It looks like you're new here. If you want to get involved, click one of these buttons!
Copyright 2021 Queer Indonesia Archive. See our Privacy Policy. Contact us at [email protected]
Dengan menggunakan situs ini berarti Anda setuju dengan Aturan Pakai.
BoyzForum.com adalah situs anti pedofilia!
Comments
@balaka
@solous
@callme_DIAZ
@masbadudd
@permana21
@ramadhani_rizky
@jony94
@hananta
@trisastra
@mustaja84465148
@haha5
@masbaddud
@angelsndemonds
@waisamru
@enykim
@caetsith
@angga_rafael2
@nakashima
@aries18
@san1204
@abrakadabra
@Farrosmuh
@adam25
@bayumukti
@farizpratama7
@Rimasta
@rizky_27
@fends
@eldurion
@Tsu_no_YanYan
@arieat
@rez_1
@YANS FILAN
@adinu
@beepe
@Donxxx69
@fad31
@MikeAurellio
@brianbear_89
@Shishunki
@PohanRizky
@3ll0
@ruki
@agova
@jamesfernand084
@venussalacca
@Gabriel_Valiant
@putra_prima
@Qwertyy
@fansnya_dionwiyoko
@Beepe
@danielsastrawidjaya
@nakashima
@leviostorm
@kimo_chie
@Bonanza
@Dimz
@blackshappire
@Agova
@agung_dlover
@greysakura
@bi_men
@asik69
@mahardhyka
@just_Pj
@SanChan
@sickk86
@Monic
@yeltz
@ularuskasurius
@danielsastrawidjaya
@chibibmahu
@angga_Rafael
@AwanSiwon
@Dhika_smg
@arieat
@joenior68
@treezz
@Rivaldo_Nugroho
@an_d1ka
@Djohnzon1980
@darkrealm
@boljugg
@rey_drew9090
@kevin_ok26
@excargotenak
@Edmun_shreek
@The_jack19
@adhiyasa
@dundileo
@WYATB
@juki_cakep
@nes16
@tazbodhy
@woonma
@dua_ribu
@Daramdhan_3OH3
@anakmami
@blackorchid
@andyVanity
@mpranata013
@Brands
@tigerGAYa
@OlliE
@ananda1
@noveri_saja
@tjah_ja
@gyme_sant
@nest16
@anan_jaya
@trace_tri
@bonanza
@Zazu_faghag
@4ndh0
@yo_sap89
@nand4s1m4
@d_cetya
@Ray_Ryo
@icha_fujo
@inlove
@Zhar12
@Anju_V
@hehe_adadeh
@aicasukakonde
@amira_fujoshi
@anohito
@admmx01
@adam25
@touch
@meong_meong
@YSutrisno
@ardi_cukup
@angelsndemons
@admmx01
@joenior68
@Yudist
@langmuscle
@Kenwood
@adhilla
@yunjaedaughter
@odik07
@Monster26
@Cowoq_Calm
@21botty
@TULEP_ORIGIN
@iamalone89
@toby001
@raqucha
@BudiPamRah
@eswetod
@radio_dept
@Splusr
@line
@kikyo
@Bintang96
@haha5
@hiruma
@Soni_Saja
@kikyo
@san1204
@andre_patiatama
@Dhika_smg
@rez_1
@rasya_s
@dafaZartin
@MikeAurellio
@dimasalf
@Akukamukita
@Lenoil
@FransLeonardy_FL
@reenoreno
@zeva_21
@TigerGirlz
@alfa_centaury
@Imednasty
@doel7
@eizanki
@Fruitacinno
@ncholaees
@alvaredza
@ardi_cukup
@9gags
@Adityashidqi
@hananta
@Gabriel_Valiant
@abiDoANk
@Zhar12
@d_cetya
@sasadara
@boy_filippo
@3ll0
@Tsu_no_YanYan
@eizanki
@Fikh_r
@tarry
@4ndh0
@Just_PJ
@adamy
@GeryYaoibot95
@Fuumareicchi
@haha5
@doel7
@kikyo
@Ananda_Ades
@AkhmadZo
@Yohan_Pratama
@Dityadrew2
@diditwahyudicom1
@eka_januartan
@tarry
@EllaWiffe10
:::::::Erfan dan Teguh:::::::
Sejak aku duduk di kelas dua, aku mengalami kerusakan pada mataku yang berbuntut mengharuskan aku memakai sebuah kacamata - 2. Mataku tidak dapat melihat jelas dari jarak yang lumayan jauh. Saat pertama kalinya aku memakai kacamata ke sekolah, semua teman-temanku seantero sekolah mendadak heboh. Mata mereka terbelalak terbius memandangku seakan sedang bertemu artis idola yang sedang turun ke jalan. Tidak berbeda dengan Erfan, teman satu genkku, dia tak henti-hentinya memuji penampilanku yang jauh berbeda dari penampilanku sebelumnya.
"Gila lu keren banget Gih, kalau pake kacamata! Mirip Clark Kent yang jadi Superboy, euy!" Puji Erfan padaku.
Sejak membentuk genk SEDAN, aku jadi terbiasa juga menggunakan gaya bahasa gaul gua-elu dengan teman-teman genkku. Mungkin karena pengaruh lingkungan yang begitu kuat membuatku cepat beradaptasi dengan teman-teman genkku.
"Masih gantengan juga elu kali Fan! Dewi aja sampe naksir sama elu," aku balik memuji Erfan.
"Bisa aja lu Gih, palingan juga nanti Dewi berubah kesengsem sama elu. Percaya deh sama gue!" Erfan berusaha meyakinkanku.
"Tuh lihat, si Engkus sama si Nur aja dari tadi ngeliatin elu terus! Kayanya mereka pada naksir deh sama elu!" Erfan menunjuk dua orang teman perempuan kami yang duduk agak jauh di sudut sekolah, dengan ujung matanya.
"Pasti sebentar lagi Dewi juga bakal terpesona sama elu!" Tambahnya.
"Gak lah! Mana mungkin Dewi naksir sama gue!" Tegasku menyangkal perkataannya.
Dewi adalah primadona sekolah kami. Dia anak bungsu Bu Sugiarti guru wali kelas kami. Parasnya cantik, dan tak pernah lepas dari gelar sang juara kelas. Kami tidak tahu pasti mengapa Dewi terus bertahan di peringkat pertama, apakah karena dia anak seorang guru, atau memang murni karena kepintarannya. Tapi yang jelas Dewi adalah sosok idola di sekolah.
Aku sendiri diam-diam sebenarnya memendam perasaan suka kepada Dewi. Padahal di saat yang bersamaan aku sedang mengagumi paras Ary Wibowo, teman baruku di rumah. Aku tidak tahu mengapa aku bisa menyukai perempuan dan laki-laki sekaligus. Dan tidak ada seorangpun yang tahu mengenai rahasiaku ini selain sahabatku, Ardhan.
Ya, aku mempunyai seorang sahabat di sekolah yang mengetahui detail semua rahasia yang kumiliki. Namanya adalah Ardhan, dia berasal dari Suku Minang. Ayahnya adalah seorang pedagang di pasar. Aku sering menceritakan semua masalah yang kualami kepada Ardhan, tapi untunglah Ardhan sama sekali tidak mencemoohku atas ketidaknormalan dalam diriku.
Persahabatan kami berawal dari persahabatan antara Dian adik sepupuku yang berkawan akrab dengan Popy, adik Ardhan. Dian senang bergurau dengan Popy menggunakan Bahasa Minang karena Dian pernah lama tinggal di sana ikut Bibi Rida dan Mang Dicky yang merantau ke Padang. Saking seringnya Dian bermain dengan Popy membuatku menjadi dekat dengan Ardhan. Sampai akhirnya aku dan Ardhan berikrar untuk menjadi sepasang sahabat. Kami telah berjanji untuk selalu berbagi suka dan duka bersama.
"Gih, kalau boleh tahu elu suka nggak sama si Erfan? Soalnya dia kan cowok paling ganteng di kelas kita," tanya Ardhan pada suatu hari tanpa bermaksud menyinggung perasaanku.
"Memangnya kalau dia ganteng, gua harus naksir dia gitu?" Aku balik bertanya.
"Kali aja. Gua sering lihat, si Erfan kok aneh ya sering ngeliatin elu terus pas elu lagi nulis atau baca buku di kelas. Apa jangan-jangan dia juga suka sama cowok kaya elu ya?" Ardhan menerawang.
Aku mengernyitkan kening sedikit terkejut, "Masak sih?" Tanyaku tak percaya.
Memang sih, aku pernah beberapa kali menangkap basah Erfan sedang memperhatikanku di kejauhan. Tingkahnya berubah gelagapan setelah dia menyadari kalau aku telah melempar seutas senyuman kepadanya. Di kelas aku duduk satu meja dengan Ardhan sahabatku, terpisah jauh dari keempat teman genkku tiga baris meja. Erfan duduk dengan Ama, sedangkan Dadan duduk dengan Nico. Mereka berempat bila tidak ada aku berubah nama menjadi genk EDAN. Sesuai dengan kelakuan mereka yang sering bertingkah konyol di sekolah.
"Iya Gih! Dia itu suka lama banget mandangin elu! Kaya orang lagi jatuh cinta gitu!" Kata Ardhan lagi berterus-terang.
"Gak tahu ah, Dhan!" Kuangkat kedua bahuku dengan ekspresi bingung.
"Dunia ini memang aneh, kok ada ya orang yang suka sama orang yang jenis kelaminnya sama?" Gumam Ardhan pelan.
-v-
Semenjak kehadiran Aa Fariz di rumah kami, Mang Rahmat mendapat keponakan yang sangat sehati dengannya. Aa Fariz menjadi satu-satunya kawan bermain di rumah. Padahal dulu sebelum Aa Fariz datang, Mang Rahmat kerap mengikutiku ke manapun aku pergi terkecuali saat aku pergi bermain ke rumah Anton dan Teguh. Biasanya sebelum tidur Mang Rahmat sering menceritakan kepadaku mengenai bualan-bualan petualangannya di Tanah Sumatra. Mang Rahmat kerap kali bercerita kalau ia pernah dikejar-kejar harimau saat pergi ke hutan untuk mencari jamur dan kayu bakar sewaktu tinggal di Aceh. Dan dengan bodohnya aku begitu mempercayai setiap ucapannya akan cerita bualannya itu.
Berbeda dengan Mang Rahmat, Aa Faris lebih suka bercerita lucu kepada kami. Ia kerap membuat orang seisi rumah terpingkal-pingkal menahan tawa. Gayanya bercerita memang sangat kocak. Akan tetapi di balik kekocakannya itu Aa Fariz menyimpan sifat nakal yang tak terkontrol oleh keluarga. Pernah suatu kali Aa Fariz ketahuan merokok oleh mama. Padahal ia baru saja duduk di kelas 5. Betapa marahnya mama kepada Aa Fariz saat mama berhasil menemukan sebungkus rokok di dalam tasnya.
"Fariz, tolong jawab pertanyaan Mama! Menang ti mana ieu rokok?" (Dapat dari mana ini rokok?) Mama menginterogasi Aa Fariz.
Aa Fariz hanya diam, ekspresinya sangat kaget melihat mama menyodorkan sebungkus rokok dari dalam tasnya.
"Jawab Fariz, ulah cicing wae!" (Jawab Fariz, jangan diam saja!) Bentak mama menggelegar.
"Kenging meser, Ma!" (Dapat beli, Ma!) Jawab Aa Fariz menunduk takut.
"Mama lain sakali ieu menang laporan yen maneh teh osok ngaroko. Tadina Mama teu percaya, tapi ayeuna Mama menang bukti mun maneh teh bener ngaroko. Ti iraha maneh mulai ngaroko, Fariz?" (Mama bukan sekali ini mendapat laporan kalau kamu itu suka merokok. Tadinya Mama tidak percaya, tapi sekarang Mama mendapat bukti kalau kamu itu benar merokok. Sejak kapan kamu mulai merokok, Fariz?) Suara mama melengking tinggi.
Aa Fariz hanya diam. Ia berjongkok di sudut ruangan bak tersangka pelaku kriminalitas yang baru saja tertangkap oleh polisi.
"Sia teh ditanya cicing wae, nyieun aing kesel jadina! Saha nu ngajarkeun maneh ngaroko? Ti mana maneh menang duit jang meuli roko?" (Kamu itu ditanya diam saja, bikin aku kesal jadinya! Siapa yang mengajarkan kamu merokok? Dari mana kamu dapat uang untuk membeli rokok?) Serang mama bertubi-tubi.
Namun percuma Aa Fariz tetap diam enggan memberikan jawaban.
PLAK!
Sebuah sandal jepit melayang ke wajah kakakku satu-satunya itu. Tidak kusangka mama akan sekeras itu kepada Aa Fariz. Padahal Aa Fariz baru saja satu bulan ikut dengan kami.
"Ulah abong-abong urang tara ngurus maneh ti leuleutik, maneh jadi liar teu menang arahan ti urang! Ayeuna maneh nuturkeun Mama, Fariz! Ulah pikir Mama bakal ngantepkeun maneh!" (Jangan mentang-mentang aku tidak pernah mengurus kamu dari kecil, kamu jadi liar tidak mendapatkan arahan dariku! Sekarang kamu mengikuti Mama, Fariz! Jangan pikir Mama bakal membiarkan kamu!) Maki mama penuh emosi.
Aa Fariz tetap bungkam.
"Mun Fariz hayang nuturkeun Mama, tolong robah kalakuan Fariz! Mama embung Pak Joko sampai nyaho mun Mama boga anak nu kalakuanna teu bener!" (Kalau Fariz mau mengikuti Mama, tolong ubah kelakuan Fariz! Mama nggak mau Pak Joko sampai tahu kalau Mama punya anak yang kelakuannya tidak baik!) Tegur Mama mengakhiri kemarahannya.
Seusai mama memberi ceramah panjang lebar, Aa Fariz memburuku ke kamar. Dia mengira bahwa akulah yang telah mengadukan perbuatannya kepada mama. Padahal sebenarnya mama mendapat laporan itu dari Bibi Laela yang melihatnya sedang merokok sepulang sekolah di kebun jagung milik tetangga.
"Maneh kan nu geus ngalaporkeun Aa ka Mama?" (Kamu kan yang sudah melaporkan Kakak kepada Mama?) Tanyanya sambil mencengkeram bajuku.
"Sumpah A, Ugih teu terang nanaon!" (Sumpah Kak, Ugih tidak tahu apa-apa!) Kataku penuh ketakutan melihat kepal tangan kakakku yang bersiap memukulku.
"Alah bohong!" Aa Fariz menarik kacamata yang kupakai.
PRAAAK!
Kacamataku dilemparnya ke lantai hingga pecah. Aduh, gawat! Mama pasti akan sangat marah padaku kalau sampai tahu kacamata pembelian mama itu telah pecah. Padahal harganya sangat mahal, dua ratus ribu rupiah kala itu setara dengan dua juta rupiah pada zaman sekarang. Dan parahnya lagi, aku pasti tidak akan bisa melihat dari jarak jauh lagi. Sedikit-banyak kacamata itu telah membantu penglihatanku yang kabur.
"Yah A, kacamata Ugih pecah!" Kataku meratapi kacamataku.
"Bongan salah sorangan wani ngalaporkeun aing ka Mama!" (Lagian salah sendiri berani melaporkan aku ke Mama!) Hardiknya cuek tidak mempedulikanku.
"Sumpah demi Allah A, sanes Ugih nu ngalaporkeun Aa ka Mama! Eta teh Bi Laela nu ngadukeunnana!" (Sumpah demi Allah Kak, bukan Ugih yang melaporkan Aa ke Mama! Itu tuh Bi Laela yang mengadukannya!) Terangku membuatnya sangat terkejut. Sebenarnya aku tidak ingin mengatakan padanya kalau Bibi Laela-lah yang telah mengadukan perbuatannya.
Tapi sejurus kemudian ekspresinya berubah sangar kembali, "Teu percaya ah! Eta mah akal-akalan sia embung ngaku ka aing! Awas siah, wani ngalaporkeun aing macem-macem ka Mama, siap-siap wae gelut jeung aing di lapangan!" (Tak percaya ah! Itu tuh akal-akalannya kamu enggak mau ngaku sama aku! Awas ya, berani melaporkan aku macam-macam kepada Mama, siap-siap saja berkelahi denganku di lapangan!) Ancamnya.
Aku hanya bisa memendam kesal dalam hati. Mengapa aku harus mempunyai seorang kakak yang kasar seperti dia? Kalau saja seandainya aku tahu sikapnya akan seperti ini, lebih baik mama tidak usah menjemputnya di Kalong! Aku tidak tahu bagaimana bilang pada mama kalau seumpama nanti mama menanyakan kacamataku? Aku benar-benar bimbang.
Keesokan paginya aku mencoba bersikap biasa-biasa saja di hadapan keluargaku. Berulang kali mama melirik ke arahku dengan tatapan aneh saat kami menikmati sarapan di ruang makan. Aa Fariz bersikap cuek seolah tidak pernah terjadi apa-apa padanya. Ia seolah lupa kalau kemarin mama telah mengomelinya habis-habisan. Ingin rasanya aku mengadu kepada mama kalau diam-diam Aa Fariz pernah kulihat beberapa kali mengendap-endap masuk ke dalam kamar mama dan mengambil beberapa lembar uang mama dari dalam laci lemari pakaian mama. Uang itu pasti dipakainya untuk membeli rokok. Tetapi rasa takut menggelayuti perasaanku. Aku takut Aa Fariz akan menghajarku sampai aku babak belur seperti saat ia berkelahi melawan Oman beberapa minggu yang lalu.
Waktu itu Oman seperti biasanya selalu senang mengusili anak baru di RT kami. Dia memberikan salam penyambutan kepada Aa Fariz dengan melemparkan tahi kotok (tahi ayam) ke muka Aa Fariz. Di luar dugaan Aa Fariz yang kusangka pendiam, tiba-tiba menyerang Oman dan memberinya bogam mentah tepat di matanya. Tangan Oman berhasil dipelintirnya ke belakang, dan bokongnya ditendang sampai ia jatuh tersungkur tercebur ke dalam got. Alhasil seluruh pakaian Oman menjadi sangat kotor dan bau. Semua anak yang menyaksikan kejadian itu menertawakan Oman. Baru sekali ini Oman terlihat keok di mata kami selain dipukuli dengan sapu lidi oleh ibunya bila ia ketahuan ngebak di Sungai Cigede.
"Wahahaha... Raja preman Cimanggu kok keok?" Olok teman-temannya.
"Cicing sia! Engke ku aing ceburkeun oge ka comberan!" (Diam kamu! Nanti kuceburkan juga ke comberan!) Gertak Oman merasa dirinya telah dipermalukan.
"Lawan atuh Man!" Kata teman-temannya lagi.
"Nyeuri nyaho! Kakarak aing dikieukeun!" (Sakit tahu! Baru kali ini aku dibuat begini!) Oman meringis kesakitan.
Sontak teman-temannya pun terus menertawakannya, "Halah Oman, Oman, bilang saja kamu itu nyerah sama kakaknya si Sugih!"
Sumpah, aku benar-benar kagum pada Aa Fariz waktu itu. Anak buah Oman berpaling menjadi pengikut Aa Fariz sekarang. Bahkan Oman tak berkutik kepadanya. Rasanya cukup sudah pembalasan untuknya atas perbuatannya dulu terhadapku dan Azhary. Tetapi aku menyesal, Aa Fariz benar-benar liar ternyata. Kepadaku ia mengaku, orang yang telah mengajarinya merokok adalah Wak Badrun, kakak ayah kami di Kalong. Beliau adalah figur yang tidak patut dicontoh dalam keluarga ayah. Tetapi Aa Fariz sangat dekat dengan beliau karena beliau menganggap Aa Fariz bukan sekadar keponakannya semata, tetapi juga kawan bermainnya. Benar-benar orang tua yang sangat aneh dan tak bisa mendidik keponakannya dengan benar.
"Gih, panon maneh cageur?" (Gih, mata kamu sehat?) Selidik mama memandang ke arahku.
"A.. Acan kok Ma!" (Be.. Belum kok Ma!) Jawabku gugup.
"Geuning atuh kacamatana teu dipake?" (Tapi itu kacamatanya gak dipakai?) Usut mama lagi.
Kulirik Aa Fariz yang duduk di depanku. Matanya mendelik padaku memberi isyarat ancaman.
"Aya kok Ma, engkin wae di sakolaan nganggona!" (Ada kok Ma, nanti saja di sekolah memakainya!) Timpalku berbohong.
Buru-buru kuhabiskan sarapanku agar mama tidak menanyaiku terus menyangkut kacamata yang sudah tak kupakai lagi. Andai uang tabunganku cukup, ingin sekali aku segera mengganti kacamataku yang pecah dengan kacamata yang sama persis dengan yang telah dipecahkan oleh Aa Fariz semalam.
"Lho kok elu gak pake kacamata lagi sih? Mata lu dah normal ya sekarang? Apa kacamata elu pecah?" Teman-teman genkku memberondongiku dengan pertanyaan saat aku datang ke sekolah.
"Gak apa-apa kok, cuma bosan aja pake kacamata terus!" Jawabku sekenanya.
"Yah, elu gak kelihatan cakep lagi deh!" Komentar Erfan setengah mengeluh.
Ah, dasar dia memang aneh! Kelihatannya benar apa yang dikatakan Ardhan tempo hari lalu. Diam-diam Erfan sangat memperhatikanku. Tidak hanya Erfan saja, sikap mamanya pun sama terhadapku.
"Gih, nanti siang ke rumah ya! Tante bikin puding lho khusus buat Sugih!" Kata Tante Erna mamanya Erfan suatu hari saat mengantar Erfan ke sekolah.
"Insya Allah, Tante. Maaf sudah merepotkan!" Kataku malu-malu.
Dulu Tante Erna dan mama sempat menjadi teman satu kelas saat di SD. Sekolahku dan Erfan adalah sekolah mereka juga. Tetapi sayangnya saat itu mama pindah ke Sukabumi mengikuti dinas Apih Hada sebagai seorang tentara.
"Enggak merepotkan kok, Erfan tuh senang kalau ada Sugih main ke rumah!" Terang Tante Erna seraya membelai-belai rambutku.
"Nanti kalau pulang, Tante jemput ya!" Tawar Tante Erna lagi sambil masuk ke dalam mobil.
Memang susah menolak tawaran Tante Erna. Apalagi beliau sangat cantik dan penampilannya sangat modis. Tubuhnya sangat tinggi ramping bak selebritis. Tidak heran kalau tampang Erfan lumayan ganteng. Pasti fisik yang dimilikinya itu turunan dari mamanya.
Saat aku pulang ke rumah, mama tengah menungguiku di ambang pintu. Rumah baru kami baru saja jadi tepat saat Aa Fariz kami jemput dari Kalong. Rumah kami sangat besar, bahkan menjadi rumah termegah sejagat Cimanggu. Papa sengaja membangunnya sangat besar mengingat keluarga kami adalah keluarga yang sangat besar dan ramai. Sehingga kami tidak kebingungan lagi bila acara kumpul keluarga digelar. Semua pasti kebagian jatah kamar bila ada keluarga yang datang untuk menginap. Di setiap kamar terdapat kamar mandi pribadi yang dilengkapi dengan bath-tub, shower, dan closet duduk. Teman-temanku seringkali bersikap udik bila sedang berkunjung ke rumah kami. Maklum, kala itu belum terlalu banyak rumah gedong di area Cimanggu. Ukuran kamar tidurku saja dapat dikatakan relatif luas bila dibandingkan dengan kamar teman-temanku di rumahnya masing-masing. Bila ukuran kamar mereka rata-rata berkisar 3m x 3m, maka ukuran kamarku dua kali ukuran kamar mereka, 6m x 6m. Lumayan luas bukan?
Karena rumah kami terdiri atas tiga lantai yang mana lantai paling bawah adalah lantai bawah tanah yang kami jadikan sebagai gudang penyimpanan barang bekas, bila dilihat dari Bubulak rumah kami terlihat seperti sebuah vila di Puncak. Rumah kami terlihat tinggi sekali hingga mencapai 20 meter ketinggiannya, mengingat halaman belakang adalah sebuah tebing yang curam dan kami pagari dengan pagar beton dan pondasi yang sangat kokoh guna mencegah longsor. Di bawah rumah kami terdapat sebuah langgar atau mushala yang didirikan oleh Aki Eben. Di sanalah dulu aku belajar mengaji kepada Aa Engguh, Aa Ijul, dan Aa Encam, tiga ustadz muda bersaudara yang memiliki paras sangat berkharisma. Langgar itu bernama Al Munir. Aki Eben kerap menjadi imam shalat di sana. Dan tak jarang aku ditunjuknya menjadi muadzin setiap waktu shalat tiba.
Aku sangat betah menghabiskan waktuku sepanjang hari di sana. Selain karena ada ruangan khusus untuk bersantai, kamar mandi di mushala ini airnya berasal langsung dari mata air yang muncul dari dalam tanah. Airnya sangat jernih dan sejuk. Tak pernah surut sekalipun musim kemarau tiba. Aki Eben tak menyia-nyiakan sumber air yang sangat berlimpah itu. Maka dibuatlah oleh beliau sebuah kolam ikan di belakang mushala. Kami memelihara banyak ikan mas di kolam itu.
Mushala Al Munir menghadap tangga tanjakan yang menghubungkan Cimanggu dengan Bubulak. Tiap hari bila berangkat dan pulang sekolah aku pasti melaluinya. Terkadang sebelum pulang, aku menyempatkan diri untuk shalat dzuhur di sana dan tidur siang menikmati sejuknya angin yang berhembus di teras belakang mushala sambil memberi makan ikan mas peliharaanku dan Aki Eben. Setelah ashar barulah aku pulang ke rumah dan pergi bermain ke rumah Teguh, Anton, Ryan, atau Ary.
"Kunaon Ugih ngabohong ka Mama?" (Kenapa Ugih berbohong kepada Mama?) Tanya mama padaku di ambang pintu.
"Ngabohong naon Ma?" (Berbohong apa Ma?) Tanyaku tak mengerti.
Mama menunjukkan kacamataku yang telah pecah. "Mama manggihan ieu dina meja belajar Ugih!" (Mama menemukan ini di meja belajar Ugih!)
Aku gelisah takut mama akan marah kepadaku sama seperti saat mama mengetahui Aa Fariz merokok di kebun jagung tetangga. Padahal sudah seminggu lamanya aku menyembunyikan kacamata itu di balik tumpukan komik Dragon Ballz koleksiku di atas meja belajar.
"Eta murag Ma!" (Itu jatuh Ma!) Kataku lagi menunduk sangat takut.
Tuhan, ampuni aku karena telah membohongi mama! Terus terang aku sangat takut kepada Aa Fariz. Aku tidak berani melawannya. Tetapi aku juga sangat takut kepada mama. Mengapa nasibku bagaikan harus menelan buah simalakama?
"Apan maneh nyaho lain Gih, kacamata ieu teh hargana mahal pisan! Sabulan gaji Mama gawe di Galaxy!" (Kan kamu tahu bukan Gih, kacamata ini nih harganya mahal sekali! Sebulan gaji Mama kerja di Galaxy!) Kata mama membandingkan, padahal sudah lama mama hengkang dari tempat kerjanya itu semenjak rumah baru kami rampung dibangun.
"Hampura Ugih Ma, Ugih teledor!" (Maafkan Ugih Ma, Ugih teledor!) Aku bersujud di depan mama.
Saat sujud aku memohon ampun dalam hati karena telah membohongi mama mengenai kenyataan yang sebenarnya.
"Pokona Mama embung nyaho, sebagai hukumannana Ugih kudu ngalaan cai make ember ti mushala handap! Eusikeun kabeh bak mandi nu aya di imah ieu nepi ka pinuh!" (Pokoknya Mama tidak mau tahu, sebagai hukumannya Ugih harus ngambilin air pakai ember dari mushala bawah! Isikan semua bak mandi yang ada di rumah ini sampai penuh!) Titah mama berapi-api.
GLEKH!
Kamar mandi di rumahku ada 7 unit. Lima di antaranya terletak di dalam kamar. Dan dua unit lainnya terletak di dekat dapur dan ruang makan. Satu bak mandi saja ukurannya 1,8m x 1m x 1,2m dikalikan lagi dengan 7 unit, berapa ember yang harus kuisi hingga penuh? Aku tidak habis pikir mengapa hukumanku seberat ini? Padahal air PDAM di rumah baik-baik saja, tidak ada masalah sama sekali. Tetapi mau tidak mau aku tetap harus melakukannya. Di tengah-tengahnya aku sedang kesusahan, Aa Fariz tersenyum culas di atas penderitaanku.
"Syukurin!" Desisnya menertawakanku.
"Teh, karunya Ugih!" (Kak, kasihan Ugih!) Mang Ega membelaku.
"Antepkeun wae Ga, ulah ditulungan! Tuman engke kabiasaan ngabohong wae ka Teteh!" (Biarkan saja Ga, jangan ditolongin! Enggak kapok nanti kebiasaan berbohong terus sama Kakak!) Mama tidak mau peduli.
"Tapi Teh..." Suara Mang Ega tercekat karena melihat tatapan mama sudah lebih dulu menyambarnya.
"Hampura Mamang nya Gih, teu tiasa nulungan!" (Maafkan Paman ya Gih, tidak bisa menolong!) Sesal Mang Ega.
"Sawios teu kunanaon Mang!" (Biar tidak apa-apa, Paman!) Sahutku lemah.
Tubuhku dipenuhi peluh bercucuran. Satu kali turun naik aku menenteng dua ember sekaligus. Andai saja mushala Al Munir itu tidak terletak di bawah rumah kami, pasti aku tidak akan kelelahan turun-naik tangga yang begitu banyaknya. Mengapa bak mandi sebelumnya sengaja dikuras dulu oleh mama sampai kosong? Ini benar-benar menyiksaku!
Di lain hari mama pernah memanggilku ke kamarnya dan menanyakan perihal uangnya yang hilang dalam laci.
"Gih, acis Mama dina laci lomari leungit. Tolong jawab sing jujur, Ugih aya nyandak acis Mama teu?" (Gih, uang Mama dalam laci lemari hilang. Tolong jawab yang jujur, Ugih ada mengambil uang Mama tidak?) Tegur mama baik-baik.
"Heunteu Ma!" (Tidak Ma!) Kataku terus terang.
Kulihat Aa Fariz melotot tajam padaku.
"Bohong Ma! Kamari Fariz ningali Ugih nyandak acis ti lomari Mama kok!" (Bohong Ma! Kemarin Fariz melihat Ugih mengambil uang dari lemari Mama kok!) Aa Fariz berbalik memfitnahku.
Aku tahu dia sengaja melakukan ini demi menutupi belangnya pada mama.
"Dianggo naon acisna, Gih?" (Dipakai apa uangnya, Gih?) Tanya mama lagi.
Aku menggeleng atas tuduhan yang dilontarkan Aa Fariz padaku.
"Sumpah demi Allah Ma, Ugih teu nyandak acis Mama!" (Sumpah demi Allah Ma, Ugih tidak mengambil uang Mama!)
"Bener? Daek disumpah make Al-Qur'an?" (Benar? Mau disumpah pakai Al-Qur'an?) Tantang mama.
Aku mengangguk, namun sebelum mama mengambil Al-Qur'an dari atas bufet, Aa Fariz memperkeruh tudingannya.
"Ma, Ugih pasti nganggo acis Mama kanggo meser cocoan! Kamari Fariz ningali Ugih aya meser cocoan di warung Bang Lubis!" (Ma, Ugih pasti memakai uang Mama untuk membeli mainan! Kemarin Fariz lihat Ugih ada membeli mainan di warung Bang Lubis!) Seru Aa Fariz membuat langkah mama terhenti.
Mama mengurungkan niatnya untuk mengambil Al-Qur'an dan kembali menginterogasiku.
"Mana cocoannana ayeuna?" (Mana mainannya sekarang?) Mama menyodorkan sebelah telapak tangan.
Aku menggeleng.
"Ulah bohong Gih! Cocoanna maneh sumputkeun di imah baturan maneh nu ngaranna si Teguh, kan?" (Jangan bohong Gih! Mainannya kamu sembunyikan di rumah teman kamu yang bernama si Teguh, kan?) Seru Aa Fariz menyeringai.
Huh, apa sih maunya manusia satu itu? Aku heran sendiri watak siapa yang telah mengalir dalam jiwanya. Apakah itu adalah warisan sifat dari ayah kami, atau dari mama? Aku tak pernah habis pikir mengapa Aa Fariz begitu teganya terhadap diriku. Padahal waktu kami jemput dulu di Kalong, dia bilang katanya dia sangat sayang kepadaku. Tapi nyatanya? Ya Tuhan, apa benar Aa Fariz itu adalah kakak kandungku?
Sesungguhnya apa yang dilihat kemarin oleh Aa Fariz itu memang benar. Aku memang membeli sebuah pistol mainan di warung Bang Lubis. Tetapi aku membelinya dari hasil uang tabunganku sendiri. Setiap hari aku menyisihkan seratus rupiah dari uang jajanku. Aku tahu aku sudah tidak dapat lagi meminta dibelikan mainan kepada mama. Mobil tamiya kenang-kenangan pemberian Azhary saja ikut terbakar bersama mainan-mainan pemberian Om Kasmin. Dan aku sengaja menitipkan mainan-mainan yang kubeli dari hasil jerih payahku sendiri di rumah Teguh karena aku takut bila aku menaruhnya di rumah, mama akan membakar lagi semua mainanku itu.
Selain hasil dari tabunganku, mainan-mainan itu juga kuperoleh dari Irwanto sahabatku di sekolah selain Ardhan. Irwanto adalah anak Jawa yang tinggal di daerah Pondok Rumput. Ayahnya adalah seorang pengusaha peternak ayam potong. Beliau memasok ayam-ayam potong ke pasar dan usahanya ini sangat maju, terbukti dari usahanya yang berhasil membuatnya menasik haji hingga tiga kali berturut-turut.
Setiap aku berkunjung ke rumah Irwanto, ia pasti menyelipkan uang dua ratus rupiah ke dalam kantung celanaku untuk ongkosku pulang naik angkot. Ia memang sangat baik hati kepadaku, senang berbagi, tidak sombong, dan tidak pelit. Aku sangat senang bersahabat dengannya. Dialah sahabat pertamaku di sekolah sebelum aku bergabung dengan Genk SEDAN.
"Gih, kamu kok tidak jajan?" Tanyanya padaku di sela-sela jam istirahat di sekolah.
"Aku lagi nabung, Wan!" Jawabku apa adanya.
"Memangnya mau beli apa?" Tanyanya lagi.
"Mau beli mainan!" Kataku sambil menggambar-gambar tokoh Superboy idolaku di halaman belakang buku tulis yang sudah tidak terpakai lagi.
Kata Erfan kalau aku memakai kacamata aku sangat mirip si ganteng Clark Kent yang menjadi Superboy. Jadi GR (Gede Rasa) sendiri bila kumengingatnya.
Irwanto membulatkan matanya bengong, "Pengen mainan kenapa nggak minta dibelikan saja sama orang tuamu?"
"Enggak ah! Aku takut, dulu mama pernah membakar mainanku gara-gara aku menjual boneka pembelian mama. Sejak saat itu aku enggak berani minta dibelikan mainan lagi kepada mama," kataku menceritakan pengalamanku kepada Irwanto.
"Lho, mama kamu aneh banget sih? Kamu kan laki-laki kenapa membelikanmu boneka?"
"Sebab mamaku kepengen punya anak perempuan!" Tandasku.
"Ooh, gitu ya? Tapi salah kamu juga sih, seharusnya kamu jangan menjual boneka pembelian mama kamu! Bagaimanapun juga itu kan adalah bentuk perhatian dan kasih sayang mama kamu buat kamu!" Nasihat Irwanto bijak.
"Iya Wan, sekarang aku menyesal. Gara-gara kelalaianku akhirnya mama membakar semua mainan yang kupunya. Padahal itu semua adalah kenang-kenangan dari Om Kasmin bekas pacarnya mama, dan Ary sahabatku yang sudah pindah rumah!" Kataku lagi dengan suara lemah.
"Nih, kalau gitu ini buat kamu! Semoga tabungan kamu cepat terkumpul ya!" Irwanto menyodorkan dua lembar uang seribuan bergambar tokoh pahlawan Si Singamangaraja padaku.
"Lho, jangan Wan! Ini kan uang jajan kamu!" Sergahku mengembalikan uang pemberiannya.
Uang jajan Irwanto bagiku relatif besar. Aku saja hanya diberi mama dua ratus rupiah setiap harinya. Dengan uang dua ratus itu aku dapat membeli satu tusuk cireng seharga Rp25, satu buah es mambo dengan harga yang sama, dan sebungkus cilok atau batagor seharga Rp50. Sedangkan sisanya yang seratus rupiah biasa kutabung ke dalam celengan di lemari pakaianku.
"Sudah ambil saja, aku ikhlas kok! Kalau soal uang jajan, itu soal gampang, aku masih bisa minta lagi pada mama dan bapakku!" Katanya seraya cengengesan.
Namun kutangkap binar matanya benar-benar tulus kepadaku. "Wan, kamu kok baik banget sih sama aku?" Sentilku padanya.
"Lha, kita kan sahabat Gih! Masak aku harus jahat sama kamu?" Terangnya menatapku lekat.
"Kalau kamu mau kamu boleh ambil mainan-mainanku di rumah!" Katanya lagi menawarkan.
"Wah, yang benar Wan?" Mataku membelalak tak percaya.
"Iya!" Irwanto menepuk lenganku pelan.
"Wah, terima kasih banyak ya Wan. Kamu baik sekali!" Pujiku padanya.
-v-
Mama menyeret tanganku ke pojok kamarnya. Diambilnya sebilah rotan penggebuk kasur di sebelah lemari.
"Buka leungeun maneh!" (Buka tangan kamu!) Titah mama keras.
Aku menggeleng lemah.
"Demi Allah Ma, Ugih teu nyandak acis Mama!" (Demi Allah Ma, Ugih enggak mengambil uang Mama!)
"BUKA!" Bentak mama lebih keras lagi.
Mau tidak mau aku harus menuruti perintah mama. Walaupun kenyataannya bukan akulah pelakunya. Aku tidak berani mengungkapkan bahwa Aa Fariz-lah pelaku sebenarnya. Dialah yang telah mencuri uang mama untuk dibelikan rokok olehnya!
PLAK!
Sebuah sabetan mengenai telapak tanganku. Buru-buru kutarik tanganku lagi. Rasanya benar-benar sakit.
Tangan mama menarik paksa tanganku kembali ke posisi semula.
PLAK!
Sebuah sabetan mengenai telapak tanganku lagi.
"Ampun Ma, nyeri!" Desisku lirih.
"Mama embung boga anak maling!" (Mama tidak mau punya anak maling!)
"Ampun Ma! Ugih teu pernah maling acis Mama!" (Ampun Ma! Ugih gak pernah maling uang Mama!) Aku berlutut mengiba.
"Lamun lain maling naon atuh? Nyolong?" (Kalau bukan maling apa donk? Nyolong?) Solot Aa Fariz lagi.
"Terus Ma, sabet deui ceunah kapok!" (Terus Ma, sabet lagi biar kapok!) Aa Fariz terus merongrong.
PLAK! PLAK! PLAK! PLAK! ......................
"Ampun Ma! Nyeri!" Berulang kali aku memohon agar mama berhenti memukul namun telinga mama seakan telah tersumbat enggan mendengarkan perkataanku.
Entah berapa puluh kali pukulan mama berikan pada telapak tanganku. Yang kusadari hasil pukulan rotan mama di telapak tanganku berhasil membuat telapak tanganku lecet melepuh selebar kedua telapak tanganku hingga mengeluarkan darah. Tulang-tulang jari tanganku terasa remuk tak mampu kugerakkan. Mengapa mama begitu sadis dan lebih mempercayai kakakku yang berhati iblis itu? Apakah ini juga adalah didikan Apih Hada kepada mama saat mama kecil? Andai saja saat itu KOMNAS HAM Perlindungan Anak sudah mencuat di media massa, mungkin aku akan menjadi pengadu terdepan dan nomor satu atas penganiayaan anak di bawah umur.
"Dina agama wae jelas hukumna lamun maling mah kudu dipotong leungeunna!" (Dalam agama saja jelas hukumnya kalau orang yang mencuri itu harus dipotong tangannya!) Tegas mama setelah selesai memukuli telapak tanganku dengan rotan.
Aa Fariz tersenyum puas di belakang mama. Sejak saat itu aku menjadi sangat benci kepada kakakku sendiri. Dalam hati aku hanya dapat mengadu kepada Tuhan.
"Ya Allah, tunjukkanlah kebesaran dan keadilan-Mu! Jangan jadikan hamba insan yang teraniaya oleh keluarga hamba sendiri!" Doaku dalam hati.
Bulir-bulir air mata tak mampu kuredam. Aku melangkah meninggalkan kamar mama dengan kedua tangan terangkat ke atas. Keesokan harinya aku tak dapat mencatat pelajaran yang diterangkan oleh guru di sekolah. Banyak temanku yang menanyakan pasal luka di tanganku. Dan kujawab saja pertanyaan mereka kalau tanganku ketumpahan air panas. Setelah seminggu lamanya luka di tanganku baru sembuh total setelah ditetesi getah daun penisilin setiap pagi dan sore oleh Mang Ega. Pamanku itu amat menyayangkan sikap mama yang tidak bisa lebih arif dalam mengambil tindakan.
Tapi untunglah kehadiran Aa Fariz di rumah kami tidak berlangsung lama. Tepat setelah aku naik kelas 3 SD, Wak Enday kakak tertua ayahku datang ke rumah kami untuk menjemputnya.
"Saya ke sini disuruh Kamal, Is. Dia baru saja datang dari Pontianak. Katanya kangen dengan Fariz. Maka dari itu saya bermaksud ingin menarik perwalian atas Fariz lagi. Selama Kamal pergi delapan tahun ini, Fariz sudah terbiasa tinggal dengan saya. Jadi saya merasa bertanggung jawab atas Fariz," kata Wak Enday mengutarakan maksud tujuannya.
Mama mendadak bingung, diliriknya Aa Fariz yang duduk di sampingnya.
"Bukannya saya tidak mau menyerahkan Fariz kepada Akang, tetapi saya perhatikan keluarga Akang tidak bisa mendidik Fariz dengan benar. Kenapa Fariz masih kelas 5 SD sudah sering merokok, Kang?" Kilah mama mempertahankan Aa Fariz.
"Namanya juga anak korban broken home, Is! Fariz pasti terbawa arus pergaulan yang tidak benar. Maka dari itu saya selaku anak tertua dari Abah Kurdi merasa mempunyai andil untuk bertanggung jawab atas Fariz!" Wak Enday berkelit. Ia tidak mau pihak keluarganya disalahkan.
"Tolonglah Is, saya tidak mau Kamal marah kepada saya karena melihat Fariz anaknya ditarik kembali oleh mantan istrinya," kata-kata Wak Enday benar-benar menyinggung perasaan mama.
Aku sangat heran mengapa tidak Pak Kamal langsung yang datang menjemput Aa Fariz ke rumah kami? Apa dia malu bertemu dengan mama setelah delapan tahun perceraian mereka? Apalagi keluarganya telah menyadari kalau aku benar-benar sangat mirip dengan wajah ayahku itu ketika dia seumuranku. Semua tetangganya di Kalong mengatakan itu.
"Kumaha Fariz, maneh rek nuturkeun saha? Mama apa Bapak?" (Bagaimana Fariz, kamu mau mengikuti siapa? Mama atau Bapak?) Tanya mama pada Aa Fariz.
Aa Fariz tercenung menimbang-nimbang. Kelihatan benar ia sangat ingin tinggal bersama kami. Namun di sisi lain ia juga sangat merindukan sosok ayah kami yang telah pergi meninggalkan kami delapan tahun silam. Aku saja waktu itu belum terlahir ke dunia, masih berada dalam perut mama.
"Wak, memangnya Pak Kamal sekarang sudah ada di Kalong?" Tanyaku pada Wak Enday.
"Iya Gih, kamu mau ketemu sama Bapak kamu?" Tawar Wak Enday padaku.
Sebenarnya aku sangat ingin sekali bisa bertemu dengan ayah kandungku. Tetapi aku teringat mama sering bercerita tentang Pak Kamal kepadaku, betapa marahnya mama kepada Pak Kamal karena telah tega menuduh mama berselingkuh darinya hingga sampai hati meninggalkan mama dalam keadaan hamil tua dan tidak mengakuiku sebagai anaknya, bahkan Pak Kamal dengan kejamnya menceraikan mama setelah satu minggu aku dilahirkan ke dunia. Karena itu mama bertekad tidak akan pernah menyerahkanku kepada keluarga Pak Kamal setelah mereka meyakiniku kalau aku memang benar anak Pak Kamal. Beruntungnya aku tanpa perlu pembuktian dengan tes DNA pun keluarga Pak Kamal langsung meyakini dan mengakuiku sebagai anak kandung Pak Kamal. Pasalnya seluruh fisik yang kumiliki tidak ada satupun yang berbeda dengan fisik ayahku itu. Peseknya hidungku, beloknya mataku, bahkan hingga bentuk wajahku semua sangat mirip dengan yang dimiliki ayahku.
"Kamu ikut Uwak sekalian ya, Gih!" Ajak Wak Enday sekali lagi.
Kutolehkan pandanganku pada mama. Mata mama mendelik tajam memberi isyarat agar aku menolak tawaran Wak Enday.
"Akang silakan bawa Fariz pergi dari rumah ini, tapi jangan harap bisa membawa Sugih untuk menemui Kamal! Akang tidak tahu betapa sakitnya saya dulu dituduh telah berselingkuh dari adik kesayangan Akang itu. Dia bahkan menuduh Sugih adalah anak hasil perselingkuhan saya dengan si Edy, Kang! Apa tidak sakit saya dituduh seperti itu? Susah payah saya melahirkan Sugih, merawat, mendidik, dan membesarkannya hingga seperti ini. Sekarang setelah kalian menyadari Sugih sangat mirip dengan Kamal, kalian ingin merebutnya dari saya? Tidak akan pernah saya beri! Tidak akan pernah, Kang!" Koar mama panjang lebar berapi-api.
"Masuk ke kamar sekarang juga, Gih!" Titah mama padaku.
"Uwak..." Aku memohon pembelaan.
Wak Enday tampak tidak enak hati kepada mama.
"MASUK!" Perintah mama lagi.
Dengan perasaan malas kakiku melangkah gontai memasuki kamar. Kutelungkupkan wajahku ke bantal dan menangis sejadi-jadinya. Kenapa sih aku tidak diperkenankan bertemu dengan ayahku sendiri? Apa salah kalau aku ingin tahu seperti apa rupa ayahku? Aku ingin sekali bisa memeluknya, dipangkunya, digendongnya, dikecupnya, dimanjakannya, dan... Aku sangat ingin sekali mendengar suaranya! Kapan aku bisa melihat dan bertemu dengannya? Kapan oh kapan?
Tanpa sadar aku tertidur setelah kelelahan menangis seorang diri. Aku baru terjaga dari alam bawah sadarku setelah mama membangunkanku untuk makan malam. Kurasakan cahaya menembus masuk ke mataku, mama menyalakan lampu kamarku. Kukucek kedua mataku dan segera masuk ke kamar mandi untuk mengambil wudhu. Setelah menunaikan ibadah shalat maghrib, baru kemudian aku bergabung di ruang makan.
Mang Rahmat tampak tidak berselera makan. Ia sangat kehilangan Aa Fariz yang berhasil dijemput oleh Wak Enday. Selama ini Aa Fariz telah menjadi teman setianya yang selalu mengantarnya pergi ke manapun ia melangkah. Sementara Mang Ega makan dengan khidmat menikmati santapannya tanpa berbicara sepatah katapun.
"Teteh tidak bisa mempertahankan Fariz, De! Kang Enday itu pengacara yang pintar memutarbalikkan fakta, malah sekarang Teteh khawatir kalau dia juga akan merebut Sugih dari kita!" Terang mama sambil mengaduk-aduk makanan di piringnya.
"Ya sudah atuh Teh, kasih saja si Ugih ke uwaknya! Tapi suruh tukar, balikin si Fariz ke sini!" Timpal Mang Rahmat tanpa pikir panjang. Baginya Aa Fariz jauh lebih berharga daripada aku.
"De, kamu gak tahu kaya apa sakitnya hati Teteh waktu diceraikan sama bapaknya Sugih dulu! Teteh gak mau dengan gampangnya dia main tarik-ulur anak-anak Teteh begitu saja! Kamal itu laki-laki yang tidak bertanggung jawab. Pacar pertamanya saja hamil tidak dinikahinya. Lantas anaknya itu sekarang ditelantarkannya!" Mama mengemukakan alasan-alasan mengapa aku dipertahankannya.
"Anak itu titipan Allah, De! Sama seperti kamu dan Ega yang tidak pernah diurus oleh bapak. Masih untung Teteh mau peduli sama kalian berdua. Kalian adalah amanat dari Allah untuk kami!" Mama mulai ikut tidak berselera makan.
Aku hanya diam mendengarkan ucapan mama.
"Kelak kalau kamu sudah dewasa jangan pernah tiru perilaku bapak kamu!" Pesan mama sebelum beranjak dari duduknya, entah kepada siapa pesan tersebut ditujukan.
Mang Rahmat turut beranjak masuk ke kamarnya. Tinggallah aku dan Mang Ega berdua yang menikmati makan malam dalam kebisuan.
"Kamu jangan sedih ya, Gih! Mama kamu memang keras hati, tapi hatinya sangat baik kok. Lambat laun suatu saat nanti kamu pasti bisa mendapatkan apa yang kamu angan-angankan!" Mang Ega berusaha menyemangatiku setelah santapannya habis.
Aku membalas ucapannya dengan sebuah anggukan.
"Senyum donk!" Mang Ega memberi isyarat di bibirnya yang ditarik oleh jarinya agar aku mau mengikuti ekspresinya.
Sejurus kemudian akupun tersenyum untuknya.
"Gitu donk! Kalau Ugih gak pernah mau tersenyum, nanti Mamang akan terus menagih sampai Ugih tersenyum dan terkencing-kencing!" Katanya lagi berusaha menghiburku.
Baru beberapa bulan duduk di kelas 3 SD, mama mendapat kabar gembira dari dr.Endang yang memeriksakan kandungannya. Mama dinyatakan positif hamil 2 bulan. Kabar ini telah lama dinantikan oleh papa setelah empat tahun lamanya berumah tangga dengan mama. Padahal di Jakarta di rumah istri pertamanya, papa telah dikaruniai 2 orang anak yang telah dewasa dan berumah tangga. Bahkan dari kedua anaknya itu papa telah dikaruniai 3 orang cucu yang sangat lucu. Aku tahu itu semua setelah papa meninggal dunia saat aku naik kelas 2 SMP.
"Gih, kalau adikmu ini lahir nanti, tolong jangan pernah menuntut apa-apa dari Papa! Karena seperti yang kamu ketahui, status Mama ini hanya seorang istri muda. Kamu tidak memiliki hak waris sedikitpun dari Papa. Sebab kamu tidak memiliki hubungan pertalian darah. Bahkan mungkin bila suatu saat nanti Papa meninggal dunia, kita semua yang tinggal di rumah ini bakal diusir dari sini dan rumah ini diambil alih oleh keluarga istri tua Papa!" Pesan mama entah untuk yang ke berapa kalinya padaku sampai aku hapal benar bunyinya saking seringnya mama melontarkan kalimat-kalimat tersebut selama mama mengandung adikku.
Aku tak pernah menanggapi ucapan mama karena terus terang aku tak mengerti mengapa mama selalu membahas hal-hal yang belum sepantasnya kuketahui. Tapi berkat didikan mama yang seperti inilah aku belajar bersikap dewasa dalam menghadapi persoalan-persoalan hidup yang kualami.
Setiap kali mama muntah karena mual yang dirasakannya aku selalu memijit tengkuk mama agar mama mudah mengeluarkan muntahnya. Setelah genap sembilan bulan lamanya mama mengandung, mama akhirnya melahirkan. Hari itu tanggal 25 Mei 1995 bertepatan dengan tanggal merah di kalender, hari raya Waisak. Ternyata adikku berjenis kelamin perempuan. Betapa senangnya aku mempunyai seorang adik. Terlebih mama karena anaknya kali ini adalah perempuan. Anak yang sudah lama diharapkannya. Mama dan papa sepakat memberinya nama Dyah yang berarti bunga. Adikku ini memang sangat cantik sesuai dengan namanya. Dia sangat mungil dan montok. Ternyata Dyah adalah kloningan mama. Karena setelah menginjak usia 17 tahun, Dyah sangat mirip dengan foto-foto mama ketika remaja.
Sejak Dyah dilahirkan aku merasa perhatian mama padaku berangsur-angsur berkurang. Semakin lama aku merasa diabaikan keberadaannya dalam keluarga. Maka tak jarang aku lebih banyak menghabiskan waktuku bermain di rumah Bibi Rida. Walau rumah Bibi Rida hanya sebuah gubuk kecil di pinggir Sungai Cigede yang setiap saat dapat terendam banjir bila hujan turun, atapnya hanya terbuat dari seng bekas dan dindingnya yang terbuat dari bilik bambu, namun aku menemukan sebuah kebahagiaan yang kudambakan di sana. Bibi Rida selalu mengetahui permasalahanku dengan mama, dan Bibi Rida pula yang selalu memberiku solusi agar bisa berdamai dengan mama. Selain karena ketulusan kasih sayang yang diberikannya, aku juga sangat menyukai masakan yang dibuat oleh beliau. Masakan Bibi Rida adalah masakan terlezat dalam keluargaku. Beliau mendapatkan semua ilmu kuliner tersebut dari pengalamannya selama tinggal di perantauan. Bibi Rida sangat pandai memasak masakan Padang, dan aku sangat suka masakan yang bercita rasa pedas seperti masakan Padang. Sering aku mengajak Ardhan main ke rumah Bibi Rida, selain karena Popy adiknya adalah sahabat Dian sepupuku, Bibi Rida dan Dian juga senang mengajak Ardhan dan Popy bergurau dengan menggunakan Bahasa Minang. Terkadang mereka berempat sering berbalas pantun yang sama sekali tak kumengerti maknanya apa, karena menggunakan Bahasa Minang. Tetapi aku paling suka pada saat mereka mengajariku bernyanyi lagu-lagu yang berasal dari ranah Minang seperti Ayam Den Lapeh (sampai saat ini lagu ini adalah lagu daerah terfavoritku), Kambanglah Bungo, Kampuang Nan Jauah di Mato, Laruik Sanjo, dan lain-lain sampai aku hapal liriknya dan paham makna syairnya. Saking sukanya dengan masakan dan Bahasa Minang aku sampai berkhayal semoga kelak suatu saat aku mendapatkan jodoh orang Minang.
Tidak hanya Bibi Rida saja yang tak pernah membedakan antara aku dan Dian. Baginya aku dan Dian adalah sama anaknya. Dalam tubuhku mengalir darah Bibi Rida karena Bibi Rida-lah yang menyusuiku semasa kecil. Mang Dicky pun bersikap sama seperti Bibi Rida. Bila Dian dibelikannya sebuah jam tangan maka akupun dibelikannya juga. Bila aku dibelikannya buku cerita sudah barang tentu Dian akan dibelikan buku yang sama denganku agar kami tak saling berebut. Rasanya tinggal dengan keluarga Bibi Rida serasa hidup bersama keluarga Cemara yang sederhana tetapi penuh dengan kebahagiaan.
Melihat kedekatanku dengan Bibi Rida melebihi kedekatanku dengan mama yang sebenarnya cenderung kaku, mama mulai menaruh perasaan cemburu kepada Bibi Rida, adiknya sendiri. Disangkanya Bibi Rida telah mencuri perhatianku agar aku lebih sayang kepada Bibi Rida daripada kepada mama. Aku menyadari ini karena mama sering menyuruhku pergi dari rumah dan pulang ke rumah Bibi Rida.
"Kamu itu tidak pernah menyentuh masakan Mama. Daripada kamu tinggal di sini lebih baik kamu tinggal dengan bibimu itu yang jauh lebih enak masakannya ketimbang masakan Mama!" Usir mama padaku suatu hari sepulang sekolah.
"Oke, masakan Mama memang tidak enak! Ugih lebih suka masakan Bibi Rida sebab Bibi Rida lebih mengerti selera Ugih!" Tentangku sengit.
Bukan tanpa alasan mengapa aku berani menentang mama. Semenjak mama mempunyai Dyah, perhatian mama lebih banyak tercurah kepada adikku itu. Padahal aku juga selalu peduli menjaga dan mengasuh Dyah bila mama sedang pergi berbelanja ke warung, mencuci, memasak, dan pergi mandi. Tetapi mama sudah tidak menghiraukan lagi keberadaanku. Mungkin aku cemburu kepada adikku sendiri. Rasanya mama sudah tak mempedulikanku lagi. Keperluanku sampai aku yang harus melakukannya sendiri. Aku mulai terlatih mencuci pakaian sendiri, menyetrika sendiri, merapikan kamar sendiri, dan lain-lainnya sendiri tanpa sadar aku telah berubah menjadi anak yang mandiri. Perlu kuakui hal-hal tersebut berdampak baik juga bagiku memang! Hanya saja masih terdapat alasan lain yang membuat aku benci terhadap sosok mama.
Alasanku yang kedua adalah aku merasa sikap mama telah berubah 180 derajat. Mama yang kini kukenal bukanlah mama yang selalu rendah hati kepada orang lain dan selalu memperjuangkan kebahagiaanku di saat aku masih kecil dulu. Semenjak kami menempati rumah gedong yang kurasa sangat mewah untuk ukuranku dan adik-adik mama, sikap mama berubah menjadi arogan seperti orang lupa daratan. Mama sering memperlakukan Mang Ega, Mang Rahmat, dan aku seperti layaknya pembantu di rumah.
Setiap pagi-pagi buta mama sudah membangunkan kami secara paksa hingga menyemborkan seember air kepada kami bila kami sulit dibangunkan dan menyuruh kami untuk mengepel lantai, menyapu halaman, mencabuti rumput liar di halaman, mengelap kaca jendela, menyedot debu dengan vacum cleaner, mencuci piring, menyiram tanaman, memberi makan ayam peliharaan, dan masih banyak seabreg tugas lainnya yang harus kami lakukan sebelum mandi dan berangkat ke sekolah. Bukan pembagian tugasnya yang memberatkan kami bertiga, melainkan intonasi ucapan mama yang terdengar sangat tinggi saat memberi perintah. Tutur kata mama tidak ada lemah-lembutnya sama sekali. Nada bicara mama telah berubah menjadi lengkingan seorang nyonya besar di dalam istananya.
"Ga, buatkan susu untuk Dyah!"
"De, ambilkan piring di dapur!"
"Gih, cucikan celana bekas ompol Dyah!"
"Semuanya cepetan! Jadi cowok gak boleh lamban kalian bukan keledai dungu!"
Teriak mama setiap hari.
"Goblok amat sih, bikin susu saja sampai kemanisan begini! Bikin susu bayi nggak perlu pake gula lagi, tahu? Memangnya enggak bisa baca petunjuk pembuatan di kalengnya apa? Mata kamu buta ya?"
"Kuping kamu bolong nggak sih, diminta ambilkan piring malah kamu bawa pisin? Kamu itu sekolah bukan di SLB kan? Sini kucolok dulu kuping kamu!"
"Kamu nyucinya pake apa? Bau amis gini! Kamu campur celana adik kamu sama cucian ikan asin ya? Bisa make mesin cuci yang bener enggak sih? Salah mencet tombol bisa bikin mesinnya karatan, dasar tolol!"
"Kerja kalian semuanya enggak becus. Gimana kalau nanti sudah punya rumah sendiri?"
Begitulah cercaan dan cacian mama setiap hari. Mama telah berubah menjadi wanita sombong dan angkuh. Hanya karena keadaan kami sekarang sedang berada di atas puncak kejayaan, mama menjadi silau akan harta. Semenjak hadirnya Dyah dalam kehidupan kami, papa jadi lebih sering pulang ke Cimanggu hanya untuk dapat menemui Dyah. Papa semakin memanjakan mama dan Dyah dengan harta yang dimilikinya.
"Kamu harus berterima kasih kepada Dyah, karena berkat kelahirannya kita dapat hidup senang seperti sekarang ini! Coba kalau enggak ada Dyah, nasib kamu bakal luntang-lantung di jalanan menjadi gembel dan pengemis! Rumah ini dan segala isinya adalah milik Dyah. Nanti kalau kamu sudah besar, kamu pergi dari sini dan bikin rumah sendiri! Syukur kalau kamu jadi orang sukses, tapi jangan pernah lupa kalau kamu hidup bisa makan, bisa sekolah, dan bisa tidur nyenyak, semua itu adalah dari uang papanya Dyah!" Mama tak pernah berhenti mengingatkanku kalau aku ini bukan siapa-siapanya papa jadi aku tak layak meminta macam-macam pada papa.
Sering aku meratapi nasibku. Mengapa jalan hidupku harus seperti ini? Diambil ayah kandungku jangan, tetapi disayang ibu sendiripun tidak! Aku merasa hidupku tertekan. Apa yang harus kulakukan? Bagaimanapun aku terus mencoba bertahan, semua berkat dorongan Bibi Rida dan Aki Eben yang terus menguatkanku.
"Kamu berdoa saja kepada Allah, minta dibukakan pintu hati mamamu agar sikapnya melunak padamu!" Pesan Aki Eben padaku suatu kali saat aku duduk merenung di tepi kolam belakang mushala.
"Iya Ki!" Sahutku bergegas bangkit mengambil wudhu untuk shalat.
Saat liburan kenaikan kelas 4 tiba, sebagai keutamaan seorang laki-laki menjaga kebersihan tubuhnya, telah tiba saatnya bagiku untuk dikhitan. Karena mama sangat repot mengurus Dyah di rumah, aku diantar Umi Wati ke Puskesmas Kecamatan Bogor Tengah. Selama prosesi khitanan berlangsung Umi Wati terus menemaniku dan mengajakku mengobrol agar aku tidak terlalu merasakan kesakitan.
"Nanti kalau sudah selesai pulangnya kita naik becak ya!" Hibur Umi Wati menggenggam tanganku erat.
"Umi jangan pergi ya! Ugih takut kalau ditinggal sendiri!" Rengekku manja.
Dokter dan beberapa orang mantri tampak sibuk menjahit bekas khitanan pada batang kemaluanku. Yang kurasakan saat itu adalah seakan-akan batang kemaluanku tengah digigiti beberapa ekor semut. Dan aku hanya bisa diam membiarkannya.
"Umi nggak pergi kok, Gih! Umi ada di sini buat menemani dan menjaga kamu!" Umi Wati berusaha menenangkan perasaanku.
Hanya kepada Umi Wati-lah aku dapat bersikap manja walau kini cucu Umi Wati tidak lagi hanya aku seorang. Tahun lalu kedua anak laki-lakinya telah menikah bersamaan. Mang Iyan menikahi kekasihnya yang orang Cilendek, namanya adalah Bibi Sri. Dan Mang Engkos mendapatkan jodoh orang Ciaruteun alias urang kulon, namanya Bibi Yati. Kedua pamanku itu sekarang telah dianugerahi masing-masing satu orang anak. Mang Iyan dikaruniai anak laki-laki yang diberinya nama Hafiz, sedangkan Mang Engkos dikaruniai seorang anak perempuan yang diberi nama Asri. Hafiz dan Asri umurnya hanya selisih beberapa minggu dengan Dyah dan Chaerul. Chaerul adalah anak bungsu Bibi Rida, bibi kesayanganku. Saat mama mengandung Dyah, tak disangka Bibi Rida pun sama sedang hamil muda. Dan tak lama disusul oleh para istri sepupu mereka, Bi Sri dan Bi Yati. Benar-benar seperti perlombaan ibu hamil saja bila melihat mereka berempat berkumpul dan menikmati mangga muda bersama-sama saat mereka sedang ngidam.
"Sakit nggak Gih?" Tanya Umi Wati setelah prosesi khitananku usai.
Tanganku mengangkat sarung yang kupakai agar tidak bersentuhan dengan luka pada kemaluanku. Sementara sebelah tanganku yang lain dituntun Umi Wati menuju pangkalan becak di depan puskesmas.
"Enggak Mi, tapi baal!" Kataku menjawab pertanyaan Umi Wati.
"Nanti juga terbiasa!" Kata Umi Wati sambil membantuku naik ke atas becak.
"Iya Mi!" Sahutku riang.
"Tadi dokter bilang benang yang dipakai untuk menjahit titit kamu itu terbuat dari usus kelinci," cerita Umi Wati.
"Apa Mi?" Aku melongo melirik ke balik sarung yang kupakai.
Umi Wati hanya tersenyum cekikikan lalu duduk di sebelahku. Kusandarkan kepalaku di dada Umi Wati kemudian Umi Wati merangkul bahuku sambil mengusap-usap pelan wajahku. Dirapatkannya kepalanya dengan kepalaku. Setibanya kami di rumah mama telah menyiapkan acara syukuran untukku. Inilah pertama kalinya aku merasa telah kembali mendapatkan perhatian mama semenjak mama melahirkan Dyah. Seluruh keluarga berkumpul menyambut kepulanganku.
Banyak tetangga yang datang dan memberiku amplop saat acara syukuran khitananku digelar. Akhirnya setelah hampir setahun lamanya tak berkacamata aku bisa membeli kacamata baru dari uang pemberian para tetangga. Mataku sering sakit bila pandanganku semakin kabur.
Ini adalah momen-momen terakhir berkumpulnya keluarga besar kami. Karena setelah acara khitananku selesai, tiba-tiba saja Apih Hada mengutarakan maksudnya kepada mama bahwa beliau bermaksud membawa Mang Rahmat bertransmigrasi ke Irian Jaya yang sekarang telah berganti nama menjadi Papua. Mama tahu betul ini adalah siasat Apih Hada, beliau sengaja membawa Mang Rahmat turut serta dengannya agar mama bersedia terus mengiriminya uang selama di perantauan nanti.
"Mama benar-benar pusing, Gih! Tahun lalu Mang Bagas minta biaya kawin. Tahun ini Apih Hada mau berangkat transmigrasi lagi, padahal waktu di Aceh saja usahanya gagal total. Sekarang sudah minta ongkos lagi ke Irian Jaya, ngabisin uang aja!" Keluh mama padaku sambil duduk memijat-mijat keningnya di ruang makan.
"Kakekmu itu sengaja menjadikan Mang Rahmat sebagai tameng supaya Mama tak pernah berhenti mengirim uang sama kakekmu selama di sana! Kalau dituruti kemauannya kasihan juga sama paman bungsumu itu, sekolahnya di sini terabaikan. Padahal di sana nanti belum tentu pamanmu itu bisa bersekolah lagi seperti di sini. Pulau Irian kan sangat tertinggal kemajuannya di negara kita. Tapi kalau tidak dituruti kemauannya, takutnya nanti kakekmu ngamuk-ngamuk lagi seperti waktu di Cibungbulang dulu!" Mama mengingatkanku.
"Iya juga ya, Ma! Memang serba salah kalau berurusan dengan Apih Hada!" Kataku berkomentar.
Kendati demikian pada akhirnya Mang Rahmat berhasil dibawanya pergi ke Irian Jaya. Aku sangat kasihan dan sedih harus berpisah dengan paman bungsuku itu. Walau terkadang perkataannya nyelekit, namun Mang Rahmat memiliki banyak sisi baiknya juga. Berkat beliaulah setidaknya aku telah bisa membuka diri kepada teman-temanku di sekolah hingga aku tidak pemurung lagi dan bisa membentuk sebuah genk.
"Mang Rahmat, semoga Allah selalu melindungi Mamang!" Pesanku saat berpisah dengannya di transito Ciluer, tempat pelatihan para calon warga trans.
Mang Rahmat mendekapku erat, "Kamu jaga diri baik-baik! Jangan sering bertengkar sama Mama!" Pesannya setengah berbisik di telingaku.
"Iya Mang!" Aku menganggung-anggip mengayunkan daguku.
Setelah kepergian Mang Rahmat, rasanya rumah mulai sepi. Mang Wana dan keluarganya pindah ke Cilacap setelah pembangunan rumah kami selesai. Bibi Harti kembali mutasi ikut dinas Mang Haryo suaminya. Ratna dan Yusuf tentu dibawanya serta. Mereka pindah ke Cibadak, Kabupaten Sukabumi, dan menempati rumah dinas di sebuah panti sosial yang menangani orang-orang yang mengalami gangguan kejiwaan dan mental. Meski Bibi Harti adalah anak kesayangan Apih Hada, namun sayangnya si kecil Yusuf yang baru berusia 3 tahun ternyata mendapat predikat cucu yang paling dibencinya. Apa sebab? Karena Yusuf adalah bocah hiperaktif yang sering kali tiba-tiba saja memukul orang di saat orang tersebut sedang lengah. Betapa marahnya Apih Hada saat beliau dulu sedang asyik-asyiknya duduk di lantai berkutat dengan buku teka-teki silang favoritnya, tiba-tiba saja Yusuf muncul dari arah belakang, dan.......
DUG!
Sebuah palu martil berhasil dipukulkan oleh Yusuf tepat ke atas kepala Apih Hada yang pitak. Entah dari mana palu itu didapatnya.
"ADAAAAAW..." Apih Hada memekik kesakitan.
"Heeheehee..." Bukannya takut, Yusuf malah tertawa terkekeh melihat ekspresi Apih Hada yang berubah pias. Mukanya merah padam.
"Kurangajar ya, kamu Yusuf! Berani kamu memukul Gaek?" Hardik Apih Hada berusaha mengejar bocah kecil yang berlari-lari menghindar darinya dan malah memutari meja di ruang tamu.
Apih Hada memang memiliki panggilan akrab yang berbeda dari setiap cucunya. Panggilan tersebut ditentukan dari kelompok orang tuanya atau mungkin dari tempat lahirnya sang cucu. Aa Fariz dan aku yang lahir di Bogor diharuskan memanggilnya Apih, Ratih yang lahir di Aceh diminta memanggilnya Aki, Dian yang lahir di Riau dan Chaerul yang lahir di Bogor karena keduanya lahir dari rahim Bibi Rida yang lama merantau di Padang disuruh memanggilnya Datuk, sedangkan Ratna dan Yusuf yang lahir di Palembang terbiasa memanggilnya dengan sebutan Gaek.
"Sini kamu Yusuf! Ini sudah ketiga kalinya kamu memukul kepala Gaek dengan menggunakan palu. Dasar cucu kualat kamu! Menyesal Gaek sudah menjadikan Harti anak kesayangan Gaek!" Sentak Apih Hada kesal merasa dipermainkan oleh cucunya sendiri. Apih Hada benar-benar naik pitam dibuatnya.
Mendengar keributan yang terjadi, dengan sigap Bibi Harti segera menggendong anaknya yang hiperaktif itu dan mengamankannya dari jangkauan kakek kami. Buru-buru Bibi Harti masuk ke dalam kamar. Aku dan mama turut masuk ke dalam kamar yang sama. Mama langsung mengunci pintu dari dalam.
"Harti, Iis, buka pintunya! Serahkan anak biadab itu padaku! Biar kusuntik dia supaya tahu rasa!" Apih Hada menggedor-gedor pintu.
"Bapak, Yusuf ini kan masih anak-anak, ya harap dimaklumilah! Namanya juga masih kecil belum bisa membedakan mana perbuatan baik dan mana perbuatan buruk. Tolong dimaafkanlah Pak!" Kata Bibi Harti sangat gelisah dan cemas.
"Pokoknya Bapak tidak mau tahu! Kamu sudah gagal mendidik anak. Kenakalan si Yusuf ini melebihi kenakalan si Ahmad, adikku!" Teriak Apih Hada keras sambil terus menggedor-gedor pintu dan berusaha mendobraknya.
"Biar Bapak suntik dulu si Yusuf itu! Injeksi Bapak ini ampuh, dulu si Ugih cengengnya minta ampun tapi setelah Bapak suntik dia tidak brewek lagi seperti dulu!" Desak Apih Hada.
#Brewek (Bahasa Sunda) : Suka ngadat.
"Harti lebih tahu suntikan yang bagus untuk anak Harti, Pak! Tolong Bapak jangan sampai membenci Yusuf seperti ini!" Bibi Harti terus menahan pintu agar jangan sampai terdobrak oleh Apih Hada.
"Teh, kira-kira Bapak masih memegang pistol gak ya?" Tanya Bibi Harti pelan pada mama dengan begitu cemasnya. Keringat dingin mengucur di keningnya.
Suasana mendadak berubah tegang dan mencekam.
"Teteh rasa semenjak Bapak pensiun, Bapak sudah tidak memegang pistol lagi. Semua sudah diserahkan kepada dinas kesatuannya!" Kata mama dengan suara yang teramat pelan agar tidak terdengar oleh ayah mereka.
"Barangkali Bapak menyembunyikan satu bekas dinasnya dulu?" Tubuh Bibi Harti terlihat lunglai. Mungkin seumur hidupnya baru kali ini beliau memiliki masalah dengan Apih Hada.
"Sudah kamu tenang saja! Teteh sudah biasa seperti ini dengan Bapak," mama mendorong meja rias untuk mengganjal pintu agar tak berhasil didobrak oleh Apih Hada.
"Ya Allah Gusti, lindungilah kami!" Mama memanjatkan doa.
Selang satu jam berlalu suara Apih Hada sudah tidak terdengar lagi. Aku diminta mama untuk keluar melalui jendela dan mengintip keadaan di luar. Kulihat Apih Hada pergi meninggalkan rumah sambil menenteng tas tentaranya. Bibi Harti pun akhirnya bisa menarik napas lega.
"Yusuf, tolong jangan suka nakal lagi ya, Nak! Kalau kamu nakal terus, Gaek Hada bisa membunuh kamu!" Nasihat Bibi Harti memeluk erat putra bungsunya itu dalam gendongannya.
Hari-hari pertemananku dengan Ary Wibowo semakin akrab. Terkadang kami bermain bersama Ryan, dan Anton di teras belakang rumah Anton. Kami memiliki sebuah permainan favorit yang sering kami mainkan. Nama permainan itu adalah 'Langit Lupa'. Sebenarnya permainan ini adalah variasi lain dari kucing-kucingan. Perbedaannya hanya terletak dari arena bermainnya. Permainan ini harus dimainkan di tempat yang struktur lantainya tidak rata, atau ada tempat yang tinggi dan ada tempat yang rendah pula. Tempat yang tinggi dikatakan sebagai langit, sedangkan tempat yang rendah disebut sebagai bumi. Sang kucing bertugas di bumi mencoba menangkap burung yang beterbangan ke langit. Bila sang burung turun ke bumi dan tertangkap oleh si kucing maka si kucing harus berseru 'LUPA' saat berhasil menangkap sang burung, dan selanjutnya burung itu akan menjelma menjadi kawanan si kucing seperti manusia yang tergigit oleh vampir. Sebaliknya bila si kucing lupa menyerukan kata 'LUPA' saat berhasil menangkap atau menyentuh burung incarannya, maka tangkapan si kucing itu dianggap tidak sah, dan burung pun dapat bebas terbang ke langit. Begitulah permainan kami.
"Lupa!" Anton menyentuh sikutku.
"Wah, ketangkap deh akhirnya!" Aku menyerah.
"Ye.. Ye.. Sekarang elu jadi komplotan gua!" Ujar Anton senang.
"Haahaa.. Iya deh!" Kulepas sandalku dan kuselipkan di sela-sela jari tanganku.
"Sugih jelek, coba tangkap gua!" Ary mencebik seraya menarik kedua ujung matanya ke bawah sehingga menampilkan mimik yang sangat lucu.
Aku sangat suka ekspresi wajah Ary yang sedang seperti itu. Sangat mirip dengan tokoh kartun Donal Bebek kesukaanku.
"Awas lu Ary, lu pasti gua tangkap!"
"Coba kalau berani!" Tantangnya.
"Oke, lihat aja!"
"Ayo, ke sini! Coba aja kalau bisa!"
Kugapai-gapai tanganku meraih tubuh Ary. Tapi uh sialan, dia gesit benar. Gerakannya sangat tangkas dan cepat sehingga sangat sulit untuk kutangkap.
"Waktu di Filipina gua pernah kepilih jadi atlet lari, jadi gak ada yang bakal bisa menangkap gua!" Serunya bangga.
"Wee... Di atas langit masih ada langit!" Aku mengingatkannya.
"Yoilah terserah kata elu aja!" Tukas Ary sekenanya.
"Hhhh..." Aku berusaha segenap tenaga agar dapat berhasil menangkap Ary saat ia turun ke bumi.
"Wahaahaa..." Ary menertawakanku.
Sementara itu Anton sedang berusaha menangkap Ryan tidak jauh dari tempat kami. Ary berlari-lari di atas sebilah bangku papan yang melintang setinggi pinggangku.
"Eeee...." Tiba-tiba saja tubuh Ary mendadak hilang keseimbangan di saat ia berusaha menghindar dari tangan-tanganku yang terus menggapainya.
"Wuaa... Wuaa..." Kedua tangan Ary lepas kontrol.
Aku yang berdiri di bawahnya terkejut melihatnya.
BRUGH!
Tubuh Ary terjengkang menimpa tubuhku. Kami sama-sama terjatuh di atas rerumputan. Tapi ups... Bibirku menyentuh sesuatu!
Rasa sakit yang sebenarnya kurasakan di pinggangku akibat tertimpa tubuh Ary mendadak sirna tatkala aku menyadari kalau bibir Ary tengah beradu dengan bibirku. Kedua pasang bibir kami saling melekat tanpa disengaja. Bahkan hingga lima menit berlalu pun bibir kami masih juga merapat. Kami berdua sama-sama bengong terdiam satu sama lain. It's my first KISS!
Waah, ingin rasanya kucubit tanganku bahwa aku tidak sedang bermimpi atau berkhayal di siang bolong. Meski kutepuk-tepuk kedua pipiku sekalipun tidak akan membangunkanku dari alam bawah sadarku, karena aku sedang dalam keadaan sadar! Seandainya tidak ada siapa-siapa di sekelilingku ingin rasanya aku melompat-lompat atau jingkrak-jingkrak senang seperti kelinci minta kawin! Aku baru saja berciuman dengan orang yang sedang kusukai. Meskipun ciuman itu bukan ciuman yang sengaja dilakukan. Tetapi aku sangat menikmatinya. Thanks God, aku sangat menyukai ini!
"Woy, kalian homo ya?" Teriak Ryan menghampiri kami.
Mendengar panggilan Ryan, Ary langsung buru-buru bangkit dan membersihkan pakaiannya yang kotor. Begitu pula aku, segera kubersihkan rumput yang menempel di bajuku. Kami berdua sama-sama kikuk menyadari situasi yang insidentil ini.
"Uuh, apa-apaan sih lu Ry, main nimpa badan gua aja. Sakit tahu!" Sambarku pada Ary pura-pura kesal.
"Eh, suruh siapa lu berdiri di bawah gua? Ketimpa kan lu!" Sungut Ary tidak mau kalah.
Kutolehkan pandanganku pada Anton. Dia berdiri terpaku memandangi kami.
"Udahan ya mainnya! Mendingan kita latihan piano aja!" Ajakku pada Anton.
Kutarik tangan Anton masuk ke dalam rumahnya. Langkah Anton terseret olehku. Dia sama sekali tak bersuara setelah menyaksikan kejadian yang menimpaku dan Ary. Kurebahkan pantatku di atas kursi persis menghadap piano. Anton duduk terdiam di sebelahku. Denting-denting suara piano mulai terdengar, jemari tanganku menekan-nekan tuts lagu yang kukuasai 'London Bridge'.
"Anton, elu kenapa sih?" Tanyaku menoleh memandang wajahnya.
"O... Eh, enggak apa-apa kok!" Anton gelagapan.
"Si Ryan balik cuy! Dia dipanggil sama kakaknya," Ary muncul menyusul kami.
"Mumpung rumah lagi sepi kita nonton di kamar aja yuk!" Anton melenggang masuk ke dalam kamarnya.
Aku dan Ary mengikutinya di belakang. Sempat canggung juga berjalan bersebelahan dengannya. Tapi Ary kelihatan sedikit cuek seolah tidak pernah terjadi apa-apa di antara kami berdua beberapa menit yang lalu.
"Duh, elu kok keren banget sih? Gaya lu terlalu cuek bikin gue klepek-klepek lama-lama berada di dekat elu!" Decakku dalam hati.
Ary melirikku aneh. Kusunggingkan senyuman termanis yang aku punya untuknya. Berharap dengan senyuman yang kuberikan dapat mencairkan hatinya yang beku.
"Ary... Ary... Gua suka sama elu, Ary! Please, lu balas perasaan gua!" Jeritku dalam hati.
Namun percuma sampai kapanpun aku menjerit dalam hati tidak akan pernah bisa menembus gendang telinganya agar ia mendengar suara hatiku.
"Lu kenapa sih?" Ary mendadak jengah akan ekspresi wajahku yang terkesan aneh menurutnya.
"Eh, gak apa-apa kok!" Kataku berdusta.
"Semoga saja suatu saat nanti perasaan gua ke elu bakal terbalaskan dengan perasaan yang sama!" Harapku lagi dalam hati.
"Ry, lu pernah nonton yang kaya gini gak waktu di Filipin?" Anton menunjuk ke layar televisi.
Sebuah adegan ranjang tengah diputar di layar televisi. Sepasang wanita dan pria Chinese menjadi pelakon adegan tersebut. Mereka terengah-engah memburu kenikmatan.
Dengan tenang Ary menjawab, "Anak-anak Filipin mah udah biasa ngeliat yang kaya ginian. Eh, lu dapat dari mana nih video?"
Anton cengengesan nyengir kuda, "Biasa cuy dari Bang Aldo pacarnya Mbak Nunik!"
"What? Gila lu, kakak lu itu kan cewek alim masak suka diajak nonton film kaya gini sama pacarnya?" Mata Ary terbeliak tak percaya.
"Tahu tuh, waktu itu Bang Aldo yang ngajakin gua nonton film ini. Asyik aja dia nyelonong masuk kamar gua, terus nyetel film ini di kamar ini," terang Anton menceritakan awal mula ia mengetahui film porno.
"O, gua kira Bang Aldo ngajakin Mbak Nunik!" Sela Ary tiba-tiba.
"Gak bakalanlah! Mbak Nunik itu paling anti sama yang kaya ginian. Percuma saja kalau tiap hari memperdalam alkitab," Cerocos Anton menegaskan kepribadian kakaknya.
"Aah, 'punya' gua tegang nih!" Anton meremas-remas batang kemaluannya dari balik celananya.
Aku melongo mengamati apa yang sedang dilakukan olehnya. Saat ini Anton sudah berusia 12 tahun, dan aku tidak lama lagi akan menginjak 10 tahun. Mungkin Anton sudah mengalami apa yang dinamakan dengan masa pubertas, tetapi aku belum mengetahui pubertas itu seperti apa dan bagaimana. Yang kutahu sekarang ini suara Anton telah sedikit berubah jadi ngebass. Ary turut memperhatikan apa yang sedang kuperhatikan. Tanpa kusadari entah sejak kapan tangan Ary telah bertengger di bahuku. Tubuhnya sangat dekat memepet tubuhku. Aroma napasnya jelas tercium olehku. Oh God, hatiku berdesir bergemuruh kencang! Dalam sebuah ruang kamar, aku tengah bersama dua orang lelaki yang kusukai sekaligus. Siapa yang harus kupilih?
Aku sangat berharap bisa melihat 'pistol' Anton secara langsung. Namun sayangnya aku harus kecewa karena Anton hanya sekadar menggaruk-garuknya sebentar saja, itupun tidak memasukkan tangannya ke dalam celana. Mungkin dia segan melakukannya di hadapan aku dan Ary. Sedangkan 'pistol' milik Ary belum tentu sebesar milik Anton. Punya Ary pasti sama panjang dengan punyaku. Karena umur Ary kan kurang lebih sama dengan umurku. Ary hanya selisih satu bulan denganku. Ary lahir bulan November sedangkan aku lahir bulan Desember. Bintang Ary adalah Scorpio dan aku Sagitarius. Apakah kami berdua memiliki kecocokan?
"Ssst... Kalian jangan bilang-bilang sama Ryan ya kalau kita pernah menonton film ginian!" Desis Anton memberi isyarat telunjuk di depan bibirnya.
Baru selesai melontarkan perkataannya, roman wajah Anton langsung berubah seketika tatkala sinar matanya berhasil menyorot ke arah tangan Ary yang begitu santainya bertengger di bahuku. Anton terdiam beberapa saat. Aku tidak tahu entah apa yang sedang dipikirkannya.
"Tenang aja kali Ton! Mulut gua kan gak comel kaya cewek!" Respon Ary kalem dan santai sambil mengalihkan pandangan kembali ke layar televisi.
"Ton, lu kenapa?" Tanyaku sedikit bingung.
Tiba-tiba saja Anton bangun berdiri dan menarik tanganku ke luar meninggalkan kamarnya. Ary sempat kaget melihat perubahan sikap Anton yang mendadak aneh di hadapannya. Langkahku terseret-seret mengikuti langkah kaki Anton. Dibawanya aku ke ruang belakang rumahnya. Sebuah ruangan di paling pojok bersebelahan dengan kamar mandi. Ruangan itu adalah gudang. Banyak barang bekas yang sudah tidak terpakai di dalamnya. Karena tidak ada lampu penerangan dalam ruangan tersebut suasana ruangan itu tampak sedikit gelap. Tetapi aku masih dapat melihat wajah Anton dengan sangat jelas berkat bantuan cahaya matahari yang masuk melalui ventilasi. Itupun tidak seberapa banyak. Dia tetap terlihat cute meski dalam tempat yang gelap sekalipun.
"Gih, gua udah kecolongan!" Anton mendorongku ke dinding.
"Maksud lu apa Ton?" Tanyaku tak mengerti.
"Lu kan tahu dari dulu gua pengen banget ngerasain kaya apa rasanya ciuman! Tapi kenapa lu malah ciuman sama dia?" Anton mengingatkanku.
"Dia? Maksud elu siapa? Ary?" Aku mengerutkan kening.
Kedua alis Anton terangkat, "Siapa lagi! Baru setengah jam yang lalu kalian melakukannya sekarang udah lupa?"
"Itu nggak sengaja, Ton! Tadi kan dia jatoh nimpa badan gua!" Tegasku padanya.
"Aaaah... Mau sengaja kek, enggak sengaja kek, tapi lu suka kan ciuman sama dia?" Anton berusaha memancing perasaanku.
"Ton, elu kenapa sih, kok jadi marah-marah gini?" Kucoba menepis tangannya yang menahan tubuhku di dinding.
"Gih..." Desisnya pelan.
"..." Aku hanya diam.
"Gua bingung harus ngomong apa sama elu. Waktu gua ngeliat elu ciuman sama dia tadi, hati gua gak rela ngeliatnya. Kenapa harus sama dia? Bukan gua!" Anton menunduk lesu.
Aarrrgh... Cinta monyet macam apaan ini? Apa kupingku tidak salah dengar? Anton cemburu? Jadi, Anton itu sama sepertiku? God, please show me the truth!
CUP!
Kurasakan sebuah kecupan di pipi kananku. Ini adalah pertama kalinya aku mendapatkan ciuman dari seorang lelaki yang memang sengaja melakukannya.
"Gua harap lu ngerti perasaan gua!" Ucapnya sambil berlalu meninggalkanku kembali ke kamarnya.
Belum genap tiga langkah dari hadapanku, aku berhasil menahan tangannya. Kulingkarkan tanganku di pinggangnya erat.
"Ton, susah amat sih bilang suka sama gua?" Bisikku pelan di telinganya.
Anton membalas ucapanku hanya dengan sebuah anggukan pelan. Aku tak tahu mengapa bisa berbuat seperti ini. Rasanya aku dan Anton telah sama-sama dewasa. Padahal pada kenyataannya kami berdua masih anak-anak di bawah umur. Mungkinkah ini semua karena kami terlalu banyak menonton drama percintaan 17 tahun ke atas sehingga kami dapat meniru apa yang telah kami lihat? Betapapun kiranya aku sangat bahagia telah mengetahui perasaan Anton padaku. Namun sepenggal hatiku yang lain merasa bimbang karena aku juga memendam perasaan suka kepada Ary, orang yang telah mencuri ciuman pertamaku pada hari ini.
"Kalian berdua lagi pada ngapain sih?" Suara Ary muncul mengejutkan kami.
Buru-buru kulepaskan tanganku dari pinggang Anton dan bersikap sewajarnya di hadapan Ary.
"Gak ada apa-apa kok!" Elakku dan Anton kompak.
Ary menggaruk-garuk kepala kebingungan, "Gak ada apa-apa tapi kok sampai mojok di gudang?"
"Udah ah, gua mau balik dulu ya, udah sore nih!" Pamitku kepada Ary dan Anton.
"Gih..." Anton menahan langkahku.
"Ya?" Kutolehkan pandanganku padanya.
"Thanks ya!" Anton mengedipkan sebelah matanya seperti biasanya.
Kubalas ucapan Anton dengan tanda 'OKE' ala iklan Miwon tempo dulu.
-v-
Saat aku dan teman-teman genkku naik kelas empat dan masuk ke kelas pada hari pertama kami masuk sekolah, kami dikejutkan oleh kehadiran seorang kakak kelas yang sekarang menjadi teman sekelas kami. Dia tidak naik kelas karena bandel dan sering membantah perkataan guru. Dia anak berandalan yang cukup ditakuti di sekolah. Genk kami pun sangat takut padanya. Dia adalah kakak dari teman kami yang bernama Jessica. Tapi bukan Jessica Iskandar ya!
"Wey, gua Jefri! Lu semua harus nurut sama semua perintah gua!" Dia memperkenalkan diri.
"Woy Bang, biasa aja kali! Ngapain kita-kita mesti nurut sama perintah elu? Entar yang ada kita semua pada ketularan bego sama kaya elu, gak naek kelas sampai dua kali. Kodok aja gak mau nurut sama elu," Sentil Jessica dengan gaya tomboynya.
"Berani lu sama gua, abang lu sendiri?" Jefri melototi adiknya.
"Ngapain mesti takut? Lu berani macem-macem sama gua tinggal gua aduin aja sama mama!" Tentang Jessica sok jago.
"Alah, lu beraninya cuma ngadu doank sama mama! Kalau diajak kelahi cemen lu!" Cibir Jefri memiringkan bibir bawahnya ke samping.
"Kata siapa gua takut kelahi sama elu? Ilmu bela diri gua aja lebih handal daripada elu!" Tangkis Jessica berkacak pinggang menantangnya. Didorongnya tubuh Jefri dengan sebelah tangannya.
"Anjir lu!" Jefri mulai berang, perkelahianpun dimulai.
Jefri menarik tangan Jessica dan bersiap memelintirnya ke belakang punggungnya. Namun Jessica berhasil berbalik dan mengarahkan lututnya tepat mengenai perut kakaknya. Jessica dengan sigapnya membekuk tubuh Jefri hingga Jefri kesulitan bergerak. Lantas dibantingnya Jefri ke lantai dengan ilmu judo yang dikuasainya. Jefri mengerang kesakitan, ia berhasil dibantai oleh adiknya sendiri. Suasana kelas mendadak heboh, guru wali kelas kamipun akhirnya datang dan menyeret mereka ke kantor guru.
Setiap hari suasana di kelas pasti selalu diwarnai oleh pertengkaran kakak beradik itu. Jessica adalah sosok pahlawan bagi kami karena seringnya ia membela kami dari ancaman Jefri yang menakutkan. Anak perempuan itu memang tomboy. Dia gemar bermain bersama laki-laki dibandingkan bersama perempuan. Bahkan gosip di sekolah menyebutkan bahwa diam-diam Jessica menaruh perasaan suka terhadap Dewi sang primadona di sekolah kami saking jantannya kelakuan Jessica setiap hari. Entah dari mulut siapa gosip itu bersumber, terkadang membuatku khawatir kalau perasaanku terhadap Dewi yang selama ini tersembunyi juga akan diketahui teman-teman seantero sekolah. Hanya Ardhan yang mengetahui rahasiaku itu. Semoga saja dia tidak pernah kelepasan bicara mengenai semua rahasiaku yang pernah kuceritakan kepadanya.
Ke mana genk kami melangkah di sekolah Jefri pasti selalu mengikuti langkah kami. Dia senang memukuli kami satu-persatu tanpa sebab alasan yang jelas. Tak seorangpun di antara kami yang berani melawannya. Padahal kami bisa saja mengeroyoknya bersama-sama. Pernah sekali Nico mencoba menyerang balik pukulan Jefri yang diberikan kepadanya. Tak disangka sepulang sekolah tubuh Nico babak belur. Jefri melakukan pembalasan bersama teman-teman genk berandalannya yang sudah naik kelas. Hanya kepada Erfan-lah dia tidak pernah memukul. Lucunya justru Jefri senang menciumi sekujur tubuh Erfan. OMG! Dia gay juga?
"Kenji-ku sayang ke marilah, Abang ingin menciummu!" Jefri membuka tangannya lebar-lebar berlari pelan ke arah kami.
"Wah gawat, gua mesti kabur nih!" Ujar Erfan bersiap-siap melarikan diri.
"Kenji sayang, jangan pergi donk, Abang kangen!" Jefri mempercepat larinya.
Kenji adalah panggilan akrab kami di kelas untuk Erfan. Waktu itu Indosiar sedang menayangkan dorama Jepang perdananya yang menghebohkan seluruh lapisan masyarakat Indonesia, Tokyo Love Story. Dalam dorama tersebut tokoh utama prianya bernama Kenji, wajahnya sangat cute, keren, dan tampan. Wataknya sangat polos dan lugu sehingga membuat para penonton geregetan kepadanya. Karena banyak kemiripan yang dimiliki Erfan dengan tokoh Kenji dalam dorama tersebut, kami semua satu kelas sepakat untuk memanggil Erfan dengan sebutan Kenji.
Erfan tak berhasil menghindar dari pelukan Jefri. Bahkan ia tak berdaya melepaskan tangan-tangan lelaki berandalan itu dari tubuhnya. Sering ia melempar pandangannya padaku memberiku isyarat agar aku bersedia menolongnya melepaskannya dari cengkeraman Jefri, namun apalah daya aku dan teman-teman genkku yang lain juga tak berani mencoba membantunya. Kami semua takut diserang oleh teman-teman berandalan Jefri seperti saat Nico melawannya dulu. Lantas bila Jefri sudah berhasil mendapatkan Erfan dalam pelukannya kami hanya bisa diam menanti hingga pergumulan itu usai. Tingkah Jefri sangat liar, ia kerap melepas kancing-kancing kemeja Erfan dan mengecupi sekujur tubuh Erfan sampai basah, terutama kedua belah puting dada Erfan. Itulah area yang paling disukai Jefri dari tubuh Erfan. Bagi Erfan perlakuan Jefri kepadanya benar-benar sangat menjijikkan!
Kelakuan Jefri yang seperti itu mengingatkanku pada sosok Oman yang dulu sering menciumi Teguh sahabatku di rumah. Aku mulai yakin pasti dulu Jefri adalah komplotannya Oman. Karena kelakuan mereka berdua tidak jauh berbeda. Bahkan predikat bodoh dan sering tinggal kelas pun melekat dalam diri mereka. Mengapa bad boy seperti mereka juga memiliki kelainan sepertiku? Aku bingung sendiri dan bertanya-tanya dalam hati apakah semua bad boy di dunia ini seperti itu?
Mungkin aku lebih beruntung daripada mereka. Bila Oman dan Jefri tidak mendapatkan perasaan balasan dari Teguh dan Erfan, aku justru sebaliknya, Anton membalas perasaanku setelah dua tahun kami saling suka dan memendam perasaan kami masing-masing. Hanya saja aku dan Anton tidak menjalin hubungan berpacaran setelah kami saling mengakui perasaan kami secara terbuka karena kami masih merasa terlalu jauh untuk melangkah ke sana. Rasanya belum saatnya bagi kami untuk berpacaran mengingat kami berdua masih anak-anak. Sikap Anton tidak pernah mengajakku berbuat macam-macam seperti tayangan video yang pernah kami tonton bersama. Dia hanya sesekali saja mencium pipiku atau memeluk tubuhku. Tidak seperti Oman dan Jefri yang benar-benar sangat sering mencumbu Teguh dan Erfan hingga keduanya terkapar di lantai. Sering kuperhatikan dalam waktu 5 menit saja Oman dan Jefri bisa memberikan ciuman kepada Teguh dan Erfan hingga lebih dari 20 kali. Wow, sebuah rekor ciuman yang bagus! Sedangkan Anton, dia bukan lelaki yang mudah mengumbar nafsu. Bahkan dia sangat pandai mengontrol diri dan menahan emosi. Kedekatanku dengannya tak pernah dicurigai oleh siapapun. Justru orang mengira hubungan kami lengket hanya sebatas pasangan sahabat atau kakak-adik angkat yang saling menyayangi. Yang membuatku semakin sayang kepada Anton, dia tidak pernah marah ataupun cemburu lagi bila melihat tiba-tiba saja Ary merangkul tubuhku atau Ary duduk di sebelahku.
Mungkin sekilas lalu Erfan dan Teguh memiliki banyak persamaan. Mereka berdua perlu kuakui memang cakep. Tapi entah mengapa aku tidak tertarik kepada mereka. Sempat sih dulu aku menyukai Teguh, tetapi itu tidak bertahan lama setelah aku mencoba menepis perasaanku kepadanya karena saat itu aku masih sering kepikiran Azhary yang telah pindah ke Loji. Erfan dan Teguh sering diciumi oleh Jefri dan Oman, itu adalah persamaan kedua yang mereka miliki. Hanya saja perbedaannya adalah kalau Erfan tak berani melawan Jefri saat ia diperlakukan tak senonoh oleh Jefri, maka Teguh adalah sosok yang berani melawan Oman sekalipun Oman pernah menyandang gelar Raja Preman Cimanggu. Sikap Teguh jauh lebih tegas ketimbang Erfan. Teguh bahkan tidak segan-segan berkelahi melawan anak buah Oman yang bersiap mengeroyoknya bila Oman marah karena Teguh tak bersedia melayani hasratnya yang selalu ingin menciuminya. Aku tak habis pikir mengapa anak buah Oman itu mau-maunya disuruh Oman mengeroyok Teguh hanya karena Teguh tidak mau diciumi Oman? Apa mereka juga memiliki kelainan seperti Oman? Dari gelagat yang sering ditunjukkan Teguh, terlihat jelas olehku kalau Teguh adalah laki-laki normal yang menyukai lawan jenis. Ia berani menentang Oman meski tak pandai ilmu bela diri seperti Ryan yang gencar mengikuti karate dan judo di rumahnya dengan memanggil guru private khusus. Justru sangat ironis dengan Erfan, sebenarnya ia pandai bela diri seperti Ryan, tetapi anehnya ia malah tidak berani melawan Jefri. Erfan benar-benar penakut dan membuatku tidak menyukainya karena sifat penakutnya itu.
Di kelas Erfan masih sering mencuri-curi pandang padaku dari kejauhan. Hal ini terus dilakukannya sampai kami beranjak naik ke kelas 5 SD. Tak terasa waktu terus bergulir dan sekarang Anton sudah duduk di bangku SMP. Aku sering bercerita kepada Anton mengenai Erfan dan Teguh, dua sahabatku yang kuanggap memiliki banyak kesamaan dan sedikit perbedaan. Berkat saran Anton, aku mencoba menulis surat untuk Erfan secara diam-diam guna menanyakan perasaannya padaku. Karena aku sangat jengah atas sikap Erfan terhadapku. Aku yakin sejak kelas 2 SD dulu, sesuai dengan yang diceritakan Ardhan kepadaku, diam-diam sebenarnya Erfan menaruh perasaan suka padaku. Aku menjadi bingung sendiri sebenarnya apa yang patut disukai dari orang sepertiku? Tampangku biasa-biasa saja, bahkan terkadang aku menganggap diriku sangat jelek sekali bila dibandingkan dengan para lelaki yang sangat dekat denganku seperti Ary Wibowo, Anton, dan Teguh. Jadi, mengapa Erfan begitu menyukaiku? Aku sering kaget, bila aku izin pergi ke toilet kepada guru yang sedang mengajar di kelas, saat di toilet aku dikejutkan oleh sosok Erfan yang tiba-tiba saja muncul di belakangku dan ikut buang air kecil di sebelahku. Aku memang hampir tidak pernah mengunci pintu toilet saat aku sedang buang air kecil. Pasalnya aku pernah mengalami kejadian traumatis terkurung dalam toilet selama hampir dua jam gara-gara selot kunci pintu toiletnya sudah sangat sulit kutarik agar pintu toilet kembali terbuka. Dengan santainya Erfan melirik-lirik ke bawah melihat penis milikku yang telah disunat saat kenaikan kelas 4 dulu. Erfan sering berdecak mengagumi batang kemaluanku. Wew, apa yang menarik dari sebuah penis yang kumiliki sampai mata Erfan jelalatan melihatnya? Bagiku alat kelaminku itu biasa-biasa saja. Nothing special!
Dear Erfan,
Sorry kalo gua nulis surat ini sama elu. Terus terang gua ngerasa aneh, kenapa sih elu sering banget ngeliatin gua pas gua lagi sendiri di kelas? Lu juga suka nguber gua ke toilet dan ikut kencing bareng gua. Jujur aja sebenarnya gua ngerasa risih atas sikap lu itu. Apa lu suka sama gua?
Semoga aja dugaan gua salah. Sebab kalo itu benar, dengan sangat menyesal gua kasih tahu elu kalo gua udah punya seseorang. Bukan pacar memang, tapi kami berdua saling menyayangi. Gua harap elu mengerti perasaan gua. Thanks elu dah mau baca surat gua ini.
Salam sobat lu,
SUGIH
Tulisku pada suratku untuk Erfan. Tak kuduga keesokan harinya Erfan membalas suratku tertutup dalam sebuah amplop berwarna biru muda dengan background tipis bergambar Dragon Ballz tokoh kartun favoritku kala itu. Kubaca suratnya berulang kali di sela-sela jam istirahat kedua saat aku tidak berkumpul bareng dengan genkku. Aku sedang enggan berkumpul dengan mereka karena kulihat Jefri tengah bersama keempat sahabatku itu. Daripada kena pukul tanpa sebab atau melihat kelakuan menjijikkan Jefri yang tak ada hentinya menjilati tubuh Erfan seperti anjing yang menjilati tulang, lebih baik aku duduk menyendiri seperti yang sering kulakukan biasanya. Irwanto dan Ardhan sempat mengajakku ke kantin tadi, namun kutolak secara halus ajakan mereka dengan alasan aku tidak merasa lapar. Ternyata amplop surat Erfan tidak hanya berisi surat saja, di dalam amplop itu kudapatkan selembar foto bergambar Erfan mengenakan kaus putih sedang duduk di depan pagar rumahnya dan terlihat sangat ganteng sekali di mataku.
Dear sobat gua Sugih,
Gua mau ngaku jujur sama elu, sejak elu pake kacamata waktu di kelas 2 dulu gak tahu kenapa gua jadi suka banget sama elu. Elu mirip banget sama Clark Kent si Superboy. Gua juga suka risih tiap denger omongan lu yang nyomblangin gua sama Dewi. Gua kan sukanya sama elu! Tapi setelah lu bilang di surat yang lu kasih ke gua tadi pagi kalo elu dah ada seseorang, jujur hati gua sakit banget ngebacanya. Gua sedih, sampe nangis di kamar. Tapi gua sadar perasaan gua ini gak wajar. Kita kan sama-sama cowok. Ngapain harus saling menyukai kaya cewek sama cowok. Mungkin gitu juga sama kaya sikap si Jefri ke gua. Gua gak boleh membalas perasaan yang sama si Jefri kaya perasaan dia ke gua. Kata ustadz ngaji gua itu adalah dosa. Mungkin baiknya kita tetap bersahabat aja kaya gini, ya enggak? Eh Gih, dah dulu ya, gua ngantuk nih dah malem. Kemaren gua mimpi kita berdua balapan kuda kaya 2 pangeran dari 2 kerajaan yang berbeda. Kita bersahabat di sana, meskipun kita bersaing buat ngedapetin si Dewi yang jadi putri tidur di mimpi gua. Siapa tahu malam ini gua bisa nerusin mimpi yang keputus kemaren itu. Bye Sugih.
I'll never forget you as long as you're my best friend forever!
Sobat elu,
ERFAN A.
NB : simpen ya foto gua supaya elu gak pernah ngelupain gua! ^_^
Sesaat setelah aku membaca surat balasan dari Erfan hingga 3 kali mengulang, Erfan masuk ke dalam kelas diikuti oleh Jefri dan teman-teman genk kami. Erfan tersenyum hangat ke arahku dan kuacungkan jempolku padanya. Kuberi isyarat padanya kalau aku telah selesai membaca suratnya. Jefri mengamati bahasa isyarat yang kami lakukan. Entah mengapa tiba-tiba saja dia berjalan menghampiriku dan merebut surat dari Erfan di tanganku. Aku berusaha merebutnya kembali, namun kuku jari Jefri yang panjang berhasil menggores tanganku hingga berdarah. Seketika langkahku terhenti untuk mengejarnya karena luka di tanganku terasa lumayan pedih.
"Jef, please balikin suratnya!" Pintaku padanya.
"Gua mau baca surat ini. Ini dari yayang Kenji gua kan?" Jefri melompat-lompat naik ke atas meja dan kursi.
"Jangan Jef! Itu rahasia gua sama dia!" Kataku memelas.
"Justru karena rahasia, gua pengen tahu!" Jefri mulai membuka suratnya.
"Wah fotonya gua ambil buat gua aja!" Diraihnya foto Erfan dan diselipkan ke dalam kantung celananya.
"Jangan Jef, itu buat Sugih!" Erfan turut memohon.
Tetapi Jefri tak menghiraukan permohonan kami berdua. Dia terus membaca surat Erfan untukku.
"Wah, isinya surat cinta ya? Gua laporin ke Bu Guru lho!" Ancamnya.
"Jef, jangan Jef!" Aku dan Erfan tak berhenti memohon padanya.
Tapi tetap saja usaha kami sia-sia karena Jefri sama sekali tak menggubris.
Seperti yang kami duga, akhirnya seusai bubar sekolah Bu Mulyanah guru wali kelas kami menahan kami berdua di kelas. Beliau memberi petuah menyangkut surat yang telah diserahkan Jefri sebelum jam bubar sekolah tadi.
"Maaf, Ibu sudah membaca surat kalian. Ibu sangat terkejut karena kalian memiliki perasaan yang sangat aneh. Erfan, tidak seharusnya kamu suka kepada laki-laki ya, Nak! Kamu itu kan laki-laki juga, jadi seharusnya kamu sukanya kepada perempuan. Sering lho, Ibu perhatikan banyak anak perempuan yang suka pada kamu. Kamu itu ganteng, kamu juga pandai, kamu dikagumi banyak anak perempuan di sekolah kita. Seharusnya kamu bangga akan kelebihan yang kamu miliki!" Nasihat Bu Mulyanah kepada Erfan. Tutur katanya terdengar begitu lembut di telinga kami.
"Iya Bu," Erfan menunduk malu.
"Sugih juga, Ibu harap kamu jangan sampai memiliki perasaan yang sama seperti Erfan! Itu adalah perbuatan dosa dalam agama kita. Pernah tidak kalian mendengar kisah tentang umat Nabi Luth dari guru agama kalian?" Tanya Bu Mulyana.
Aku benar-benar merasa tertampar mendengar teguran-teguran Bu Mulyanah. Aku jadi teringat akan hubungan dekatku dengan Anton di rumah dan sepenggal perasaan yang kumiliki untuk Ary. Mengapa hatiku ini begitu rumit? Permasalahanku begitu pelik hingga aku sendiri tak mengerti jalan mana yang harus kutempuh. Di satu sisi aku merasa semua nasihat yang diberikan Bu Mulyanah sangat benar. Tetapi di sisi lain kata hatiku tidak ingin mengikuti apa yang telah dinasihatkan oleh beliau. Apakah semua ini salah suratan takdir yang telah menggariskan hidupku seperti ini?
"Sudah Bu," jawab kami bersamaan.
"Nah, kalian tahu kan apa akibatnya? Azab dan siksa Allah itu sangat pedih lho bagi umat yang melalaikan perintah-Nya dan mendekati larangan-Nya!" Lanjut Bu Mulyanah lagi.
Aku dan Erfan hanya terdiam, terhenyak meresapi setiap kata yang diucapkan oleh beliau.
"Ibu mau bertemu orang tua kalian ya! Sampaikan pada mereka, besok tolong temui Ibu di kantor jam 8 pagi!" Kata Bu Mulyanah sebelum mengakhiri pertemuan kami siang itu.
Erfan tersentak mendengar permintaan Bu Mulyanah. Keringat dingin mengucur di pelipisnya. Ia sangat terlihat ketakutan bercampur malu.
"Bu, tolong Bu, jangan panggil orang tua kami! Saya takut orang tua saya akan marah besar kepada saya," ucap Erfan sedikit gemetar.
"Iya Bu, saya juga takut orang tua saya akan marah pada saya," aku turut memohon.
"Tapi permasalahan kalian ini cukup serius lho! Kalian harus mendapatkan arahan yang benar dari kedua orang tua kalian di rumah, selagi usia kalian masih sangat dini. Kalian masih bisa dibimbing ke jalan yang jauh lebih baik!" Terang Bu Mulyanah mengemukakan alasan pentingnya beliau ingin menemui orang tua kami.
"Tapi Bu..." Ratap Erfan sangat ketakutan.
"Baiklah, Ibu tidak akan berbicara dengan orang tua kalian mengenai masalah kalian ini. Tapi Ibu mau kalian berjanji kepada Ibu bahwa kalian tidak akan seperti ini lagi!" Kata Bu Mulyanah sambil mengemasi tasnya.
"Baik Bu, kami berjanji!" Ucap Erfan mewakiliku.
"Kalau begitu sekarang kalian boleh pulang, satu pesan terakhir Ibu untuk kalian, tegakkanlah selalu tiang agama! Karena dengan menegakkan tiang agama akan menjauhkan kita dari perbuatan dosa!" Nasihat Bu Mulyanah menutup pertemuan kami siang itu.
Kucium tangan Bu Mulyanah penuh rasa santun bergantian dengan Erfan.
Huft! Lega rasanya bisa menghirup udara segar setelah setengah jam kami terkurung dalam kelas mendengarkan mantra-mantra sakti guru wali kelas kami. Saat kami meninggalkan gerbang, sempat terlihat oleh kami Jefri yang sedang bersembunyi di balik rimbunan semak belukar halaman sekolah. Sepertinya dia tadi sengaja menguping pembicaraan kami dengan Bu Mulyanah.
GREPH!
Kutahan tangan Erfan sebelum kami berpisah di tepi jalan karena Erfan harus menyeberang rel kereta yang terletak tepat di samping jalan raya depan sekolah. Rumah Erfan terletak di Haur Jaya V tidak terlalu jauh dari sekolah kami.
"Apa Gih?" Tanya Erfan mengacuhkanku.
"Kita harus menyusun siasat untuk membalas perbuatan Jefri!" Kataku menyeringai.
"Oke, gua emang udah kesal banget sama dia selama ini!" Tukas Erfan.
"Lu ada rencana?" Tanyanya kemudian.
"Entar gua pikirin dulu! Besok atau lusa pasti gua kasih tahu!" Kataku sambil berpamitan dengannya.
"Gua berharap lu bisa bantu gua supaya gua bisa terbebas dari Jefri!" Ungkapnya disusul mengucapkan salam perpisahan.
Kamipun berbelok menuju jalan kami masing-masing yang saling berlawanan arah. Erfan ke Haur Jaya V sedangkan aku ke Cimanggu.
"Jefri, kita lihat saja nanti barang siapa yang menanam maka dialah yang akan menuai hasilnya!" Gumamku melanjutkan perjalananku.
:::::::Maaf updatenya sangat lama!:::::::
Note untuk para Silent Reader yang selalu setia membaca ceritaku. Ini adalah sebuah perumpamaan untuk kalian semua.
Aku punya ponsel...
Pulsaku banyak...
Aku merindukan seseorang
Dan berharap dia akan meneleponku!
Tetapi lama kutunggu,
Dia tak kunjung menghubungiku
Apa gerangan kabarnya ya?
Apa yang seharusnya kulakukan?
Ingin menghubunginya lebih dulu,
Tetapi aku malu...
Selama pulsa itu aktif,
Aku tak menggunakannya untuk apapun!
Tanpa kusadari masa tenggangnya telah berakhir...
Dan setelah itu,
Baru kuketahui bahwa orang yang kutunggu
Telah digandeng oleh orang lain!
Betapa menyesalnya diriku!
Seharusnya aku jangan menunggu bola
Karena belum tentu bola itu akan datang bergulir padaku!
--With LOVE--
HidingPrince
Mirip mamaku @reenoreno makanya Om Kasmin cinta berat sama mamaku. Kadang aku merasa aku bukan anak mama, sebab kenapa mamaku cantik kok aku jelek, huft...