It looks like you're new here. If you want to get involved, click one of these buttons!
Copyright 2021 Queer Indonesia Archive. See our Privacy Policy. Contact us at [email protected]
Dengan menggunakan situs ini berarti Anda setuju dengan Aturan Pakai.
BoyzForum.com adalah situs anti pedofilia!
Comments
Nice story.
siapp
bagaimanapun, cinta yg dipupuk selama berbulan-bulan, akan sulit dihilangkan hanya dalam beberapa hari.
Ibel masih cinta Rakha kok, cuma perasaan dia lebih lega aja sekarang. Move on dari galau, tapi bukan move on dari cintanya ke Rakha.
btw setelah 8 chapter tokohnya ga mirip sama aku nh haha :P
“Apa lu pernah kesepian?” aku bertanya pada Rakha. Kami berdua sedang duduk-duduk di teras rumah kos. Hanya berdua dan kosan masih sepi karena penghuninya masih banyak yang belum kembali.
Dia memandangku aneh. “Kenapa lu nanya begitu, Bel?” tanyanya.
Aku tersenyum pahit sambil menatapnya. Aku bertanya pada diriku sendiri pertanyaan yang sama. Entahlah, tiba-tiba saja aku merasa kesepian sekali padahal sudah kembali ke kosan ini setelah beberapa bulan libur panjang usai semester dua. Padahal aku sudah bertemu lagi dengannya, orang yang biasanya membuatku galau akibat rindu yang tidak tertahankan.
“Ah gak deh, gak usah dibahas,” kataku berkilah, jemari di tangan kiriku mulai menekan kunci nada A minor dan tangan kananku mulai memetik gitar perlahan untuk mengetes suara gitar. Aku mulai menyanyikan sebuah lagu dari Avenged Sevenfold yang judulnya So Far Away. Kupetik kunci nada yang tepat.
Tiba-tiba Rakha menahan senar dengan tangannya. “Bel, lu lagi ada masalah apa? Lu bisa cerita ke gue,” katanya penuh perhatian.
“Gak apa-apa kok,” kataku. Sering sekali aku mengatakan kalimat ini ketika sebenarnya sedang terjadi apa-apa padaku. Aku benar-benar tertutup pada hal-hal yang sensitif.
“Lu kesepian?” tanya Rakha lagi, tatapannya begitu serius.
“Apaan sih jadi drama gini? Udah ah lanjut ngegitarnya,” kataku mencoba mengalihkan pembicaraan. Tapi dia tetap meneruskan.
“Kalau lu kesepian, kan ada gue, Bel. Gue akan selalu ada buat lu. Jangan sedih gitu lah. Kalau ada masalah cerita aja, gue akan bantu lu kok selama gue mampu,” katanya dengan suara yang yakin. Aku menatap wajahnya yang rupawan itu dengan seksama, dia mengatakannya dengan tulus. Dia akan selalu ada untukku, tapi pastinya sebagai temannya. Tidak lebih. Lagipula apa yang kuharapkan? Harapan yang yang kadang terlalu muluk, kadang terasa sudah di depan mata. Membingungkan.
“Thanks, Kha,” kataku sambil tersenyum.
“Nah gitu donk, senyum. Inu dan yang lain juga bakal ngelakuin hal yang sama kok kayak gue. Lu juga ke kita-kita pasti juga gitu kan? Kita kan temen, harus saling dukung,” dia nyengir.
“Iya deh,” kataku mencoba mengakhiri topik yang kurang nyaman ini.
“Makanya cari cewek lah, Bel. Dari kita masuk kuliah, kayaknya lu doank yang belum pernah gue liat gandeng cewek.”
Aku kaget mendengarnya. Jantungku berdegup lebih cepat. Masalah ini sebenarnya sudah sering dibicarakan padaku, tapi tetap saja aku masih bingung harus menjawab apa. Ujung-ujungnya aku bilang ingin fokus kuliah dulu baru pacaran atau ada ultimatum dari orang tua yang melarangku pacaran sampai lulus.
“Ah lu udah tahu alasannya kan?” aku membalikkan pertanyaannya pada Rakha.
“Bel... bel. Lu bener-bener anak mami ya?” katanya meledek.
“Daripada lu, anak kingkong,” balasku.
“Songong!” katanya lalu dengan ringannya tangannya menjitak kepalaku.
Sebelum aku sempat membalas, Rakha sudah ngacir masuk ke dalam rumah kos. Dengan sedikit kesulitan aku bangkit dan berusaha mengejarnya. Terlambat. Dia sudah masuk kamarnya dan langsung mengunci pintunya.
Kuketuk pintu kamarnya. Tidak ada balasan. “Woi! Masih sore udah main ‘tangan’ aja,” kataku lantang, meledek karena sebenarnya sekarang sudah hampir isya.
“Bodo!” sahutnya dari dalam kamar.
Aku menyerah. Dasar Rakha penakut. Curang. Selalu kabur sebelum aku sempat membalas jitakannya.
Aku meletakkan gitar yang kupegang di samping ranjang di kamar kosku, lalu duduk di tepian ranjang dan melihat gitar milik Rakha itu. Masih lebih bagus punyaku di rumah, tapi gitar itu satu-satunya gitar yang ada di kosan ini. Aku masih ingat pertama kali dia membawanya ke kos tanpa ada satu pun senar. Dia bilang gitar itu milik abangnya yang sudah lama tidak terpakai. Karena tahu aku jago main gitar, dia membawa gitar itu kesini supaya bisa mengajarinya. Dia benar-benar payah saat bermain gitar. Sudah setahun lebih masih belum lancar juga.
“Kalau gue kesepian, gue selalu mencoba mainin gitar itu,” kata Rakha yang berdiri di ambang pintu kamar yang kubiarkan terbuka. “Karena dengan begitu, gue bisa ngerasain kalau abang gue ada di deket gue. Jadi gue gak perlu merasa kesepian,” tuturnya sambil melangkah mendekatiku.
Dia mengambil gitar itu dan duduk di sampingku dengan posisi sudah siap memainkan gitarnya.
Jrengg. Tuh kan, petikannya masih belum bagus. Belum ada kemajuan dari sejak kami berpisah beberapa bulan lalu.
“Biarpun gue gak sejago lu Bel mainin gitarnya, tapi dengan mainin gitar ini, kalau gue lagi galau, gue akan merasa tenang. Karena tinggal abang gue yang gue punya sejak bokap nyokap meninggal,” ujarnya, lalu gantian sekarang dia yang tersenyum pahit karena mengingat kecelakaan yang menimpa kedua orang tuanya. Aku sudah tahu semua ceritanya.
“Senang ya punya sodara,” kataku datar.
“Eh sorry, Bel. Gak bermaksud,” Rakha merasa sedikit tidak enak karena dia tahu aku anak tunggal.
“Ya elah, biasa aja kali,” lalu aku tertawa.
“Ya gue kan gak enak ama lu, Bel. Tapi, biarpun lu anak tunggal, lu gak sendirian kok disini. Lu bisa anggep gue, Inu, dan lain-lain sebagai sodara lu,” katanya sambil nyengir kuda.
“Ogah sodaraan ama lu!” aku meledek, lalu dengan cepat aku menjitak kepalanya. Impas.
“Dih gak ada angin gak ada petir, main jitak jitak aja lu,” gerutunya sambil mengelus-elus bagian kepala yang berhasil kujitak. Sepertinya aku menjitaknya terlalu keras.
“Ada anginnya,” aku membela diri. “Lu itu angin-anginan belajar gitarnya, jadinya udah setahun lebih masih kacau aja maininnya.”
“Gue biasa mainin cewek sih, Bel. Hehe,” dia terkekeh yang membuatnya terlihat seperti orang bodoh.
“Dasar playboy kampung,” ledekku. Dia hanya melewe.
Malam itu aku pun kembali mejadi mentor Rakha untuk bermain gitar. Aku fokuskan dia untuk membawakan satu lagu. Setelah beberapa kali mencoba, petikannya membaik dan nada yang keluar pun bagus. Tapi begitu mencoba lagu lainnya, semuanya menjadi kacau lagi. Dia seperti orang yang baru belajar gitar. Emang gak bakat.
Aku tersenyum kembali mengenang malam itu. Tidak hanya malam itu aku berdua saja dengan Rakha dan bercanda tawa bersama. Tapi hanya malam itu yang membuatku teringat bahwa seorang Rakha yang tampak sempurna pun pernah kesepian. Tidak peduli berapa gadis yang sedang dikencaninya, berapa pacar yang diputusi olehnya, dia pernah kesepian. Aku senang pernah bisa ada saat dia sedang kesepian.
Kutekan tombol kembali di ponselku setelah melihat display picture BBM Rakha yang baru diubahnya tadi pagi. Gambar gitarnya. DP itu membuatku mengenang malam itu barusan. Kulihat chat terakhir darinya, yang isinya dia sudah berpacaran dengan Nicky. Sudah kadaluarsa rasanya kalau aku memberi ucapan selamat sekarang. Tapi rasanya aku terlalu kejam karena mengacuhkannya. Gambar gitar itu menandakan dia sedang kesepian. Pasti.
Aku melihat keluar jendela bus, terlihat tiga gedung berjejer dengan perahu di atasnya. Marina Bay Sands. Aku dan mama akan menginap disana hari Senin. Setelah tahun baru. Karena kamar penuh saat malam tahun baru jadi mau tidak mau kami menggesernya sehari supaya voucher dari papa tidak mubazir.
Terlihatnya ketiga gedung itu, artinya sebentar lagi sampai. Dengan cepat aku mengetik chat pada Rakha selagi sempat.
‘Kha! Gue mau ke Universal Studio Singapore donk!’ aku tersenyum kecil setelah menekan tombol kirim.
Tak lama terlihat Rakha sedang mengetik, bus mulai berjalan perlahan.
‘Gak usah pamer. -__-.’
‘:p’ balasku cepat lalu melangkah turun karena bus sudah berhenti di halte tujuan kami. Kemudian kumasukkan ponselku ke dalam saku.
“Kenapa awak senyum-senyum sendiri macam tu?” tanya Kelvin dengan tatapan bingung.
“Gak apa-apa,” balasku. Lalu aku tertawa kecil karena sadar bahwa arti ‘gak apa-apa’ yang barusan kuucapkan tidak sama seperti biasanya. Bukan berarti aku sedang ada masalah yang tidak ingin kuceritakan pada orang lain. Tapi karena aku sedang senang. Ya. Hanya senang.
**
Aku menghempaskan tubuhku di atas ranjang Kelvin. Rasanya letih sekali seharian berkeliling di Universal Studio, mencoba wahana-wahana yang tidak ada di Dufan Jakarta. Dan Kelvin tahu betul bagaimana rutenya supaya puas main disana biarpun hanya sehari.
Tadi pagi sebenarnya aku agak kaget begitu melihat Kelvin tampak begitu cerah, tidak seperti malam sebelumnya dimana dia menangis di pelukanku. Saat sarapan dia menyodorkan dua tiket USS dan tanpa bertanya apakah aku ingin atau tidak, dia langsung memaksaku untuk mandi dan bersiap-siap.
Karena dia memaksaku untuk pergi dengan alasan supaya daftar kegiatan jalan-jalanku di Singapura yang telah disiapkannya tidak berantakan, aku balik memaksanya untuk mampir dulu ke Merlion sebelum ke USS.
“Untuk apa ke Merlion sekarang. Besok bisa lah, besok malam tahun baru pula. Lebih ramai pasti,” katanya menolak permintaanku.
Aku bersikeras supaya kami tetap ke Merlion dulu. “Kalau besok pasti kesananya malam, aku ingin ada foto pas pagi atau siang harinya,” kataku.
“Di Sentosa pun ada Merlion, lebih besar pula,” dia ngotot.
“Emang?” tanyaku, kukira Merlion di Singapura hanya ada satu. Yang ada di pinggir danau, yang memuntahkan air dari mulutnya.
“Nah, tak tahu pula awak ni kan? Sudahlah, ikuti saja rencana yang tlah saya buat,” katanya dengan nada penuh kemenangan.
“Ah, siapa suruh buat daftar rencana?” gerutuku.
“Hidup ni harus direncanakan lah, Bel. Jangan macam orang bingung tak tahu mau kemana hari ini,” sahutnya.
“Ya sudah, aku mau ke Merlion hari ini. Tak pakai pusing-pusing,” aku keukeuh dan memaksanya dengan aksen melayu. “Merlion yang nyemburin air dari mulutnya,” kuperjelas maksud tujuannya.
“Ah awak ni. Tak mau turut kata pemimpin lah,” keluh Kelvin. Biarin. Siapa suruh maksa ke USS hari ini. Pengen sih sebenarnya kesana, cuma kenapa dia bilangnya mendadak? Mau beri kejutan maksudnya?
“Siapa pilih awak jadi pemimpin?” tanyaku, keterusan pakai logat melayu.
Kelvin terkekeh begitu mendengar pertanyaanku. “Ye lah. Kita ke Merlion dulu, nanti kita naik bus dari Marina Bay saja untuk ke Sentosa. Lekas awak mandi!”
Aku girang, bukan karena bisa mampir ke Merlion dulu, tapi karena berhasil memaksa Kelvin. Selama ini kan dia terus yang menentukan kemana kami akan pergi, jadi aku sekali-sekali ingin menunjukkan padanya bahwa aku juga berhak untuk menentukan pilihan.
Selanjutnya kami berangkat naik bus ke Marina Bay. Di perjalanan Kelvin cerita banyak tentang apa pun yang terlihat dari jendela bis. Dia benar-benar cocok untuk jadi travel guide nih. Tapi keherananku masih belum hilang, bagaimana bisa Kelvin melupakan kejadian semalam begitu cepat? Apa dia lupa kalau semalam dia putus?
“Umm Vin. Aku mau nanya sesuatu,” kataku agak ragu setelah dia bercerita tentang salah satu blok apartemen yang menjadi tempat tinggal teman sekolahnya yang paling ganteng. Duh. Tetep aja ngomongin cowok.
“Tanye lah.”
“Kamu belum amnesia kan?”
Kelvin mendelik bingung. “What? Why?”
Aku nyengir bodoh, “kan semalem baru putus,” kataku seolah sedang mengingatkannya.
“Oh. Lantas kenapa kalau semalam saya putus?” tanya dia lagi. Entah tidak mengerti atau menunggu aku bertanya lebih jelas dan gamblang.
“Gak sedih?”
“Takkan buat dia balik kan?”
“Gak marah?”
“Cepat tua lah.”
Duh kok jawabnya singkat-singkat begitu sih? Mentang-mentang aku bertanyanya juga singkat. Sebenarnya aku ingin dia cerita padaku apa yang terjadi semuanya, supaya dia lebih lega. Seperti yang kulakukan padanya, bercerita tentang Rakha.
“Kok bisa sih?” tanyaku lagi.
Kemudian Kelvin diam dan menatapku tajam. “Pasti awak pikir saya tak sayang dia karena saya macam orang senang padahal baru putus semalam. Ya kan?”
“Kurang lebih begitu,” kataku sambil mengangkat kedua bahuku.
“Tak macam tu lah, Bel. Saya sayang sama dia, Bel. Sayang sangat. Tapi apa nak cakap, dia orang curang kat saya, selingkuh di belakang saya. Saya tak suka orang macam tu. Saya masih sayang sama dia sebenarnya, tapi rasa sayang tu dah tertutup oleh benci karna dosa budak tu,” Kelvin menjelaskan.
“Oh, jadi bukan aku yang disangka selingkuhan kamu?” aku keceplosan. Saking bodohnya pertanyaan itu, Kelvin langsung tergelak keras. Untung di lantai dua bis hanya ada aku, Kelvin, dan seorang paman di deretang belakang bus.
“Pede sangat awak ni,” katanya meledek. Mukaku pasti memerah karena hal ini.
“Huh. Tapi beneran deh, Vin. Aku gak bisa kayak kamu, ngelupain kejadian menyedihkan semalam begitu saja,” kataku saat tawa Kelvin sudah mereda.
“Itu karena awak selalu bergantung pada orang lain, Bel,” jawabnya cepat.
“Maksud kamu?”
“Kita hidup ni Bel, memang butuh orang lain, tapi bukan berarti kita ni harus bergantung pada orang-orang tu. Apa pernah awak pikirkan di benak awak, apa yang kan terjadi bila orang-orang yang awak butuhkan itu pergi?” tanya Kelvin.
Aku berpikir sebentar lalu menggeleng pelan.
“Ini prinsip saya, Bel. Saya tak mau bergantung pada orang. Saya selalu tanamkan dalam hati kalau saya tidak pernah butuh mereka supaya saya tidak bergantung pada mereka. Dan ketika tiba-tiba mereka pergi, saya tak rasa apa pun. Hanya macam cakap, oh mereka dah tak nak dekat saya lagi. Biarlah. Saya pun tak butuh mereka.”
Kelvin menjelaskan dengan sangat sungguh-sungguh, dia menatap mataku dengan tajam saat berbicara tadi. Entah aku terkesima atau bagaimana, aku hanya diam seolah otakku masih mencari penalaran yang pas supaya aku mengerti apa yang dikatakannya barusan.
“Memangnya bisa begitu ya?” tanyaku begitu saja.
“Bisa lah. Apa yang tak bisa kita buat di dunia ini memangnya? Ini hanya semacam sugesti saja, Bel. Berkat hal macam ini, saya dah tak pernah lagi rasa sakit hati. Bahkan karena kejadian semalam,” jawabnya lugas, tanpa keraguan sedikitpun.
Sedetik kemudian pikiranku melayang pada bayangan diriku yang sering merasa kesepian dan galau saat tidak ada seorang pun di sisiku. Sebuah pertanyaan menohok muncul seiring dengan bayangan orang-orang yang telah pergi begitu saja dari kehidupanku, yang dulu meninggalkan luka dalam yang membuat aku sangat sedih. Sepenting itukah mereka? Sehingga aku membuang-buang air mataku yang tidak mungkin membuat mereka kembali? Sebegitu menyedihkannya kah diriku sampai-sampai tanpa mereka aku seperti tidak bisa hidup? Toh nyatanya aku malah melalui kesepianku sendirian.
Lalu otakku menampilkan bayangan Rakha saat aku meninggalkan kosan seminggu yang lalu untuk pulang ke rumah saat liburan. Kali terakhir aku melihat dia secara langsung. Apa dia begitu berharga sampai membuatku seperti orang sekarat karena tidak melihat wajahnya? Hatiku terasa berteriak-teriak kata ‘tidak’ untuk semua pertanyaanku tadi. Tapi aku merasa aku tidak bisa melepaskan jawaban itu begitu saja, ada yang menahannya. Aku takut kehilangan mereka bila aku berteriak aku tidak butuh mereka. Aku tidak seperti Kelvin.
Kelvin. Bagaimana dia bisa memikirkan semua ini? Berpikiran untuk tidak bergantung pada siapa pun supaya tidak terasa menyakitkan bila kehilangan orang tersebut. Lalu mulut Kelvin terbuka lagi untuk bersuara, mengucapkan kalimat yang membuatku seperti dikejutkan oleh sengatan listrik ribuan volt.
“Tapi ini bukan berarti saya tidak peduli dengan orang lain, Bel. Kalau kita sudah bergantung pada seseorang, kita seringkali lupa pada nilai diri kita sendiri. Kita hanya anggap orang tu yang penting sehingga kita butuh dia, jadi kita lupa bahwa hubungan manusia itu timbal balik, kita lupa bahwa orang-orang tu pasti butuh kita juga. Kita kadang lupa kalau kita istimewa, Bel.”
Ya, aku lupa!
Ucapan Kelvin benar-benar merasuk ke dalam sanubariku. Aku terhenyak begitu dalam, dan dia membiarkanku untuk melakukannya. Kami berdua diam sampai beberapa saat sebelum kami turun di Marina Bay. Pikiranku masih berkutat pada bodohnya diriku yang lupa bahwa orang-orang yang kubutuhkan dan aku ketergantungan pada mereka itu juga manusia. Mama, papa, bahkan Rakha, mereka semua manusia. Sama sepertiku. Lalu apa yang membedakan? Mungkin aku yang lupa pada nilai diriku seperti yang dikatakan Kelvin. Aku lupa kalau aku istimewa sehingga aku seperti menjadi penyembah mereka yang kubutuhkan. Dan aku akan terseok-seok saat mereka tidak ada.
Aku paham sekarang. Aku salah menghadapi rasa kesepian yang selalu menderaku ini. Yang kulakukan hanya lari atau mencari kambing hitam. Padahal aku lah penyebab masalahnya, bukan orang lain. Aku yang membuat diriku seperti ini, karena aku lupa siapa aku. Aku lupa bahwa aku juga bisa terbang tinggi. Aku lupa bahwa orang-orang itu juga bisa menjejakkan kaki mereka di tanah.
Kutanamkan sugesti seperti yang dikatakan Kelvin tadi. Bila aku ingin melewati masa-masa sulitku yang sepi, aku harus membuatnya ramai dengan diriku sendiri. Bukan gila, tapi menerima keadaan dengan menikmatinya. Bukan malah meratapinya dan menangisinya.
Saat di Universal Studio, aku merasa lebih bebas. Hatiku merasa lebih lapang. Tidak hanya karena aku dan Kelvin sedang ada di taman bermain, tapi karena aku sudah berhasil menerapkan apa yang Kelvin terapkan dalam hidupnya.
Perubahan yang lebih ketara adalah ketika aku chating dengan Rakha di BBM. Aku merasa bebas untuk mengatakan apa saja dengannya tanpa ada rasa takut dia berpikiran buruk padaku atau sebagainya. Selama ini aku sering menahan diriku sendiri, membuat hatiku terkekang, tanpa sadar bahwa akulah pelakunya.
Aku berubah. Untuk kehidupanku yang lebih baik. Kata-kata Kelvin tidak akan pernah kulupakan dan akan kujadikan semboyan hidupku.
Tiba-tiba pintu kamar mandi berdencit terbuka. Aku bangkit, berusaha duduk dengan menopang badanku pakai kedua tangan. Dia disana, berdiri di depan pintu kamar mandi kamarnya dengan handuk melingkari pinggangnya. Menatapi tubuhnya yang memang berbentuk, wajah orientalnya yang bersih dan menarik, rambutnya yang basah dan acak-acakan. Entah apa yang meracuniku. Aku seperti terhipnotip untuk tetap memandanginya, aku terkesim. Sesuatu berdesir di dadaku, mengalir tanpa bisa kukendalikan.
Aku buru-buru mengalihkan pandanganku secepatnya sebelum Kelvin sadar. Kuraih handukku di kepala kasur dan langsung buru-buru masuk kamar mandi dengan sebisa mungkin tanpa melihat dirinya lagi. Kututup pintu kamar mandi dan bersandar di balik daun pintu, menatap langit-langit dengan nafas yang terengah-engah. Tidak mungkin! Hatiku pun berseru.
**
*yg ga mau dimention lagi, bilang ya.