

    Kusambut uluran tangannya yang hangat. Senyumnya merekah bagai biskuit yang baru saja matang di dalam oven.

    "Gue kira lu pacarnya si Ryan!" Ucapnya berterus terang.

    "Tapi pas ngeliat lu nembak si Marissa tadi gue baru nyadar kalo elu cowok normal!" Sambungnya lagi.

    Aku sedikit tersentak mendengarkan pengakuannya.

    "Emang si Ryan itu kaya gimana?" Selorohku.

    "Gue nggak suka sama dia! Dia itu orangnya kemaruk! Lu tahu kan kalo dia gay?" Kata Fredy memelankan suaranya takut terdengar orang lain di sekeliling kami.

    "Gue baru-baru aja sih tahunya. Sempat kaget juga pas tahu kalo dia itu seorang gay!" Lagakku berpura-pura bodoh.

    "Heuh, dia itu ngeselin. Asal ada cowok cakep di sekolah pasti ditembaknya!" Fredy berbicara sangat berhati-hati.

    "Lu tahu si Panji gak, adiknya Kang Gatot?" Tanya Fredy setengah berbisik.

    Aku menggeleng.

    "Azwar Nurakhman kelas 1-2?" Tanyanya lagi masih dengan suara setengah berbisik.

    Aku menggeleng.

    "Kalo si Leo teman sekelas gue?" Tanyanya masih dengan nada yang sama.

    Aku mengangguk.

    "Nah, kita semua pernah dipaksa supaya mau jadi pacarnya dia. Si Ryan itu anaknya pemaksa. Dia gak akan berhenti maksa sampe orang yang dipaksanya mau nurutin kata-kata dia! Gak ada satupun cowok seangkatan gue yang mau temenan sama dia, kecuali si Azwar. Gak tahu deh, apa si Azwar itu jadian sama dia apa kagak. Soalnya gue nggak akrab sama si Azwar. Tapi kalo si Panji setahu gue, dia benci banget sama si Ryan. Dia jijik sama si Ryan. Parahnya ada aja adek kelas kita yang kepaksa mau jadi pacarnya si Ryan, soalnya mereka diancam bakal dibantai habis-habisan sama si Ryan kalo mereka sampai nolak jadi pacarnya si Ryan!" Beber Fredy panjang lebar.

    "Hiii... Naudzubillah!" Aku bergidik ngeri.

    Aku tak menyangka kalau Ryan seperti itu. Ternyata selain pure gay, dalam jiwa Ryan tertanam jiwa seorang psikopat. Padahal ibunya adalah seorang psikolog yang kebetulan bekerja di rumah sakit jiwa belakang sekolahku. Apa yang telah menyebabkan Ryan menjadi seperti itu? Pantas saja Anton terus berusaha membujukku untuk membatalkan pertandingan duelku melawan Ryan. Anton pasti mengetahui semua tentang perkara Ryan ini. Lalu bagaimana dengan Ary? Apa dia juga tahu? Hatiku gamang.

    "Haruskah aku mundur dan berpura-pura mengalah? Tidak! Aku tidak boleh mundur! Lelaki sejati pantang menjilat air liurnya sendiri!" Tekadku.

    "Gih?" Fredy memutar telapak tangannya depan wajahku.

    "Eh, sorry gue jadi ngelamun. Gue kaget banget dengar cerita lu barusan!" Kataku beralasan.

    Aku senang Fredy ternyata sebenarnya baik. Baru mengobrol beberapa menit dengannya saja kami langsung cepat akrab. Dia bercerita padaku kalau dia tinggal di daerah Pabaton. Yang membuatku sangat terkejut adalah dia bersahabat karib dengan Erfan, teman SD-ku dulu. Aku baru ingat kalau Erfan melanjutkan sekolah ke SMPN 8 selepas SD. Tentu saja Erfan dan Fredy saling mengenal. Karena mereka satu sekolah di SMP dan kata Fredy mereka berdua selalu satu kelas. Anehnya yang membuatku heran, cukup sering aku mengunjungi Erfan di Haur Jaya V, tetapi ia tak pernah sekalipun menceritakan tentang teman-temannya di SMP-nya. Terlebih soal Ryan. Sikap Erfan berubah cuek padaku setelah kami menginjak SMP.

    "Kapan-kapan kita maen bareng yuk, sama si Erfan!" Ajakku pada Fredy.

    "Yoi, beres Bos!" Gaya Fredy so cool.

    Kami kemudian berpisah di beranda mesjid. Kulangkahkan kakiku kembali menuju kelas setelah sempat mampir sebentar di perpustakaan guna menanyakan apakah ada tugas yang harus kukerjakan pada Mas Agus. Namun ternyata tidak ada, dan suasana perpustakaan tampak sepi hampir tidak ada pengunjung. Hanya ada Eva yang begitu setianya menunggui perpustakaan sambil membaca-baca majalah jepang yang berjudul : Pasific Friend. Sebuah majalah berbahasa Inggris yang banyak mengupas tentang kehidupan di negara Jepang.

    "Cie, yang baru aja jadian sama Marissa! Ternyata kamu itu air tenang menghanyutkan, ya!" Goda Eva mengembangkan senyuman ala Close Up.

    "Kemaren-kemaren aku kenalin sama orangnya, bilangnya nggak mau. Eh, di luar sepengetahuanku, ternyata kamu langsung nembak dia. Aku nggak nyangka ya, kamu itu orangnya penuh kejutan!" Sambar Eva. "Selamat ya buat status barunya! Semoga langgeng dan bahagia," kata Eva lagi mengulurkan tangannya.

    "Eva jangan patah hati ya! Semoga ada Ugie yang lain yang bisa menerima cintanya Eva!" Sambutku mencandainya sambil buru-buru pergi kembali ke kelas.

    "Hiih... Apaan tuh maksudnya?" Eva tercengang mendengar gurauanku.

    "Eh, traktirannya woy!" Teriak Eva mengekori langkahku, dan aku langsung ngibrit meninggalkannya.

    Di tengah perjalanan kulihat Kang Gatot tengah menemui Marissa di koridor sekolah persis di depan kelasku.

    "Maaf Kang, Akang telat. Aku baru aja jadian. Tuh orangnya!" Tunjuk Marissa ke arahku. "Dia sekarang pacarku."

    "Kamu dari mana aja?" Marissa menggamit lenganku.

    "Baru habis shalat ashar di mesjid!" Sahutku pada Marissa.

    "Si mata empat?" Kang Gatot terkejut bukan main melihatku.

    "Kenapa Kang?" Tegurku acuh tak acuh.

    "Serius kalian baru aja jadian?" Tanyanya penuh rasa kecewa.

    "Emangnya kenapa Kang? Mana atuh ucapan selamatnya?" Tuntutku pada Kang Gatot.

    Kang Gatot langsung berbalik meninggalkan kami. Mukanya ditekuk bagai patah seribu. Terlihat tidak jauh dari tempat kami sekelompok teman-teman sekelasnya tengah memanggil seseorang sambil tertawa mengolok-olok Kang Gatot.

    "Panji, lihat tuh kakakmu! Dia baru saja ditolak sama Marissa anak 1-8! Dasar Gatot! Emang pantes tuh nama buat dia, GAGAL TOTAL! Hahaha..." Derai tawa mereka begitu panjang.

    Anak yang bernama Panji hanya celingak-celinguk tak mengerti.

    "Oh, jadi itu yang namanya Panji?" Gumamku pelan. Dalam hati aku berkata, "Agak mirip dengan Kang Gatot, hanya saja sayangnya badan Panji terlalu kurus! Baru tahu aku seleranya Ryan!"

    Sore hari usai bubar sekolah, aku pulang jalan berdua bareng Marissa karena tujuan kami searah. Hilang sudah rasa canggung kami selama ini. Marissa tidak sungkan lagi menggandeng tanganku.

    "Eh Fred, jalan bareng yuk!" Panggilku pada Fredy yang kebetulan jalan searah dengan kami.

    "Enggak ah! Gak enak gangguin pasangan yang baru jadian. Lain kali aja ya!" Katanya sumringah.

    Buru-buru ia mempercepat langkahnya berjalan mendahului kami.

    ---::---

    Malam harinya kuceritakan segala yang kualami beberapa pekan terakhir kepada Anton. Dia baru saja pulang dari Jakarta menghadiri pernikahan tantenya yang bungsu. Anton sangat terkejut bukan main mendengar ceritaku. Berkali-kali ia melontarkan pertanyaan yang sama.

    "Serius lu baru aja jadian sama cewek?" Entah untuk ke berapa kalinya Anton melemparkan pertanyaan tersebut.

    Aku bergumam pelan, "Hem!"

    "Gue nggak punya pilihan, Ton! Si Ule teman gue ngeduga kalo gue emang gay seumpama gue nggak nembak si Marissa!"

    Hanya kepada Anton-lah aku dapat berterus terang dan meluapkan semua perasaanku, berharap dia dapat membantuku memberi penjelasan kepada Ary. Hanya dialah satu-satunya yang dapat kuandalkan saat ini.

    "Ya, mudah-mudahan aja Ary bisa maklumin elu. Gue bisa ngerasain posisi elu yang serba sulit itu!" Respon Anton setelah cukup lama termenung.

    "Ton, gue mau tanya satu hal!" Kataku sangat serius.

    "Lu mau nanya soal apa? Kapan kita jadian?" Katanya garing mencandaiku.

    "Heuh, ngarep elu mah!" Sentilku sewot.

    "Iya! Iya! Sok atuh mangga sakilo lima rebu!" Gurauannya semakin menggelegak.

    "Apa si Ryan itu psycho?" Selorohku hati-hati.

    Anton tertegun menyimak pertanyaanku.

    "Ryan itu gila?" Kulikku lagi. Kuangkat alisku hingga merapat dengan dahi.

    Anton mencekal bahuku dan menatapku dalam, "Lu mundur aja ya? Mumpung masih ada waktu buat mengalah!" Bujuk Anton.

    "Enggak! Gua nggak akan mundur gitu aja! Gua nggak mau Ary kenapa-napa gara-gara diapa-apain sama si Ryan!" Kutepis kedua tangan Anton di pundakku.

    Anton mendesah, "Gie, lupain aja Ary! Anggap lu sama dia nggak pernah ada hubungan apa-apa! Lagipula sekarang lu udah jadian sama cewek kan? Tinggalin aja Ary, dan jalani hidup elu sama cewek lu itu!"

    "Gue nggak serius sama Marissa! Gue nembak dia karena terpaksa!"

    "Lu jangan egois gitu dong! Gimana perasaan cewek lu kalo seandainya dia tahu elu enggak tulus sama dia?" Sentak Anton.

    Benar-benar aneh! Mengapa Anton begitu membela Marissa? Padahal dulu dia yang mengajarkan kalau menjadi playboy itu mengasyikkan. Mengapa sekarang dia berlagak seolah-olah dia termasuk tipe lelaki setia?

    "Ton, lu nggak tahu kaya apa pengorbanan gue buat Ary! Lu nggak tahu kaya apa perjuangan gue buat ngedapetin dia! Dua setengah tahun, Ton! Dua setengah tahun gue nunggu dia balik dari Filipina! Sekarang setelah dia ada di dekat gue, lu malah nyuruh gue buat ninggalin dia? Kakak macam apa elo, Nton? Lu sekarang berubah! Lu bukan lagi Anton yang dulu gue kenal!" Aku berpaling meninggalkannya.

    Belum genap lima langkah Anton mencegahku dengan melayangkan serangan dadakan. Kakinya nyaris menyerempet langkahku. Dengan sigap aku melompat menghindari serangannya. Tangan-tangan Anton mulai memberiku beberapa jurus pukulan. Aku berhasil menghindari kesemua pukulan yang diberikannya. Berkali-kali kucondongkan badanku ke belakang agar terhindar dari serangannya. Sekali lagi aku meloncat karena kaki Anton turut bergerak memberiku serangan bersinergis dengan gerakan tangannya.

    Hup!

    "Hah...hah...hah..." Aku benar-benar kepayahan menghadapi serangannya.

    "Gue suka sama prinsip elu! Maju terus sampai titik darah penghabisan!" Anton menepuk pundakku.

    "Ton, ajarin gue sampai benar-benar bisa kaya elu!" Pintaku padanya.

    Anton duduk di sebelahku menopangkan kedua tangannya di belakang punggungnya. Kulabuhkan kepalaku di atas pangkuannya.

    "Gue cabut kata-kata gue! Lu tetap kakak gue yang paling baek!" Kataku memejamkan mata.

    Kurasakan tangan-tangan Anton membelai-belai rambutku. "Andai gue itu Ary, gue akan ngerasa bersyukur punya pacar kaya elo!"

    "Gue lebih bersyukur lu tetap kaya gini! Jadi abang gue selamanya!" Balasku berkeras hati.

    "Dulu, gue pernah 2 kali ngeliat Ryan ngamuk di rumahnya. Nyokapnya sampe ngasih suntikan penenang! Gue pikir Ryan itu emang gak waras, tapi keluarganya terlalu maksain kalo Ryan itu masih normal!" Terang Anton mulai bertutur cerita.

    Aku sedikit tersentak mendengarnya. Dan kuputuskan untuk terus menyimak cerita yang disampaikannya.

    "Lu masih ingat nggak kejadian waktu lu masih SD pas gue, Ryan, Ary, Teguh, Asep, sama teman sekolah lu yang namanya Erfan itu nginep bareng di rumah lu? Kita bakar ikan sama jagung waktu itu."

    Aku mengangguk kalau aku masih ingat memori semua itu.

    "Pas kita tidur, tengah malam si Ryan jerit-jerit kan?" Ucap Anton melanjutkan.

    Pikiranku menerawang mengingat kembali semua itu. Bayangan-bayangan masa lalu kembali tertayang dalam benak ingatanku dengan sangat jelas.

    FLASHBACK 3,5 tahun silam...
    (Kelas 6 SD)


    "Gie, Ugie! Bangun dong, gue haus nih. Anterin gue ke dapur, yuk! Gue pengen minum," Erfan mengguncang-guncang lenganku.

    Jarum jam di dinding kamarku menunjukkan pukul 12.13 tengah malam.

    "Pergi aja sendiri! Penakut amat sih?" Antara sadar dan tidak aku menimpalinya.

    "Please Gie, gue gak berani keluar kamar sendiri!" Erfan mulai merengek-rengek.

    Inilah yang tidak kusukai dari Erfan. Ganteng-ganteng penakut! Akhirnya dengan sangat terpaksa akupun bangkit dari tempat tidur. Kulihat Teguh tertidur nyenyak sampai terjatuh ke lantai. Namun ia begitu menikmati tidur di sana. Lantai keramik yang dingin memberi kesejukan tersendiri suasana di rumahku. Rasanya aku haus juga.

    Sementara Asep tampak bertimpangan dengan Ary dan Anton. Kedua kaki Ary dan Anton mengapit tubuh Asep di tengah-tengah mereka. Kupandangi wajah mereka satu-persatu. Betapa beruntungnya aku memiliki teman sekaligus sahabat seganteng mereka. Meskipun sedang tidur, ekspresi wajah mereka tetap terlihat ganteng. Ternyata mimik mereka sangat lucu kalau sedang tidur. Bibir Asep terlihat manyun seperti sedang mencium seseorang. Pasti Asep sedang bermimpi indah.

    Segera kulangkahkan kakiku menuju dapur mengambil dua buah gelas untukku dan Erfan. Kuserahkan satu buah gelas pada Erfan, kutarik handle pintu kulkas dan kuambil sebotol minuman dari dalamnya untuk kutuangkan ke dalam gelasku. Belum habis air yang kuminum, Erfan menarik paksa gelas yang kupakai.

    "Gue pengen gelas bekas elu aja!" Katanya.

    "Apaan sih? Udah dikasih gelas sendiri juga!" Protesku menarik kembali gelasku dari tangannya.

    "Gak mau! Gue pengennya segelas berdua!" Tarik Erfan lagi.

    Refleks tanganku melepasnya. Dan...

    PYAAAR!

    Air dalam gelas pun tumpah membasahi kaus Erfan. Untung tinggal sedikit airnya, jadi tidak terlalu membuatnya basah kuyup dan kedinginan. Tiba-tiba terdengar suara lolongan dari dalam kamarku.

    "Auuuu..."

    "Fan, lu dengar nggak?" Aku memberi isyarat. Segera kutaruh gelas-gelas yang dipegang Erfan ke atas meja makan.

    "He'eh, gue dengar! Suara apa itu Gie?" Erfan merinding ketakutan. "Rumah lu nggak ada penunggunya kan?"

    "Mana ada!" Kataku dengan nada tinggi.

    "Di belakang rumah tetangga sebelah gue ada 2 kuburan lho, Fan!" Kataku memberitahunya.

    "Iih, serem ah! Lu kok nggak cerita sih Gie, kalo di belakang rumah tetangga lu ada kuburannya? Jangan-jangan itu suara hantu penunggu kuburan yang kelayapan sampe ke sini?" Erfan semakin bergidik memegangi tanganku.

    "Buat apa gue ceritain? Buat nguji adrenalin lu? Penakut juga!" Sambarku ketus.

    Kami berjalan mendekat masuk kembali ke dalam kamar. Suara lolongan itu semakin jelas terdengar.

    "Aaauuuu...."

    Kulihat Ary, Anton, dan Teguh tengah mengerumuni Ryan. Mereka berusaha menyadarkan Ryan dari keadaannya yang sangat menakutkan itu.

    "Bang, jangan diapa-apain tititku Bang!" Ryan menghalangi bagian depan celananya dengan kedua telapak tangannya.

    "Hihihi..." Tiba-tiba saja Ryan tertawa sendiri sambil melompat-lompat di atas kasur.

    Anton, Ary, Asep, dan Teguh tertawa-tawa melihat aksinya.

    "Ryan! Lu kenapa Ryan?" Kutepuk-tepuk pipi Ryan yang kini berganti posisi guling-guling di atas kasur.

    "Siapa kalian? Mau apa kalian ke sini? Sana pergi!" Ryan melemparkan sejumlah bantal guling ke arah kami. Tatapannya sangat nyalang bagai serigala yang sedang ingin menerkam mangsanya.

    "Ryan, lepasin Ryan! Istigfar Ryan!" Tiba-tiba saja tangan Ryan berusaha mencekik leherku.

    Erfan meringkuk di pojokan ketakutan. Sempat kulihat celananya sedikit basah. Apa jangan-jangan dia sedang ngompol? Tapi arrgh, cengkeraman Ryan kuat sekali membuatku terbatuk-batuk. Ary dan Teguh berusaha mencegah perbuatan Ryan dan meleraikan tangannya dari leherku.

    "Tuhan Yesus lindungi kami, Tuhan Yesus!" Anton memanjatkan doa.

    "Ada apa ini?" Terdengar suara mama dan Mang Ega muncul di ambang pintu.

    "Om, si Ryan kerasukan Om!" Kata Anton meminta pertolongan.

    "Panggilkan Mang Eben, Ga! Suruh datang ke sini secepatnya!" Seru mama pada Mang Ega.

    Mang Ega segera berlari mengangkat gagang telepon dan menghubungi Aki Eben di rumahnya. Tak sampai 5 menit setelah Mang Ega meneleponnya, Aki Eben pun datang. Dipeganginya kepala Ryan kuat-kuat. Sementara aku dan Ary menahan kedua kakinya yang tak henti-hentinya menggelepar. Bagai ayam yang baru saja disembelih.

    "Kamu siapa?" Tegur Pak Eben baik-baik.

    Ryan berusaha memberontak. Tubuhnya meliuk-liuk seperti ular sawah yang berusaha melepaskan diri dari sergapan pemangsanya.

    "Jangan apa-apain titit aku!" Kata Ryan setengah membentak.

    "Kamu belum disunat bukan?" Tanya Pak Eben lagi.

    "Belum Abang! Kata mama nanti kalau tititnya sudah gede!" Jawab Ryan masih menggelepar.

    Abang? Mengapa Ryan memanggil Aki Eben dengan sebutan Abang?

    Anton dan Asep yang memegangi tangan Ryan tertawa tergelitik mendengar ucapan Ryan yang terdengar sangat lucu. Begitu pula denganku dan Ary, kami sama-sama tergelak.

    "Kalian tadi siang ada mengganggu kuburan di belakang?" Tanya mama padaku.

    "Tidak ada Ma! Kan tadi siang Ugie belajar kelompok sama Erfan. Habis itu sorenya kami semua main in line skate hockey di depan rumah!" Jawabku pada mama.

    "Kali aja kalian ada ngeganggu kuburan di belakang! Itu kan kuburan angker!" Imbuh mama.

    Aki Eben tampak berkonsentrasi membacakan ayat kursi dan sejumlah ayat-ayat lainnya untuk mengusir setan. Lama kuperhatikan akhirnya Ryan pun kelelahan. Kedua matanya terpejam.

    "Ah, untunglah ada Aki Eben. Terima kasih banyak ya Ki, berkat Aki kami semua selamat dari setan yang merasuk ke dalam tubuh Ryan!" Aku menarik napas lega.

    "Jangan panggil Aki! Aki kan masih muda. Panggil Abang aja!" Aki Eben mengedipkan matanya membuat kami semua tertawa terpingkal-pingkal.

    End of Flashback...


    "Gue pikir si Ryan kesurupan. Mang Ega sampai manggilin Aki Eben buat ngusir setan yang ngerasukin tubuhnya dia!" Kataku mengingat memori masa lalu kami.

    "Itu bukan kesurupan! Tapi gangguan kejiwaan! Gue sendiri nggak tahu pasti sih nama penyakit kejiwaannya apa!" Terang Anton meluruskan.

    "Orang tuanya berasumsi bahwa cuma dengan menyuruh Ryan rajin berolah-raga satu-satunya cara supaya dia benar-benar sehat. Maka dari itu Ryan banyak ngikutin olah raga bela diri yang banyak melakukan meditasi. Dengan meditasi pikiran orang bisa menjadi tenang!" Urai Anton semakin memperjelas cerita dan membuatku semakin mengerti semua masalah menyangkut Ryan.

    Aku luar biasa kaget. Ternyata dugaanku benar. Ryan memang sakit jiwa. Hatiku mulai bertanya-tanya apa yang telah menyebabkan Ryan menjadi seperti itu? Sudah berapa lama ia mengalaminya? Apakah hal ini berkaitan erat dengan profesi ibunya yang bekerja di rumah sakit jiwa?

    Hari-hari kembali berlalu. Tanpa terasa akhirnya waktu yang dinantikan telah tiba. Tepat di awal bulan Desember, bulan kelahiranku, aku bertemu pandang dengan rivalku di tengah lapangan. Kami telah berkumpul di lapangan BALITBIO jauh dari keramaian. Hanya ada aku, Ryan, Anton, dan kekasihku yang sudah menantikan pertandingan kami dengan begitu resahnya.

    "Gie, hati-hati ya!" Ary memberiku semangat.

    Kuanggukkan kepalaku meyakinkannya kalau aku akan baik-baik saja.

    Ryan menyilangkan kedua kakinya sementara tangannya bersiap untuk memberiku pukulan tanpa menggunakan senjata. Aku berhati-hati memusatkan seluruh panca indra yang kumiliki kalau-kalau dia melakukan penyerangan yang membuatku belum siap menerimanya.

    "Hiiiaat!" Aku mulai melakukan penyerangan.

    Kakiku berputar berusaha menangkisnya agar ia terjatuh ke lantai. Lantai lapangan ini berlapis beton. Namun Ryan berhasil melompat ke udara dan membidikkan tendangannya ke dadaku. Buru-buru aku berbalik menghindari tendangannya dan kembali berdiri.

    Ryan bersalto layaknya pesilat kung fu sejati. Sungguh membuatku terpukau. Karena terus terang aku tak bisa melakukannya. Berkali-kali ia mencoba mematukku dengan jari-jari tangannya yang terus menyerang bagian dadaku. Aku tak tahu apakah itu yang dinamakan dengan jurus ular, bangau, atau unggas lainnya karena aku bukan anak perguruan bela diri.

    BUGH!

    Ryan berhasil menendang perutku hingga aku jatuh terdorong ke belakang. Aku sempat limbung ke lantai.

    "UGIEE..." Ary memekik memanggil namaku.

    Aku segera bangkit. Tangan Ryan telah memberi isyarat agar aku bangun dan melanjutkan pertandingan. Aku tak goyah.

    "Heuh!" Kubalas tendangan yang diberikannya untukku. Namun sial, Ryan berhasil menghindari seranganku. Malah pipiku yang berhasil ditonjoknya.

    Kembali ia bersalto mengelilingiku. Aku berputar mengikuti arah gerakannya. Kucoba menghambat gerakannya dengan melayangkan tubuhku menghamburkan diri agar ia terhenti dan terjatuh ke lantai. Jurus terkaman harimau yang pernah Anton ajarkan berhasil mengantarkanku untuk menduduki tubuh Ryan. Kucengkeram kaus yang dipakai Ryan. Kulayangkan sebuah tinju ke arah mukanya. Dan...

    DUAK!

    "Aargh..." Tinjuku tak berhasil mengenai mukanya.

    Ryan berhasil membalikkan tubuhnya tepat di saat tinjuku hampir mengenai wajahnya, dan sebagai gantinya tinjuku meleset mengenai lantai beton. Jari-jari tanganku memerah dipenuhi goresan akibat salah tonjok tadi.

    Aku segera bangun kembali menghadap Ryan. Ia menatapku sangat tajam. Jari-jari tangannya bergerak menantangku untuk maju menghampirinya.

    "Awas Gie! Lu mulai gak stabil!" Anton memperingatkan.

    Kedua kakiku meloncat-loncat maju mundur. Kulayangkan tendanganku ke udara mengincar kepalanya. Ingin sekali aku menyepak kepalanya yang seperti bola berbulu itu!

    DUAAK!

    Tendanganku tidak mengenai kepalanya tapi setidaknya aku berhasil membuatnya terjatuh ke lantai. Rupanya tendanganku berhasil mengenai ginjalnya. Ia tampak sedikit kesakitan tapi setelah itu ia kembali melakukan perlawanan terhadapku. Kakiku berhasil ditariknya hingga aku terjengkang kehilangan keseimbangan.

    "Aaah..." Aku menahan rasa sakitku.

    "Cuma segini kemampuan lu, monyet?" Ucapnya dengan nada kasar.

    "Gue nggak akan menyerah Ryan! Apalagi sama orang psycho macam elo!" Kataku geram.

    Ryan memelintir sebelah kakiku. Pangkal pahaku mendadak turut merasa kesakitan.

    "Brengsek lu, Ryan!" Umpatku kesal.

    BUG!

    Dalam posisi seperti ini aku menjadi yang tertindas. Ryan bebas melakukan apa saja terhadapku. Keringat di tubuhku mengucur deras. Berkali-kali ia memutar-mutar tubuhku dan bersiap menghempaskan tubuhku.

    "Sial! Kuat sekali dia!" Rutukku dalam hati.

    BRUGH!

    Aku dilemparkannya ke lantai sejauh 2 meter dari tempatnya.

    "UGIIIE!" Anton dan Ary berlari menghampiriku.

    "Gue masih kuat!" Kataku mencegah mereka untuk mendekat.

    Rasanya tulang-tulangku remuk semua dibanting oleh Ryan.

    "Tuhan, berikan aku kekuatan!" Gumamku pelan.

    Ryan tersenyum sinis, "Namaku Usugih Tsukino! Dengan kekuatan bulan aku akan menghukummu! Sailormoon!" Seringainya melecehkanku.

    "Kurangajar! Enggak ada ampun buat lu, Ryan! Ke manapun elo berlari akan selalu gue kejar, sampai loe benar-benar masuk ke dalam lubang neraka yang terdalam!" Sungutku berapi-api.

    "Coba buktikan! Berdiri aja sekarang elu nggak bisa! Mau nyerang pake apa? Pake kontol?" Cecarnya tak henti-hentinya meremehkanku.

    Kucoba untuk bangkit walau tertatih-tatih. Tekadku sudah kuat. Aku harus menang! Aku harus menang!

    Ryan menarik tanganku hanya dengan sebelah tangannya. Kurasakan tubuhku begitu ringan melayang di udara. Baru saja... Baru saja aku sedang dibantainya. Tak lama lagi kepalaku akan membentur lantai. Ryan ingin membuat tengkorak kepalaku rengkah. Aku benar-benar ngeri melihat semua ini. Sebentar lagi tamatlah riwayatku. Kupejamkan kedua mataku rapat-rapat. Aku tak mau lagi melihat apa yang akan segera terjadi padaku.

    "UGIIIEEE...." Terdengar suara Anton dan Ryan berteriak memanggilku.

    Apakah aku sudah kalah? Ini bukan akhir dari segalanya.

    Silakan berkomentar, dan klik suka kalau memang suka ☆☆☆

    With love ♥

    ♔PrinceArga♔

    ★☆★☆★☆★☆★☆★☆★☆★☆★☆★☆★
  • udah panjang sih......
    tapi masih kurang.....
  • hah ,ugie ,ryan parah!
  • @ramadhani_rizky wait, aku parah bagaimana maksudnya?
  • iiih, si om ganti nama euy mana banca'annya :D

    efek ganti nama gak pake selametan tu om makanya ba2k belur :)) :P
  • Lebarang pertama baru mudik bang @princearga

    Gw tiap hari ada @balaka, tp tiap ngomen ni story slalu tak bisa, d lah saya SR terus

    Yg bikin bingung apa @balaka???
    Mis : triko kan juli 85 (temen triko dr juni 84-juli 85) klo bang sugih kan des 85 (temennya antara juli 85-juli 86) walau kadang ada yg lebih muda,,, bener g bang @princearga??
  • ahhh....kelar baca..panjang euyy..kPan ya aku bisa posting cerita sepanjang inii??? sumpah aku pendek mulu kalau posting...
    ahh..jadi terpesona sama jalan hidupnya...^^
  • "UGIIIEEE...." Terdengar suara Anton dan Ryan berteriak memanggilku.

    Ryan apa Ary?

    hahahahaha Ryan lebih gokill lagi ye bang, udah suka ini itu asal ganteng, maksa plus ngancem lagi!!... oalahhh Badai, Guntur, Sugih(?), Musta--*sinyalilang* mah lewattt :)) :)) #becandaaa#

    hmm penasaran, adakah satu aja adek kelas-yg dipaksa jadian sama si Ryan- yg beneran jadi suka sama Ryan... hmmmmm sapa tahu kan ;;)
  • Tante Parah @d_cetya wah, telat kemaren bubur merah putihnya udah dibagikan ke tetangga. Noh, tinggal piring kotornya, tolong cucikan ya! Yang bersih lho! :P

    @Fikh_r yup benar sekali! Jadi yg angkatan Triko kisaran kelahiran 84-85, sedangkan angkatanku kisaran kelahiran 85-86. Tuh @balaka @Fikh_r aja tahu. Pintar ya @Fikh_r

    @Tsu_no_YanYan yang teriak terakhir itu memang Anton dan Ryan. Tahu kenapa? Karena lengkingan teriakannya berbeda tapi mereka berdua sama2 manggil aku. Ary? Dia bukan teriak manggil aku, tapi... (baca aja lanjutannya nanti!)

    Eh, @balaka kamu setuju gak kalau deretan genk yang sifatnya sama itu kita urutkan seperti ini : Guntur, Badai, @Mustajab_OK, satu lagi @Tsu_no_YanYan kayanya mereka cocok tuh. Kabarnya @Tsu_no_YanYan minta dilamar jadi istrinya Mas @Mustajab_OK yang ke-27. Yuk kita ramaikan pesta pernikahan mereka berdua @balaka :D

    @Fours jangan ragu2 klo menulis, sering2 lihat aja ke bawah udah panjang belum... #plak
  • no ! Bkan kmu Ts @Princearga tpi ryan itu. Haha
Sign In or Register to comment.