It looks like you're new here. If you want to get involved, click one of these buttons!
Copyright 2021 Queer Indonesia Archive. See our Privacy Policy. Contact us at [email protected]
Dengan menggunakan situs ini berarti Anda setuju dengan Aturan Pakai.
BoyzForum.com adalah situs anti pedofilia!
Comments
Maaf semua baru update sekarang, sesuai perkiraanku bakal lama. ^:)^ ^:)^ ^:)^
pikiranku stuck pada part ini. ada beberapa bagian yang sudah kutulis tapi harus kuhapus lagi karena bukan itu yang mau aku sampaikan. huh, aku benar-benar masih amatiran.
Makasih buat yang masih mau nunggu cerita yang tidak seberapa ini, maksih banyak juga buat kalian yang mau meninggalkan komentar, komentar kalian adalah semangat sekaligus pengingat bagiku bahwa aku punya hutang yang harus kupenuhi.
Peluk hangat untuk kalian yang sudah menyemangatiku dengan komentar kalian >:D<
Maaf kalau part ini banyak kekurangannya. Mohon bimbingannya semua!!!
(Masih belum berani mention takut mengganggu)
Part IV
“Kau baru akan menyadari akan betapa pentingnya seseorang saat kau telah kehilangan”
Malam telah merangkak pada waktu larut, namun mata itu tak jua bisa terpejam. Si pemilik mata telah memutuskan untuk tidak mengistirahatkan kedua mata itu dalam waktu dekat. Dia masih ingin disana, berdiri dijendela kaca berukuran besar dan dengan setia memandangi pemandangan kota yang terlihat tetap ramai meskipun pada jam selarut ini.
Bukan karena tanpa sebab dia bersikap demikian, ada sesuatu yang telah menganggu pikirannya. Sesuatu yang membuat pikirannya memanggil memori itu, menyadarkannya bahwa orang itu begitu berharga. Hingga dia pun bertanya-tanya pada diri sendiri mengapa dia kehilangan hal berharga tersebut?
Dia bersumpah telah mengambil keputusan tepat malam itu. Dia yakin inilah hal yang paling dia inginkan, meski keinginannya akan manyakiti orang lain. Lalu mengapa, setelah semua berjalan sesuai keinginannya dia justru merasakan hal yang lain. Dia bahagia, tentu saja, dia bahkan berani menjamin hal itu. Tapi disamping bahagia ada rasa lain yang menemaninya... kehilangan.
“Gun sampai kapan kamu mau disana?” Ogi mendekat dengan tatapan khawatirnya. “Apa kesehatan mama belum membaik?”
Gugun tersenyum dan membawa Ogi dalam dekapannya hingga pria mungil itu tak bisa melihat wajahnya. “Mama sudah jauh lebih baik sekarang”
“Terus kenapa kamu kelihatan khawatir?”
Gugun diam tidak langsung menjawab, dibelainya kepala Ogi dengan lembut dan saat bersamaan, dipikirannya, bayangan orang lain yang muncul. “Aku khawatir kalau keadaan mama tiba-tiba memburuk lagi. Tapi... sepertinya itu tidak akan terjadi!”
Gugun meregangkan dekapannya dan menatap wajah yang membuatnya gila untuk melakukan hal gila, dan lagi-lagi bayangan orang lain yang muncul. Dia hanya menatap wajah dihadapannya yang juga balik menatapnya untuk beberapa saat. Ada rasa tidak enak karena dia tidak bicara yang sebenarnya. Gugun memang tidak memberitahu Ogi kalau dia membawa Ian hari ini sama seperti dia tidak memberitahu bahwa selama sakit mama ingin bertemu Ian.
Dia menyembunyikan hal itu karena, menurutnya akan lebih baik demikian. Dan sepertinya akan ada banyak hal yang perlu dia sembunyikan.
Ogi memberikan senyum simpatinya “Sebaiknya kamu istirahat sekarang, udah larut ini. Kan besok kamu kerja”
“Ya, ayo!”
Namun hingga tubuhnya telah rebah diatas peraduan perasaannya masih saja resah dan matanya belum mau terpejam, bahkan pelukan sang kekasih pun tak mampu meredam keresahan yang tengah ia rasakan.
Hari masih sangat pagi, mengantar langkah ringan Ian menelusuri jalanan yang dingin ditemani beberapa lampu-lampu kota yang masih menyala. Pertemuan dengan mama juga Gugun telah membuat bebannya sedikit menguap, rindunya terobati dan meskipun masalahnya tidak terselesaikan sesuai keinginannya setidaknya, sekarang dia lebih bisa menerima kenyataan. Dukungan mama menguatkan Ian, dan mungkin itulah yang dia butuhkan selama ini, dukungan. Jika saja dia punya tempat untuk berbagi mungkin tidak akan seberat itu beban yang dia bawa.
Dua kotak susu segar yang dibeli di minimarket 24 jam menjadi buah tangan Ian hari ini. Dia ingat persediaan susu di apartemen Dewa tinggal separuh itupun dua hari yang lalu. Pasti hari ini persediaannya sudah habis. Ini juga sebagai permintaan maafnya karena tidak datang untuk memasak kemarin.
Mengingat hal itu, ada sedikit rasa cemas mendatangi Ian diantara rasa lega yang menemaninya. Dia cemas jika Dewa akan meledak karena keabsenannya, tapi saat mengingat sikap Dewa ketika mereka terakhir kali bertemu, ada harapan jika Dewa akan memaklumi Ian kalau nanti dia memberi alasan mengapa dia tidak datang kemarin. Perasaan takut terhadap amukan Dewa dan harapan Dewa tidak akan marah serta perasaan senang bertemu mama, semua berkumpul jadi satu.
“Permisi!” Sapa Ian seperti biasa begitu dia membuka pintu.
Tidak ada jawaban, dia pun memutuskan untuk langsung masuk dan menuju dapur. Tapi Ian justru mendapat kejutan yang bahkan lebih mengejutkan dari dua hari lalu saat menemukan Dewa, berpakaian lengkap untuk kekantor, sedang melakukan sesuatu disana. Dia sedang memasak.
Dewa sempat melihat pada Ian yang berdiri mematung menyaksikannya beraksi. Tapi hanya sekilas, selanjutnya dia kembali sibuk dengan pekerjaannya dan bersikap seolah dia tidak pernah melihat Ian disana. Tak ada ekspresi marah diwajahnya atau... memang tidak ada ekspresi sama sekali? Ian berusaha mencari tahu tapi nihil. Dia tidak menemukan apapun dari wajah maupun sikap Dewa.
Puas dengan meneliti, Ian lalu mendekati Dewa dan menawarkan bantuan setelah sebelumnya menyimpan susu kedalam kulkas.
“Ada yang bisa saya bantu pak?”
“........”
Tak ada jawaban, Dewa seakan tidak mendengar ada yang bertanya padanya dan terus saja sibuk dengan pekerjaannya. Ian mulai merasakan gelagat tidak enak, dia menebak kemungkinan sebentar lagi dia akan disembur dengan kata-kata pedas.
Namun nyatanya hingga Dewa menyelesaikan pekerjaannya, tak satupun kata yang keluar dari mulutnya bahkan dia masih bersikap bahwa hanya dia sendiri diruangan itu. Tapi anehnya, meski bersikap demikian dia malah menyiapkan dua piring diatas meja. Dewa hanya menyiapkan menu sederhana berupa telur orak-arik dengan roti panggang yang kembali diolesi batter setelahnya sehingga mengeluarkan aroma yang cukup menggoda.
“Duduklah!”
Kata pertama yang keluar dari mulut Dewa adalah perintah agar Ian duduk diseberang mejanya. Perintah yang dia ucapkan dengan sedikit ogah-ogahan.
Walaupun bingung Ian menuruti saja untuk duduk berhadapan dengan Dewa dimana piring untuknya diletakkan. Beberapa waktu lamanya Ian tak menyentuh sedikitpun sarapan buatan Dewa tersebut. Karena bagaimanapun dia yang seharusnya menyiapkan sarapan untuk Dewa bukan malah sebaliknya. Hal itu membuat Ian merasa tidak enak. Ditambah lagi sikap Dewa yang sangat santai, kontras dengan sikap yang selama ini Dewa tunjukkan padanya. Entah mengapa Ian merasakan ada hawa aneh sedang mengelilinginya saat ini.
“Makanan itu tidak akan masuk ke perutmu dengan hanya melihatnya saja”
“Huh?”
“Makanlah! Kalau tidak kau akan kelaparan saat bekerja nanti. Dan itu tidak enak, aku sudah merasakannya kemarin. Aku harus berangkat kekantor dengan perut lapar sebab seseorang yang bertugas menyiapkan sarapanku tidak datang kemarin”
Jleb!!!
Ian menelan ludah mendapat sindiran Dewa yang disampaikannya dengan sangat tenang. Tidak ada marah dan tidak juga ada senyum diwajahnya ketika dia berucap.
“Maaf pak, kemarin saya ada keperluan mendadak”
“........”
Tak ada sahutan!
Mendapati Dewa hanya diam menanggapi permintaan maafnya, Ian pun jadi gelisah dan kian merasa tidak enak hati. Entahlah, dia juga tidak yakin dengan apa yang dia rasakan sekarang, tapi hatinya mengatakan kalau Dewa sedang marah saat ini. Lantas, mengapa dia justru sangat tenang?
“Kemarin, saya membesuk orang tua teman yang sakit” Kata Ian mencoba memberi penjelasan.
“.......”
Masih tidak ada tanggapan, malah Dewa terlihat semakin menikmati sarapannya.
Ian menarik dan membuang nafas berkali-kali, hawa disekelilingnya kian aneh dan dia merasa dapur Dewa mendadak berubah menjadi pengap. Sarapan dihadapannya tak kunjung ia sentuh, sementara Dewa tetap asyik dengan dunianya sendiri. Hingga Dewa telah menyelesaikan sarapannya, dia belum juga mau bicara dan Ian juga belum menyentuh secuil pun sarapan itu.
Melihat sarapan itu masih utuh Dewa segera mengambil piring milik Ian dan membawanya ke tempat sampah.
“Pak...!!!” Seru Ian. “..m-mau diapakan?”
“Dibuang, kau tidak mau makan kan? Aku sendiri sudah cukup kenyang untuk makan lagi. Jadi akan ku buang”
Dewa sudah mengambil ancang-ancang menuang seluruh isi piring kedalam tempat sampah saat Ian kembali berseru
“Jangan...! Jangan dibuang! Saya mau makan itu.”
Dia lantas mendekati Dewa dan mengambil piring tersebut lalu membawanya ke meja makan, menyantapnya dengan perasaan kacau. Pengalaman hidup sulit beberapa bulan terakhir membuat Ian lebih sensitif pada hal yang berkaitan dengan mubazir. Dan pun selama ini Ian berusaha keras agar jauh dari sifat satu itu.
Dewa tidak berkomentar lagi, dia menaikkan lengan baju dan menghidupkan keran untuk kemudian mencuci piring dan gelas bekasnya. Ian yang sedang makan terhenyak, dia segera bangkit dan menghentikan Dewa.
“Biar saya saja pak!” Kata Ian dengan mulut masih penuh.
Dewa menatapnya sesaat dan kembali melanjutkan pekerjaannya. Ian mengerutkan kening, dia telah benar-benar bingung sekarang.
‘Ada apa dengan orang ini?’ Batinnya heran.
Selesai mencuci piring Dewa mengeringkan tangan dan menurunkan kembali lengan bajunya. Dan tanpa bicara sepatah kata pun dia meninggalkan dapur juga Ian yang tidak lagi bisa mengunyah.
Ditengah kebingungannya Ian mendengar derap langkah dan suara pintu yang ditutup menandakan Dewa sudah berangkat. Ian duduk kembali dikursinya dengan alis bertaut, ditatapnya sarapan yang masih tersisa dan seketika itu juga dia membuang pandangan.
“Huh!” Desah Ian tidak berselera. Walaupun pada akhirnya dia tetap menghabiskan sarapan tersebut dengan susah payah.
Kejadian diapartemen Dewa sedikit banyaknya masih mengganggu pikiran Ian. Dia benar-benar tidak mempunyai gambaran tentang apa yang Dewa ingin tunjukkan. Marahkah? Kesalkah? Atau tidak pedulikah? Sungguh tidak ada gambaran tentang itu. Tapi jika mengingat sikap diamnya maka Dewa lebih menjurus pada tidak peduli. Namun, sindiran yang sempat Dewa ucapkan membuat Ian tidak begitu yakin tentang hal itu.
Bukannya apa-apa, jika memang Dewa marah maka Ian akan minta maaf untuk itu tidak peduli Dewa mau memaafkan atau tidak. Sebab Ian tidak pernah bermaksud membuat membuat siapapun marah apalagi Dewa. Bahkan selama ini Ian selalu berusaha semampunya menghindari hal yang memancing amarah orang lian, namun jika tetap terjadi diluar kemampuannya, apa yang bisa dia lakukan selain minta maaf.
Hanya maaf, karena dia bukan orang yang pandai merangkai kata.
Kembali pada Dewa, kalaupun orang itu marah, apa yang menjadi penyebabnya? Apa karena Ian tidak datang menyiapkan sarapan untuknya? Mungkinkah hal seperti itu bisa menjadi penyebab dia begitu marah sehingga tidak mau bicara? Benar hanya karena itu? Dan kalau memang benar, cara Dewa marah kali ini sungguh berbeda dari yang selama ini Ian tahu.
Ian menjadi tidak tenang dengan praduga yang dia munculkan sendiri. Berkali-kali dia menghembuskan nafas berat seperti orang susah. Dia tidak menyadari bahwa sedikit demi sedikit perhatiannya mulai teralihkan dari orang yang masih mengisi hatinya.
Suasana riuh di dapur akhirnya berhasil menarik perhatian Ian sehingga berhenti memikirkan kejadian diapartemen Dewa. Dengan lap dan piring di tangan Ian pun menuju dapur yang ternyata sudah lebih dulu di penuhi rekan-rekannya yang lain.
“Enak nih!”
Suara Reza yang pertama kali ditangkap oleh telinga Ian terdengar begitu antusias.
“Mana gede banget lagi kuenya” Kali ini Gio yang bicara.
“Enak banget jadi mas Toni, dapat hadiah mulu” Lagi-lagi suara Reza mengungguli suara yang lain.
Begitu jaraknya sudah dekat Ian baru tahu apa yang mereka bicarakan. Sebuah kue indah berukuran besar terlihat sangat menggiurkan. Terlihat seperti kue mahal.
“Jadi kepingin” Kata Reza polos sambil mengecap-ngecap bibir padahal yang punya saja belum mencicipinya. “Eh tapi, gimana kalau kuenya beracun?” Kata Reza mulai ketakutan.
Dengan tenang Toni memotong sedikit kue tersebut dan memakannya, dan dari semua orang hanya Reza yang terlihat was-was.
“Aman!” Kata Toni kemudian. Reza langsung bernafas lega.
“Jadi siapa yang mau?” Tawar Toni.
“Aku” Reza orang pertama yang menjawab pertanyaan Toni.
Toni lalu membagi rata kue tersebut, semua mendapat bagian termasuk Andi yang belum berada disana. Si pengirim seperti tahu ukuran yang pas sehingga semua rekan Toni bisa menikmati kue tersebut.
“Pas banget ya kuenya, kayaknya si pengirim tau persis jumlah kita. Tapi.. kenapa kue? Kan mas Toni Chef, bisa buat sendiri kali. kayaknya sipengagum rahasia remaja labil nih” Oceh Reza sambil melahap kue di piringnya.
“Ngomongin diri sendiri, huh?” Sindir Gio
“Yee.. aku emang remaja mas tapi gak labil” Bantah Reza dengan Cepat.
“Cuma parno!” Jawab Bimo tiba-tiba membuat yang lain tertawa. Reza sendiri Cuma senyam-senyum menanggapi lelucon tersebut.
“Eh pada makan... Pelanggan tuh!” Seru Andi yang tiba-tiba muncul, dia agak telat hari ini. Reflek mereka segera menghabiskan kue masing-masing dan Bimo orang pertama yang melakukannya segera ke luar menemui pelanggan tersebut. Setelah itu, semua kembali pada aktivitas masing-masing termasuk Toni yang segera membereskan sisa kue kemudian kembali pada pekerjaannya. Dia terlihat sangat santai dan tampak tak mau ambil pusing dengan hadiah kejutan yang dia terima dua hari terakhir. Setidaknya begitu yang terlihat, soal hati mana ada yang tahu.
Ian saja yang jarang bicara, dalam konteks diluar pekerjaan, bisa diketahui Toni sedang mengalami masa berat. Mungkinkah dia orang yang pura-pura tidak peduli tapi sebenarnya sangat peduli? Entahlah! Namun yang pasti kata-kata Toni malam itu, seolah bekerja pada Ian, ‘Seberat apapun itu pasti akan ada akhir.’ Memang belum sepenuhnya berakhir tapi, setidaknya ada beban yang berkurang. Hanya tinggal rasa itu yang masih bersarang dan Ian percaya akan segera menghilang secara perlahan dihapus waktu. Dan semoga itu secepatnya.
Setelah menghabiskan suapan terakhir Ian pun kembali pada pekerjaannya yang sempat tertinggal, menghampiri kembali piring-piring yang menunggunya untuk dikeringkan. Selesai dengan itu dia bergabung dengan rekan yang lain melayani pengunjung yang semakin siang semakin ramai.
Ian sedang menyapa seorang pelangan wanita saat tanpa sengaja matanya melihat sosok Gugun memasuki restoran, dan dengan patuhnya hati Ian melompat-lompat entah karena apa. Tak bisa Ian cegah senyum yang merekah begitu saja diwajahnya menyambut mata Gugun yang menatapnya kemudian ikut melakukan hal sama.
Setelah mencatat pesanan wanita dihadapannya Ian lantas menemui Gugun. Sungguh dia tidak bermaksud memberi celah bagi hatinya untuk terus melompat kegirangan. Yang dia lakukan saat ini hanyalah untuk menjaga hubungan baik. Dia tidak pernah ingin membenci Gugun, tidak pernah. Karena bagaimanapun Gugun adalah orang yang telah membuat hidupnya pernah begitu bahagia. Karena itu, dia biarkan hati itu melompat sesukanya.
“Mau makan siang?” Tanya Ian sambil tersenyum.
“Ya!” Gugun terlihat salah tingkah.
Ian lalu menyerahkan daftar menu pada Gugun. Orang itu membolak-balik daftar menu tersebut dengan tidak fokus. Kemudian memesan asal.
“Ian!” Panggil Gugun sebelum Ian pergi.
“Ya?”
“........”
Gugun terlihat ragu, ada yang ingin dia katakan tapi tak satupun kata keluar dari mulutnya.
“Tidak ada!” Katanya kemudian.
Apapun yang ingin dia katakan beberapa saat tadi dia memilih tidak mengatakannya sekarang. Pada saat bersamaan Dewa dengan beberapa orang yang terlihat seperti koleganya memasuki restoran dan seperti biasa, dia memilih meja favoritnya. Ian baru tahu keberadaan Dewa saat mengantar pesanan Gugun yang duduk berselang dua meja dari meja gugun.
Dewa tampak sedang menyimak salah satu koleganya bercerita, entah apa itu, tapi orang yang terlihat jauh lebih tua dari Dewa itu -begitu juga dengan 2 kolega lainnya- tampak antusias. Berbanding terbalik dengan 2 kolega lain yang juga tampak antusia mendengarkan, Dewa justru menunjukkan wajah biasa-biasa saja. Meski demikian dia tetap mendengar dengan seksama.
Ian meletakkan pesanan Gugun.
“Selamat menikmati!” Kata Ian ramah sama seperti saat melakukannya pada pelanggan lain.
“Ian!”
Lagi-lagi Gugun memanggil saat Ian hendak pergi.
“Ya?”
“Kenapa kamu bekerja disini, maksudku ada apa dengan pekerjaanmu yang dulu”
Ian sedikit terkejut dengan pertanyaan Gugun. Dia tidak pernah menyangka kalau Gugun akan menanyakan hal itu padanya, hal yang selama ini tidak pernah dia pedulikan karena dia sudah tidak peduli pada Ian.
Gugun sendiri bingung dengan apa yang baru saja terucap oleh bibirnya. Memang dia tidak memungkiri ingin menanyakan hal itu pada Ian karena belakangan dia menjadi penasaran kenapa Ian dipecat dari pekerjaannya yang dulu. Tapi sebelum menanyakan topik utama, Gugun berencana untuk berbasa-basi terlebih dahulu. Hanya saja bibirnya bergerak diluar kendali dan langsung menanyakan hal itu.
Mendadak dada Ian naik turun dengan cepat, dia tak bisa langsung menjawab, hanya menatap Gugun tepat dimatanya.
“Kenapa bertanya itu?”
Ada kepedihan dalam pertanyaan Ian yang sekuat tenaga ia tutupi.
“Aku... aku hanya...!” Gugun kehilangan kata-kata dan keberanian untuk menjawab. Dia sadar betul talah salah bertanya, seharusnya dia tidak langsung menanyakan hal itu. Lagipula ini bukan waktu yang tepat untuk membahas masalah tersebut.
“Apa malam ini kamu punya acara?”
Ian mengerutkan kening heran. “Tidak!” Katanya seraya menggeleng ragu.
“Bisa kita bertemu sebentar setelah kamu pulang kerja?”
Mata Ian membulat seketika. Debaran didada yang sudah Ian rasakan sejak tadi semakin menjadi. ‘Ini tidak benar’ Pikir Ian, pergi bersama Gugun hanya akan membuatnya semakin sulit melupakan orang itu. Belum lagi ada Ogi sekarang, bagaimana pearasaan Ogi jika sampai tahu Gugun keluar dengannya.
“Sebaiknya tidak usah Gun” Jawab Ian sambil tersenyum gusar.
“Kumohon!”
Dan Ian tidak akan pernah atau tepatnya belum bisa menolak tatapan memohon itu, seketika hatinya luluh. Melihat Gugun dengan tatapan memelas menatap penuh harap, Ian pun tak bisa mengatakan tidak.
“Baiklah, setelah aku pulang” Jawab Ian menyerah selesai melakukan adegan tatap menatap beberapa saat dengan Gugun.
“Terima kasih!”
Ian mengangguk dan tersenyum pelan sebelum akhirnya pamit kembali bekerja membawa serta perasaannya yang gusar tak menentu. Berselang dua meja dari sana, dua pasang mata melihat kejadian tersebut dengan tatapan malas. Hanya dengan melihat dia sudah tahu ada apa diantara Ian dan Gugun. Tatapan mereka sudah cukup untuk menjelaskan semuanya.
Gugun telah menunggu saat Ian keluar dari restoran. Dengan canggung Ian pun menghampir orang yang telah mengisi separuh dirinya tapi kemudian pergi karena menemukan yang lain. Dalam hati Ian merapal kata-kata seharusnya dia tidak pergi dengan Gugun tapi kenyataannya dia melangkah kedalam mobil pria tersebut yang membawanya ke sebuah restoran yang pernah Ian kunjungi bersama Gugun saat mereka masih bersama dulu.
Untuk beberapa saat Ian tidak bergerak, tubuhnya kaku begitu mengetahui kemana Gugun membawanya. Ian lalu menatap Gugun yang berusaha memberinya sebuah senyuman, sayang senyuman itu justru membuat hati Ian kian tersayat.
“Ayo!” Ajak Gugun seraya keluar dari mobil.
Ian tidak langsung turun, matanya mengawasi setiap gerak Gugun hingga orang itu telah berada diluar mobil dan menunggunya untuk keluar. Dipandangi Ian wajah mantan kekasihnya dan restoran tersebut bergantian lalu menghela nafas berat seiring matanya yang memanas.
'Kenapa harus disini?' Gumam Ian seraya keluar dari mobil.
Gugun memilih meja paling dalam yang dekat dengan kolam renang. Ian kembali tersenyum pedih melihat tingkah Gugun. Dia seperti sengaja, restoran yang sama dan tempat duduk yang sama, bahkan Ian seakan bisa melihat bayangan Gugun yang menyanyikan lagu selamat ulang tahun untuknya. Apa maksud Gugun mengajaknya kemari? Ingin memanggil kembali masa-masa indah saat mereka merajut cinta? Untuk apa?
Sikap aneh Gugun tidak berhenti disitu, dia yang lebih dulu sampai ke meja segera menarik kursi untuk Ian. Memang dia tidak menunggu sampai Ian duduk disana tapi perlakuannya tetaplah menunjukkan perhatian yang seharusnya tidak perlu dia lakukan. Mereka bukan siapa-siapa lagi sekarang.
Ian duduk dengan tidak nyaman, matanya bergerak gelisah menatap kesegala arah dan gugun sama sekali tidak menyadari hal itu.
“Kita pesan dulu, kamu suka makanan disini kan?” Kata Gugun bersikap akrab.
Ian tidak menjawab. Dan membiarkan Gugun melakukan sesukannya sebab dia sendiri sedang sibuk mengurus suasana hatinya yang tertekan.
Mereka atau lebih tepatnya Gugun memesan beberapa menu yang semuannya adalah kesukaan Ian. Menu-menu tersebut memenuhi meja mereka nyaris tanpa celah. Gugun seperti kalap saat memesan, dia lupa bahwa di meja itu hanya ada dua orang, bukannya sepuluh.
“Makanlah!” Gugun mempersilahkan Ian untuk menikmati menu yang telah dipesannya
Walaupun sempat tersanjung karena Gugun masih mengingat kesukaannya Ian tetap menarik nafas dalam melihat semua makanan yang dia yakini akan tersisa sangat banyak itu. Mungkin Gugun sedang berusaha bersikap baik tapi apapun alasan Gugun, membawa Ian kemari hanya memberi rasa sakit untuknya.
“Jadi kenapa kamu bisa bekerja direstoran itu?”
Ian mengangkat wajahnya dari makanan yang dengan susah payah berusaha dia nikmati “Kamu mengajakku kemari untuk membicarakan hal itu?”
“......”
Ian menarik nafas dalam dan menghembuskannya perlahan.
“Aku dipecat, aku sudah pernah bilang kan?”
“Tapi bagaimana bisa?” Untuk pertama kalinya Gugun tidak bisa menerima jawaban itu. Padahal dulu dia tidak menanyakan pertanyaan ‘Bagaimana bisa?’ pada Ian karena sudah merasa cukup dengan jawaban ‘dipecat’ saja.
“Aku difitnah” Kata Ian Lancar.
“Difitnah?”
“Ya! Seseorang tidak suka padaku, dan aku terlalu percaya padanya. Semula semua berjalan dengan baik sampai tiba-tiba aku dipanggil karena dilaporkan telah menggelapkan uang perusahaan. Bagusnya aku tidak dilaporkan kepolisi, aku hanya diminta membayar kerugian tersebut setelah sebelumnya aku dinyatakan dipecat”
“Kenapa kamu tidak cerita padaku?”
“........”
Ian menatap pilu wajah Gugun sementara hatinya menjawab
‘Karena kupikir kamu tidak akan tertarik mendengar ceritaku’
Melihat Ian tak kunjung menjawab pertanyaannya Gugun seperti tersadar dan segera menunduk.
“Maaf aku tidak tau tentang itu”
‘Itu karena kamu tidak mau tau, karena kamu sudah tidak peduli’
“Bukan salahmu jadi jangan minta maaf, aku yang tidak mau cerita” Kata Ian setelah beberapa saat. Dia pun menundukkan kepala untuk menyembunyikan matanya yang mulai berair.
“Maaf”
“Gun kita tidak harus membahas masalah itu lagi kan?”
“Tapi kamu selalu menyalahkan diri sendiri”
“Seperti yang kubilang dulu, aku tidak mau membencimu. Jadi biarkan semua berjalan seperti beberapa waktu lalu. Dan kita tidak seharusnya bertemu seperti ini, dengan cara seperti ini, dan di tempat...” Ian tidak mampu meneruskan kata-katanya.
“Ian”
“Maaf Gun aku harus pulang, terima kasih untuk makan malamnya. Maaf aku tidak bisa menghabiskan sebanyak ini.” Ucap ian bergetar seraya bangkit dari duduknya.
Ian segera keluar dan beruntung dia langgsungg mendapat taxi sehingga dia pun bisa segera pergi dari sana. Sebentar saja lagi dia disana maka orang-orang akan melihat aneh padanya sebab air mata tak berhenti mengalir deras dipipinya.
‘Jangan menangis... jangan menangis!’ Rutuk Ian berkali-kali sampai taxi yang dia tumpangi berhenti di depan kosan yang ia tinggali.
Ian tiba sangat awal di apartemen Dewa, perasaannya masih kacau sejak terakhir bertemu dengan Gugun tapi dia berusaha mengabaikannya. Dewa sudah menunjukkan gelagat tidak baik kemarin jangan sampai hari ini Ian mendapat yang lebih buruk dan dia juga tidak mau keduluan Dewa lagi yang memasak padahal tugas itu diserahkan padanya. Karena bagaimanapun orang itu adalah bos besar yang sudah semestinya Ian turuti perintahnya.
Saat Ian masuk tidak ada tanda-tanda ada orang didapur. ‘Bagus’ pikir Ian lega. Dia pun segera melakukan sesuatu disana. Lama setelah itu Dewa keluar dari kamar dengan pakaian lengkap dan ikut melakukan sesuatu didekat Ian. Dia mengambil dua potong roti mengoleskan butter dan memanggang roti tersebut. Kemudian mengambil kotak susu yang Ian beli kemarin dari dalam kulkas.
Dengan sigap Ian mengambilkan gelas lalu menyerahkannya pada Dewa. Orang itu terdiam sesaat tanpa melihat pada Ian tapi tak menolak gelas yang Ian serahkan.
“Rotinya mau diapakan pak?” Entah apa yang ada dipikiran sehingga berani membuka percakapan dengan bertanya seperti itu.
“........”
Ian mulai gelisah tapi tetap berusaha bertanya lagi. “Anda mau sarapan yang lain?”
“.......”
Ian bernafas berat, dia pun menyerah untuk tidak bertanya lagi dan memilih menyelesaikan apa yang tadi sempat tertunda.
Sepiring nasi goreng dengan sosis dan telur dihidangkan kehadapan Dewa yang sekarang sedang menikmati sisa sepotong roti yang sudah diolesi selai kacang.
Dewa bahkan tidak melirik pada nasi goreng buatan Ian, selesai dengan sarapan alakadarnya dia pun pergi begitu saja. Ian semakin gelisah karena bingung dan juga merasa tidak enak. Karena itu dia mencegat Dewa yang hendak pergi kekantor.
“Pak, saya benar-benar minta maaf!”
Dewa menatap datar wajah Ian.
“Saya tau saya salah, saya benar-benar minta maaf” Kata Ian tulus bahkan sampai menundukkan kepalanya. Padahal dia sendiri tidak yakin sedang meminta maaf untuk apa. Satu-satunya kesalahan yang dia tahu adalah absen memasak karena pergi ke rumah Gugun, tapi Ian juga tidak tahu persis apakah benar hal itu yang membuat Dewa seperti ini. Dan Dewa tetap enggan bicara malah segera melangkah pergi begitu Ian selesai dengan permintaan maafnya.
Ian mendesah lelah, lelah dengan sikap Dewa yang tidak memberi gambaran apapun padanya. Dengan gontai dia pun meninggalkan apartemen menuju restoran tempat dimana dia seharusnya berada saat ini untuk bekerja.
Di restoran Ian bekerja seperti biasa sampai akhirnya pak Rudi memanggilnya, dan ketika Ian masuk keruangan beliau, beliau langsung menyerahkan gagang telpon kepada Ian.
“Dewa” Katanya singkat.
Dengan bingung Ian menerimanya dan menjawab panggilan orang yang dikatakan pak Rudi adalah Dewa.
“Halo?”
“Bawa sarapan tadi kemari!”
“Huh?”
“Kurang jelas? Bawa-sarapan-tadi-kemari!” Ulang Dewa sengaja mengucapkan kata perkata dengan lambat.
Ian mencerna setiap kaliamat itu. ‘Sarapan?’ pikir Ian bingung ‘Apa maksudnya nasi goreng tadi pagi?’
“Tapi sarapannya di apartemen anda” Jawab Ian begitu tahu sarapan apa yang dimaksud.
“Kalau begitu ambil dan bawa kemari. Sekarang!” Kata Dewa santai lalu memutuskan panggilan.
Ian termangu menerima perintah dadakan itu, dia lalu melihat pada pak Rudi yang sedang menunggunya untuk mengatakan apa yang dia dan Dewa bicarakan tadi.
“Pak Dewa menyuruh saya mengantarkan sarapan untuknya”
“Oh, Kalau begitu minta salah satu koki kita menyiapkannya”
“Bukan itu, sarapan yang pak Dewa maksud... ada diapartemen pak Dewa”
Pak Rudi mengangkat alis menandakan kalau dia heran bercampur bingung, tak jauh berbeda dengan apa yang dialami Ian saat ini.
“Boleh saya permisi untuk mengantarkan sarapan tersebut?” Tanya Ian sebab pak Rudi tak kunjung bicara begitu mendengar perintah yang diberikan Dewa pada Ian.
“Oh, ya. Tentu saja. Sebaiknya kau bergegas”
Ian mendengar saran dari pak Rudi, dia bergegas menuju ke apartemen Dewa setelah meminta izin terlebih dahulu pada Toni. Si kepala chef hanya bertanya kemana dan langsung memberi izin setelah Ian memberitahunya kemana dia akan pergi.
Dengan terengah-engah Ian memasuki apartemen Dewa dan segera menuju dapur dimana nasi goreng buatannya tadi pagi masih duduk manis diatas meja. Dia kemudian memanasi nasi goreng tersebut sebentar sebelum memasukkannya kedalam kotak yang dia bawa dari restoran. Ian melakukan secepat yang dia bisa ditengah kebingungannya dengan sikap Dewa. Tadi pagi dia tidak mau menyentuh sarapan buatan Ian, sekarang malah menyuruhnya mengantar sarapan tersebut kekantor.
‘Apa orang itu sengaja mengerjaiku?’ Ian bertanya-tanya.
Butuh waktu lebih dari tiga puluh menit bagi Ian untuk sampai kekantor Dewa dari apartemennya, itupun karena jalanan tidak terlalu ramai.
“Maaf mbak, saya mengantarkan pesanan pak Dewa” Sapa Ian pada Marisa. Marisa mengerutkan kening heran, tapi dia tidak bertanya lebih lanjut dan menghubungi Dewa.
“Anda memesan sesuatu?”
“.......”
“Ya, orangnya sudah disini”
“.......”
“Baik”
Marisa meletakkan kembali gagang telpon dan mengantar Ian keruangan Dewa. Sebenarnya dia tidak perlu melakukannya karena Ian sudah tahu persis dimana ruangan tersebut, tapi Ian juga tidak bisa menolak Marisa yang sedang melakukan tugasnya sebagai sekertaris dengan baik. Begitu tiba didepan pintu ruangan Dewa wanita cantik yang beberapa waktu lalu telah dilamar kekasihnya itu mengetuk pintu dua kali sebelum membuka pintu.
“Pak, pesanan anda sudah disini”
“Suruh masuk!”
Marisa tersenyum hormat dan mempersilakan Ian masuk. Benar-benar profesional, dan sudah semestinya begitu. Padahal jika mengingat malam lamaran itu dia kelihatan begitu dekat dan manja dengan Dewa. Namun apapun hubungan yang mereka miliki diluar ini tetaplah kantor dan hubungan mereka disini adalah sebagai bos dan sekertaris.
Kembali pada Ian, dengan canggung Ian masuk menghadap bos besar yang sepertinya sedang sibuk mengerjakan sesuatu dengan raut wajah serius. Ian sudah hendak menegur tapi urung setelah mengingat kejadian tadi pagi, jadinya dia hanya
berdiri menunggu Dewa bicara.
Setelah beberapa menit berlalu barulah Dewa mengangkat wajahnya untuk melihat Ian. Sebagai awal tak ada kata yang keluar dari bibirnya, yang dia lakukan hanya menatap Ian hingga Ian salah tingkah karenanya. Sesekali Ian melirik pada Dewa yang terus saja menatapnya dengan tatapan yang sulit diartikan, hingga kemudian Ian merasa jengah dan berkata.
“Ini sarapan yang anda minta”
“.......”
“.......”
Ian menunduk tak bisa melihat Dewa lebih lama lagi.
“Bawa kemari!”
Ian menurut, dia membuka kotak nasi tersebut dan meletakkannya dihadapan Dewa tak lupa dia juga menyerahkan sendok yang langsung diterima orang itu. Dengan tenang Dewa pun menyantap sarapan yang seharusnya dia makan sejak tadi pagi. Rasa yang sudah tidak seberapa lezat karena telah dibiarkan beberapa waktu bukan halangan bagi Dewa untuk menghabiskan nasi goreng tersebut tanpa sisa. Begitu selesai dia menegak lebih dari setengah botol air mineral yang dibawa Ian bersama nasi tadi.
Ian lalu membereskan meja Dewa dari kotak nasi dan botol air mineral sementara Dewa mengambil gagang telpon dan menghubungi seseorang.
“Berikan daftar belanja begitu dia keluar, sekalian uangnya”
“......”
“Tidak ada itu saja”
“......”
“Hmmm!” Dewa menutup terlponnya dan berkata pada Ian.
“Ambil daftar belanja yang harus kau beli pada Marisa”
Ian yang sedang menunggu perintah untuk pergi dibuat kaget dengan satu lagi tugas dadakan.
“Sekarang pak?” Tanya Ian gelisah karena dia harus kembali kerestoran. Lagi pula dia belum minta izin untuk tugas tambahan, walaupun pak Rudi akan mengerti namun tetap saja dia tidak enak jika tidak permisi terlebih dahulu.
“Nanti malam”
“Huh?”
Ian baru saja mengira kalau Dewa sedang menyindirnya tapi kemudian Dewa melanjutkan.
“Atau kau ingin pergi sekarang supaya aku punya alasan untuk memecatmu karena kembali tidak masuk kerja?” Walau bicara dengan tenang tapi mata Dewa memancakan kilatan yang mengerikan.
Mata Ian membulat, terkejut. ‘Inikah yang dia pikirkan selama beberapa hari ini, memecatku?’
Ian bertanya-tanya dalam hati apakah direstoran Dewa tidak dibolehkan libur meski itu adalah libur berizin? Lantas kenapa pak Rudi tidak mengatakan apapun tentang hal itu dan malah memberinya izin untuk tidak masuk kerja?
Pada saat itu Ian seakan lupa dengan ucapan pak Rudi tentang sikap Dewa yang tidak bisa tertebak.
“Baik pak! Saya permisi” Ucap Ian linglung.
Dewa sama sekali tidak menggubris Ian pamit dia malah kembali sibuk dengan berkas dihadapannya. Ian sendiri tidak mau lebih lama lagi berada disana, dia segera keluar menemui Marisa untuk meminta daftar belanjaan yang Dewa katakan tadi.
Saat ia berjalan menuju meja Marisa, wanita itu sedang berbicara melalui telpon dengan seseorang, Ian pun menunggu sebentar sampai Marisa selesai. Wanita cantik itu melihat Ian dan tersenyum kemudian mengakhiri telponnya, dia lalu mengeluarkan secarik kertas dari dalam laci dan melakukan sesuatu pada kertas tersebut sebelum menyerahkannya pada Ian beserta sejumlah uang.
Sambil berjalan pergi Ian meneliti satu persatu daftar belanjaan yang tertulis. Kali ini tidak terlalu sulit, semua yang tertulis disana bisa Ian dapatkan dengan mudah hanya dari satu swalayan besar saja. Hanya saja yang membuat sedikit heran adalah jumlah setiap barang yang harus dibeli, jumlah tersebut bukan untuk persediaan sebulan melainkan berbulan-bulan kedepan. Dan itu terlau banyak untuk orang yang hanya tinggal seorang diri. Namun apa hak Ian memberi pendapat, biarkan orang bernama Dewa itu melakukan sesukanya.
Pulang dari restoran Ian tak lagi berlama-lama seperti biasanya untuk melakukan beberapa pekerjaan bersama Bimo ataupun sendiri. Dia ingat ada pekerjaan dari bos besar yang harus segera dia lakukan jika tidak ingin sesuatu yang buruk terjadi nantinya.
Di sebuah swalayan besar yang terkenal menyediakan barang dengan lengkap Ian menghabiskan waktu untuk memburu barang-barang keperluan Dewa. Baru setengah daftar yang Ian dapatkan tapi troli miliknya nyaris penuh, tak heran jika mengingat jumlah yang harus dibeli. Karena trolinya sudah tidak mungkin menampung lebih banyak lagi Ian pun menitipnya ke kasir dan mengambil satu troli lain. Hal sama terjadi dengan troli berikutnya, penuh.
Saat kasir mulai menghitung Ian mulai dibayangi kesulitan untuk membawa barang sebanyak itu. Dan benar saja, Ian sampai beberapa kali menaruh belanjaan tersebut dijalan saat keluar mencari transportasi sebelum kembali membawanya dengan susah payah.
Jam menunjukkan pukul dua belas malam ketika Ian sampai ke apartemen Dewa, tak terasa lebih dari dua jam telah dia habiskan untuk acara belanja tersebut. Ian begitu kelelahan karenanya. Bukan karena dua jam lebih belanja tapi karena jumlah belanjaan yang harus dia bawa. Karena itu Ian tak lagi mengangkat barang belanjaan tersebut melainkan menyeretnya masuk kedalam.
Suasana apartemen tampak lengang seperti tak ada kehidupan.
‘Apa dia sudah tidur atau justru belum pulang?’
Ian menerka-nerka sambil terus menyeret barang-barang itu kedapur. Tugasnya belum selesai disitu, sekarang dia harus menyusunnya serapi mungkin semua barang-barang tersebut agar dia bisa terhindar dari amukan Dewa. Meski dia sendiri tidak yakin bisa terhindar semudah itu.
Ian baru saja selesai dengan pekerjaan susun menyusunnya saat dia mendengar suara pintu terbuka dan hanya dalam beberapa detik kemudian Dewa muncul di dapur. Wajahnya terlihat sangat... lelah, bahkan cara dia melonggarkan dasinya menunjukkan kalau dia baru melewati hari yang berat. Padahal dia tidak seperti itu ketika Ian mengantarkan sarapan untuknya tadi, atau saat itu belum?
Dewa mengambil gelas kemudian mengisinya dengan air putih dan meminumnya. Selesai satu gelas dia mengisi segelas lagi dan dalam sekejap isi gelas kedua pun tandas. Ian hanya diam menyaksikan apa yang dilakukan Dewa. Namun entah keberanian dari mana Ian bertanya saat Dewa hendak pergi.
“Anda sudah makan?”
Dewa berhenti dan melihat pada Ian. “Kenapa sekarang kau peduli?”
Ian sedikit tertohok, Bukan karena kata-katanya tapi... entahlah saat Ian melihat mata Dewa dia menemukan sesuatu yang belum pernah dia lihat sebelumnya dari mata itu, kecewa(?)
Ian tidak begitu mengerti, dia berpikir mungkin kejadian di kantor yang membuat Dewa bersikap demikian sehingga dia tidak terlalu ambil pusing. Dia hanya tidak tahu bahwa ada alasan lain yang lebih kuat bagi Dewa untuk bersikap demikian.
Entah inisiatif dari mana Ian tetap mengupas beberapa macam buah dan memotongnya untuk ukuran satu suapan. Baru setelah satu piring terisi penuh dengan aneka buah yang tersusun rapi, Ian kebingungan harus memberitahu Dewa atau membiarkannya begitu saja. Tapi jika membiarkannya begitu saja takutnya Dewa tidak melihatnya dan buah-buah malang itu akan berubah warna dan tidak enak lagi untuk dimakan. Dan kalau harus memberi tahu Dewa... Ian membuang nafas berat hanya dengan memikirkannya saja.
Dewa yang baru selesai mandi, terlihat jelas dari rambutnya yang basah dan bathrobe yang dia pakai serta aroma sabun yang menyeruak dari tubuhnya, tampak mengerutkan kening mendapati Ian berdiri didepan kamarnya.
“Sedang apa kau didepan kamarku?” Tanyanya dengan raut wajah tidak suka.
“Saya...”
“Kau ingin tidur dikamarku lagi?” Tanya Dewa dengan sinis tapi wajah agak tidak bersemangat ketika mengucapkan kalimat itu.
Wajah Ian merona dengan tidak indahnya, dia benar-benar malu sekarang. Untuk beberapa hari dia sudah merasa senang karena Dewa tidak mengungkit lagi hal itu, tapi sekarang hanya karena dia berdiri didepan kamarnya Dewa malah lagi mengungkit hal yang sangat memalukan bagi Ian.
Dengan kesal Ian merutuk diri sendiri mengingat kelalaiannya waktu itu. Dia bahkan tidak ingat bagaimana caranya dia bisa tertidur disana, sungguh memalukan. Pasti tubuh lelah yang membuatnya bisa tertidur begitu cepat hingga dia sendiri pun tidak sadar kapan persisnya dia bisa tertidur.
Ian sudah bersiap-siap untuk sindiriran berikutnya tapi Dewa malah melenggang pergi menuju dapur. Ragu-ragu Ian mengikutinya dibelakang.
“Tadi saya mau bilang sudah mengupas buah untuk anda kalau memang ternyata anda belum makan malam” Kata Ian begitu mereka telah berada didapur.
Dewa melihat Ian dan piring berisi potongan buah secara bergantian. Dia menarik nafas panjang dan berat, air yang dia gunakan untuk mandi nampaknya tak mampu mengurangi lelah yang dia rasa. Dewa menarik kursi dan duduk lalu mulai menyuapkan potongan demi potongan buah kedalam mulutnya.
“Anda yang anda butuhkan pak?”
Dewa menoleh pada Ian dan tersenyum sinis.
“Jangan berlagak sok peduli!”
“Huh?”
Ian mengerutkan kening tidak mengerti.
“Kau bahkan tidak datang menyiapkan sarapanku sekarang kau mau terlihat seakan kau peduli?” Kata Dewa membuat pengakuan tanpa melihat pada ian.
Ian sendiri mulai mengerti apa yang menyebabkan Dewa bersikap dingin belakangan ini, ternyata itu tidak lain karena ketidakdatangannya.
“Kupikir aku bisa percaya padamu, tapi nyatanya tidak!”
“Maaf pak, tapi saya menjenguk orang tua teman dan itu mendadak”
“Kalau begitu bilang! Kau bisa minta izin pada pak Rudi kenapa tidak minta izin padaku? Siapa bosmu yang sebenarnya?” Raungnya berang. Ian sampai terperanjat karena tidak siap dengan amukan itu. Wajahnya seketika kaku menunjukkan kalau dia sangat terkejut.
“Sa-saya... saya minta maaf”
Ian menunduk dalam. Setelah melihat bagaimana wajah Dewa beberapa saat tadi, dia belum sanggup melihatnya untuk lagi.
Terdengar kaki kursi yang bergeser kemudian Ian merasakan Dewa yang berjalan kearahnya. Ian melangkah mundur saat Dewa yang sudah hampir menabrak tubuhnya tapi tetap berjalan dengan langkah kecil dan pelan. Dinding dapurlah yang menjadi penghalang untuk Ian bisa mundur lebih jauh, dia pun terperangkap antara dinding dan tubuh Dewa yang hanya berjarak sejengkal dari tubuhnya.
“Kau tidak membesuk orang tua temanmu, karena orang itu lebih dari sekedar teman bagimu, Iya kan? Dan orang itu adalah orang yang sama dengan yang diresoran kemarin.”
Tubuh Ian menegang kaku karena tebakan atau pernyataan Dewa barusan. Bagaimana orang itu bisa begitu tepat tentang Ian dan Gugun. Bagaimana dia bisa tahu. Ian sudah tak peduli dengan jarak yang begitu dekat antara dia dan Dewa, dia dengan tidak sadarnya melihat langsung mata Dewa yang juga melihat padanya.
“Dan aku benar tentang hal itu!” Kata Dewa yakin, keterkejutan Ian telah membenarkan semua itu.
“Bagaimana....?”
“Bagaimana aku bisa tau?” Tanya Dewa menebak kelanjutan pertanyaan yang ingin Ian tanyakan. “Apa harus ku beritahu?” Dewa malah menjawabnya dengan pertanyaan juga.
Ian tak menjawab atau lebih tepatnya tak bisa menjawab padahal dia ingin tahu kenapa Dewa bisa tahu.
“Caramu menatapnya sudah cukup memberitau semua orang”
Lagi-lagi Ian tercekat dengan jawaban Dewa. ‘Sejelas itukah?’ Batin Ian bertanya-tanya. Ian pun jadi teringat pada Toni yang dengan mudah bisa menebaknya sedang dalam masalah, jangan-jangan Toni juga bisa tahu tentangnya dan Gugun jika dia melihat langsung bagaimana dia menatap mantan kekasihnya tersebut. Dan Bimo, bukankan dia juga pernah bertanya tentang apa yang selalu dilamunkan Ian.
Mata Ian bergerak gelisah menyadari semua itu. Ternyata masa sulit yang dia lewati membuatnya sulit untuk menyembunyikan apa yang dia rasa. Dan hanya dengan mengingatnya, Ian seolah kembali merasakan masa sulit itu.
Dewa seakan menyadari perubahan Ian yang tidak lagi fokus pada percakapan mereka, gelisah yang menyerangnya sekarang bukan lagi karena Dewa tapi hal lain. Karena itu sebelum Ian menyadari apa yang terjadi, Dewa sudah membawa Ian kedalam pelukannya.
Baru setelah beberapa saat kemudian Ian menyadari adanya tangan yang melingkar pada pinggangnya serta tubuh Dewa yang mendekap tubuhnya. Reflek Ian langsung berontak dengan mendorong bahu Dewa untuk melepaskan diri tapi Dewa justru mengeratkan pelukannya.
“Biarkan seperti ini”
“Tapi...”
“Sebentar saja, ku mohon!”
Seperti sebuah mantra kata ‘mohon’ itu berhasil menghentikan usaha Ian melepaskan diri. Di saat bersamaan detak jantung Ian mengalami penambahan kecepatan. Hal serupa terjadi dengan detak jantung Dewa, sangking kuatnya Ian sampai bisa menghitung setiap kali jantung orang yang tengah memeluknya itu berdetak.
“Kau berkeringat” Kata Dewa pelan nyaris berbisik. “Maaf sudah membuatmu belanja malam-malam”
Ian menangkap adanya ketulusan pada kata-kata Dewa, dan dia merespon dengan detak jantung yang kian berdetak cepat.
“Aku tidak ingin bersikap seperti ini lagi padamu tapi kau membuatku tetap melakukannya” Kali ini Dewa benar-benar berbisik di telinga Ian. “Kau membuatku tambah lelah” Lanjutnya berbisik seraya lebih mengeratkan pelukannya.
Dengan dekapan itu, aroma yang menyeruak dari tubuhnya, Ian seperti terhipnotis sehingga dia pun pasrah tak berkutik dalam dekapan Dewa.
----
kasih tau kalau ada typo, sebenarnya udah diperiksa tapi takutnya ada yang kelewat. mata udah buram gak bisa lihat dengan jelas lagi.
Selamat membaca dan selamat malam minggu...
Aseeek update!!!><
#brbbaca
Akkhhh Dewa udah luluh!>< Cie Dewa cemburu ampe kusut gituh cieee