It looks like you're new here. If you want to get involved, click one of these buttons!
Copyright 2021 Queer Indonesia Archive. See our Privacy Policy. Contact us at [email protected]
Dengan menggunakan situs ini berarti Anda setuju dengan Aturan Pakai.
BoyzForum.com adalah situs anti pedofilia!
Comments
hehe.. thx ya koreksinya.
soalnya semalem buru2 ketik pas dpt ide. trus tanpa editan langsung dengan PD nya posting..
iya. lg nyusun TA ini.
klo kamu?
@zeva_21 nanti di jelasin kok ttg sahabat masa kecil Alfi.. d tunggu aja ya..
Gaya menulisnya mengingatkanku ke ardhinansa
@Cruiser79 hehehe... ketauan deh klo aku suka pake banget baca manga jepang. aku mang manga freak mas.. thx y udah baca..
@inlove matur suwun sangat y mas udh baca. iya tah..? sopo iku mas?
oohh.. gitu toh.. ndak kenal aku mas.. jujur aku kenal Situs ini udh agak lama. tapi hampir ga prnh buka. baru mulai buka awal tahun ini. ternyata aku udh ketinggalan jauh.. berasa habis bertapa di gunung trus terbengong-bengong ngeliat kota.
baru tau ada situs yg muat cerita2 keren disini.. *Silly-me-yah..?
aku lbh sering jd silent reader en blom berani bikin akun dsini. tp kok ya malah semakin baca cerita (khususnya yg udh tamat), malah tergelitik untuk bikin cerita sendiri..
so.. here i am.. memberanikan diri dengan sok PD nya memposting cerita.. #tepoktepokprokprok #PLaaakk.. heehe..
waduh.. maaf nih mas @inlove jd curhat.. hehehe..
“Dalam hidup itu kita harus banyak-banyak bersabar dan harus selalu bersyukur nak. Kalau tidak begitu, itu artinya kita tidak tahu berterimakasih sama Gusti Allah. Kamu ngerti toh nak?”
“injeh bu Rei paham”
Ibuku selalu mengingatkan hal-hal seperti itu kepadaku semenjak aku kecil. Ibu bilang hidup penuh syukur itu akan membawa kedamaian dihati daripada kita kufur yang membawa kepada penyakit-penyakit hati. Kami, memang bukan orang kaya dan berada. Kami dari keluarga sederhana. Tapi pelajaran-pelajaran hidup telah menempa kami menjadi pribadi yang tangguh. Petuah-petuah ibu selalu bisa membuatku tenang dan menyikapi segala hal dengan penuh tanggung jawab.
Pernah ibu berkata, hiduplah untuk hari ini. Jangan pernah menunda suatu kebaikan. Karena menyesal kemudian hari tiada guna. Dan itulah yang kupegang dan selalu kulaksanakan hingga sekarang.
Aku selalu menjalani hidupku sebaik-baiknya. Paling tidak mencoba untuk selalu lebih baik dari hari kemarin. Karena itulah aku belajar dengan tekun. Apalagi kalau bukan untuk meraih cita-cita. Selain itu, melihat usaha bapak dan ibu berusaha agar aku mendapat pendidikan yang layak, aku merasa tidak pantas dan berguna jika mengecewakan mereka.
Cita-citaku sederhana. Tidak muluk-muluk pula. Hanya ingin berguna bagi bapak dan ibu. Sekolah yang baik. Mendapat pekerjaan yang layak. Dan hasilnya ingin kupersembahkan hanya untuk mereka. Karena aku anak tunggal. Tiada lagi yang bisa membahagiakan mereka selain aku.
“kamu jangan terlalu khawatir sama ibu bapakmu toh le.. kebahagiaan kamu adalah semangat dan kebahagiaan kami le.. jadi kamu sekolah saja yang rajin le.. biar bapakmu ini yang mencari nafkah untuk keluarga kita..”
Kata-kata itu diucapkan bapak ketika aku mengemukakan pendapat untuk kerja membantu mereka. Bukan apa-apa. Aku hanya tidak tega melihat bapak yang kerja serabutan sebagai kuli bangunan proyek. Bapak adalah pekerja borongan. Jadi jika tawaran pekerjaan datang dia baru mempunyai ‘rutinitas’.
Sedang ibu, menjual nasi uduk dan lauk masak dirumah. Ibu harus bangun pukul 3 pagi untuk menyiapkan semua. Dan siangnya ibu menerima orderan cuci setrika dirumah-rumah tetangga. Namun, pekerjaan ibu mencuci dan menyetrika sudah tidak dilakukannya sejak aku mendapat beasiswa penuh ketika masuk SMP.
Bapak dan ibu memang jarang marah kepadaku. Hampir tidak pernah malah. Dan ketika aku mengutarakan niat membantu mereka sebagai loper koran, mereka marah. Tidak benar-benar marah sebenarnya. Tetapi mereka paling tidak suka jika aku memusingkan hal lain selain sekolah. Mereka selalu menentangnya. Mereka mengatakan fokusku hanya sekolah yang rajin. Karenanya aku belajar sekeras yang kubisa agar tidak membuat mereka kecewa.
Aku memang tidak jenius. Semua kepintaran yang kudapatkan adalah hasil kerja kerasku belajar yang rutin kulakukan. Aku membuat jadwal belajarku sendiri. Agar nilai-nilaiku bisa selalu baik. Jika usaha dan kerja kerasku dinilai jenius oleh orang lain yang melihat nilai-nilaiku yang nyaris sempurna, maka aku jenius dalam hal usaha dan kerja kerasku.
Ibu dan bapakku sangat senang dan bangga dengan segala prestasiku tersebut. Mereka berkata segala hal yang mereka perjuangkan terbayar lunas dengan prestasi yang kuraih. Jujur, aku memang selalu juara kelas dari kelas I. Dan ketika aku kelas V SD, aku mulai mendapat beasiswa prestasi dari sekolah. Sampai sekarang aku SMA.
“Jangan selalu pasang tampang serius gitu toh nak.. sesekali senyum ndak bikin nilai kamu turun toh nak..” kata ibu sewaktu aku naik kelas VI dulu.
Aku memang jarang tersenyum dulu. Karena keseriusanku untuk meraih nilai sempurna. Tekadku untuk membahagiakan orangtuaku membuatku terlalu serius untuk belajar.
“Nak.. kami bangga dengan kamu. Ibu sangat bangga punya anak pintar seperti kamu. Tapi nak, kalau kamu tidak menikmati masa-masa kecilmu degan bermain dengan teman-temanmu, ibu merasa terlalu menuntutmu. Sekali-kali bermain ndak salah kok nak. Kamu berhak menikmati masa-masamu bermain dengan teman-temanmu. Dan jangan lupa tersenyum nak. Senyum itu ibadah. Ibu kangen sama senyum manismu itu.” lanjut ibu sambil mengelus kepalaku.
Memang, aku jarang bermain dengan teman-temanku agar nilai-nilaiku terjaga. Sehingga aku terkesan sombong dan menjauh dari mereka. Tapi tersenyum? Hmm.. mungkin memang aku jarang tersenyum lebar. Hanya sekedarnya saja.
Kata-kata ibu menyadarkanku. Kalau didunia ini hidup tidak hanya berkutat disekitar kita saja. tapi juga ada orang lain di dalamnya. Mungkin aku terlalu apatis dulu. Sejak itu aku berubah. Lebih santai dan tidak terlalu ngoyo dalam menjalani hidupku.
Pun dalam kehidupan pendidikanku. Walau tidak terlalu memforsir untuk selalu berkutat dengan buku. Tapi belajar tetaplah prioritasku.
Sejak kelas VI itu aku menjadi pribadi yang (bukan berbeda tetapi) berkembang. Aku mulai membuka diri pada orang lain. Tidak lupa aku selalu memasang senyum diwajahku. Bukan apa-apa. Ini termasuk wujud syukurku kepada Allah SWT yang telah menganugerahiku dengan otak yang encer dan memberi orang tua yang sangat baik padaku.
Sejak aku membuka diri itu aku banyak mendapat teman. Tapi tidak ada yang terlalu akrab denganku. Entahlah. Mungkin ada yang salah didiriku. Karena aku tidak pernah memberi kesempatan pada orang lain untuk masuk lebih dalam dan mengenalku. Mereka pun tidak pernah ada yang berusaha lebih jauh untuk menjadikan aku sahabat mereka.
Ketika sampai aku diterima di SMA yang bertaraf internasional ini. Hanya satu saja yang menarik perhatianku untuk menjadikannya sahabatku. Cuma satu. Hanya dia. Untuk dia. Aku berusaha menjadi sahabatnya.
Siapa tidak mengenal sosok sang Ice Prince. Dia adalah legenda hidup tentang apa itu yang dimaksud dingin sejati. Sejak SMP dulu dia sudah mengokohkan namanya dijajaran mahluk-mahluk paling populer tanpa sedikit pun berusaha untuk itu.
Nilai-nilainya yang selalu sempurna. Dan tingkah dingin anehnya yang menggoda hasrat untuk menjinakkannya. Mungkin Dia tak tahu dan tidak terlalu peduli tentang itu. tapi percayalah, satu sekolahan ini tahu siapa Dia.
Entahlah, ada perasaan yang seolah bertaut dengan anak itu. sejak pertemuan pertama kami di ruang musik. Hatiku tergugah dengan permainannya.
Permainan yang mengingatkanku kembali ke masa dulu. Masa ketika tahun umurku menginjak 10. Permainan piano yang menjerat hati, menyayat dan merobeknya hingga meninggalkan kesan yang menganga. Permainan yang selalu ku dahaga. Permainan dari seorang Alfi Hassan Alatas. Hanya dia, Cuma dia, untuk dia, aku rela berusaha. Menjadi sahabatnya.
*
*
Kembali ke pertemuan pertama kami dan kepada kejadian setelah Alfi selesai memainkan Puppy of Waltz by Chopin.
Sejak denting awal pertama telingaku terpenjara. Tak ada suara lain yang boleh masuk kecuali alunan pianonya. Ketika twist setelah intro awal, hatiku terjerat nafasku tersekat jantungku berdetak diluar batas biasa. Aku terperangkap dalam jaring-jaring alunan pesona gelap yang pekat, suram dan melimbungkan.
Otakku dan sanggup mencerna. Bagaimana bisa lagu ceria, diubah atmosfirnya bahkan dari awal simfoni pertama. Seakan-akan menceritakan kesedihan yang tak kunjung usai. Membuat frustasi dan depresi. Walaupun sekuat hati menolak mendengarkan, namun apadaya, tiada kuasa untuk lepas dari jerat denting piano dari neraka. Semakin berusaha, semakin keras nada itu terngiang.
JREEENNGGGG JREEEENNNGGG..
Selesailah sudah. Semua berakhir. Hati tersadar, otakku berputar. Jantungku berdebar normal. Nafasku tidak lagi tertahan.
Dia bangkit dan menoleh kearahku. Melihatku dengan tatapan aneh.kemudian diangsurkannya saputangan kepadaku. Aku tidak mengerti maksudnya. Hanya bisa terheran saja. kemudian dia mendekat. Semakin dekat. Dan tangan kanannya meraih ke arah wajahku. Diusapnya pipi kananku. Hanya sedetik. Namun dalam satu detik itu. detik yang selalu kuabadikan itu. hatiku terjerat.
Pernahkah kau merasakan es yang terasa Hangat? Jika belum, raihlah tangan Alfi. Yup, benar. Raihlah tangan Alfi. Siapa sangka seorang Ice Prince yang sedingin kutub selatan mempunyai tangan yang hangat seperti itu? hangat sekali. Saking hangatnya membuat wajahku bersemu merah. Sangat merah kurasa. Karena aku merasakan panas yang menguar dari wajahku. Apa ada diantara kalian yang kedinginan? Mari mendekat kewajahku. Sepanas itulah yang kurasa.
Belum pulih pikiranku dari sentuhan awalnya. Dia meraih tanganku dengan tidak sabar dan memberikan sapu tangannya. Aaahh.. Sentuhannya yang kedua..
Sudahkah aku berkata hatiku terjerat? Nah, aku tambah. Tolong dicatat. Di Stabilo tebal kalau bisa. Hatiku terpikat sejak sentuhan pertama.. (Blushing)
*
*
Seperti yang sudah diceritakan diawal pula. Ketika bubar sekolah, aku mendekatinya.
“Hmm.. Anuu.. Ituu.. hmm..” karena gugup aku tergagu.
“...” Alfi memandangku tajam. Aku segera menundukkan kepala. Wajahku memanas. Semburat merah itu keluar lagi. Tidaakk.. memalukan gerutuku dalam hati.
“Ituu.. hmm.. sa.. sa.. saputangannyakupinjamdulu” akhirnya berhasil juga kukatakan. Legaa.. Walau terdengar cepat. Sangat cepat malah. Seolah keberanianku untuk mengutarakan maksudku harus segera kuucapkan sebelum menguap pergi.
“...” Alfi hanya menaikkan satu alisnya dan menatapku intens.
“... sapu tangan yang.. yang tadi kamu pinjamin.. aku.. aku pinjam. Akan kucuci dulu sebelum kukembalikan..” aku akhirnya menjelaskan maksudku dan membalas tatapannya dengan sukses. Yes. Tepuk tangan untukku. #prokprokprok.
“Oke” katanya. “ada lagi?” hah? Apa yang lagi? Aku terdiam. “Permisi” katanya mengakhiri percakapan kami. Tidak.. tidak.. jangan pergi dulu.. aku.. aku..
“By the way Aku Rei..” kataku akhirnya. Sambil mengulurkan tanganku. Aku ingin kami secara resmi berkenalan. Karena walau kami satu kelas. Ruang musik itu saksi pertemuan dan interaksi pertama kami.
“...” Alfi terdiam mengamati sosokku.
Aku masih saja mengulurkan tanganku. Dan membalas tatapannya tanpa ragu. Sambil tersenyum aku memiringkan kepalaku dengan satu alis kunaikkan. Heran, kenapa dia belum menyambut uluran tanganku. Senyum selalu kupasang. Mengatasi kegugupan dan degup jantungku. Entah kenapa...
Akhirnya diulurkan tangannya kearahku. “ Alfi” katanya singkat. diraihnya telapak tanganku. Haaaaaahhhh.. Tiiiddaaaakkkk... Wajahku memanas lagiiiii.. Ternyata tangan sang Ice Prince memang hangaaattt.. sehangat wajahku.. Ya Allah ada apa denganku?
“Aku tahu..” jawabku akhirnya berhasil memantapkan tekadku.
“Siapa yang tak kenal Alfi Hassan Alatas si Ice Prince yang termahsyur. Bahkan dari mulai senior kelas XII kenal sama kamu. Kayaknya satu sekolah deh kenal sama kamu” Lanjutku sambil tetap berlindung dibalik senyumku. Kenapa dengan dag dig dug ini? Haaaahhh..
Akhirnya dibalas kata-kataku hanya dengan anggukan. Dikeluarkannya pandangan ‘menyingkir aku mau pulang!’ kepadaku.
Dengan cepat aku sadar dan menyingkir dari hadapannya. Dengan sedikit buru-buru diseret langkahnya keluar kelas. Seperti tidak rela, tanpa sadar aku berteriak.
“Terima kasih sapu tangannya dan mulai sekarang kita berteman..” teriakku.
Berteman. Apakah memang hanya berteman? Atau aku ingin mengenalnya lebih jauh? Dag dig dug dihati ini masih terasa oleh hangat lembut sentuhan pertamanya. Cuma berteman? Tidak lebih? Tapi degup janjung ini? Dag dig dug ini? Bagaimana? Mengapa? Haaaahhh.. hatiku mulai dipenuhi kata-kata penuh tanda tanya.
Aaaahhh.. Entahlah..
yang nitip.. yang nitip.. #HaLah..
@bayumukti
@titit
@tarry
@angelsndemons
@alvaredza
@TigerGirlz
@Zazu_faghag
@arifinselalusial
@FransLeonardy_FL
@haha5
@fadjar
@zeva_21
@YogaDwiAnggara
@inlove
@raka rahadian
@Chy_Mon
@Cruiser79
jangan lupa kacang sm kripiknya ya guys..
buat yg silent reader.. kita dulu sama.. aku jg dulu cm berani baca. ga berani komen.. but.. thx y yg udh baca.. siapapun anda..
kusungkurkan terima kasihku buat kalian yang udh nyempetin baca. domo arigatou guzaimasu.. hatur nuhun nyaaa..
#CiumDuluAah :-*
Yg penting lanjoot terus