BoyzForum! BoyzForum! - forum gay Indonesia www.boyzforum.com

Howdy, Stranger!

It looks like you're new here. If you want to get involved, click one of these buttons!

Selamat datang di situs Boyzforum yang diarsipkan oleh Queer Indonesia Archive. Forum untuk komunitas gay Indonesia yang populer ini didirikan pada tahun 2003, dan ditutup pada tanggal 15 Desember 2020.

Forum ini diabadikan untuk kepentingan sejarah. Tidak akan ada konten baru di forum ini. Silakan menikmati forum ini sebagai potongan dari sejarah queer Indonesia.

Rayan dan Fauzan

191012141519

Comments

  • Disonoh udah update,, disinih belom XD
  • Disonoh udah update,, disinih belom XD

    lagi gue edit bang
  • Fan disini,blum,update ya???
  • kimo_chie wrote: »
    Fan disini,blum,update ya???

    blm kelar di edit. tau sendiri banyak typo di postingan ke 8 diblognya rendi
  • DITUNGGU KELANJUTANYYA YAHH MASSS
    BIKIN PENASARANNNN EUIIII
  • Whot Happen???

    Terkadang, kita harus nampar seseorang agar orang tersebut tahu kebenaran yang harusnya dia sadari dari dulu. kata-kata Helmi kemarin terus terngiang di dalam kepala Rayan.
    Waktu dan Fauzan yang akan ngebuat lo sadar, apa yang seharusnya lo kejar dari dulu, Ray, kebahagian itu urusan hati, dan pondasi hati itu bukan norma-norma yang berlaku, jadi jangan takut patah hati cuman karena cinta lo nggak sesuai norma yang berlaku di dunia ini, Ray, peka sedikit aja sama Fauzan, maka lo akan ngerti apa maksud dari omongan gue yang panjang ini. Rayan menangkupkan ke dua tangannya ketika suara Helmi bergaung kembali di dalam kepala Rayan.
    Rayan menggeleng-gelengkan kepalanya, mengusir semua kata-kata dari Helmi yang sekarang tersugestikan ke dalam benak Rayan.
    Rayan membakar rokoknya, mengembuskan asap rokok yang telah ia hisap dengan kasar.
    Ray, kebahagian itu urusan hati, dan pondasi hati itu bukan norma-norma yang berlaku, jadi jangan takut patah hati cuman karena cinta lo nggak sesuai norma yang berlaku di dunia ini
    .
    “Fraaak! Monyettt!!!” teriak Rayan sambil menekan keras-keras rokoknya ke lantai kamar.
    Suara Daniel Powter memenuhi seisi kamar Rayan, ponselnya berdering mendendangkan lagu Bad day, secepat mungkin Rayan membalikan badannya menjadi posisi tengkurap lalu matanya menyisir tiap sudut kamarnya mencari keberadaan ponsel Rayan yang entah berada di mana sekarang ini.
    “Tukk” bunyi benda kecil jatuh.
    Rayan segera bangkit dan melihat ke bawah kasurnya, “Aduh, untuk nggak musnah nih hape” keluh Rayan sambil memungut ponselnya lalu menekan tombol hijau cepat-cepat tanpa melihat nama si penelepon.
    “Ray, lo di rumahkan? Gue ke rumah lo yeh!” suara Fauzan terdengar lantang dari dalam ponsel Rayan.
    “Iya, di mana lagi emang gue?” balas Rayan pura-pura malas menanggapi telepon dari Fauzan.
    “Makanya punya pacar, minimal gebetan deh” kikik Fauzan di sebrang sana.
    “Hidup lo kayaknya nggak bermutu banget yak sampe harus ngurusin hidup gue” balas Rayan yang kini terbakar emosi.
    “Ha.. ha.. gue ke rumah lo yeh” ucap Fauzan, baru saja Rayan hendak berseru untuk mengatakan tidak namun sambungan telepon sudah terlebih dahulu diputuskan oleh Fauzan.
    “Sialan, awas aja tuh bocah, gue aniaya deh pas sampe sini.” ancam Rayan sambil melempar asal ponselnya ke atas tempat tidur.
    Guntur menggelegar, bintang yang sedari tadi menghiasi malam Sabtu yang bisa dilihat dari dalam kamar Rayan kini seperti tertelan malam. Rintik air hujan turun bersama para sahabatnya, semakin lama semakin banyak dan bersemangat, membuat beberapa air hujan menampiaskan diri melewati jendela kamar Rayan, buru-buru Rayan menutup jendelanya agar kamarnya tidak basah.
    Seketika kebosanan menyergap, melihat suasana di luar yang hujan dan kamar yang sunyi, sejumput pemikiran tentang perasaan Rayan yang sekarang sangat ambigu kembali menguat, buru-buru Rayan berteriak, lebih tepatnya bernyanyi dengan volume keras padahal lagu yang Rayan nyanyikan tidak cocok dibawakan dengan cara berteriak-teriak.
    “Aaaaaarhh... kampret, kampret, kampret!!!” Rayan membenamkan kepalanya ke bantal sambil menjatuhkan dirinya ke atas kasur. Tangan Rayan terus memukul-mukul tempat tidurnya untuk meredakan rasa kesal yang mendera hatinya.
    Bayangan Fauzan sedang tersenyum sesekali berkelebat di hati dan fikiran Rayan, begitu menguasai Rayan sekarang ini, inikah rasanya jatuh cinta? Cinta yang salah, yang mampu membuat si penderita menyangkal mati-matian perasaan yang kian lama kian berkembang dengan perlahan namun lamat terasakan.
    Rayan menutup mata dan mulutnya erat-erat berharap banyang Fauzan yang sedang tersenyum dengan amat menawan di dalam dirinya bisa hilang sekarang juga, namun bayangan itu tambah menguat dan makin membuat Rayan lemas, kenapa harus kepada Fauzan perasaan ini berkembang, karena Rayan tidak mampu menjauhi Fauzan hanya karena Rayan tidak ingin perasaan aneh ini terus menghampiri hati dan fikirannya.
    Tarik nafas, embuskan, tarik nafas lagi, lalu kembali hembuskan.
    Rayan berbaring terlentang mengatur nafasnya agar gejolak di hatinya sedikit mereda. Lagu Bad day kembali menggaung merdu, Rayan buru-buru mengangkat telepon yang berada tidak jauh dari jangkauan tangan kanannya
    “Hallo, udah sampe mana?”
    “Haah? Astaga, gue lupa, keluarga gue lagi pada pergi ke Cirebon, bentar” Rayan buru-buru bangkit dari tidurnya, menarik tuas pintunya dengan amat kasar lalu berlari tunggang langgang melewati ruang keluarga, kilat berkelebat di luar sana membuat kekhawatiran Rayan semakin memuncak, bunyi gemuruh menyusul ketika cahaya kilat mulai padam.
    “Zan!” Rayan berteriak agak keras ketika knop pintu rumahnya ia tarik, pintu terjerebak terbuka, Fauzan sedang memeluk tubuhnya sendiri sambil menggigil.
    “Masuk!!!”perintah Rayan sambil menarik tubuh Fauzan yang hampir kaku dan terus menggigil.
    “Dasar bego, kenapa nggak neduh? Dan kok lo bisa bawa motor sih? Bukannya elo nggak bisa naik motor ya?” tanya Rayan yang kesal bercampur panik.
    Rayan menyentak pintu kamarnya dengan satu hentakan, ketika terbuka Rayan bergerak ke belakang pintu kamarnya menarik sebuah handuk lalu menyelimuti Fauzan dengan cepat.
    “Lepas bajunya!” perintah Rayan lagi, nada kesal masih sangat kentara dari suara Rayan.
    Fauzan bergeming, membuat Rayan tambah panik dan emosi, bagian-bagian tubuh Fauzan mulai memerah dan sedikit bengkak, “Zan, buka bajunya!” Rayan tidak sabar menunggu Fauzan membuka bajunya sendiri, Rayan menarik kaus yang Fauzan pakai, Rayan tidak habis fikir kenapa Fauzan datang ke rumahnya menggunakan motor dan tidak memakai jaket, lalu kenapa saat hujan turun Fauzan tidak berteduh padahal Fauzan sangat alergi dingin dan Rayan tahu betul Fauzan sadar hal itu, lalu kenapa Fauzan bertindak amat bodoh seperti sekarang ini, Rayan marah bukan karena merasa direpotkan namun karena sebagian dalam dirinya hilang kendali disebabkan kekhawatiran yang menguat tiba-tiba.
    Rayan menarik nafas dalam-dalam saat hendak membuka celana dalam Fauzan, ada suara dari dalam diri Rayan yang menyerukan agar jangan membuka celana dalam Fauzan, tapi ada juga sisi dari dalam diri Rayan yang memaksa Rayan untuk membuka celana dalam Fauzan. Rasa penasaran dan—entah—kekhawatiran menyergap Rayan, jakun Rayan bergerak saat ia menelan ludahnya sendiri, saat ini momen terasa melampaui kata awkward, mencekam lebih pas disematkan ke momen yang terjadi saat ini.
    “Biar gue buka sen-di-ri” kata Fauzan sambil menutupi bagian tengah tubuhnya dengan handuk. Rayan mengangguk lalu berjalan cepat ke arah lemari di dekat jendela, Rayan mengehela nafas lega karena Fauzan bertindak di saat yang tepat, di saat Rayan merasa sangat tidak mengerti dirinya sendiri. Rayan menarik jaket abu-abu yang sangat tebal yang pernah dibeli kakak ke duanya saat bertugas di Hongkong saat musim dingin, lalu menarik celana pendek dan celana training birunya, setelah menutup pintu lemari Rayan melemparkan pakaian-pakaian yang ia ambil dari dalam lemari ke atas tempat tidur, entah mengapa Rayan merasa sungkan untuk berbalik menatap tubuh Fauzan yang mungkin masih telanjang saat ini.
    “Pakai tuh cepet” perintah Rayan.
    Rayan mengacak-acak meja belajar mencari sesuatu yang daritadi belum ia temukan, “Udah belum pakai bajunya?” tanya Rayan yang masih sibuk mencari sesuatu. “Ketemu!” seru Rayan dengan suara pelan.
    Rayan merasakan Fauzan mengangguk di belakang tubuhnya, sesegera mungkin Rayan membalik badan dan menghampiri Fauzan. Fauzan masih berekspresi kedinginan, seperti baru saja diselamatkan dari dalam bongkahan es di Antartika.
    “Duduk,” perintah Rayan sambil mendorong pelan bahu Fauzan agar tubuh Fauzan duduk di tepi tempat tidur Rayan. Dengan cekatan Rayan memeperkan minyak angin ke leher dan telungkuk Fauzan, lalu ke telapak dan punggung tangan Fauzan, Rayan menarik kaus di balik jaket yang Fauzan kenakan, “Ngapain” protes Fauzan sambil menahan tangan Rayan yang sudah dibasahi oleh minyak angin. Rayan menatap Fauzan dengan pandangan jengkel lalu menelusupkan tangannya ke balik kaus yang Fauzan kenakan, ketika kulit telapak tangan Rayan bersentuhan dengan tubuh Fauzan sesuatu yang keras dan terasa dingin menghantam hatinya dengan cepat, membuat tangan Rayan bergerak kaku di balik kaus yang Fauzan kenakan, buru-buru Rayan memeperkan minyak angin ke tubuh Fauzan.
    “Nih, lo bisa—“ Rayan tercekat, ucapan Helmi seperti terbukti sepenuhnya.
    Ray, peka sedikit aja sama Fauzan, maka lo akan ngerti apa maksud dari omongan gue yang panjang ini.
    Fauzan menatap Rayan dengan padangan yang—sangat—penuh dengan cinta, pandangan yang sangat teduh, tatapan paling sendu yang pernah Rayan terima dari seseorang, tidak perduli apa warna mata Fauzan, tatapan Fauzan kali ini benar-benar menohok, membeberkan sebuah fakta yang mati-matian Rayan sangkal. Fakta di mana Rayan merasa ia mencintai sahabatnya sendiri dan itu berlaku pula kepada Fauzan, cerita klasik di mana keakraban dua insan menguat dan pecah menjadi cinta.
    “Lo bisa pakai ini sendirikan, gue mau buat teh dulu” Rayan memberikan botol minyak angin kepada Fauzan, belum Fauzan menggapai botol yang Rayan berikan namun Rayan telah melepaskan genggamannya terhadap botol tersebut membuat botol tersebut terjatuh di antara kaki mereka, tapi Rayan tidak lagi peduli kepada botol yang jatuh tersebut, menghilang dari hadapan Fauzan saat ini jauh lebih ia butuhkan.
    Saat Rayan berhasil memutar knop pintu dengan lancang otak Rayan memerintahkan kepala Rayan utnuk menoleh ke arah Fauzan.
    SNAP.
    Pandangan mereka bertabrakan, tatapan yang paling Rayan takutkan dari Fauzan kembali ia lihat, tatapan paling sendu yang membuat hatinya serasa lumpuh seketika dari kedenialan yang selalu Rayan pertahankan, dalam hati Rayan mengutuk dirinya sendiri kenapa harus menoleh ke arah Fauzan saat hendak keluar kamar dan kembali merasakan perasaan yang Rayan anggap gila ini. Saat Rayan melangkahkan kakinya dengan amat cepat dan terburu-buru ke arah dapur ia berharap saat kembali ke dalam kamarnya Fauzan sudah tidak berada di sana dan semua kejadian tadi hanyalah mimpi belaka.
    “Anjriiit, puanas!” seru Rayan sambil mengibas-ngibaskan tangannya yang sengaja ia celupkan ke gelas berisi air panas untuk membuktikan kejadian ini mimpi atau nyata.
    Kilat kembali berkelebat, gaungan guntur dengan amat digjaya berkuasa di luar rumah, Rayan tahu, mau tidak mau Fauzan pasti akan menginap di rumahnya saat ini, apalagi besok hari Sabtu, hari di mana hanya ada ekstrakulikuler saja, jadi makruh hukumnya jika hadir atau tidak besok hari, dan di dalam rumah ini hanya ada mereka berdua, cuaca sangat menggoda dan Fauzan kedinginan.
    “Setan!” Fauzan menggelengkan kepalanya, mengusir fikiran aneh yang tadi sempat menguasainya, emangnya apa yang bakalan terjadi kalau gue dan Fauzan tidur berduaan doang di rumah pas cuaca ujan kayak gini? Batin Rayan mencoba menyangkal ribuan fikiran buruk yang siap menguasainya di kala Rayan lengah.
    SEX?
    Rayan buru-buru menarik nafas seraya menarik diri dari pemikiran gilanya, Rayan segera memegang cangkir berisikan teh hijau panas untuk Fauzan dan dirinya. Saat sampai di depan pintu kamarnya pemikiran itu kembali lolos dari kendali Rayan dan berkelebat di pikirannya. SEX?
    Rayan masuk ke dalam kamar setelah berhasil mengalahkan fikiran ngacok yang amat mesum, memangnya udah nggak ada cewek yang bisa gue pakek apa sampe-sampe kepikiran begituan sama si Ojan, najis banget nih otak! umpat Rayan kepada dirinya sendiri.
    “Minum nih, habisin, abis itu tidur!” Fauzan dengan patuh meraih cangkir yang Rayan berikan lalu meniup-niup cangkir teh yang mengepulkan asap dan menyeruputnya pelan-pelan. Rayan duduk di depan jendela yang tertutup memunggungi Fauzan lalu kembali menyulut rokoknya saat cuaca hujan, minuman hangat ditambah rokok adalah hal yang ruar biasa menyenangkan sekaligus menenangkan bagi Rayan.
    Batang rokok ke empat sekaligus batang rokok terakhir yang tersisa itu Rayan tekan ke dalam asbak, setelah itu Rayan menenggak habis teh yang kadar panasnya setakaran bayi dengan cepat.
    Rayan melihat Fauzan sudah tertidur menghadap ke arahnya, Rayan mengehela nafasnya sebentar, bersyukur karena Faauzan sudah tertidur jadi ia tidak perlu berbicara basa-basi kepada Fauzan karena memang Rayan tidak tahu apa yang harus mereka bicarakan jika Fauzan masih terjaga.
    Rayan mengambil posisi tidur dengan badan dan wajah mengarah ke punggung Fauzan bukan karena Rayan hendak dekat-dekat dengan Fauzan tapi karena Rayan sudah sangat terbiasa tidur dengan posisi menghadap dan seperti ini, lagi pula Fauzan sudah tidur dan tidak ada lagi yang perlu Rayan khawatirkan.
    Tubuh Fauzan bergerak hingga mereka sekarang berhadapan, Rayan terlambat menyadari hingga ia tercekat oleh keadaan. Fauzan membuka mata dan bibirnya bersamaan, “Ray, makasih buat semuanya.”
    Rayan langsung mengambil posisi terlentang dan menahan nafasnya lamat-lamat berharap degub jantungnya saat ini tidak sampai dirasakan oleh Fauzan.
    Bener-bener Bad day!
    ***

    Rayan terbangun ketika merasakan seseorang beraktifitas di dalam kamarnya, saat Rayan terbangun Fauzan sudah tidak tidur di sampingnya, di luar masih hujan, sepertinya hujan sangat suka turun di—kota yang katanya—beriman ini.
    “Ray, nyokap lo sama abang-abang lo pada ke mana? Gue baru sadar di rumah ini ternyata cuma kita berdua doang ya?” tanya Fauzan sambil menyuapkan nasi goreng ke dalam mulutnya.
    “Emang iya” jawab Rayan. Indra penciumannya baru mengendus aroma nikmat nasi goreng yang menguar amat menggiur dari piring yang Fauzan pegang.
    “Nasi goreng darimana tuh?” tanya Rayan seketika, cacing-cacing di perut Rayan seperti ikut menyadari adanya makanan di hadapan Rayan.
    “Gue bikin sendiri, abisnya gue laper, masih ada tuh di dapur, oh iya Ray, gue udah masakin air panas, baru aja, sana kalo lo mau pake buat mandi” ucap Fauzan lalu kembali sibuk dengan acara menyantap nasi goreng buatannya sendiri.
    “Kok lo nggak sekalian ngebawaain nasgor gue ke sini sih?” protes Rayan.
    “Lo kan tidur Ray, pules banget,” kata Fauzan yang sudah lebih dari cukup menjadi alasan kenapa Fauzan tidak membangunkan Rayan untuk makan bersama.
    Tanpa basa-basi lagi Rayan langsung meninggalkan Fauzan sendiriian di kamarnya, selesai menggosok gigi Rayan langsung menyantap nasi goreng yang Fauzan buat untuknya.
    Not badkan Ray?” tanya Fauzan yang sudah selesai dengan nasi gorengnya.
    Rayan hanya mengangguk, mulutnya penuh dengan nasi goreng dan tidak memungkinkan untuk menjawab pertanyaan dari Fauzan. “Enak buanget! Lo pakai ikan teri yak? Terus pakai abon?” tanya Rayan setelah menelan dan menghabiskan nasi gorengnya dengan instan.
    Fauzan hanya mengangguk untuk meng-iyakan pertanyaan Rayan, “Nyokap gue bakalan ngomelin lo karena lo pakai bahan masakannya kebanyakan” kata Rayan menakuti. “Gue ganti nanti, cuman ikan teri sama abon doang!” balas Fauzan kepada Rayan.
    “Okey, gue nggak akan ngelaporin ini ke nyokap gue, asal syaratnya lo cuciin piring gue ini” Rayan tersenyum menang ke arah Fauzan. “GEMBEL, PEMALAS!!!” teriak Fauzan ketika Rayan menaruh piring kotornya di atas piring kotor Fauzan dan lari ke arah kamar mandi sambil membawa air panas yang masih di dalam panci.
    ***

    Fauzan tertawa terpingkal-pingkal di atas kasur Rayan, “Lo ngacok, lebay sumpah, emang lo mau ke pesta perpisahan sekolah apa segala pake Flanel dan dandan sok WAH gimana gitu? Belagak borju banget sih lo Ray,” ejek Fauzan yang masih terbalut tawa.
    Semilir angin dingin mengantar senja ke ufuk barat, diiringi sinar matahari yang kian laun kian lengser.
    “Kan gue mau ngehadirin pesta ulang tahun sahabat gue Zan, jadi gue kudu total”
    “ALAY! LO KE ALAYAN, hahaha, total apanya, norak iya tau nggak!” cerca Fauzan yang masih geli. Fauzan duduk di atas kasur Rayan lalu mencoba menenangkan dirinya sendiri.
    “Acara ulang tahunya itu sederhanakan? Kita nggak akan pijakin kaki di gedung mewah dengan musik yang di remix DJ Ray, pakek kaos juga udah pas, ngapain segala dandan ribet-ribet, emang dasar alay!” cerocor Fauzan.
    “Ah lo bawel banget Zan, iya ini juga gue bakalan pakek kaos!” Rayan membela diri. Karena sudah terlalu kesal mendengar cercaan Fauzan.
    “Mau dandan sekeren apapun teteup aja jom-blo, blo-blo-blo” ejek Fauzan dengan nada yang kembali geli.
    “Bawel loh!!!” Rayan melempar buku paket ke arah Fauzan yang sekarang pun masih tertawa geli.
    Fauzan menarik jaket yang diletakan di meja belajar Rayan, mereka akan berangkat ke rumah Adi menggunakan motor Rayan, karena tadi siang Fauzan sudah pulang ke rumahnya lalu izin pergi lagi kepada orang tuanya untuk menghadiri pesta ulang tahun Adi yang akan diselenggarakan malam ini.
    “Brukkk!!”
    “Rayan!!! Dasar homo lo ye—“
    Rayan membekap mulut Fauzan, tanpa sengaja tadi Rayan membalikan badannya karena ia ingat belum membawa kunci motor yang tertinggal di kamarnya, saat berbalik badan Fauzan tepat di belakang Rayan, badan mereka berbenturan dan tanpa sengaja bibir Rayan menempel di hidung Fauzan.
    “Berisik Zan, gue nggak segaja lagian” kata Rayan sambil terus menahan tubuh Fauzan yang terus meronta-ronta minta dilepaskan.
    Fauzan berhenti meronta, dan Rayan pun melepaskan cengkramannya. “Najong banget sih lo cium-cium gue, muka ganteng gue busuk deh nih!” keluh Fauzan.
    “Sssssttttt, lo biasa hidup di hutan ya, mulut lo itu berisik banget, orang gue nggak segaja, lagian juga lo demen gue cium”
    “RAYAN!!” Fauzan berteriak kesal ketika Rayan mencium pipi Fauzan lalu lari ke dalam kamar.
    Fauzan masih tidak berhenti bersungut-sungut sampai Rayan kembali dari kamarnya setelah mengambil kunci motor yang tertinggal, “Lebay lo lebay, alay lo alay!” cibir Rayan sambil berjalan mendekat ke arah Fauzan yang duduk di atas motor Rayan dengan ekspresi penuh lipatan di wajahnya.
    “Lo tuh yang sakit, ciam cium gue sembarangan, makanya jangan kelamaan jomblo Ray”
    “Bawel! Udah ayo berangkat, nih bawa motornya” Rayan melemparkan kunci motornya ke dada Fauzan.
    “Nggak mau” cepat-cepat Fauzan mengembalikan kunci motor Rayan.
    “Kenapa? Lo kan udah bisa bawa motor?”
    “Pokoknya gue nggak mau bawa motor apalagi lo yang gue bonceng, tar lo pelak-peluk badan gue, ntar gue dilecehin lagi, pokoknya gue ogah, lagi lemes nih!”Fauzan menggelengkan kepalanya dengan amat tegas.
    “Yaudah, gue yang bawa tapi lo peluk gue ya” goda Rayan, entah mengapa Rayan sangat suka melihat ekspresi marah dari Fauzan dan anehnya Rayan tidak pernah merasa denial saat ia dan Fauzan saling bersenda gurau, mereka terlalu sibuk dengan kebahagiaan yang mereka ciptakan sendiri sampai melupakan apa-apa saja yang sedang dialami.
    “NAJISS!!!”
    ***

    Rayan masih saja kikuk dengan pandangan Adi kepadanya, padahal Adi hanya tersenyum manis saat Fauzan dan Rayan mengucapkan selamat ulang tahun kepada Adi, namun entah mengapa Rayan selalu mengartikan pandangan Adi adalah suatu ekspresi Adi yang mencurigai Rayan mempunyai sesuatu yang terus Rayan sembunyikan dari Fauzan.
    Rayan mulai memahami apa yang ia rasakan, selalu paranoid terhadap pandangan Adi yang notabene Rayan anggap seorang gay, adalah bukti nyata bahwa Rayan sangat takut diketahui bahwa perasaanya kepada Fauzan mengalami sebuah kesalahan.
    “Makasih ya, kalian udah mau dateng berdua” kata Adi di sela-sela lamunan Rayan. Rayan tidak lagi memperhatikan sekeliling apalagi menikmati suasana yang Adi ciptakan seakrab mungkin untuk para tamu undangan pesta ulang tahunnya.
    “Ray,” Helmi menghampiri Rayan dengan sebotol Anggur di tangan kirinya.
    “Eh, kenapa Hel?” jawab Rayan kikuk.
    “Rilekslah Ray, acara ini Adi buat bukan buat kita tegang lho” Helmi menuangkan Anggur ke gelas Rayan lalu ke gelasnya dan Helmi mulai menyeruput Anggurnya tanpa mengajak Rayan minum bersama.
    Rayan hanya mengangguk bodoh, entah mengapa Rayan ingin sekali Fauzan muncul di antara ia dan Helmi sekarang ini, Rayan benar-benar takut hanya berdua saja dengan Helmi di pojok dekat Saung pelataran belakang rumah Adi ini, Rayan takut bukan karena Helmi ini adalah seorang gay atau apalah, tapi Rayan takut dengan apa yang akan Helmi katakan kepadanya soal perasaan Rayan kepada Fauzan, Rayan benar-benar takut dengan kejadian dua hari lalu, takut kepada perkataan Helmi yang tidak berhenti menghantuinya bahkan sampai detik ini.
    “Tumben banget lo nggak suka minum?” tanya Helmi sambil terkekeh, Helmi menenggak habis Anggur dalam gelasnya lalu menuangkan lagi Anggur dari dalam botol ke gelasnya kembali.
    Rayan buru-buru menenggak Anggur di dalam gelasnya tersebut, saat Anggur itu melewati kerongkongannya rasa hangat dan sebuah efek nikmat yang tidak bisa dijelaskan serasa mengalir ketiap-tiap sudut tubuhnya. Mengundang Rayan untuk menenggak habis Anggur yang tersisa di dalam gelasnya tersebut.
    “Kalian di sini? Gue cariin ke depan dan ke warung kalian nggak ada, gue kira kalian lagi beli rokok” suara Adi terdengar dari belakang tubuh Rayan.
    “Yang lain pada ke mana?” tanya Helmi.
    “Udah pulang semua, tinggal kita berempat nih” sahut Adi, sontak rasa khawatir menguasai Rayan kembali, ingin rasanya menarik Fauzan yang masih sibuk dengan ponselnya di samping Adi untuk segera meninggalkan tempat ini.
    “Anjis, batre gue low lagi!” keluh Fauzan sambil duduk di samping Rayan.
    “Minum Zan,” Helmi menawarkan gelas berisi Anggur kepada Fauzan.
    “Pihh, apaan nih? AM yeh?” tanya Fauzan sambil meletakan gelas tersebut ke atas meja, Fauzan tidak henti-henti meludah untuk menghilangkan rasa minuman tersebut dari indra pengecapnya.
    “Muterlah Zan, Rayan ama Adi aja minum masa lo nggak sih” bujuk Helmi. Fauzan langsung menggelengkan kepalanya dengan mantap.
    “Cobain aja Zan, rasanya nggak buruk-buruk amat kok, enak lagi, buat badan hangat” tambah Adi.
    “Nggak ah!” tolak Fauzan langsung.
    “Anak manja kayak Fauzan mana mau minum beginian, udah abisin aja bertiga” ucap Rayan sambil menuangkan lagi Anggur ke gelasnya lalu cepat-cepat Rayan tenggak.
    Asap rokok mengepul di sekeliling mereka, Fauzan terus menerus menolak tawaran teman-temannya untuk mencicipi Anggur yang Helmi beli sebanyak tiga botol. Walau Fauzan tidak bisa menampik fakta pada dirinya bahwa ia juga penasaran dengan minuman yang membuat tiga sahabatnya itu terlihat amat nyaman.
    “Terkadang kita harus tahu rasanya sebelum kita men-judge hal tersebut tidak baik, nggak semua yang dipikir tidak baik selalu berakibat buruk Zan” ucap Adi yang sudah terlihat sangat nyaman saat ini.
    “Gue nggak akan buat lo kenapa-napa Zan, gue nggak akan ngasih apapun yang mengandung racun ke temen gue sendiri” timpal Helmi.
    Tangan Fauzan mulai menggenggam gelas berisikan Anggur tersebut, bagaimanapun Fauzan tetaplah lelaki muda yang rasa penasaran dalam dirinya meraung-raung minta dituntaskan.
    Rayan hanya mengangguk ketika Fauzan meminta pendapat Rayan melalui pandangannya, membuat Fauzan sedikit berani untuk benar-benar meminum Anggur tersebut.
    “Not bad?” tanya Helmi ketika Fauzan sudah menghabiskan minuman yang dituang ke dalam gelasnya dalam jumlah yang sedikit.
    Fauzan mengerenyit sambil mengangguk, rasa dari minuman tersebut saat melewati kerongkongan Fauzan memang tidak buruk malah bisa dibilang segar bercampur hangat, walau minuman tersebut dingin, rasa nyaman memenuhi perut Fauzan lalu menjalar ke dada Fauzan setelah itu menyebar keseluruh tubuh Fauzan, mengundang Fauzan untuk mencicipi minuman tersebut lebih banyak lagi.
    Fauzan memijat pangkal hidungnya, kepalanya terasa berdenyut-denyut tidak nyaman, entak berapa gelas sudah ia habiskan setelah gelas pertama ia tenggak. “Lagi Zan,” tawar Helmi. Fauzan menggeleng pelan, kepalanya terasa amat berat, walau tubuhnya sekarag ini terasa nyaman dan hangat.
    “Dikit lagi abis nih, tanggung ah!” tambah Helmi lagi. Fauzan mengangkat tangannya menjawab dengan tegas tawaran Helmi.
    “Nggak, thanks” Fauzan membetulkan posisi duduknya yang membuat tulang belakangnya terasa keram.
    “Udah jam setengah dua aja ya, cepet banget” kata Adi yang matanya sudah memerah dan berair.
    “Balik yuk Ray,” pinta Fauzan.
    “Kalian nggak nginep aja?” tanya Adi sambil mengunyah kacang.
    “Eh, enggak, kita balik aja, makasih ya buat makan dan minumnya” tolak Rayan sambil menarik Fauzan agar berdiri.
    “Yaudah hati-hati deh kalo gitu” ucap Helmi sambil merangkul Adi.
    Sesaat pandangan Rayan dan Helmi bertabrakan, Rayan melihat betul Helmi mengedipkan sebelah matanya kepada Rayan, entah maksud dari kedipan Helmi itu apa, kepalanya sudah memberat dan hal-hal kecil tidak lagi Rayan gubris dengan serius.
    “Ray, lo bisa bawa motornya? Nggak jatohkan?” tanya Fauzan yang sudah menyandarikan dahinya ke punggung lebar Rayan saat ia sudah dalam posisi dibonceng Rayan.
    “Asal lo nggak goyang-goyang, gue jamin lo sampe rumah gue nggak akan lecet sama sekali” kata Rayan meyakinkan Fauzan.
    “Anterin gue balik Ray!” pinta Fauzan.
    “Ogah, rumah lo jauh banget dari sini tauk!” sahut Rayan sambil melajukan motornya.
    Fauzan merebahkan tubuhnya ke kursi tamu di teras rumah Rayan. Rayan menghampiri Fauzan setelah memarkirkan motornya ke dalam garasi rumahnya dengan tergopoh-gopoh. “Masuk, lo mau molor di luar apa?” tanya Rayan dengan nada tidak karuan.
    “Bentar Ray, kepala gue berat banget nih, nyesel gue minum banyak-banyak” jawab Fauzan sambil berusaha menggeleng-gelengkan kepalanya yang terasa amat berat, seperti ada sebuah batu yang tersimpan di balik kerangka kepala Fauzan.
    Rayan mencengkram pintu rumahnya lalu menarik tubuh Fauzan yang sudah terduduk di kursi tamu agar ikut berdiri bersama dirinya.
    Fauzan menurut, setelah mengunci pintu rumah Rayan dan Fauzan berjalan dengan sedikit sempoyongan ke arah kamar, Fauzan terus menyandarkan dagunya ke bahu Rayan, Fauzan terus menggelendoti tubuh kekar Rayan agar tidak terjatuh, efek minuman tersebut sudah sangat bekerja sekarang membuat si empu perlahan-lahan kehilangan kontrol dari tubuh mereka sendiri.
    Clak!
    Rayan berhasil mengunci pintu kamarnya, Fauzan berusaha menyusul Rayan yang berada di dekat tempat tidur dengan posisi memunggungi Fauzan karena sedang melepas kaus yang Rayan pakai, entah mengapa tubuh mereka serasa amat panas terbakar cairan yang kini telah tersebar ketiap-tiap inci pembuluh darah mereka masing-masing.
    Fauzan hendak menyusul Rayan ke dekat tempat tidur, namun bukan hendak mengganti baju seperti yang Rayan akan lakukan, karena Fauzan tidak lagi berminat melakukan kegiatan apapun sekarang ini kecuali merebahkan diri ke kasur Rayan yang terlihat amat mengundang.
    Clak!
    Fauzan berjelan sempoyongan sesudah memadamkan lampu kamar Rayan, cahaya satu-satunya yang menyinari kamar Rayan yang hampir bisa dibilang gulita ini adalah cahaya bulan yang berhasil meloloskan diri dari luar jendela sana.
    Bugk!
    Fauzan tersandung karpet kamar Rayan, membuatnya tubuh Fauzan terpelanting ke depan lalu menimpa tubuh telanjang Rayan, membuat mereka berdua terjerembab ke atas kasaur Rayan yang nyaman.
    Nafas mereka seperti saling bersatu, jantung mereka saling berdegup kencang seperti sedang melakukan perlombaan. Mereka mampu merasakan deguban jantung satu sama lainnya.
    Bibir Fauzan bergerak, berniat memprotes Rayan, tapi bibir Fauzan malah menyentuh pipi Rayan, membuat desiran di antara mereka menguat, menegang sampai keubun-ubung, menggelitik tiap jengkal tubuh mereka, ditambah desauan nafas mereka yang menyatu dengan amat bernafsu seperti reptil yang sedang memasuki musim kawin.
    Rayan menggeser kepalanya, membuat bongkahan bibir mereka saling merasakan kekenyalan dan kehangatan masing-masing. Entah siapa yang memulai terlebih dahulu, pegutan penuh cinta di mulai di malam yang dingin namun dengan tubuh yang panas.


    ***


    Halo



    Apakabar temen-temen akuh yang paling akuh sayang, kalian pasti kangen banget ya sama akuh? Akuh udah tau kok, jangan suka malu-malu ngakuin kalo kalian kangen sama akuh *gue sarap*
    Kay—akhirnya update juga walopun banyak yang nyinyir gue karena yayayayaya, but, i don’t care about it!
    Jangan tanya kenapa gue pendingin ini cerita, soalnya gue kan udah bilang berkali-kali kalo lagi ngerjain project komersil bareng Rendi bareng Bagustitit eh tito.
    Kalian komen lho! Kalo nggak gue males ah mentionnye... dadah sampai ketemu bulan depan :*

  • akhirnya, rayan ma fauzan ada kemajuan juga ..
    ayo lanjut lagi, penasaran ma kelanjutan hubungan rayan ma fauzan ..
  • mulai panas!
    Kira2 disensor apa tdk ya adegan panasx?
    #harap2cemasagartidakdisensor#
  • Waaahhhh..... Akhirnya lanjuut juga...

    Ada kelanjutan apa antara rayan dan fauzan..??

    Gak sabar nunggu apa yang terjadi..
    Dibuat hot tapi romantis ya... #plakk nglunjak
  • yaaa.... gitu doang sex scene nya...??? tanggung bener...... :bz
  • Kyaaa Tangguuung.... :-??
  • ehem akhirnya luluh juga rayyan nya
Sign In or Register to comment.