BoyzForum! BoyzForum! - forum gay Indonesia www.boyzforum.com

Howdy, Stranger!

It looks like you're new here. If you want to get involved, click one of these buttons!

Selamat datang di situs Boyzforum yang diarsipkan oleh Queer Indonesia Archive. Forum untuk komunitas gay Indonesia yang populer ini didirikan pada tahun 2003, dan ditutup pada tanggal 15 Desember 2020.

Forum ini diabadikan untuk kepentingan sejarah. Tidak akan ada konten baru di forum ini. Silakan menikmati forum ini sebagai potongan dari sejarah queer Indonesia.

Sepanjang Hidupku

1131416181964

Comments

  • wew, beneran diupload..
  • Kasian ugih. D tinggal mulu. T.T
  • Umur 11 tahun kelas 3 sd? Oh em ji. Umur segitu aku udah kelas 6..
    Ary-nya ada 2? Hohoho emng pasaran kali ya nama ary. Aku juga kenal orang bernama ary ditempat tinggalku ada 3 orang..
  • ih ni orng tua gra2 ddikan abri jdi ankx ddik aliran mlitr
  • ih ni orng tua gra2 ddikan abri jdi ankx ddik aliran mlitr
  • ih ni orng tua gra2 ddikan abri jdi ankx ddik aliran mlitr
  • Next update minta di mention juga ya bang, kalo boleh itu juga, soalnya ku cuman silent reader :D
  • bang sugih kemana ya??? @HidingPrince
  • Selamat membaca kelanjutannya kembali :)

    @balaka
    @solous
    @callme_DIAZ
    @masbadudd
    @permana21
    @ramadhani_rizky
    @jony94
    @hananta
    @trisastra
    @mustaja84465148
    @haha5
    @masbaddud
    @angelsndemonds
    @waisamru
    @enykim
    @caetsith
    @angga_rafael2
    @nakashima
    @aries18
    @san1204
    @abrakadabra
    @Farrosmuh
    @adam25
    @bayumukti
    @farizpratama7
    @Rimasta
    @rizky_27
    @fends
    @eldurion
    @Tsu_no_YanYan
    @arieat
    @rez_1
    @YANS FILAN
    @adinu
    @beepe
    @Donxxx69
    @fad31
    @MikeAurellio
    @brianbear_89
    @Shishunki
    @PohanRizky
    @3ll0
    @ruki
    @agova
    @jamesfernand084
    @venussalacca
    @Gabriel_Valiant
    @putra_prima
    @Qwertyy
    @fansnya_dionwiyoko

    @Beepe
    @danielsastrawidjaya
    @nakashima
    @leviostorm
    @kimo_chie
    @Bonanza
    @Dimz
    @blackshappire
    @Agova
    @agung_dlover
    @greysakura
    @bi_men
    @asik69
    @mahardhyka
    @just_Pj
    @SanChan
    @sickk86
    @Monic
    @yeltz
    @ularuskasurius
    @danielsastrawidjaya
    @chibibmahu
    @angga_Rafael
    @AwanSiwon
    @Dhika_smg
    @arieat
    @joenior68
    @treezz
    @Rivaldo_Nugroho
    @an_d1ka
    @Djohnzon1980
    @darkrealm
    @boljugg
    @rey_drew9090
    @kevin_ok26
    @excargotenak
    @Edmun_shreek
    @The_jack19
    @adhiyasa
    @dundileo
    @WYATB
    @juki_cakep
    @nes16
    @tazbodhy
    @woonma
    @dua_ribu
    @Daramdhan_3OH3
    @anakmami
    @blackorchid
    @andyVanity
    @mpranata013
    @Brands
    @tigerGAYa
    @OlliE
    @ananda1
    @noveri_saja
    @tjah_ja
    @gyme_sant
    @nest16
    @anan_jaya
    @trace_tri
    @bonanza
    @Zazu_faghag
    @4ndh0
    @yo_sap89
    @nand4s1m4
    @d_cetya
    @Ray_Ryo
    @icha_fujo
    @inlove
    @Zhar12
    @Anju_V
    @hehe_adadeh
    @aicasukakonde
    @amira_fujoshi
    @anohito
    @admmx01


    @adam25
    @touch
    @meong_meong
    @YSutrisno
    @ardi_cukup
    @angelsndemons
    @admmx01
    @joenior68
    @Yudist
    @langmuscle
    @Kenwood
    @adhilla
    @yunjaedaughter
    @odik07
    @Monster26
    @Cowoq_Calm
    @21botty
    @TULEP_ORIGIN
    @iamalone89
    @toby001
    @raqucha
    @BudiPamRah
    @eswetod
    @radio_dept
    @Splusr
    @line
    @kikyo
    @Bintang96
    @haha5
    @hiruma
    @Soni_Saja
    @kikyo
    @san1204
    @andre_patiatama
    @Dhika_smg
    @rez_1
    @rasya_s
    @dafaZartin
    @MikeAurellio
    @dimasalf
    @Akukamukita

    @Lenoil
    @FransLeonardy_FL
    @reenoreno
    @zeva_21
    @TigerGirlz
    @alfa_centaury
    @Imednasty
    @doel7
    @eizanki
    @Fruitacinno
    @ncholaees
    @alvaredza
    @ardi_cukup
    @9gags
    @Adityashidqi
    @hananta
    @Gabriel_Valiant
    @abiDoANk
    @Zhar12
    @d_cetya
    @sasadara
    @boy_filippo
    @3ll0
    @Tsu_no_YanYan
    @eizanki
    @Fikh_r
    @tarry
    @4ndh0
    @Just_PJ
    @adamy
    @GeryYaoibot95
    @Fuumareicchi
    @haha5
    @doel7
    @kikyo
    @Ananda_Ades
    @AkhmadZo
    @Yohan_Pratama
    @Dityadrew2
    @diditwahyudicom1
  • #4

    :::::::Bertemu dengan Ary dan Ary #2:::::::


    Setelah Ary pindah ke Loji, rumah bekas kontrakannya langsung terisi oleh penghuni baru. Sebuah keluarga kecil yang juga memiliki anak laki-laki seumuranku. Anak itu bernama Lupi. Ayahnya seorang distributor pabrik Mie Chiyo, mie yang lumayan populer akan kenikmatan rasanya di era 1990. Sedangkan ibunya hanya ibu rumah tangga biasa. Dia cukup sering juga bermain denganku, hanya saja dia tidak pernah kuanggap sebagai sahabat, hanya seorang teman biasa bagiku. Nothing spesial about him! Banyak kecurangan yang dilakukannya terhadapku. Dia juga teman yang jorok menurutku. Pernah suatu ketika saat Lupi bermain di rumahku, mama memberi sepiring bakmie untuk kami makan berdua. Awalnya aku dan Lupi sama-sama menikmati bakmie sambil duduk bersila di lantai. Wajah kami menunduk saking asyiknya menikmati santapan. Aku tidak sadar kalau Lupi tidak begitu menyukai bakmie. Dia mengeluarkan kembali bakmie yang telah masuk ke dalam mulutnya dan ditaruhnya ke piring. Sontak aku langsung mual-mual melihatnya. Jangan-jangan aku telah menelan bakmie bekas dari mulutnya. Sejak saat itu aku menjadi pribadi yang tidak menyukai makan sepiring bersama. Apalagi makan kue, cokelat, atau makanan apapun itu bekas gigitan orang lain. Karena belum tentu gigi orang lain sebersih gigi kita, atau mulut orang lain sesehat mulut kita.

    "Gih, pengen bisa cari duit sendiri enggak?" Tanya Lupi pada suatu siang saat kami bermain bersama.

    "Kita kan masih kecil memangnya bisa?" Aku balik bertanya ragu.

    "Mainan kamu kan banyak, kita jual saja!" Ucapnya berseru.

    Aku berpikir sejenak. Dalam hati kuberkata, "Mainan-mainanku ini kebanyakan kan pemberian Om Kasmin waktu aku masih sangat kecil. Sayang banget kalau dijual."

    "Enggak ah, Lup! Itu semua kenang-kenangan dari orang yang kusayangi!" Aku menolak ajakan Lupi.

    "Siapa? Pacar?" Tanyanya ingin tahu.

    "Ih, kamu aneh banget sih! Mana mungkin aku punya pacar, aku kan masih kecil!" Timpalku santai.

    "Itu pemberian bekas pacar mamaku dulu!" Lanjutku kemudian.

    Lupi menggaruk-garuk kepala kebingungan, "Maksudmu papamu?"

    Aku tak menggubrisnya.

    "Ayolah Gih, mainanku kujual juga kok!" Lupi terus membujuk.

    Aku berkeras tidak mengabulkan ajakannya. Bagaimanapun pemberian Om Kasmin adalah benda-benda berharga bagiku. Aku akan menyimpan dan merawatnya dengan baik. Bilamana perlu semua pemberian darinya akan kumuseumkan.

    "Kalau kamu tidak mau ikut jualan denganku, mulai hari ini kita tidak usah berteman lagi!" Ancam Lupi padaku.

    Ia tahu sejak kepergian Ary, aku merasa kesepian di rumah. Walaupun sudah masuk SD aku belum mempunyai kawan akrab di sekolah. Mungkin begitulah caranya berpolitik dalam pertemanan. Mau tidak mau aku harus mengemasi mainanku, memilah-milah barang pemberian Om Kasmin, mama dan papa. Akhirnya terkumpullah sejumlah boneka pemberian mama, dan beberapa mainan yang pernah dibelikan papa tetapi tidak kusuka seperti pistol air, gitar mainan, dan beberapa binatang mainan yang terbuat dari karet. Kesemua mainan itu kumasukkan ke dalam sebuah plastik bening yang kupilin dengan nyala api lilin lalu kuikat dengan benang wol dan kuhimpun menjadi satu dalam satu ikatan yang tidak terlalu kencang. Lupi mengajariku untuk membuat perangkap agar para calon pembeli kami saat menarik benang nanti senantiasa gagal mendapatkan mainan yang mereka incar. Caranya adalah dengan menambahkan banyak benang kosong ke dalam himpunan benang yang mengikat mainan.

    "Lho Lup, apa ini tidak menipu orang lain namanya?" Tanyaku sedikit khawatir. Khawatir orang akan marah kepada kami.

    "Memang begini cara jualannya, Gih!" Lupi berusaha meyakinkanku.

    "Kalau tidak seperti ini, rugilah kita setiap mainan kita hargai seratus perak!" Terangnya lagi.

    Harga mainan saat pembelian memang sangat tidak seimbang dengan harga penjualan yang kami tawarkan. Betapa tidak, harga boneka yang dibeli ibuku saja rata-ratanya adalah belasan ribu ribu rupiah. Sedangkan harga penjualan yang kuberikan hanyalah seratus rupiah saja. Sangat timpang bukan?

    "Ayo, Gih!" Ajak Lupi buru-buru.

    Lantas aku langsung berjalan mengikuti Lupi ke jalan aspal lingkungan RW kami sambil menenteng barang dagangan masing-masing.

    "Narik... Narik..." Lupi mulai bersuara.

    Aku sangat malu mengikuti gayanya. Masalahnya aku belum pernah berdagang seperti ini. Jangankan berdagang, bergaul dengan anak-anak di lingkungan RW kami saja tidak pernah. Tidak banyak anak yang kukenal dalam satu RW. Hanya sebagian saja yang kuketahui namanya karena mereka temanku mengaji di rumah Aa Engguh. Seorang ustadz muda yang sangat menaruh perhatian kepada mamaku secara diam-diam.

    "Ayo donk Gih, kamu juga teriak seperti aku!" Perintah Lupi bak seorang komandan.

    Aku sedikit ragu melakukannya, namun kucoba juga akhirnya, "Narik... Narik... Narik... Narik..." Teriakku.

    "Nah, gitu!" Lupi tersenyum senang.

    "Hey, kalian jualan ya?" Pak Edi ketua RT2, memanggil kami berdua.

    "I... Iya," sahutku malu-malu.

    "Tuh Dik, mau pilih apa kamu?" Pak Edi bertanya pada anak laki-lakinya yang seumuran dengan kami. Nama anaknya adalah Diki, sama seperti nama suami Bibi Ridha.

    "Aku pengen pistol air itu, Pak!" Pinta Diki menunjuk daganganku.

    "Siapa itu Pak yang jualan?" Bu Edi muncul dari dalam rumah.

    "Lho, kamu kan anaknya Bu Iis kan?" Bu Edi menegurku dan kusahut dengan anggukan.

    "Kamu kok jualan?" Tanyanya lagi penasaran.

    "Ikut-ikutan Lupi," jawabku kalem tanpa berkata bohong.

    "Wah, Dik, ini mah anak orang kaya. Kamu nariknya dagangan yang satu itu saja ya!" Pak Edi menyuruh Lupi untuk mendekat.

    Hem, baru saja mulai berdagang, orang sudah menilaiku macam-macam. Batal sudah calon pembeli pertamaku. Memang tidak boleh ya kalau papa tiriku orang kaya, aku malah berdagang? Yang kaya itu siapa sih sebenarnya?

    Beberapa orang anak berjalan menghampiri kami ke rumah sang ketua RT.

    "Ayo, ayo, dipilih! Dipilih! Tinggal ditarik saja! Nih, belinya dagangan punya Lupi saja! Kalau Sugih mah sudah anak orang kaya, tak perlu dibeli dagangannya!" Bu Edi membantu Lupi berpromosi.

    Tampak pula Oman cs mendekat ke arah kami. Wah, alamat bakal ada masalah besar nih! Aku mulai panik.

    "Wey, si anak papa yang punya Mercy jualan boneka! Oo... Jadi mainan dia rupanya boneka!" Ledek Oman berkata kepada anak buahnya disusul gelak tawa para komplotannya.

    "Haahaahaa... Anak papa Mercy ternyata bencong!" Cemooh mereka padaku.

    Cih! Justru aku ingin menjual boneka-boneka pemberian mama itu karena aku tak suka bermain boneka. Bosan aku melihatnya bertumpuk di rumah. Namun sebisa mungkin aku harus bersabar agar jangan sampai terpancing oleh ucapan-ucapannya yang nyelekit, sangat menyakitkan hati.

    "Lupi, sekarang lu jadi pacar barunya si Sugih ya?" Ledek Oman lagi ditujukan pada Lupi.

    "Kasihan lu Gih, si Ary hilang si Lupi jadi sasaran!" Cemoohan Oman semakin menjadi.

    Lupi merasa jengah dihina demikian oleh Oman dan kawan-kawannya. Tapi raut wajahnya seketika berubah tersenyum culas tatkala Oman dan genknya itu mengeluarkan lembaran uang lima ratusan dari kantung celananya dan mulai memilih-milih barang dagangannya.

    "Wah, gagal lagi gua!" Oman merasa kesal karena ia telah beberapa kali menarik benang kosong.

    Selembar uang bergambar rusa dengan kertasnya yang berwarna hijau itu habis sia-sia digunakannya untuk bertransaksi dengan Lupi. Begitu pula dengan Yusuf salah seorang anak buahnya disusul oleh kegagalan anak buahnya yang lain. Lupi berhasil mengantungi lima ribu rupiah hari itu. Sedangkan aku tak mendapatkan sepeserpun dari barang yang kujual.

    "Wah, hebat kamu Lupi. Ngomong-ngomong pelaris apa yang kamu pakai?" Tanya Bu Edi penuh keseriusan.

    "Aku cuma pakai ini saja, Bu!" Lupi mengeluarkan beberapa siung bawang merah dari dalam sebuah tas pinggang yang berisi uang.

    Aku terkesima melihat bawang merah yang dikeluarkan oleh Lupi. Hey, apa maksudnya ini? Aku tak mengerti.

    "Wah, pintar kamu, Lupi!" Puji Bu Edi membuat batang hidung anak itu membesar. "Tuh Gih, kalau pengen daganganmu laris, tiru Lupi! Pakai bawang merah buat pelarismu!" Katanya sok menasihatiku.

    "Iya, bawang merah itu bisa menarik pembeli lho!" Pak Edi turut menerangkan.

    Grrr... Aku sebenarnya geram kepada keluarga Pak RT ini. Gara-gara mereka aku gagal mendapatkan pembeli. Nasihat Bu Edi sama sekali tak kuhiraukan.

    "Iya Gih!" Lupi mengusap batang hidungnya dengan jempol. Benar-benar sok.

    Dari awal aku tak berminat melakukan aktivitas ini. Namun karena desakan Lupi mau tidak mau aku terpaksa mengikutinya. Hampir seminggu lamanya aku menjadi pengikutnya dan usahaku tidak terlalu menguntungkan karena para pembeliku hampir semuanya berhasil mendapatkan mainan yang menjadi sasarannya. Kulihat Lupi selalu berbisik mengatakan sesuatu kepada para pembeliku dan mereka terpengaruh oleh bisikan Lupi sehingga mereka berhasil mendapatkan targetnya. Aku merasa seperti ada kecurangan yang telah dilakukan oleh Lupi terhadapku. Karena itulah aku tidak terlalu suka berkawan dengannya. Telah kuputuskan mulai besok dan seterusnya aku tak mau lagi ikut berdagang dengannya.

    "Mama dengar kata orang kamu jualan, Gih?" Mama menggeladahi seisi kamarku.

    "I... Iya, Ma," jawabku gugup.

    "Dapat modal dari mana kamu?" Mama terus menginterogasi.

    "Ti... Tidak ada!" Aku semakin gagap.

    "Lalu apa yang kamu jual?" Mama berhasil mendapatkan bungkusan daganganku yang masih tersisa.

    "Itu... Itu..." Aku ketakutan.

    "Ini ya yang kamu jual?" Mama menunjuk boneka-boneka yang mama belikan untukku.

    "Iya," jawabku singkat.

    "Susah payah Mama kerja membelikan mainan buat kamu, terus dengan mudahnya mainan pembelian Mama itu, kamu jual semua?" Mama mulai marah.

    Aku hanya diam tidak berani membantah ucapan mama. Aku tahu aku salah, tetapi dalam hati aku terus menjerit bahwa mainan yang mama belikan untukku bukanlah mainan yang layak untuk aku mainkan. "Aku laki-laki, Ma!" Jeritku dalam hati. "Pantaskah aku bermain boneka, rumah-rumahan, dan dokter-dokteran?" Aku benar-benar benci diperlakukan seperti ini.

    Belum lagi mamapun sangat sering menjahitkan pakaian untukku dari bahan sisa para pelanggan jahitannya. Kebanyakan bahan sisa tersebut adalah bahan pakaian perempuan, seperti kain bermotif bunga-bunga, polkadot, dan aneka bentuk hati yang lebih layak dipakai oleh kaum perempuan dengan warnanya yang sangat khas, PINK. Betapa malunya aku bila keluar rumah memakai pakaian dengan motif seperti itu. Aku kerap dicemooh 'sweety' oleh para tetangga yang melihatku. Ketahuilah, aku lebih suka memakai pakaian bermotif loreng 'army style' atau kotak-kotak ala coboy Texas-Amerika. Boleh jadi Jokowi Gubernur DKI Jakarta pun sebenarnya adalah pengikutku, bukan aku yang mengikuti gayanya karena aku sudah sangat lama menyukai pakaian bermotif kotak-kotak.

    "Mana mainanmu yang lain?" Tanya mama lagi terus membongkar kardus besar yang biasa kupakai mewadahi mainanku.

    Semua mainan pemberian Om Kasmin berhasil dikumpulkannya tanpa harus kujawab lagi pertanyaannya.

    "Kamu tidak pernah menghargai pemberian Mama! Pemberian Om Kasmin sengaja kamu simpan baik-baik, sedangkan pemberian Mama kamu sia-siakan begitu saja!" Omel mama dengan sangat murka.

    "Mama tahu kamu itu masih mengharapkan Mama menikah dengan Om Kasmin kesayanganmu itu, tapi ketahuilah mengapa Mama tidak bersedia menikah dengannya, karena mama kesal Om Kasmin tidak mau melangkahi kakaknya yang bujang lapuk! Dan lagi Om Kasmin memiliki teman yang impoten tidak bisa bergairah saat bercinta dengan istrinya, temannya itu sangat tergila-gila pada Om Kasmin-mu itu. Mama yakin temannya pasti sudah sering mengajak Om Kasmin 'tidur' di hotel. Karena mereka sering kepergok sedang berduaan oleh Mama di tempat kerja mama di Rindu Alam dulu. Temannya itu sering merayu-rayu Om Kasmin gantenglah, cakeplah, kerenlah! Apa namanya itu coba kalau bukan suka?" Urai mama panjang lebar.

    Impoten? Aku tak mengerti istilah tersebut apa maknanya. Umurku saat itu kan baru terbilang 6,5 tahun. Aku mana tahu istilah begituan. Belum lagi makna kata 'tidur' di hotel yang dimaksudkan oleh mama. Aku belum paham istilah sex, namanya juga masih sangat polos. Lagipula sepemahamanku kalau Om Kasmin tidur dengan temannya, aku juga sering tidur dengan beliau. Malah saat tidur dengan Om Kasmin, beliau selalu berpenampilan shirtless. Aku sangat senang dipeluknya dalam keadaan bertelanjang dada. Apalagi diciuminya. Tidakkah aku sangat beruntung? Belum lagi kalau kami sedang mandi, kami berdua benar-benar polos tak ada sehelai benangpun yang melekat pada tubuh kami. Jadi, aku sangat hapal sekali seberapa besar batang kejantanan yang dimiliki olehnya. Tapi aku merasa sangat yakin, cinta Om Kasmin kepada mama sungguh tulus dan apa adanya. Mana mungkin Om Kasmin mau tidur dengan orang lain yang tidak dicintainya. Terbukti seumur hidupnya beliau tak pernah mau menikah dan memutuskan untuk melajang sampai akhir hayatnya, setelah mama meninggalkannya begitu saja.

    "Maafkan Ugih, Ma!" Ucapku sedikit gemetar.

    "Maaf katamu? Kamu lihat ini baik-baik!" Mama berjalan ke luar rumah membawa semua mainanku dalam kardus.

    Mama mulai menyalakan korek api yang diambilnya dari dapur setelah mencurahkan minyak tanah lebih dulu ke dalam kardus. Lalu dibakarnya kardus berisi mainan-mainan kesayanganku pemberian Om Kasmin. Setengah mati aku berusaha mencegah perbuatan mama, namun mama menahan tubuhku agar aku jangan mendekati kardus yang dibakarnya.

    "Jangan Ma! Jangan dibakar!" Aku memelas memohon agar mama mengurungkan niatnya.

    "Ini supaya kamu tahu seperti apa rasanya lelah Mama bekerja untuk membelikanmu mainan!" Seru mama sengit.

    "Ugih mohon jangan bakar mainan dari Om Kasmin!" Aku meronta-ronta di tanah.

    Api dalam kardus semakin membesar. Sepertinya tidak ada satupun barang yang dapat kuselamatkan.

    "Om Kasmin, maafkan Ugih! Maafkan Ugih tidak bisa menjaga pemberian Om Kasmin dengan baik!" Aku menangis sesenggukan.

    "Om Kasmin, maafkan Ugih! Mama membakar semua mainan pemberian Om Kasmin!" Tangisku tak dapat kuhentikan.

    Tangan-tangan kecilku berusaha memadamkan api dengan kayu ranting yang kupungut di tanah. Karduspun terguling menumpahkan segala isinya yang telah berubah menjadi lelehan plastik, dan abu.

    Mama tersenyum menyeringai seakan puas telah membuatku menangis kemudian berlalu meninggalkanku. Kulihat sekilas Lupi sedang berdiri mengamatiku di depan teras rumahnya. Namun aku tak mengacuhkan perhatiannya.

    "Mulai sekarang, lupakanlah Om Kasmin untuk selamanya!" Suara mama terdengar ketus di belakangku.

    Kutiupi api dalam kardus agar segera padam sambil kuinjak-injak dengan sandal jepit yang kupakai. Pesawat mainan kesayanganku sekarang hanya tinggal bangkainya, teramat gosong. Begitu pula dengan robot-robot Batman dan Superboy kesukaanku turut habis meleleh menyisakan kepala dengan kakinya yang pincang terbakar. Sedangkan mainanku yang lainnya seperti kereta-keretaan ludes hanya menyisakan besi rodanya saja. Pedang Thundercat hanya tinggal gagangnya. Aku benar-benar kesal kepada mama. Inikah balasan setimpal yang harus kuterima karena telah menjual boneka-boneka yang telah dibelikan mama untukku? Aku juga kesal kepada Lupi. Seandainya saja dia tidak memaksaku ikut berdagang dengannya mungkin saat ini semua barang mainan kepunyaanku tidak akan habis dibakar oleh mama seperti ini. Aku sangat menyesal atas semuanya.

    Sejak saat itu aku menjadi anak yang sangat pemurung tak mau bergaul di luar rumah. Aku tak pernah lagi bermain dengan Lupi. Bila ia datang ke rumahku aku lebih memilih mengunci diri di dalam kamar. Aku bermain sendiri dalam kamar, bertemankan sisa-sisa mainan pemberian Om Kasmin yang telah menjadi bangkai.

    "Ciuuuung gedebuk! Wah, pesawatnya jatuh menimpa tubuhku, Batman! Lihat nih, kakiku jadi buntung sekarang!" Mungkin aku telah menjadi seperti orang gila, bermain sendiri dan meracau sendiri.

    "Sama aku juga! Lihat tanganku putus terlindas ban pesawat! Kakiku juga buntung sepertimu! Sepertinya pesawatnya baru saja meledak, Superboy!" Aku berbicara seolah-olah aku ini adalah Batman yang menimpali perkataan Superboy.

    "Ya ampun Ma, kamu lihat Sugih! Kenapa dia sekarang jadi kaya gitu? Ngelantur sendiri sama mainan-mainannya yang sudah jelek," Papa mengintipku dari balik tirai pintu kamarku.

    "Sejak kemarin dia tidak mau makan! Dia pasti marah gara-gara mainannya kubakar!" Timpal mama merasa bersalah.

    "Kenapa sih, Mama tega membakar mainannya Sugih? Dia ada berbuat salah sama Mama? Lha, namanya anak-anak Ma, harus kita maklumi!" Tegas papa.

    "Papa nggak ngerti sih, capeknya Mama kaya apa dulu jadi single parent!" Mama membela diri seakan mama tidak mau disalahkan oleh papa.

    Mama kemudian menghampiriku dan memegangi kedua bahuku. Dipandanginya mataku lekat, namun aku tak berani membalas tatapannya. Kutelungkupkan wajahku dalam-dalam.

    "Ugih, makan yuk, Su!" Bujuk mama mengangkat daguku agar aku membalas tatapannya.

    Kualihkan pandanganku ke samping merajuk. Disentuhnya keningku dengan punggung tangannya yang lembut.

    "Ya Allah, badan kamu panas sayang! Kamu sakit!" Mama mulai panik.

    "Bungsu Mama kasep, makan ya sayang! Badan kamu panas nih! Nanti kalau kamu nggak mau makan, kamu bisa mati!" Mama terus membujukku.

    #Kasep (Bahasa Sunda) : ganteng, cakep.

    Aku menggeleng. Mama terus memaksa agar wajahku berani membalas tatapannya. Di saat itulah bulir air mata mulai mengalir membasahi kedua pipiku.

    "Ugih sayang Om Kasmin!" Desisku lirih.

    Kugenggam dan kudekap erat bekas mainan-mainanku yang dibakar mama dua hari lalu. Tak lama setelah itu aku terjatuh tak sadarkan diri. Mama sangat panik menepuk-nepuk kedua pipiku.

    "Gih! Ugih!" Mama terisak penuh penyesalan.

    Setelah aku siuman, aku terbaring lemah di atas tempat tidurku.

    "Syukurlah Ma, Sugih sudah sadar!" Papa duduk di tepi ranjang.

    "Gih, makan dulu ya sayang!" Mama berbicara lembut kembali membujukku.

    Aku hanya terdiam tak dapat memberikan jawaban. Lidahku kelu untuk berkata-kata.

    "Gimana donk, Pa?" Mama melirik papa penuh rasa khawatir padaku.

    "Mama suapi saja Sugih!" Papa beranjak bangkit menutup jendela kamar karena di luar hari mulai gelap.

    "Tifus itu berbahaya nggak sih?" Mama sangat resah.

    "Semua penyakit itu tidak ada yang tidak berbahaya. Lihat, tubuh gendut Sugih sekarang telah menjadi kurus!" Tunjuk papa ke arahku.

    "Mama nggak mau Sugih kenapa-napa, Pa!" Tukas mama lagi.

    Ternyata selama aku pingsan mama dan papa telah membawaku ke dokter. Hasil diagnosa dokter aku dinyatakan menderita sakit tifus. Selama seminggu lamanya aku meringkuk di atas ranjang dalam kamar. Selama seminggu itu pula aku terus mengigau memanggil-manggil Om Kasmin di dalam tidurku.

    "Om Kasmin, Ugih kangen Om!" Racauku tidak karuan. "Om Kasmin, Ugih pengen jalan-jalan lagi sama Om!"

    Setiap hari mama mengompres keningku dengan saputangan basah.

    "Iya, nanti kalau Ugih udah sembuh, Ugih boleh ketemu sama Om Kasmin!" Hibur mama terus menungguiku.

    Bahkan dalam keadaan terjaga pun aku masih terus meracau memanggil nama mantan kekasih mama yang amat kusayangi itu.

    "Ma, janji ya, kalau Ugih sembuh, Ugih boleh ketemu sama Om Kasmin?" Pintaku penuh harap.

    Mama terpaksa mengiyakan permintaanku dengan hati berat.

    Namun sayang, ternyata janji mama hanya janji palsu. Mama sama sekali tidak mengabulkan permintaanku di kala aku sedang sakit. Setelah aku sembuh, aku kembali dihadapkan dengan sikap mama yang kritis dan jutek. Rasanya aku benar-benar lelah mempunyai ibu seperti mama.

    Hanya Umi Wati yang terus berusaha membuat aku kembali ceria seperti sedia kala. Karena hari-hariku kini selalu diselimuti penuh kemurungan. Hal ini diketahui beliau dari putri bungsunya, Bibi Laeli. Sepupu mama yang satu ini satu sekolah denganku di kampung seberang, Bubulak. Setiap pagi aku dan Bibi Laeli selalu berangkat sekolah bersama. Waktu aku kelas satu, Bibi Laeli sudah duduk di kelas enam. Kami berangkat sekolah beramai-ramai dengan teman-teman sekelas Bibi Laeli, menuruni tanjakan Cimanggu, menyusuri Sungai Ciereng, menyeberang Sungai Cigede anak dari Sungai Cipakancilan, dan menaiki tanjakan Bubulak. Perkampungan Cimanggu dan Bubulak memang berseberangan dipisahkan oleh Sungai Cipakancilan.

    Mungkin karena aku anak yang pendiam, aku sering menjadi sasaran empuk bagi para berandalan sekolah yang tidak tahan mengusili anak sepertiku. Ada saja ulah teman-teman Bibi Laeli yang ingin menjadikanku bulan-bulanannya. Aku kerap disekap di WC, dipalak agar tidak bisa jajan, hingga didorong-dorong saat berbaris agar aku terjatuh sebelum masuk kelas. Tetapi Bibi Laeli selalu hadir menjadi penyelamat bagiku dari siksaan teman-teman lelakinya yang berandalan itu.

    "Mbok jamu... Mbok jamu..." Bibi Laeli bersenandung riang menyanyikan lagu favoritku yang sering ditayangkan di Panggung Hiburan Anak-anak TVRI setiap hari Minggu pagi di era 1990-an.

    "Jamunya Jeng, jamu beras kencur!" Teman-temannya ikut melantunkan lagu tersebut dengan gaya mereka yang centil.

    "Ugiiih, ikut Bibi yuk! Kita berenang ke Mila Kencana!" Ajak Bibi Laeli sambil menyiapkan tasku.

    "Jangan ah, Li! Si Ugih masih terlalu kecil mana bisa dia berenang!" Mama melarang Bibi Laeli untuk mengajakku.

    "Tenang aja atuh, Teh! Nanti Eli sama teman-teman yang ngajarin. Dijamin kita-kita mah sudah menjadi atlet renang profesional!" Tutur Bibi Laeli sangat santai.

    "Iya kalau kamunya enggak lengah! Kalau Ugih sampai tenggelam pas kamu lagi asyik sama teman-teman kamu gimana?" Mama tetap tidak memberikan izin.

    Aku sendiri tidak ambil pusing apakah mama akan melarangku ataupun mengizinkanku untuk pergi bersama teman-temannya. Bagiku semuanya sama saja. Toh, aku sudah menutup diri dari dunia luar karena tak ingin merasa kecewa lagi seperti sebelum-sebelumnya.

    "Teteh gak usah takut! Kami juga bawa teman buat Sugih kok!" Teman-teman Bibi Laeli turut mencoba meyakinkan mama.

    "Siapa?" Mama penasaran.

    "Taraaa!" Teman-teman Bibi Laeli mendorong seorang bocah seumuranku.

    Yang membuatku terkejut adalah anak laki-laki itu ternyata Teguh, salah seorang anak buahnya Oman. Ih, malas banget aku harus bermain dengannya.

    "Tadi Eli disuruh Umi untuk mengajak Teguh sekalian, supaya Ugih ada kawan!" Tukas Bibi Laeli menjelaskan.

    Rumah Teguh letaknya berada persis di depan rumah Umi Wati. Lebih tepatnya lagi rumah yang ditempati oleh keluarga Teguh sesungguhnya adalah rumah Umi Wati yang dikontrakkan kepada mereka. Mama Teguh akrab kusapa Tante Novi. Beliau adalah teman kursus menjahit mama di Yuliana Jaya waktu aku masih bersekolah di TK. Tetapi selama ini aku tidak pernah berteman dengan Teguh. Patut kuakui Teguh memang memiliki paras yang 'cute' dengan kulitnya yang kuning langsat. Namun sikapnya terlalu manja kepada orang tuanya. Itulah yang membuatku kurang suka dengannya.

    "Gih, mulai hari ini kamu berteman dengan Teguh ya! Kemarin Tante Novi sudah melarang dia agar tidak berteman lagi dengan si Oman. Katanya takut ketularan bodoh dan bandelnya," Bibi Laeli baru saja selesai mengemasi pakaianku dan handuk ke dalam tasku.

    "Ya sudahlah, Li! Teteh titip Sugih ya kalau gitu! Ajarin dia renang sampai lancar, ya!" Akhirnya hati mama luluh juga pada permintaan adik sepupunya.

    "Nah, jangan lupa uang sakunya donk, Teh!" Bibi Laeli langsung menyorongkan telapak tangannya ke depan mama.

    Lantas mama menyerahkan selembar uang lima ribu rupiah untuk kami berdua. Bibi Laeli pun tak lupa mengucapkan terima kasih kepada mama dan langsung membawaku pergi bersama rombongannya setelah mengucapkan salam di ambang pintu.

    Teguh benar-benar pandai berenang. Berulang kali dia berseluncur di hadapanku di kolam setengah meter. Sementara aku masih memerlukan bantuan sebuah ban sebagai alat bantu menjaga keseimbanganku. Bibi Laeli dan teman-teman genknya yang ceriwis nan centil begitu sabarnya melatihku berenang. Terkadang pipiku dicubiti saking gemasnya mereka kepadaku. Pun begitu sikap mereka kepada Teguh. Di saat mereka mulai asyik mengeceng para lelaki keren yang kebetulan melintas di depan mereka, akhirnya merekapun melupakan kami.

    "Kamu berani ke kolam yang satu meter gak?" Tantang Teguh padaku tiba-tiba. "Nanti di sana aku ajarin kalau kamu gak bisa!" Ujarnya sok baik.

    Terus terang aku belum bisa membuka diri untuk berteman dengannya mengingat dulu dia pernah mengeroyokku dan Ary atas perintah Oman.

    Aku menggeleng tak mengeluarkan suara. "Pengecut banget sih jadi cowok! Bagaimana Oman tidak menghina kamu bencong kalau mainan kamu cuma boneka dan takut berenang di kedalaman cuma satu meter!" Ucap Teguh berlagak sok gagah.

    What 'cuma' katanya? Lagi-lagi kenapa harus membahas soal boneka sih? Aku tidak suka bermain boneka, you know! Jadi, aku bukan bencong kan?

    BYUUR!

    Teguh menarik tanganku dan menceburkan diri ke dalam kolam sambil berpegangan pada ban yang kubawa tadi. Jujur, aku sangat ketakutan. Kakiku tidak sampai ke permukaan kolam karena terlalu dalam untuk anak seumuranku. Teguh terus memegangiku agar aku tidak tenggelam. Jarak kami sangat dekat. Kulitku bersentuhan dengan kulitnya yang kenyal.

    DEGH!

    Aku merasakan sesuatu yang beda dalam diri Teguh. Aku merasakan adanya suatu aura yang cukup memikat perasaanku. Mengapa tiba-tiba saja aku jadi selalu ingin berada di dekat Teguh? Tubuh kami mengambang di atas permukaan air. Suasana Mila Kencana hari ini sangat ramai karena ini adalah hari Minggu. Teguh terus menuntunku untuk menyeimbangkan tubuhku.

    Wow keren! Berkali-kali Teguh berunjuk gigi memamerkan kebolehannya padaku. Dia bersalto dari atas kolam dan menyelam di dalam air hingga mencapai kedalaman dua meter.

    "Sini, kamu naik ke atas punggungku saja!" Ucapnya menawarkan diri.

    Tanpa ragu dan sungkan aku mengikuti permintaannya. Aku berpegangan pada lingkar lehernya.

    Waaa... DEZIIIGH!

    Hatiku mendadak berdebar-debar kencang. Begitu cepatnyakah aku menyukai seseorang? Stop! Aku tidak mau! Aku tidak ingin merasakan kecewa untuk yang ke sekian kali! Aku tidak boleh suka kepada Teguh, mentang-mentang tampang dia cute.

    Sebagai upah untuknya yang telah mengajariku renang seharian itu, kutraktir dia sebuah hamburger setelah kami semua meninggalkan kolam. Pusat jajanan terletak di halaman depan Gelanggang Olah Raga (GOR Padjajaran). Di sana terdapat banyak tukang jajanan yang mangkal bersama gerobaknya masing-masing, mulai dari bakso, pempek, batagor, somay, cakwe, mie ayam, es cendol, es campur, sampai tukang hotdog dan hamburger tersedia lengkap di sana.

    Sejak saat itu aku dan Teguh mulai berteman akrab meski kami tidak satu sekolah. Aku sering berkunjung ke rumahnya untuk bermain skateboard dengannya. Teguh sangat pandai di bidang olah raga. Olah raga favoritnya adalah basket dan renang. Hem, pantas saja kalau dia jago renang kemarin itu. Semua bakat yang dimilikinya diajarkan oleh ayahnya sendiri, Om Maman.

    Meski Tante Novi telah melarang keras Teguh untuk bergaul dengan Oman, akan tetapi Oman terus menghampiri Teguh tanpa ada perasaan takut akan omelan Tante Novi yang mengusirnya agar jangan pernah lagi mendekati Teguh.

    "Hai, sayang!" Oman muncul mendekap tubuh Teguh dari belakang dan tiba-tiba saja...

    OMG! Oman mengecup pipi Teguh kanan dan kiri secara bergantian. Mulutku menganga seakan tidak percaya dengan apa yang sedang kulihat. Mesra sekali sikap Oman kepada Teguh. Seakan mereka adalah sepasang kekasih yang normal. Padahal tak satupun di antara mereka yang bersikap kemayu seperti anak perempuan. Setelah Oman memeluk dan menciumnya mesra, sikap Teguh biasa-biasa saja kepada Oman. Seolah Teguh tidak memiliki rasa ketertarikan kepadanya.

    "Sayang, kenapa kamu sekarang berteman dengan si bencong?" Sindir Oman bersikap sinis menunjuk ke arahku.

    "Dia bukan bencong! Bisa tidak memanggilnya Sugih?" Kata Teguh melepas pelukan Oman di lingkar tubuhnya.

    Thanks God! Kau telah memberiku seorang kawan baru berhati malaikat.

    "Dia sekarang temanku. Maaf ya Oman, kata mama aku enggak boleh berteman lagi sama kamu, takut ketularan goblok nanti! Aku nggak mau sampai nggak naik kelas dua kali seperti kamu," Ucap Teguh tenang dan datar.

    Wow, kejutan yang luar biasa hebat buatku! Apakah ini berarti aku telah mempunyai seorang sekutu untuk melawan Oman?

    "Oo, jadi kamu sekarang mau melawan Papa ya?" Raut wajah Oman berubah pias seketika.

    APA? PAPA? Apa aku tidak salah mendengar? Oman menyebut dirinya dengan panggilan akrab sebagai 'Papa' kepada Teguh. Lantas apakah Teguh itu dipanggilnya 'Mama'? Kepalaku mendadak senat-senut.

    "Pada dasarnya aku tidak suka mencari musuh. Jadi tolong jaga jarak saja denganku!" Tukas Teguh setenang mungkin.

    "Sayang, kamu kan tahu Papa tidak bisa jauh dari kamu!" Bujuk Oman kembali melingkarkan tangannya di tubuh Teguh nan ramping.

    Ahaa... Timbul sebersit ide dalam kepalaku untuk membalaskan dendam atas perlakuan Oman terhadapku dan Ary selama ini. Ary pernah berpesan dulu sebelum pindah ke Loji agar aku bisa menentang melawan Oman meskipun tidak ada dirinya di sisiku. Aku mulai berpikir untuk mencoba mendekati Oman dan berpura-pura ingin berteman dengannya. Siapa tahu dengan jalan seperti itu aku bisa mengetahui semua letak kelemahan Oman. Tidak sia-sia juga aku gemar membaca buku pelajaran PSPB (Pendidikan Sejarah Perjuangan Bangsa) yang diajarkan oleh guruku di sekolah. Dalam buku tersebut aku pernah membaca tentang perjuangan Teuku Umar melawan Belanda dengan siasatnya yang berpura-pura baik kepada Belanda. Akhirnya trik tersebut aku pakai pula untuk melawan Oman. Tidakkah otakku lumayan cerdas? :)

    "Oman, mulai sekarang aku jadi teman kamu ya?" Aku berpura-pura bersikap baik.

    "Teman? Anak buah maksud lu?" Tanyanya duduk di sebelah Teguh.

    "Iya deh, terserah kamu saja. Yang penting kamu jangan jahat lagi padaku!" Aku memohon.

    "Em gimana ya?" Oman melirik Yusuf, 'tangan kanan'-nya.

    Sebenarnya Yusuf adalah kakak kelasku di sekolah. Umurnya selisih satu tahun lebih tua dariku. Tampangnya lumayan manis, tidak begitu ganteng. Yang kusuka darinya ia memiliki sebuah titik hitam di atas sudut bibirnya sebelah kiri tetapi bukan karang. Itulah yang membuatnya terlihat keren di mataku.

    Anak buah Oman rata-rata berpenampilan dekil, kucel, dan bau. Hanya Teguh dan Yusuf saja yang terlihat berbeda dari yang lainnya.

    Yusuf berbisik-bisik di telinga Oman. Kemudian Oman mengatakan apa yang ingin disampaikannya kepadaku.

    "Oke, tapi ada syaratnya!" Kata Oman.

    "Apa syaratnya?" Tanyaku padanya.

    "Lu harus beliin gue BP!" Katanya seraya menyodorkan beberapa lembar uang seratusan berwarna merah.

    "BP?" Aku terbengong-bengong.

    "Iya, bongkar pasang! Mainan boneka kertas yang suka dimainin cewek!" Kata Oman lagi menjelaskan.

    "Haah?" Aku tercengang.

    "Tapi... Nanti aku dicemooh tukang warung!" Aku menolak permintaannya.

    "Gimana sih, katanya lu mau masuk genk gua?" Oman mulai kesal.

    Aku mulai ragu. Antara tetap menjalankan misiku atau berbalik mundur dan kembali dibully olehnya. Namun aku mencoba berkompromi.

    "Jangan itu donk, Man! Aku gak mau diolok bencong kalau dilihat orang membeli BP di warung!" Aku memelas.

    "Alah, emang lu bencong kan? Mainan lu kan boneka semua!" Sambar Oman meledekku.

    "Siapa bilang? Sugih itu gak suka boneka kok Man! Buktinya semua boneka yang dibelikan mamanya rela dia jual saking gak sukanya main boneka!" Teguh membelaku.

    "Pokoknya gua gak mau tahu! Kalau elu pengen masuk genk kita, lu harus turutin kata-kata gua!" Oman memaksa.

    "Udahlah Gih, ngapain sih berteman sama si Oman? Nanti ketularan bego lho!" Teguh menarik tanganku untuk menjauh dari Oman dan genknya.

    "Guh, sebenarnya pssst...ssst...!" Aku berbisik di telinga Teguh.

    Teguh manggut-manggut pertanda mengerti maksud perkataanku.

    "Gimana lu mau gak?" Tanya Oman lagi sebelum berlalu dari hadapanku dan Teguh.

    Dengan sangat terpaksa akhirnya aku memutuskan untuk menuruti perintahnya. Mata Oman berbinar sangat senang tatkala aku kembali dari warung membawakan pesanannya. Serta-merta ia langsung meraih BP di tanganku.

    "Huft! Gara-gara kamu, aku diolok-olok ibu-ibu yang sedang berbelanja di warung!" Sungutku merengut. "Mereka pada manggil aku Beti!"

    Waktu itu sedang demam iklan Baygon di televisi yang diperankan oleh Beti (bencong bertitit) bersama temannya yang berkepala botak seperti tokoh Pak Ogah dalam cerita si Unyil, bernama Pak Ronda yang sedang melakukan ronda malam. Diceritakan dalam iklan, tokoh Beti sedang membeli obat nyamuk Baygon di sebuah warung. Pak Ronda tetangganya datang turut membeli obat nyamuk sambil terus menepuki sekujur tubuhnya yang tak kunjung henti digigiti nyamuk.

    "Beti mah dapat kembalian, Pak Ronda mah enggak! Heuh!" Kira-kira slogan itulah yang sangat terkenal di masyarakat sejak iklan Baygon itu muncul di layar kaca.

    Oman tak mempedulikan keluhanku. Ia langsung mengajak teman-teman genknya untuk bermain rumah-rumahan dengan bongkar pasang yang diambilnya dari tanganku.

    "Ayo cuy, kita main BP! Sekali-sekali kita nyobain mainan cewek, kaya apa sih rasanya?" Ajak Oman kepada anak buahnya.

    Dasar Oman edan! Dia yang telah mengolokku bencong, eh malah dia sendiri yang main boneka perempuan! Bencong kok teriak bencong? Tapi anehnya semua teman genknya mau saja diajaknya bermain boneka bongkar pasang. Aku hanya bisa menggeleng-geleng kepala melihat kekonyolan mereka. Oman... Oman...

    "Guh, tadi malam gua pergi ke bioskop sama Aa Rozak, gua nonton film panas judulnya Bibir Mer. Pemerannya Kiki Fatmala. Pas ngeliat cowok yang jadi lawan mainnya eh gua kaget, namanya sama kaya elu, Teguh Julianto! Gila tuh cowok keren abis kaya elu, sayang! Adegan-adegan ranjangnya bikin kontol gue tegang! Gila tuh si Kiki Fatmala nafsu banget sama si Teguh! Masa si Teguh dipaksa ngeladenin si Kiki ngewek, padahal si Teguhnya gak suka sama si Kiki! Teguh sampe ditelanjangin sama preman-preman suruhannya Kiki," Cerocos Oman bertutur cerita kepada Teguh yang sedang asyik memainkan papan skateboardnya.

    "Ngewek itu apa sih?" Tanyaku dengan ekspresi polos kepada Oman.

    "Ah, elu mah masih anak kecil sih, jadinya kagak tahu ngewek itu apaan. Gua kasih tahu elu ya, ngewek itu masukin kontol ke dalam memek! Beuh, pokoknya seru nonton film yang ada adegan ngeweknya!" Ungkap Oman tanpa perasaan malu sedikitpun.

    Teguh sama sekali tak menanggapi perkataannya. Aku benar-benar kaget bukan main. Betapa joroknya Oman menceritakan hal semacam itu kepada kami yang belum cukup umur. Dia saja baru berumur dua belas tahun, bagaimana bisa kakaknya yang bernama Aa Rozak mengajaknya menonton film porno yang hanya boleh disaksikan oleh orang dewasa 17 tahun ke atas? Keluarga macam apa si Oman itu? Padahal Ceu Nani dan Mang Ajuk, kedua orang tuanya itu sudah menasik haji sampai 2 kali. Anak haji kelakuannya kok parah?

    "Ayo Man, kita lanjut lagi main BP-nya!" Yusuf mencolek tangan Oman yang duduk membelakanginya.

    "Oh iya, kita lanjut lagi adegan ngeweknya!"

    Oman menaruh boneka kertas berjenis kelamin perempuan ke atas sebuah bungkus rokok yang dijadikannya sebagai ranjang mainan. Lalu diambilnya sebuah boneka kertas lain berjenis kelamin laki-laki tanpa busana, dan diletakkannya menimpa tubuh boneka perempuan tadi. Suara Oman dan Yusuf mengerang seakan-akan kedua boneka tersebut sedang melakukan hubungan senggama atau bersetubuh.

    "Aaaah... Aaaah... Aaaah..." Erang mereka bersama-sama.

    Gila! Ini benar-benar gila, aku dibuatnya pusing dengan kelakuan Oman seharian ini. Aku sangat shock dengan apa yang baru kuketahui tentang aktivitas orang dewasa yang dipaparkan oleh Oman dan belum sepantasnya aku untuk mengetahui hal itu.

    Pada hari lainnya saat aku duduk di kelas 2 SD, aku berkenalan dengan salah seorang anak yang tinggal di RT1. Perumahan RT1 terpisah dari RT-RT lainnya di lingkungan tempat tinggalku. Rata-rata rumah di RT1 memang lebih berkelas dibandingkan dengan rumah-rumah penduduk di RT lainnya. Tak heran bila mata pencaharian penduduknya juga lebih bergengsi daripada mata pencaharian warga RT lain yang kebanyakan hanya bekerja sebagai buruh dan kuli. Mayoritas warga RT1 bekerja sebagai pegawai negeri sipil dan pengusaha yang sedang berkembang usaha bisnisnya.

    Adalah Anton, anak laki-laki yang terpaut 2 tahun di atasku. Gayanya sangat cool dan sok jaim kepada anak-anak di lingkungan tempat tinggal kami. Anak-anak RT1 gayanya kebanyakan memang sok borju mengingat tingkat pendapatan orang tua mereka jauh lebih tinggi daripada warga RT lainnya. Karena itu sangat jarang anak-anak RT1 yang mau bermain dengan anak-anak di luar RT mereka.

    Mungkin aku termasuk anak yang beruntung mempunyai papa tiri yang kaya sehingga aku bisa berteman dengan Anton yang sok jaim. Tapi menurutku dia sangat keren karena hampir seluruh penampilannya dibalut dengan barang bermerek sangat mahal. Tampangnya sangat mirip penyanyi cilik Nikita yang pernah populer di era 1990-an dengan lirik lagunya yang berbunyi 'Aku takut mama marah, aku takut papa marah. Kalau semuanya marah, aku jadi serba salah!' Benar-benar suka pada artis Nikita itu, di mataku dia terlihat sangat keren dan lumayan ganteng. Bertemu dengan Anton rasanya seperti bertemu dengan Nikita. Aku sangat suka dengan poni rambutnya yang rata, mode rambut yang sedang trend kala itu.

    "Man, ada film baru gak?" Tanya Anton pada Oman suatu ketika.

    "Belum ada lagi, Ton! Lu ada gak?" Oman balik bertanya.

    "Makanya gua nanya elu lantaran gua belum punya barang baru!" Kilah Anton.

    "Ya udah, gua cabut aja kalau gitu!" Oman beranjak pergi meninggalkan kami.

    Oman memang cukup disegani oleh anak-anak RT1 meskipun Oman hanya anak RT2 sama sepertiku. Pasalnya Oman adalah ketua genk berandalan seantero Cimanggu.

    "Film apa sih, Ton?" Tanyaku pada Anton penasaran.

    Walau usia Anton lebih tua dariku, namun Anton enggan kupanggil dengan sebutan kakak atau abang. Alasannya biar terasa lebih akrab katanya.

    "Film ngewek!" Balas Anton.

    Lagi-lagi mulutku menganga nyaris menjadi sarang nyamuk.

    "Lu tahu film ngewek gak?" Usut Anton menanyaiku.

    Aku menggelengkan kepala menjawab pertanyaannya. Anton menarik tanganku masuk ke dalam kamarnya. Aku terkesima melihat seisi kamarnya yang mewah. Dia mempunyai televisi pribadi lengkap dengan pemutar video di dalam kamarnya. Anton kemudian menyalakan televisi dan memasukkan sebuah kaset besar ke dalam kotak pemutar video. Tak lama sebuah gambar pun muncul di layar televisi. Sebuah film barat yang tidak kuketahui para pemainnya.

    "Nih, sini duduk!" Anton mengajakku duduk di sampingnya di tepi ranjang tempat tidurnya.

    Sebuah adegan panas muncul di layar televisi sukses membuat kedua mataku tak berkedip. Anton menoleh ke arahku sambil sesekali tersenyum nyengir.

    "Kelihatannya lu baru sekali nonton film ginian?" Anton meremas-remas pundakku.

    Aku tidak tahu pasti dari mana Anton bisa mendapatkan video seperti itu. Setahuku Mbak Nunik kakaknya adalah gadis baik-baik dan dikenal sangat sopan oleh semua tetangga. Ayah Anton juga sangat sibuk dengan pekerjaannya sebagai seorang dosen di IPB. Sedangkan ibunya sudah lama meninggal dunia sejak ia masih balita tanpa pernah kuketahui apa penyebab kematiannya.

    Anton melepas kaus Polo bermotif blaster yang dipakainya membuatku menelan air liur. "Andai anak-anak seumuran kita juga bisa berbuat kaya gitu, pasti asyik juga kali ya?" Anton berebah di atas ranjang.

    Mataku tak bisa mengerjap memandangi tubuh seksi Anton yang sangat polos dan ramping.

    "Memangnya anak-anak seumuran kita belum boleh melakukan hal seperti itu?" Tatapku dengan mimik polos.

    Anton kembali duduk bersila. Dia memandang wajahku sangat dekat. Pertanyaanku tak digubrisnya sama sekali.

    "Gih, lu ada cewek yang lu suka gak?" Tanyanya kemudian.

    "Apaan sih? Kita kan masih anak-anak!" Aku merasa jengah ditatapnya sangat dekat.

    "Gak ada ya?" Tebak Anton.

    "Aku gak punya pikiran ke sana," timpalku.

    Gaya bahasa Anton dan Oman memang terbiasa menggunakan bahasa gaul elu-gua ala orang kota. Sedangkan aku belum terbiasa mengucapkan kata-kata tersebut mengingat sebelumnya aku lama tinggal di desa, tepatnya daerah kulon.

    "Gua pengen banget nyobain kaya apa rasanya ciuman. Lu mau gak ciuman sama gua?" Tembak Anton to the point.

    JLEGER!

    Bagai mendengar petir di tengah kuburan tiba-tiba saja aku merasa sekujur tubuhku berubah membeku karena kedinginan di tengah badai salju. Apa aku tidak salah mendengar ucapan Anton barusan?

    "Gih, lu mau kan ciuman sama gua? Kayanya ciuman itu enak deh!" Anton mengulangi permintaannya.

    Jantungku deg-deg-ser! Mungkin saat ini mukaku bersemu memerah karena malu. Malu ingin menerima ajakannya.

    "Tapi kamu nggak makan daging babi kan?" Tanyaku sangat konyol mengingat agama kami berbeda. Anton adalah penganut agama Kristen yang sangat jarang beribadah ke gereja.

    "Alah Sugih! Aku nggak doyan daging babi, tahu?" Anton mendadak kikuk.

    "Sebenarnya aku juga kepengen nyobain kaya apa rasanya ciuman seperti di film itu!" Tunjukku ke layar televisi.

    Mendengar pernyataanku Anton kembali bersemangat dan bergairah menyerbuku. Direngkuhnya tubuhku dengan sebelah tangannya. Perlahan-lahan wajahnya mendekat ke wajahku. Bibir kami tidak lama lagi akan saling bersentuhan, dan mungkin akan berkecupan saling memagut seperti dalam adegan film yang sedang kami tonton. Sampai akhirnya...

    "Antoooon... Main yuk!" Terdengar suara seseorang di luar rumah memanggil nama Anton dan menekan bel berkali-kali.

    TING TONG! TING TONG! TING TONG!

    Jikalau tidak ada aral melintang mungkin bibir Anton adalah bibir lelaki pertama yang menjamah bibirku. Dia akan menjadi ciuman pertama seumur hidupku. Namun pada kenyataannya fakta berkata lain. Bukan Anton yang menjadi lelaki pertama yang mencium bibirku!

    Anton bangkit dari atas ranjang dan meraih kausnya yang tercecer di lantai.

    "Gawat, Ryan datang Gih! Kapan-kapan kita pasti ciuman ya!" Anton mengedipkan sebelah matanya padaku.

    Aku masih deg-degan karena perbuatannya tadi. Kami sempat berpandangan sangat lama sebelum akan berciuman. Mata Anton telah berhasil memanah jantung hatiku. Entah mengapa aku jadi begitu tertarik kepada Anton. Padahal aku sudah berhasil menepis jauh-jauh perasaanku terhadap Teguh. Tapi kini aku harus kembali mengalami jatuh hati setelah aku berpisah dengan Ary dua tahun. Apakah ini wajar? Apakah ini terlalu cepat untuk kualami?

    Buru-buru Anton mematikan tayangan video yang sedang diputarnya. Ryan masuk ke dalam rumah diikuti oleh seorang anak kecil berusia 4 tahunan bernama Oky. Kedua orang itu adalah tetangga belakang rumah Anton sesama warga RT1. Perumahan RT1 memang unik karena memiliki teras depan-belakang yang mana teras depan menghadap ke arah perumahan RT2, dan teras belakang menghadap sesama perumahan RT1 yang lebih patut dikatakan sebagai sebuah komplek. Mereka menamakan dirinya sebagai Komplek TOGA (tanaman obat keluarga) karena semua halaman rumah RT1 itu memiliki kebun toga. Baik di teras depan maupun teras belakang.

    Dulu aku berkenalan dengan Ryan dan Oky diperkenalkan oleh teman kami yang bernama Budi, salah seorang anak buah Oman yang sangat setia. Aku dan Ryan sebaya, kami sama-sama duduk di kelas 2 SD. Sekolahnya terletak tidak jauh dari sekolahku. Dia bersekolah di SDN Pabrik Gas. Kadang-kadang kami berangkat sekolah bersama bila bertemu kebetulan di jalan.

    Kurapikan pakaianku yang kusut bekas bercengkerama dengan Anton. Aku tidak mau ketahuan oleh Ryan kalau aku dan Anton hampir saja berbuat macam-macam di dalam kamar Anton.

    "Eh, kamu di sini juga Gih?" Tegur Ryan padaku.

    "I... Iya," jawabku sedikit gugup.

    "Lho, kamu habis ngapain di kamarnya Anton?" Tanya Ryan kebingungan.

    "Ng..." Aku kehilangan kata-kata untuk menjawabnya.

    "Kami habis menonton film Kura-kura Ninja tadi," sela Anton turut menimpali. Ia sengaja berkata dusta agar Ryan tidak mencurigai kami macam-macam.

    "Video?" Toleh Ryan ke arah Anton.

    Anton mengangguk santai.

    "Basi banget zaman kaya gini masih nonton film jadul!" Seloroh Ryan.

    "Suka aja!" Jawab Anton cuek. Di saat Ryan lengah tak memperhatikannya, Anton mengedipkan sebelah matanya lagi padaku.

    Aduh! Taman bunga di hatiku sepertinya akan segera bersemi kembali seperti saat aku bertemu Adi dan Ary dulu. Oh, what a beautiful day it is! Suasana hatiku mendadak ceria seakan sedang berdendang lagu pop-dangdut favoritku.

    Alangkah indahnya dunia kurasa
    Saat ini... Saat ini...

    Hari-hari terus berlalu. Aku tidak terlalu memiliki banyak teman. Di sekolah aku cenderung menutup diri dalam pergaulan. Hampir tidak ada teman yang dekat denganku. Hanya di lingkungan rumah saja aku mau bergaul. Itupun sebatas beberapa orang seperti Teguh, Anton, dan Ryan. Pertemananku dengan Teguh hanya sebatas berduaan saja sama seperti di saat aku masih bersama Ary. Sedangkan dengan Anton dan Ryan terkadang kami bermain bertiga, kadang hanya aku dan Ryan atau hanya aku dan Anton tergantung kesibukan kami masing-masing. Ryan sering sibuk dengan kegiatan ilmu bela diri karate dan taekwondo yang digelutinya. Sedangkan Anton sibuk mengikuti kursus piano klasik secara privat di rumahnya. Kadang Anton suka menyempatkan diri untuk berbagi ilmu denganku. Dia senang mengajariku bermain piano meski aku tak memiliki piano sebagus dan semewah seperti yang dimilikinya. Mama mana mungkin mau membelikanku sebuah piano mahal seperti itu untukku. Sejak mama membakar mainanku dulu, aku tak pernah berani meminta untuk dibelikan mainan baru kepada mama. Mama pasti akan marah besar kepadaku. Pernah suatu kali papa membelikanku sebuah gamewatch yang sedang ngetrend saat aku kelas 1 SD. Gamewatch keren yang bisa mengolokiku 'Kok bodoh?' Bila aku gagal menyusun balok Tetris, memujiku 'Hebat ya!' Bila aku berhasil menyusun balok Tetris dengan sempurna, dan menyuruhku 'Coba lagi!' Kalau aku kehabisan waktu dikarenakan susunan balok Tetris sudah terlalu tinggi. Mama benar-benar marah melihatku mendapat hadiah gamewatch baru dari papa, lantas dibantingnya gamewatch tersebut ke arahku, tetapi tidak mengenaiku. Akhirnya gamewatch itu terjatuh ke lantai dan rusak.

    Sejauh ini aku belum berhasil menjatuhkan Oman atas perlakuannya dulu terhadapku dan Ary. Pasalnya Oman adalah macan angin-anginan yang sangat sulit kujumpai. Ia kerap 'ngebak' bersama anak buahnya di Sungai Cigede. Ngebak adalah menghanyutkan diri di sungai dengan cara melompat terjun dari atas sebuah jembatan sambil membawa sebuah ban karet besar untuk dijadikan pelampung agar tidak tenggelam di air. Kegiatan tersebut bagiku adalah kegiatan yang menantang maut mengingat arus sungai yang dilaluinya amatlah deras dan kencang. Aku pernah sekali hampir hanyut dan tenggelam di sungai itu saat Oman memaksaku untuk ikut ngebak bersamanya. Maka satu-satunya cara pembalasanku terhadap Oman untuk saat ini adalah melaporkannya kepada Ceu Nani, ibunya, bila kuketahui ia sedang ngebak bersama para anak buahnya. Ceu Nani memang paling tidak suka melihat anaknya berarung jeram di sungai hanya dengan menggunakan sebuah ban.

    "Hayang paeh sia ngebak di walungan?" (Mau mati kamu ngebak di sungai?) Ceu Nani memaki habis-habisan anak bungsunya sambil menggebotinya dengan sapu lidi.

    "Ampun Ma!" Pekik Oman ketakutan.

    "Arek ngebak deui moal?" (Mau ngebak lagi enggak?) Amarah Ceu Nani lagi memukul kuat-kuat.

    "Ampun! Ampun!" Oman mengiba.

    Rasanya cukup puas juga melihat Oman ketakutan dipukuli oleh ibunya yang sangat keras terhadapnya. Tetapi untunglah Ceu Nani tidak pernah menceritakan kepada Oman bahwa akulah yang telah melaporkannya. Bila Oman sampai mengetahui hal ini bisa runyam urusannya. Mungkin aku tidak gentle dalam menghadapi Oman. Tetapi untuk menentangnya secara frontal pun kekuatanku tidak seimbang. Aku hanya didampingi Teguh yang siap membantuku melawan Oman. Sedangkan Oman, dia adalah raja berandalan seantero Cimanggu. Semua anak nakal se-Cimanggu pun mengagung-agungkan namanya sebagai sang raja skandal. Sudah pasti aku akan dikeroyoknya lagi bila aku berani menyatakan perang terhadapnya. Satu-satunya siasat yang bagus untuk melawannya adalah dengan cara menjadi musuh di balik selimut. Memberikan kehangatan secara kasat mata namun memberikan penyerangan di balik kehangatan yang diberikan.

    Tepat di saat aku menjelang naik kelas 3 SD seluruh keluarga Bibi Ridha, Mang Wana, dan Bibi Harti pulang ke Bogor dari ranah Sumatra. Termasuk Apih Hada, Mang Rahmat, dan Mang Ega. Pasalnya mama meminta tolong kepada Mang Dicky dan Mang Wana untuk membantu membangunkan rumah kami di Cimanggu. Tekad mama sudah bulat untuk tinggal menetap menjadi warga Cimanggu. Cimanggu memang tanah kelahiranku. Dulu aku dilahirkan di rumah Umi Wati setelah mama diusir oleh Abah Kurdi, kakekku, ayah dari ayahku.

    Betapa sebuah momen yang sangat membahagiakan bisa melihat berkumpulnya keluarga besar kami seperti ini. Mang Wana datang dari Aceh membawa Ratih anak pertamanya dan Bibi Sarinah istrinya. Bibi Ridha dan Mang Dicky pulang dari daerah yang sama dengan keluarga Mang Wana, membawa Dian anak semata wayangnya, Mang Rahmat, Mang Ega, dan Apih Hada beserta Umi Uun, istrinya. Sedangkan Bibi Harti dan Mang Haryo pulang dari Palembang membawa Ratna Manikam dan Yusuf Hidayat adik-adik sepupuku yang lucu-lucu, yang belum pernah kukenal selama ini. Suasana sangat mengharu-biru saat kami semua berkumpul karena momen ini sangat langka dan jarang terjadi dalam keluarga kami. Mama sampai bekerja mati-matian menjahitkan seragam keluarga untuk kami berfoto bersama.

    Bila ditilik dari silsilah almarhum Aki Momo kakeknya mama, lebih dari dua pertiga penduduk Cimanggu ternyata adalah masih saling bertalian erat sebagai keluarga dengan kami. Karena ditinjau dari kronologinya waktu zaman dulu ternyata banyak saudara kami yang melakukan pernikahan sesama saudara kami sendiri seperti pernikahan sepupu dengan sepupu, cucu dengan cucu, cicit dengan cicit, sampai akhirnya menjadi sebuah kampung peranakan di Cimanggu. Luar biasa hebat bukan?

    Mang Rahmat, Dian, dan Ratna masuk sekolah yang sama denganku di Bubulak. Mang Rahmat duduk di kelas empat, sedangkan Dian dan Ratna duduk di kelas satu. Mungkin sejak saat itulah aku mulai bersikap terbuka kepada teman-temanku di sekolah. Aku tak lagi menjadi anak pemurung dan penyendiri. Berkat dorongan yang diberikan oleh Mang Rahmat agar aku supel dalam bergaul, akhirnya aku mempunyai genk sendiri di sekolah. Genk lima orang cowok yang selalu kompak dan ceria. Nama genk kami adalah SEDAN, singkatan dari inisial nama kami berlima Sugih, Erfan, Dadan, Ama, dan Nico. Bila aku sedang sakit tidak masuk sekolah dan hanya tinggal berempat anggota genk kami yang terkumpul, maka nama genk kami secara otomatis berubah namanya sesuai dengan anggotanya yang tersisa menjadi genk EDAN!

    "Is, mumpung keluarga kita teh lagi pada kumpul coba kamu jemput Fariz di tempat kakeknya! Bapak ingin melihat semua cucu Bapak berkumpul jadi satu. Bapak ingin tahu siapa cucu Bapak yang paling cerdas otaknya seperti Bapak, siapa yang paling cantik seperti almarhumah neneknya, dan siapa yang paling nakal seperti Apih Ahmad adik Bapak di Leuwiliang!" Kata Apih Hada suatu hari di saat kami sedang asyik menikmati acara kumpul keluarga.

    "Bukannya Iis tidak mau, Pak! Tapi Iis harus meminta izin dulu sama Pak Joko! Bagaimanapun Pak Joko adalah suami Iis, beliau adalah kepala keluarga di rumah ini!" Jawab mama hati-hati.

    "Pokoknya aku sudah tidak sabar ingin segera melihat semua cucuku berkumpul di hadapanku! Cepatlah kamu bicara pada suamimu itu! Bilang padanya kalau Ugih itu memiliki seorang kakak yang sekarang ini tinggal dengan keluarga kakeknya di Kalong!" Desak Apih Hada.

    Aku, Mang Rahmat, Dian, dan Ratna sedang asyik-asyiknya menikmati tayangan film Ksatria Baja Hitam yang ditayangkan RCTI.

    "Wah, ganteng banget Kotaro Minami ya, Bang?" Dian berdecak kagum memandang tokoh jagoan kami.

    Aku mengangguk mengiyakan perkataan Dian. "Abang benci banget sama Gorgom! Mereka tidak mau melepaskan Noboiko agar dapat berkumpul kembali dengan Kotaro, adiknya!" Ucapku berseru.

    "Tapi seragam yang dipakai Gorgom keren ya? Mamang pengen punya! Putih-putih semua ada kupluknya," Mang Rahmat tak mau ketinggalan berkomentar.

    "Gampang Mang, jahit aja dari kantong terigu!" Gurauku pada Mang Rahmat.

    "Haahaahaa..." =))

    Kontan Dian dan Ratna tertawa bekakakan memegangi perutnya masing-masing kegelian melihat ekspresi Mang Rahmat yang lucu ketika mencebik membalas gurauanku.

    Mama akhirnya atas seizin papa diperbolehkan mengajak kakakku untuk tinggal bersama kami. Mama membawaku turut serta ke desa kakekku dari pihak ayahku. Selama ini aku tidak pernah tahu kalau aku mempunyai seorang kakak karena mama tak pernah sekalipun menceritakannya kepadaku. Dalam pikiranku aku sangat penasaran dan teringat kisah Ksatria Baja Hitam yang kemarin sore kutonton bersama Mang Rahmat dan para sepupuku. Aku merasa menjadi seperti Kotaro Minami, kakakku Fariz seperti Noboiko, dan Abah Kurdi kakekku seperti Gorgom yang telah tega memisahkan kami.

    "Ingat ya, nanti kalau orang-orang di sana tanya siapa kamu, jawab saja kalau kamu adalah anaknya Kamal!" Mama mengajariku agar aku bisa bersikap di depan keluarga ayahku, yang kini entah di mana rimbanya.

    "Iya Ma!" Aku mengangguk paham.

    Desa yang kami tuju bernama Desa Kalong, letaknya lumayan jauh dari Leuwiliang sebelum arah ke Jasinga. Aku tidak tahu mengapa desa tersebut dinamakan demikian, dalam Bahasa Sunda kalong dapat diartikan sebagai keluang, kelelawar besar yang memiliki rentang sayap mencapai 1,5 meter dan biasanya menculik anak-anak kecil yang tidak mau pulang ke rumah saat hari menjelang petang, menurut mitos kepercayaan setempat. Aku pernah sekali melihat kawanan kalong di atas pohon besar yang ada di Kebun Raya Bogor. Ukurannya sangat besar-besar setinggi badan manusia tetapi tidak mengganggu para pengunjung. Meski tidak mengganggu tetapi tetap saja aku takut melihatnya seperti kelelawar-kelelawar raksasa yang mungkin siap menyerang kapan saja. Mungkinkah mereka itu adalah peranakan Batman?

    Dulu waktu aku masih kecil, Umi Wati sering menakutiku bahwa aku akan diculik oleh kalong bila aku tidak mau pulang ke rumah saat adzan maghrib berkumandang.

    "Ayo pulang, Gih! Diculik kalong baru tahu rasa kamu nanti!" Himbau Umi Wati.

    "Ugih takut, Mi!" Timpalku buru-buru menghampiri Umi Wati.

    "Nah, kalau kamu takut, kamu ikut pergi sembahyang sama Aki ke mushala ya, biar kalongnya pergi!" Bujuk Aki Eben menuntun tanganku.

    Aku memang cucu yang patuh kepada Umi Wati dan Aki Eben, sekalipun aku bukanlah cucu dari anak-anak mereka. Tetapi karena Umi Wati adalah adik dari mendiang Umi Titi, nenekku, aku tetap cucu mereka juga kan?

    Tanpa kusadari akhirnya aku dan mama telah tiba di perkampungan Desa Kalong. Banyak warga kampung yang menoleh ke arah kami. Mungkin mereka bingung melihat orang kota seperti kami datang berkunjung ke kampung yang mayoritas penampilan penduduknya masih jauh dari kata gaul dan trendy. Sementara penampilanku dan mama sangat berkelas layaknya keluarga bangsawan terhormat.

    "Anak itu kok sangat mirip si Kamal waktu kecil ya?" Terdengar suara seseorang berdesas-desus dengan tetangganya.

    "Eh, iya benar! Enggak salah lagi mirip banget sama si Kamal pas masih SD!" Respon tetangganya kepada si pendesus pertama.

    "Apa jangan-jangan Kamal ngehamilin anak orang lagi ya? Lantas sekarang ibunya mau minta tanggung jawab!" Si pendesus pertama menduga-duga.

    Kulayangkan pandanganku ke sekeliling orang-orang yang memandangi kami. Seorang anak yang sedang menimba air sumur, kepalanya sampai tertimpa ember gara-gara takjub memandang ke arahku. Rata-rata kulit anak kampung sangat kucel, dekil, dan lecek. Mereka bahkan hampir tak mengenal alas kaki ke manapun mereka melangkah.

    "Iis? Ini teh benar kamu, Iis? Istrinya Kamal tea?" Seorang lelaki menghampiri mama seraya mengembangkan senyuman.

    #Tea (Bahasa Sunda) : Itu.

    "Assalamualaikum!" Mama mengucapkan salam di depan balai-balai halaman depan rumah yang kami tuju.

    Rumahnya sangat sederhana terbuat dari bilik bambu yang diberi cat biru dengan atapnya yang masih ditutupi daun rumbia pada bagian depannya dan genting oren pada bagian yang lain.

    "Waalaikumsalam!" Sahut orang serumah serentak.

    "Saya memang Iis Kang Badrun! Kumaha damang?" Mama menyalami laki-laki yang menegur mama tadi, dan ternyata beliau adalah uwakku (pakde) kakaknya ayahku.

    #Kumaha damang (Bahasa Sunda) : Bagaimana sehat? (Apa kabar?)

    "Gih, salami semua orang di sini!" Titah mama halus setelah mama menyalami satu-persatu orang-orang yang menyambutnya.

    Aku patuh akan perintah mama dan berusaha bersikap sopan kepada mereka semua.

    "Masya Allah! Benar kan Bah dugaan Ambu, ini teh gak salah lagi memang anaknya si Kamal, cucu kita!" Seorang wanita tua merengkuh tubuhku ke dalam pelukannya.

    "Nama kamu siapa, Jang?" Tanya wanita tua itu padaku kutaksir umurnya sudah mencapai 60 tahunan atau bahkan mungkin lebih. Diciuminya pipiku kiri dan kanan.

    #Jang (Bahasa Sunda) : Nak (panggilan akrab kepada anak laki-laki).

    "Sugih!" Jawabku singkat tapi kalem.

    "Naha Iis, anak kamu teh tidak diberi nama Arga?" Tanya wanita tua itu berbalik pada mama.

    #Naha (Bahasa Sunda) : Kenapa?

    "Biar tidak hidup susah, Ambu!" Jawab mama singkat.

    Tetapi aku mempunyai persepsi yang berbeda dengan mama. Jika aku yang ditanya oleh wanita tua itu, aku akan menjawab seperti ini :

    "Sugih itu memiliki makna 'SUKA MENAGIH'! Aku datang ke mari untuk menagih pengakuan dari kalian! Awas kalau sampai kalian berani berhutang kepadaku, apalagi sampai berhutang uang akan terus kutagih kalian sepanjang hidupku!"

    "Hampura Ambu, Iis! Dari awal Ambu sudah yakin kalau kamu teh tidak pernah berselingkuh dengan lurah sedeng itu!" Wanita tua itu menghamburkan diri ke dalam pelukan mama. Air matanya menitik setetes demi setetes.

    #Hampura (Bahasa Sunda) : Maafkan!

    "Hampura Ambu ya, Is! Hampura pisan!" (Maafkan Ibu ya, Is! Maaf sekali!) Wanita tua itu menyandarkan kepalanya di bahu mama sambil menyusut air matanya dengan ujung kain tiung yang dipakai di kepalanya.

    "Entos Ambu! Iis tas ngahampura!" (Sudah Ibu! Iis sudah memaafkan!) Ucap mama tulus.

    "Tingali Abah! Meuni kasep kieu incu urang, bageur deui! Meuni persis jeung si Kamal keur leutik nya, Bah?" (Lihatlah Abah! Sangat cakep begini cucu kita, baik pula! Sangat mirip dengan si Kamal waktu kecil ya, Bah?) Wanita tua itu membelai-belai kepalaku.

    Baru kutahu kalau wanita tua yang menyebut dirinya sebagai Ambu itu adalah nenekku, ibu dari ayahku.

    "Ka dieu, Cu! Ka dieu, Abah hoyong meluk!" (Ke sini, Cu! Ke sini, Abah ingin meluk!) Ucap Abah Kurdi kepadaku.

    Aku berjalan mendekat kepadanya patuh penuh tata krama.

    "Ya Allah, Cu! Hampura Abah entos miceun hidep salami ieu! Abah asa dosa pisan tas nalantarkeun incu Abah nyalira!" (Ya Allah, Cu! Maafkan Kakek sudah membuang kamu selama ini! Kakek merasa dosa sekali sudah menelantarkan cucu Kakek sendiri!) Dibelainya rambutku penuh kasih sayang yang tulus.

    Tutur kata dan pelukan Abah Kurdi seakan menyimpan kerinduan yang dalam kepadaku disertai penuh penyesalan.

    "Abah, Ambu, punten sateuacanna, maksad Iis ka dieu teh bade mendakan Fariz. Iis hoyong pisan keumpeul sareng putra-putra Iis!" (Abah, Ambu, mohon maaf sebelumnya, maksud Iis ke sini mau menemui Fariz. Iis ingin sekali berkumpul dengan putra-putra Iis!) Tutur mama mengutarakan maksud kedatangannya.

    Abah Kurdi manggut-manggut. Tanpa diminta dua kali Abah Kurdi langsung menyuruh Wak Badrun untuk menjemput Aa Fariz yang sedang bermain layangan di lapangan. Tak menunggu lama seorang anak pun muncul ke hadapan kami berlari terburu-buru bagai sedang memburu harta karun yang selama ini terkalang dari pandangannya. Penampilannya sangat lusuh, kulitnya terbakar sinar matahari, mata dan rahangnya sangat mirip Apih Hada, tetapi secara keseluruhan fisiknya sangat mirip dengan Mang Ega.

    "Fariz, ieu Mama!" (Fariz, ini Mama!) Mama bangkit berdiri menghamburkan diri memeluk Aa Fariz.

    Aa Fariz menangis sejadi-jadinya. Betapa ia sangat merindukan ibu kandungnya selama ini tanpa pernah tahu di mana keberadaan kami selama ini. Delapan tahun tidak bertemu, membuat hati mama dan Aa Fariz semakin pedih mengingatnya.

    "Mamaaaaa..... Fariz sono pisan ka Mama! Fariz nyaah ka Mama! Fariz alim kaleungitan Mama!" (Mamaaaaa..... Fariz kangen banget sama Mama! Fariz sayang sama Mama! Fariz nggak mau kehilangan Mama!) Ucap Aa Fariz lirih.

    "Enya Mama oge sami! Mama deudeuh pisan ka Fariz! Mulai ayeuna Fariz ngiring sareng Mama nya?" (Iya, Mama juga sama! Mama sayang banget sama Fariz! Mulai sekarang Fariz ikut sama Mama ya?) Tutur mama begitu lembut mengusap kedua pipi Aa Fariz yang basah oleh air mata penuh kerinduan yang membuncah.

    "Riz, ieu Sugih, adi Fariz!" (Riz, ini Sugih, adik Fariz!) Mama menarik tanganku untuk merapat ke tubuhnya.

    Aa Fariz serta-merta memeluk tubuhku erat, "Dede, Aa nyaah ka Dede!" (Dede, Kakak sayang sama Dede!) Dikecuplah keningku oleh Aa Fariz.

    "Basa Mama nuju hamil keneh, Fariz kan sok ngusapan si Dede dina patuangan Mama!" (Waktu Mama masih sedang hamil, Fariz kan suka mengusap si Dede dalam perut Mama!) Tutur mama mengingatkan.

    "Muhun, Ma!" (Iya, Ma!) Sahut Aa Fariz lemah. Suaranya terdengar terisak sangat sedih penuh haru bercampur bahagia.

    Mama memeluk tubuh kami seperti induk ayam yang melindungi anak-anaknya dalam rentang sayapnya.

    "Mulai ayeuna urang keumpeul sarerea!" (Mulai sekarang kita kumpul bersama-sama!) Pelukan Mama terasa hangat di tubuh kami.

    Hatiku benar-benar bahagia, begitu pula dengan perasaan Apih Hada bisa melihat semua cucunya berkumpul. Tak ada momen terindah dalam hidup selain berkumpul bersama keluarga.

    Sudah lama rasanya aku tidak pergi bermain ke luar rumah. Sejak kedatangan keluarga besarku dari Sumatra, aku lebih banyak menghabiskan waktuku bersama para sepupuku di rumah. Rasanya sekarang aku sangat rindu kepada teman-temanku : Teguh, Anton, dan Ryan.

    "Hai Ryan, sudah lama ya kita tidak main bersama? Kita main panah-panahan yuk!" Ajakku pada Ryan.

    "Eh, Gih, kebetulan aku juga sedang main nih!" Ryan tersenyum hangat kepadaku.

    Ryan kalau sedang tersenyum matanya terpejam karena dia memiliki mata yang sipit seperti orang China. Tetapi dia bukan orang China. Dia asli orang Bogor sama sepertiku. Rambutnya kriwil sama seperti kakaknya yang bernama Sari. Kulitnya putih sehingga menyebabkan banyak orang mengira kalau dia asli keturunan China. Ibunya seorang perawat di RSJ Cilendek. Sedangkan ayahnya seorang manajer keuangan di sebuah hotel ternama di Kota Bogor.

    "Oya? Main apa?" Tanyaku seraya membalas senyumannya.

    "Ssst... Aku sedang bermain petak umpat!" Ryan memberi isyarat telunjuk di depan bibir.

    Seketika itu pula kukatupkan bibirku agar jangan bersuara. Ryan menarik tubuhku untuk ikut jongkok bersamanya di balik semak belukar setinggi bahuku.

    "Ryan, aku tahu kamu di sini!" Terdengar suara seseorang mendekat.

    Bukan suara Oky dan bukan pula suara Anton! Apalagi suara Oman! Suara itu terdengar sangat asing di telinga.

    "Yah, ketahuan deh!" Ryan keluar dari persembunyiannya.

    Aku turut bangun bersamanya. Kupandangi pemilik suara yang memanggil Ryan tadi. Eeh... Siapa dia? Mataku terbius untuk mengagumi ketampanannya. Tubuhnya tinggi ramping sepertiku tetapi dia memiliki kulit yang lumayan putih menyaingi putihnya kulit Ryan. Rambutnya sedikit ikal dengan belahan belakangnya lurus, hitam legam. Anehnya aku merasa seperti pernah berjumpa dia sebelumnya. Tapi di mana ya?

    "Adi..." Tiba-tiba saja mulutku menyebutkan nama itu.

    "Adi?" Ryan mengernyitkan kening. "Oh ya Gih, kenalin nih temanku yang baru saja pulang dari Filipina namanya Ary!"

    "Ary Wibowo!" Anak laki-laki itu mengulurkan tangannya padaku.

    Ary Wibowo? Kok namanya sama dengan nama aktor beken yang sedang naik daun itu ya? Aktor yang sering kupantengin di RCTI dalam film Keluarga Van Danu Wiryo! Tetapi kesadaranku mulai pulih, aku sedang mengalami De Javu untuk yang kedua kalinya. Sosok yang kulihat kali ini jauh lebih mirip dengan sosok Adi yang sesungguhnya. Adi Cakra yang dulu pernah kusukai. Bagaimana bisa segala kebetulan ini terjadi? Alisnya, rahangnya, dagunya, hidungnya, bibirnya, postur tubuhnya, hampir semua yang ada pada dirinya mirip dengan Adi, pangeran impianku ketika kecil. Hanya sedikit perbedaan yang dapat kutemukan, kulit Adi tidak seterang kulit Ary, makhluk yang sedang berdiri di depanku kini. Rambut Adi juga tidak ikal seperti Ary Wibowo ini.

    Kubalas uluran tangannya dengan perasaan kebat-kebit tidak menentu, "SUGIH!" Ucapku menyebutkan namaku.

    Hey, tidakkah pada De Javu sebelumnya orang yang mirip Adi itu bernama Ary? Lalu apakah ini juga suatu kebetulan yang tidak terduga kalau nama anak ini juga Ary? Mengapa Ary dan Ary ini bisa mirip dengan orang yang sama? Atau apakah kemiripan mereka itu hanya sebuah ilusi? Mungkinkah aku terlalu merindukan sosok Adi dalam hidupku? Tuhan, aku galau!

    :::::::Tunggu saja kelanjutannya!:::::::
  • waaaahh bionya bang sugih... ehmm kira2 namaku bakalan tercetak gak ya di episode2 berikutnya #eeh hehehe

    Waaaa Bang Poe ke mana aja? Puluhan kali aku mention Abang di ceritaku tapi gak pernah kasih respon.. :(

    Nanti pasti nama Abang bakal kutulis sebagai mantannya Renly teman² gay pertamaku di dunia maya, hahaha...

    Bang, ko manggil aku Abang? Tua siapa ya kita? Katanya Hyung @inlove mau married ya? Aduh, aku senang sekaligus sedih. Senang karena akhirnya dia bahagia menikmati hidup baru, sedih karena dia mungkin gak bakalan ke sini lagi, hiks :(

    Hahaha tuan abang, tp panggilan mu 'bang sugih' dah jd trend ya ikut2 aja hehehe... Ada baca kok mau komen suka bermasalah skrg BF nya.. Makanya lebih banyak diam ajaa... Hahaha mantan nya renly? Aw aw aw..

    Ay.. ay.. ayo ngaku, apa kalian balikan lagi Bang?

    nggak lah, tuh dah cerita lama banget gih.. pasca dengan renly, abang gonta ganti 4 orang #upsssss

    Wes, mantap deh Bang, sama aku gak pernah ya Bang.. haha.. :D
  • @balaka mukaku boros ya? tua banget ya?
  • @hananta yang di page 12 lebih jelas

    @Zazu_faghag ya dulu saya sering ditinggal Mbak, tapi itu membuat saya tumbuh menjadi pribadi yg dewasa dan tidak manja.

    @TigerGirlz Oman memang bebal tapi bandel. Dia tidak naik kelas 2x dan sering berulah di manapun berada. Makanya dia dikeluarkan oleh pihak sekolah.

    @Agova iya keluarga kami memang keras karena Apih Hada mendidik kami dengan cara militer.

    @diditwahyudicom1 please jangan hanya menjadi silent reader, aku akan semakin sayang kalau kamu menjadi komentator setiaku :)

    @Just_PJ di sini aku Bro, di mana kamu?
  • Jd ikutan mewek pas adegan Fariz ketemu Mamanya. Mantap kang Sugih :)
  • Omeigoott..
    Cibungbulang, Cibatok, Leuwiliang, Taman topi..
    Kampung gedong ga ada yah kang?
    jangan2 dulu aku prnh ketemu si akang..
    waktu kecil bnyk ngabisin waktu di Bogor soalnya..
    ato mgkn tetanggaan? huuwwaaaa..

    Nice kang. baru sampe page 9. tp pas baca bikin sesak bgt. ada kesel, marah jg. tp penyampaian true story-nya bagus kang @HidingPrince
Sign In or Register to comment.