BoyzForum! BoyzForum! - forum gay Indonesia www.boyzforum.com

Howdy, Stranger!

It looks like you're new here. If you want to get involved, click one of these buttons!

Selamat datang di situs Boyzforum yang diarsipkan oleh Queer Indonesia Archive. Forum untuk komunitas gay Indonesia yang populer ini didirikan pada tahun 2003, dan ditutup pada tanggal 15 Desember 2020.

Forum ini diabadikan untuk kepentingan sejarah. Tidak akan ada konten baru di forum ini. Silakan menikmati forum ini sebagai potongan dari sejarah queer Indonesia.

When Holiday Greets (TAMAT page 17, Trivia page 19)

1356721

Comments

  • Rakha pake Kho
    jadinye Rakhooooo lol
  • Chapter 5: Comfort

    Kelvin orang yang terbuka dan supel. Setidaknya itu yang bisa kunilai tentangnya setelah beberapa jam mengenalnya. Sekarang kami semua sedang makan siang bersama di rumah Kelvin. Sebelumnya aku sudah membereskan pakaianku di kamar Kelvin. Ya, aku akan tidur sekamar dengannya. Bukan hal besar.

    Rencananya siang ini mama dan tante Rita akan mengunjungi butik, yang baru kuketahui letaknya ada di salah satu mal di Orchard Road. Menurut tante Rita semuanya sudah siap untuk dibuka besok, dan persiapan untuk pesta pembukaan malamnya pun sudah hampir seratus persen. Tante Rita mendedikasikan dirinya selama beberapa bulan ini hanya untuk butik itu.

    Awalnya mama membebaskanku untuk keliling Singapura hari ini dengan Kelvin. Tapi aku menolaknya, aku ingin melihat butik itu. Selain itu aku pun masih merasa aneh pergi berdua saja dengan orang yang baru kukenal, walaupun dia bersikap sangat baik padaku.
    “Kite bisa lihat-lihat butik besok lah,” kata Kelvin di kamar, setelah selesai makan siang. Aku sedang membuang waktu dengan membuka jejaring sosial di ponselku.

    “Lihat hari ini juga gak apa-apa lah,” balasku tanpa memandangnya.

    “Bosan saya lihat butik tu terus,” keluhnya.

    Aku pindah posisi jadi duduk di kasur Kelvin, “Bosan? Kamu kesana tiap hari?” tanyaku, kini memandangnya yang sedang mencari-cari sesuatu di lemarinya.

    “Iye lah. Antar jemput mama. Tiap hari kan die kesane,” jawabnya. Tangannya masih terus mencari-cari di lemari. Mungkin mencari baju.

    “Oohh. Memangnya kalau kita gak ke butik, kamu mau ajak aku kemana?”

    “Singapura boleh kecil, tapi banyak tempat menarik yang bisa awak kunjungi,” katanya. Sedetik kemudian tangannya menarik sesuatu dari bagian baju-baju yang digantung di lemari tiga pintunya. Sebuah kemeja lengan panjang berwarna ungu gelap, bagian kerah dan ujung lengannya berwarna hitam dengan list ungu gelap. “Bagus?” tanya Kelvin, tidak menghiraukan pertanyaanku.

    “Hmm not bad,” jawabku sambil menggerakkan bibir bawahku.

    “Saya nak pakai baju ni untuk besok,” wajahnya sumringah. “Awak? Dah ada baju untuk besok malam?”

    “Buat besok? Acara pembukaan butik maksudnya?” tanyaku. Kelvin langsung mengangguk cepat. “Harus pakai rapi ya?”

    “Mama awak tak bilang apa-apa?”

    Aku menggeleng. Entah mama lupa atau sengaja tidak memberitahuku bahwa acara pembukaan butiknya adalah acara formal. Aku mengingat-ingat lagi isi koperku. Dan seingatku tidak ada satu pun kemeja yang kubawa. Semuanya kaos, jaket, dan celana jeans. Tidak ada yang formal sama sekali.

    “Kalau begitu, benar keputusan awak tuk pilih ikut ke Orchard,” katanya, aku mendelik tidak paham. “Kita akan shopping untuk awak!,” serunya menjawab ketidaktahuanku.

    Jam tiga sore kami semua berangkat ke Orchard. Jalanan cukup ramai mungkin karena orang-orang sudah pulang kerja, tapi sejauh mataku memandang semuanya terlihat rapi. Kuhabiskan waktu selama perjalanan diam dan menikmati pemandangan. Kelvin sepertinya tahu yang kuinginkan karena dia sama diamnya denganku. Sementara di kursi belakang mama dan tante Rita masih bicara banyak hal. Sekarang tentang suami masing-masing.

    Tidak mudah untuk mencari tempat parkir di salah satu mal besar di Orchard Road ini. Aku tidak sempat membaca plang nama mal-nya sehingga aku tidak bisa pamer di jejaring sosial dimana aku berada sekarang. Hanya Orchard, tanpa penjelasan dimana detilnya.

    ‘Asik yang langsung ke Orchard. Gue nerima pakaian juga kok, Bel. :p

    Tiba-tiba Rakha mengirim BBM chat padaku saat aku sedang berusaha menyamakan langkah kakiku dengan Kelvin. Dia berjalan cukup cepat menuju butik. Mama dan tante Rita mungkin sudah sampai sana karena tadi hanya aku yang menemani Kelvin mencari tempat parkir.

    ‘Apaan ci Rakha? :3’ balasku.

    ‘Buat ibu kos jangan lupa dibeliin juga. Haha.’

    Duh, bawa-bawa ibu kos segala. ‘Jalan-jalan sendiri donk kalau mau ngasih oleh-oleh buat ibu kos mah. :p’ balasku sambil tersenyum sendiri. Dan sedetik kemudian aku hampir saja menabrak orang di depanku yang berhenti mendadak.

    “Ibel! Cepatlah!” seru Kelvin di pangkal eskalator, sepuluh meter dari tempatku. Ternyata aku tertinggal karena BBM-an. Setidaknya Kelvin mau menungguku.

    “Sorry,” kataku saat sudah di sampingnya, bersama-sama kami menapaki satu langkah di eskalator, naik. Kemudian aku membuka ponselku lagi.

    ‘Ini lagi jalan-jalan kok.’ Balas Rakha padaku.

    ‘Jadi naik gunung emang?’

    ‘Eh jalan deh maksudnya. Hehe if you know what I mean. :p

    Yeah, aku tahu apa yang dia maksud. Buru-buru kutekan tombol untuk mematikan layar dan memasukkan ponselku ke dalam saku celana.

    “Ada apa?” tanya Kelvin sambil menatapku khawatir. Agak berlebihan sih, tapi memang begitu dia menatapku, seolah-olah sesuatu yang besar telah menimpaku dan semuanya tergambar dengan jelas di wajahnya.

    “Gak apa-apa,” balasku.

    Rakha sedang jalan, dan hal itu tidak mungkin membuatku ‘gak apa-apa’. Entah kenapa hatiku merasa terguncang, padahal dia hanya berkata sedang jalan, belum memberitahu lebih detail jalan dengan siapa, kemana, atau dalam rangka apa. Hatiku merasakan suatu getaran yang membuatnya tidak nyaman dan otakku langsung memberikan gambaran-gambaran peristiwa yang mungkin sedang terjadi pada Rakha. Seperti, sekarang dia sedang jalan di mal berdua dengan cewek yang kami temui di Plaza Indonesia. Mereka saling berpegangan tangan, bersenda gurau, lalu Rakha mencium kening cewek itu dengan romantis.

    Ahh, kenapa hal itu tidak bisa terjadi padaku??

    Tanganku mengepal keras, sampai tiba-tiba ada tangan yang memegang dengan lembut kepalan tangan kananku dan menarikku perlahan.

    “Kalau awak jalan lambat macem ni terus, kapan kita kan sampai nih?” omel Kelvin.

    Aku tersenyum kecil, senyuman yang tidak ada artinya dibanding galau yang kembali merasuki hatiku secepat kilat. Ternyata hal itu bisa terjadi juga padaku. Ya meskipun tidak seperti yang kubayangkan, setidaknya mengarah kesana. Sampai kami berdua tiba di butik, aku belum menyentuh ponselku lagi.

    Aku berdecak kagum ketika melihat butik mama yang dominan warna emas itu, serasa ada di kamar seorang ratu di istana. Ukuran butiknya mungkin hanya sepuluh kali sepuluh meter, tapi kesan luas yang ditampilkan karena penataan dekorasi yang apik begitu luar biasa. Terdapat beberapa manekin yang sedang dipakaikan baju atau yang masih telanjang bulat. Ada juga baju-baju semacam kebaya yang dipajang di lemari kaca. Luar biasa. Butik mama terlihat menyeruak dibanding toko di kiri-kanannya bila dilihat dari luar.

    Mungkin hanya setengah jam saja aku di butik. Seperti kata Kelvin, bosan. Mungkin karena tidak ada baju untuk laki-laki sehingga satu-satunya hal yang bisa aku lakukan di butik hanya duduk dan melihat orang-orang lalu lalang di depan toko.

    “Let’s go shopping! For tomorrow night,” kata Kelvin yang datang entah darimana. Menghampirku yang sedang duduk di pinggir ruangan dekat meja kasir.

    “Sorry, I don’t speak english,” kataku meledek. Sepertinya dia lupa kalau sedang mogok berbahasa inggris.

    “Eh, saya lupa. Ayo lah lekas kita cari baju untuk awak,” katanya sambil terkekeh, ternyata masih belum sadar. Kubiarkan saja sampai nanti sadar sendiri.

    Aku beranjak dari dudukku dan berjalan beriringan dengan Kelvin keluar toko setelah sebelumnya pamit pada mama. Kelvin menyerahkan kunci mobil pada mamanya, jadi jika kami terlalu lama mama dan tante Rita akan meninggalkan aku dan Kelvin, sehingga kami pulang naik transportasi umum. Kelvin mengatakan padaku bahwa lebih baik kami pulang naik transportasi umum saja, supaya aku mencobanya. Dan dia masih belum sadar.

    “Wait!” dan dia akhirnya sadar ketika kami sudah beberapa langkah meninggalkan butik. “Bagaimana bisa awak bilang tak cakap english, tapi awak bilang tu dalam bahasa inggris?”

    Aku hanya tertawa kecil. Tingkat kelucuannya semakin lama semakin berkurang. Tapi tetap saja wajah polos Kelvin saat bicara barusan membuatku tersenyum sendiri karena berhasil mengerjainya.

    “Telat ah, Vin. Udah basi,” kataku dengan gaya sok cool.

    “Basi? Apa yang basi? Awak makan makanan basi?” tanyanya dengan wajah khawatir, lagi.

    “No no. I mean, your brain is so slow!” ledekku lalu tertawa keras.

    “Ohh dah berani awak nih ya,” katanya. Aku hanya melewek, dan dia membalas dengan memukul pelan lenganku lalu kami tertawa bersama.

    Baru kali ini aku bisa cepat akrab dengan orang yang baru aku kenal. Padahal baru tadi siang aku mengenalnya, tapi perlakuannya padaku seolah kami adalah dua orang teman yang sudah lama kenal. Aku pun merasa demikian. Aku merasa nyaman dengan Kelvin, sehingga aku bisa membuka diri padanya. Dia seperti sosok saudara laki-laki yang tidak pernah kumiliki.

    Tiba-tiba aku teringat pada suatu teori yang pernah kubaca di majalah. Aku lupa namanya tapi aku mengingatnya sebagai teori kenyamanan dan ketertarikan. Variabelnya ada empat yaitu nyaman, tidak nyaman, tertarik, dan tidak tertarik. Bila ditilik dari teori itu dimana aku nyaman dengan Kelvin, berarti Kelvin ada di posisi sebagai temanku. Tapi kalau rasa nyaman ini disertai dengan ketertarikan, meskipun kami sesama jenis, berarti dia bisa dijadikan kekasih. Ah aku tidak tertarik pada Kelvin. Hanya awalnya saja saat pertama kali melihat muka gantengnya yang campuran oriental dan melayu. Setelah kenal selama beberapa jam aku tahu itu hanya rasa kagum sesaat.

    Hal yang jauh berbeda bila membicarakan tentang dia. Aku tertarik padanya sejak pertama kali melihatnya dari belakang ruang kelas, memandanginya dari kejauhan. Dan semakin lama aku mengenalnya, sungguh aku jadi semakin tertarik. Aku penasaran dengan apa saja aktifitasnya, apa kesukaannya, apa hobinya, dan apa-apa lainnya yang berhubungan dengan dia. Bahkan namanya yang unik membuatku berhasil menemukan akun twitternya sebelum dia memberitahu nama akunnya. Dan lucunya akun twitter yang kutemukan itu sudah tidak bisa lagi dibukanya sejak masuk kuliah, sehingga dia membuat akun baru yang namanya tidak jauh berbeda.

    Aku selalu berusaha ada di setiap kesempatan bisa bersamanya. Bermain futsal, belajar kelompok, bahkan sekedar jalan-jalan tidak jelas ke mal. Setiap kali aku bersamanya aku merasa semakin tergila-gila. Tapi rasa nyaman yang menjadi salah satu dari empat variabel teori tadi masih belum kurasakan. Hingga suatu saat aku sadar, aku tidak boleh merasa nyaman padanya. Karena aku tidak ingin jadi kekasihnya.

    Kenangan tentang masa kelam selepas SMA membuatku jera. Aku tidak ingin lagi merasa tertarik sekaligus nyaman pada orang yang tidak bisa menjadi milikku. Aku seorang pengharap, jika ada orang yang kusuka berbuat baik padaku, pasti aku menyangka bahwa dia menyukaiku juga. Padahal belum tentu, bahkan sembilan puluh persen belum tentu! Saat aku menyadarinya, aku merasa jadi orang paling tolol dalam kehidupan sosial.

    Sebaik-baiknya tupai melompat, suatu ketika akan jatuh juga. Itu lah yang terjadi padaku. Jatuhnya aku bukan berarti mama tahu kalau aku gay. Tapi karena tanpa sadar aku merasa nyaman jika berada di dekatnya. Rasa nyaman tiba-tiba saja ada, datangnya seperti pembunuh bayaran yang mengendap-endap hingga tanpa terasa pedangnya sudah terhunus di leherku. Dan seiring dengan rasa nyaman yang mematikan berbagai harapan pun bermunculan di dalam benakku tentangnya. Dan sebagian besar hanya harapan kosong yang membuat aku galau.

    Perlahan tapi pasti, aku mengulang kembali cerita lamaku di masa SMA. Sebuah reinkarnasi cinta dengan orang yang berbeda namun beralur sama. Dan aku sudah bersiap dengan akhir yang sama, supaya aku tidak terlalu sakit.

    Kenapa aku merasa nyaman berada di dekatnya? Ah, itu tidak apa-apa. Kebodohanku sebenarnya adalah kenapa aku tertarik padanya? Aku tertarik pada cowok, padahal aku cowok. Ketertarikanku ini seolah membuatku telah meletuskan pistol tanda start untuk memulai lagi hubungan yang tidak jelas. Hubungan yang tidak tahu akan dibawa kemana arahnya. Tidak bisa dijelaskan karena aku sendiri merasa tidak jelas. Bagaimana bisa aku mencintai Rakha?

    Aku membuang jauh-jauh pikiranku. Kenapa aku tiba-tiba memikirkan dia? Padahal sebelumnya aku sedang berpikir betapa nyamannya berada di dekat Kelvin padahal kami baru kenal. Aku menghela nafas panjang. Kutegaskan dalam hatiku, kalau aku ingin liburan ini menyenangkan, aku harus melupakan dia sementara waktu. Memang karena kelakuanku yang tidak bisa menjaga hati, aku jadi terjerumus dalam jebakan ‘aku butuh dia’. Ya, aku memang butuh dia. Tapi kemarin. Sekarang ada Kelvin yang siap menemaniku kemana pun. Lagipula, apa dia butuh aku? Rasanya tidak. Karena pasti sekarang dia sedang bersenang-senang dengan wanita pujaannya.

    “Bel, yang ini gimane?” tanya Kelvin. Lamunanku membuat aku lupa bahwa kami sudah masuk ke beberapa toko baju pria di mal ini. Dan masih belum ada satu kemeja pun yang kami beli. “Tak suka kah? Bagus ni,” desaknya.

    Aku menggeleng pelan, lalu mencoba menyibukkan diri mencari-cari kemeja yang sesuai seleraku di gantungan, melipir satu persatu kemeja yang dipajang.

    “Bel,” panggil Kelvin dari arah punggungku. Aku memutar badan dan melihat dia sedang memamerkan kemeja panjang warna ungu tua. Persis dengan miliknya yang tadi dia perlihatkan padaku. “Gimane? Ambil ini saja ya,” tuturnya.

    “Masa samaan?” aku mengelak.

    “Tak ape itu, biar tampak kompak kita orang berdua,” dia keukeuh.

    “Gak ah, malu,” aku juga keukeuh.

    “Ya sudahlah. Kalau awak tak nak, saya yang belikan ini untuk awak. Pakai kalau sudah balik ke Indonesia saja,” katanya lalu menyerahkan kemeja itu pada salah satu pramuniaga di dekat kami.

    “Gak perlu, Vin. Di rumah aku banyak kemeja sebenarnya, cuma karena mama gak bilang ada acara formal, jadi gak bawa satu pun,” kataku, lalu aku memberi kode pada pramuniaga tadi yang masih berdiri di dekat kami bahwa aku tidak menginginkan kemeja itu.

    “Tak apa, Bel. Anggap ini hadiah dari saya, tak dipakai pun tak masalah,” katanya tetap memaksa. Kelvin meminta pramuniaga tadi segera pergi untuk merapikan kemeja itu supaya aku tidak bisa menahannya lagi.

    Nerimo saja lah. Aku tidak mengerti kenapa Kelvin bisa sebaik ini padaku. Aku tidak menaruh rasa curiga sedikit pun pada dia. Aku tidak pernah berpikiran dia punya maksud terselubung dibalik semua kebaikan dan keakrabannya selama kurang dari enam jam sejak kami bertemu. Hanya saja bagiku terasa aneh, benar-benar aneh.

    “Karena awak tak nak pakai kemeja tadi untuk besok malam, yang ini bagaimana?” tanya Kelvin. Tangannya rasanya seperti asal comot saja, tapi comotannya bagus. Kelvin sepertinya jago dalam hal berpenampilan.
    Akhirnya kami beli tiga kemeja di toko itu. Baju kedua dan ketiga memang tidak se-wah kemeja ungu pertama tadi, tapi rasanya cukup bagus untuk dipakai di acara besok malam. Saat aku hendak menyerahkan kartu kreditku yang merupakan kartu tambahan dari milik mama, Kelvin memaksa untuk memasukkan lagi kartu itu ke dompetku. Semuanya dia yang bayar. Awalnya aku keberatan, tapi Kelvin bersikeras bahwa tidak apa-apa kalau dia yang bayar. Aku nurut.

    Kelvin, si ganteng wajah oriental campur melayu nan rupawan ini sedikit banyak telah kukenal perilakunya. Padahal belum ada dua belas jam kami saling kenal. Dia terbuka, apa adanya, tapi suka keras kepala dan memaksakan kehendak. Dan untungnya, pemaksaannya malah menguntungkanku karena semua belanjaan dibelikan olehnya. Asik, kartuku jadi tidak bakal menyentuh limit. Haha.

    Setelah belanja kami makan di food court. Kelvin mengajakku makan Singapore Chicken Rice paling enak di Singapura. Setidaknya itu menurutnya. Saat aku mencoba, rasanya sedikit berbeda dengan yang pernah kubeli di foodcourt salah satu mal di Jakarta yang menjual menu serupa. Dan dapat kutarik kesimpulan bahwa yang kucoba itu terlalu banyak bumbu sehingga rasanya terlalu kental. Tapi aku suka keduanya.

    Kami pulang dengan naik bis. Saat kutanya kenapa tidak naik MRT saja biar lebih cepat, Kelvin malah bilang, “Awak musti lihat Singapura malam-malam gini, apalagi cuaca sedang cerah macem ni. Rugi naik MRT tak nampak apa pun, hanya tembok je di kiri kanan.” Yahh sebelum dia ngotot untuk tetap naik bis, aku menurut saja. Tapi aku minta satu hal padanya, kami harus naik bus tingkat. Alhasil kami menunggu cukup lama di halte karena baru bus tujuan kami yang ketigalah yang merupakan bis tingkat. Aku senang bukan main dan langsung memilih tempat duduk paling depan di lantai atas.

    Orchard Road nampak luar biasa dari atas sini. Semua cahaya dan gemerlap inilah yang membuatku lebih menyukai jalan-jalan keliling kota daripada naik gunung. Aku merasa takjub dan begitu bersemangat. Kelvin hanya tersenyum di sampingku.

    Tiba-tiba ada chat masuk yang membuat ponselku bergetar berkali-kali karena aku langsung mengubahkan ke mode getar saat Rakha bilang dia sedang jalan tadi. Dan ternyata yang chat BBM adalah Rakha sendiri sekarang. Dia menulis ‘Bel’ sampai hampir sepuluh kali. Dengan malas kubalas, ‘ya? Kenapa kha?’

    Aku menantikan jawabannya sambil menatapi tulisan ‘Rakha is typing...’. Dan akhirnya chat-nya tiba.

    ‘Gue akhirnya jadian sama Nicky!’

    Aku langsung menekan tombol kunci dan layar ponselku langsung mati. Dengan cepat kumasukkan ponselku di dalam saku. Kesal. Kelvin melihatku tapi tidak berkomentar. Fixed! Dia telah berhasil mengacaukan malamku yang semenit sebelumnya begitu menyenangkan. Aku benci dia. Aku benci Rakha!

    **
  • Chapter 6: Jealousy

    Aku benar-benar diam tanpa kata. Sebisa mungkin aku menutupi rasa kesalku dari Kelvin dengan pura-pura terkesima dengan pemandangan yang kudapatkan dari atas bis ini. Kelvin pun hanya diam, sesekali dia melirik ponselnya dan aku tidak mau berkomentar apa pun. Hening.

    Kenapa aku bisa seperti ini? Aku bisa secemburu ini begitu mengetahui bahwa dia sudah punya pacar lagi. Pacar perempuan. Rasanya aku masih belum bisa menerima kenyataan bahwa dia normal, bahwa di sudut relung hatiku mengatakan bahwa dia sama denganku. Semakin lama terasa semakin berat bagiku menahan ekspresi munafik ini. Aku ingin memeluk gulingku lagi, mendekapnya dengan sangat erat di dadaku.

    Rakha itu playboy. Aku tahu itu. Meski tidak separah playboy-playboy yang biasa muncul di film atau televisi, tapi setidaknya hampir setiap bulan dia ganti pacar. Hal itulah yang menguatkan pendapatku bahwa dia sama denganku. Memacari perempuan adalah pelariannya, seperti aku yang gabung ke forum dan ikut gathering sebagai pelarianku beberapa bulan lalu.

    Tapi dia pernah cerita padaku bahwa dia punya pacar, pacar ‘sesungguhnya’, dan orangnya ada di Bandung. Mereka berdua sudah lama menjalin hubungan jarak jauh. Aku tidak bisa membayangkan bagaimana rupa cewek itu karena Rakha tidak pernah memberikan fotonya, bahkan ciri-cirinya pun tidak. Cewek itu benar-benar misteri, dan aku tidak ingin mengusiknya karena menurutku akan melewati batas.

    Hatiku bertanya-tanya lagi, kenapa aku bisa secemburu ini padahal hampir tiap bulan dia ganti pacar di Jakarta. Apa mungkin karena aku tidak ada di dekatnya saat dia mengabarkan hal itu? Ini pertama kalinya dia menginfokan padaku tidak secara langsung bahwa dia punya pacar baru. Biasanya dia datang langsung ke kamar kosku dengan dan dengan semangat berkata bahwa dia punya pacar baru.

    “Gue udah jadian donk sama Mia,” katanya bangga dari ambang pintu kamarku yang sengaja kubiarkan terbuka dua bulan yang lalu.

    Aku mengalihkan pandangan mata dari laptopku dan melihatnya. Aku merasakan kecemburuan yang sama sebenarnya, tapi begitu aku melihat wajahnya, betapa bahagianya dirinya, senyumannya yang indah dengan lesung pipit itu langsung menghilangkan rasa kecemburuanku. Aku merasa bahwa kebahagiaannya memancar dan menular padaku. Aku merasa bahagia karena melihatnya bahagia.

    Kalau memang hal itu yang membuatku bisa bertahan dalam kecemburuan selama ini, aku benar-benar kacau. Masa iya aku harus ber-skype dengan dia malam ini juga dan memintanya mengatakannya lagi, kalau dia punya pacar baru. Dan begitu melihat wajahnya yang sumringah dan bahagia, semua kecemburuanku akan memudar. Aku bahagia karena melihatnya bahagia.

    Tapi tidak mungkin aku melakukan hal itu. Siapa aku? Hanya temannya. Alasan apa yang harus kuberikan agar dia mau melakukan itu? Aku benar-benar kacau sekarang. Argh, kenapa dia harus jadian dengan cewek baru saat aku tidak ada di dekatnya?

    Kini galau dan cemburu menyerangku bersamaan. Aku benar-benar membutuhkan bantal gulingku. Benar-benar penutup hari yang menjengkelkan.

    Sesampainya di rumah Kelvin, ternyata mobilnya belum ada, artinya mama dan tante Rita belum kembali. Kelvin memutuskan untuk langsung mandi, awalnya dia menyuruhku untuk mandi duluan, tapi aku menolak. Entah kenapa dia tidak memaksaku seperti biasa.

    Sekarang aku duduk di tepian ranjang Kelvin, aku baru melepaskan jaket dan sepatuku saja. Aku masih mengenakan kaos dan jeans yang sama. Aku benar-benar tidak bersemangat untuk melakukan apa pun. Aku memandangi sekeliling kamar Kelvin yang rapi sambil memikirkan apa yang harus kulakukan untuk menahan semua ini.

    Pandanganku berhenti pada ponselku yang kuletakkan di meja lampu di samping ranjang. Kupandangi cukup lama sambil berpikir, aku harus membalas chat-nya. Aku harus memberikan ucapan selamat kepadanya sebagai teman yang baik. Dan diimingi candaan minta traktiran seperti biasa.

    Aku berpikir cukup lama sampai akhirnya aku menghela nafas panjang. Kuambil ponselku dan langsung menulis chat BBM pada Rakha, ‘Cieee selamat ya! Traktir lho pas gue balik ke kosan nanti’. Aku tersenyum kecut setelah kutekan tombol send.

    ‘Oleh-oleh dulu sini, baru traktiran. :p’ balas Rakha, cepat sekali.

    ‘Gak ada traktiran, gak ada oleh-oleh,’ candaku.

    ‘Gak ada oleh-oleh, gak ada traktiran,’ balas Rakha membalik kalimatku.

    ‘Auk ah.’

    Sedetik kemudian aku menyesali telah mengirim pesan terakhir itu. Aku sedang kesal dan dia mengajak bercanda di saat aku sedang tidak bisa berpikir jernih. Aku tidak bisa membayangkan apa yang akan ada di pikirannya. Aku memandangi tulisan itu lagi dengan cemas, ‘Rakha is typing...’.

    “Sana lekas mandi dulu, Bel. Awak musti coba air Singapore,” kata Kelvin yang baru saja keluar dari kamar mandi yang ada di dalam kamarnya ini.

    Aku menoleh padanya, melihatnya hanya mengenakan handuk saja, memperlihatkan badannya yang atletis. Aku sempat kikuk sebentar, lalu dengan cepat kuletakkan ponselku di kasur begitu saja dan mengambil handuk dari dalam koper.

    “Air kualitas import ya?” kataku meledek sebelum masuk ke kamar mandi. Kelvin tertawa karena tahu maksud dari perkataanku.

    Aku mandi sedikit lebih lama dari biasanya. Rasanya menenangkan bisa berdiri di bawah shower sambil memikirkan tentang kegalauan dan kecemburuanku. Setelah selesai, aku merasa lebih segar, meskipun hatiku masih terasa berat. Saat keluar dari kamar mandi, Kelvin tidak ada di kamar. Aku sendirian. Dengan cepat aku mengunci pintu kamar dan memakai baju.

    Tiba-tiba terdengar suara kenop pintu diputar, lalu suara mengetuk dari luar. “Bel, kenapa awak kunci pintu ni?” Kelvin berteriak dari luar kamar.

    “Sebentar, Vin!” balasku sambil buru-buru memakai celana pendekku. Aku berlari kecil menuju pintu kamar dan membuka kuncinya lalu langsung nyengir kuda di hadapan Kelvin.

    “Mama akan pulang malam sangat katanya ditelpon tadi. Mau jumpa dengan kawan lama, seorang desainer. Ayo kita makan dulu, saya dah pesan pizza untuk kita,” ujarnya.

    Tanpa canggung Kelvin langsung memegang tangan kiriku dan menarikku ikut ke ruang makan. Mungkin sudah jadi kebiasannya begini. Aku belum menolak saja dia sudah melakukan pemaksaan dengan menarikku begitu saja. Tapi pegangan tangannya begitu lembut, tangannya juga halus. Sepertinya tidak ada alasan untukku memintanya melepaskan tanganku. Yang ada sikap keras kepalanya nanti keluar. Huh, dasar Kelvin.

    Dia juga mengenakan celana pendek sepertiku, sementara atasannya hanya kaos singlet ngepas sehingga menampakkan bentuk tubuhnya dibalik kaos itu.

    Di meja makan sudah tersedia satu kotak pizza. Mungkin Kelvin pesan delivery, tapi cepat juga sampainya. Atau mungkin aku yang terlalu lama mandinya. Kemudian aku dan Kelvin duduk berhadapan di meja makan. Sesaat kemudian aku baru menyadari bahwa kami hanya berdua saja di rumah ini.

    Kelvin mengambil sepotong pizza lalu berkata, “makan lah yang banyak. Biar hilang galau awak tu.”

    Aku kaget. Maksudnya apa? Lalu kutanya padanya, “siapa yang galau?”

    “Awak lah. Nampak sangat sejak naik bis pulang tadi,” balasnya cepat, lalu menggigit pizza di tangannya. Kemudian dia mendorong kotak pizza sedikit ke arahku, menandakan aku harus mengambil sepotong untuk dimakan. Aku menurut.

    “Gak galau kok,” aku mengelak lalu menggigit pizzaku.

    “Tak usah dusta lah. Nampak sangat di muka awak,” tuturnya, tetap pada pendiriannya yang memang sepenuhnya benar. Aku galau. “Jadi siape dia ni yang bisa bikin orang macam awak galau?” tanyanya. Aku memandang Kelvin untuk melihat wajahnya, dia serius menanyakan hal itu. Untuk apa?

    “Bukan urusan kamu lah. Ini urusanku,” aku menolak bercerita, dan kuteguhkan dalam hati sekeras apa Kelvin memaksa aku akan tetap menolak bercerita. Lagipula bagaimana mungkin aku bisa cerita padanya bahwa aku galau pada seorang cowok?

    “Lelaki?” tanya Kelvin. Aku hampir tersedak karena pertanyaan itu. Bagaimana dia bisa tahu? Atau dia hanya menebak? Aku segera menggeleng untuk membantahnya. “Perempuan?” tanyanya lagi, ternyata dia hanya menebak.

    Aku mengangguk dengan sedikit keraguan untuk menjawabnya. Kelvin tersenyum, aku tersenyum balik dengan agak dipaksakan.

    “Jadi siapa lelaki ni yang buat awak galau?”

    Aku langsung tersedak dengan pertanyaannya. Benar-benar tersedak. Buru-buru aku bangkit dari kursi dan mencari air minum. Aku sudah mengangguk untuk menyatakan aku galau karena cewek. Kenapa dia masih membicarakan laki-laki. Setelah minum aku kembali ke kursiku dengan gelas setengah terisi air putih. Dan aku masih bingung harus menjawab apa.

    “Haha kenapa, Bel?” tanya Kelvin, terdengar seperti sebuah ledekan. “Ayolah, saya dah tahu, Bel. Mata awak tu tak bisa dusta lah,” katanya. Dia tahu? Tahu kalau aku suka pada cowok? Tahu kalau aku gay?

    Aku hanya diam, masih tidak tahu harus menanggapinya bagaimana. Tiba-tiba Kelvin menyodorkan ponselnya kepadaku, memperlihatkan fotonya dengan dua orang lainnya. Kelvin diapit oleh cewek dan cowok. “Dia cantik,” aku berkomentar tentang si cewek.

    Kelvin tertawa lagi. Menyebalkan rasanya ketika orang di hadapan kita tertawa sedangkan kita tidak tahu apa yang ditertawakan. “Bukan perempuannya, coba tengok lelaki di samping saya tu,” katanya.

    Aku melihat foto itu lagi, melihat lelaki yang berdiri di samping Kelvin. Tangan kirinya merangkul Kelvin. Aku mendelik pada Kelvin sekarang, menatap padanya untuk memastikan apakah yang kupikirkan ini benar. Dan dia mengangguk pelan.

    “Awak tak sadar rupanya,” ujar Kelvin lalu tersenyum. “Kita sama, Bel. Saya juga suka sama lelaki. Dan lelaki itu pacar saya. Dia sedang kerja di Aussie sekarang ni. Lepas tamat kuliah nanti, saya akan susul dia ke Australia.”

    Jadi aku tidak sendirian disini? Kelvin juga gay. Tapi sama sekali tidak terlihat olehku kalau dia gay. Atau aku yang tidak bisa menyadarinya, aku yang tidak peka dengan keberadaan homo di sekitarku. Entahlah. Yang perlu kutanyakan sekarang bukan hal itu, tapi, “Lalu maksudnya apa kamu ngasih tahu aku hal begini?” tanyaku.

    “Awak bisa cerita apa saja pada saya. Jangan dipendam seorang saja. Lebih baik berbagi,” jawab Kelvin dengan menatapku lembut. Tanpa sadar tangan kiriku sudah disentuh oleh tangan kanan Kelvin.

    Aku menarik tanganku. Dan aku menarik diri. Tidak semudah itu aku bercerita padanya. Sesekali aku masih memandang Kelvin sebagai orang yang baru kukenal hari ini. Tapi kadang aku merasa sudah mengenalnya dalam waktu yang sangat lama.

    “Aku gak pa-pa, Vin,” kataku sambil menggeleng.

    Kelvin menggerakkan bibirnya curiga, tidak percaya dengan kalimatku barusan. “Ok. Tapi awak bisa cerita pada saya apa saja. Jangan sungkan,” ujarnya lalu menyeringai padaku. Aku tersenyum membalasnya.

    Setelahnya, acara makan malam bersama dengan Kelvin terasa canggung. Aku benar-benar menutup diri. Aku merasa ingin menyimpan masalah ini sendirian saja. Kalau diceritakan mungkin Kelvin akan berpikiran aku cowok yang bodoh. Berharap pada sesuatu yang tidak pasti. Berharap salju di musim panas.

    Ketika kami selesai makan, aku memutuskan langsung masuk kamar. Tidur. Sementara Kelvin menonton TV. Aku senang bisa sendirian di kamar Kelvin. Sebelum tidur aku menghabiskan waktu beberapa menit menatap langit-langit sambil mencoba mengerti hatiku. Tapi tidak bisa, otak dan hatiku tidak sejalan. Logika dan perasaan ini tidak bisa menyatu. Semuanya karena dia. Mungkin kalau aku bisa berpikir sedikit lebih dewasa aku akan menyalahkan diriku sendiri. Tapi tidak, aku tidak bisa menyalahkan diriku sendiri. Hal itu hanya akan membuatku semakin kalut dalam kesedihan.

    Aku mendekap guling Kelvin. Lalu kupeluk dengan sangat erat, kutekan keras di dadaku. Kenapa aku ini? Setengah jam yang lalu ada orang yang peduli padaku dan aku menolaknya. Aku memilih sedih sendirian seolah aku bisa mengatasinya hanya dengan memeluk guling keras-keras. Entah kenapa kadang aku merasa menikmati sakit yang terasa di hatiku. Seolah sakit ini membuat hidupku lebih bercerita, lebih beralasan. Tapi sampai kapan aku akan begini?

    Kukesampingkan guling Kelvin lalu duduk di kasur. Kuputuskan bahwa aku tidak bisa seperti ini terus. Aku jauh-jauh ke Singapura bukan untuk menderita karena harapan yang kubuat sendiri dan kukosongkan sendiri. Aku jauh-jauh kesini bukan untuk menggoreskan luka di hatiku sendiri karena kerinduanku pada dia. Aku harus melupakan semuanya sejenak. Melupakan rasa rinduku pada Rakha. Melupakan rasa sakit atas harapan-harapanku yang tidak mungkin tercapai. Semua itu seharusnya sudah kutinggalkan saat pesawat lepas landas dari bandara Jakarta.

    Aku turun dari ranjang dengan sigap. Kulangkahkan kakiku keluar dari kamar Kelvin. Dia masih disana, menonton TV, acara liputan olahraga. Aku menghela nafas dan meyakinkan diri bahwa aku harus bisa berubah. Aku harus merubah sikapku sendiri bila aku ingin bahagia, setidaknya selama berada di Singapura.

    “Hei,” sapa Kelvin saat menyadari kehadiranku. Lalu dia menepuk-nepuk sofa di sampingnya, mengisyaratkan aku bisa duduk disana. Aku menurut. “Tidak bisa tidur?”

    “Sepertinya,” kataku tanpa memandang Kelvin, mataku menatap lurus ke layar televisi.

    “Tak apa awak tak nak cerita pada saya. Biasanya kalau tidak ada orang mau dengar cerita saya, saya menangis sendiri di kamar,” katanya.

    Aku menoleh pada Kelvin. Dia menatapku sambil nyengir. “Yeah, maybe I can try to cry,” kataku.

    “Then cry!” katanya tegas.

    Menangis sekarang? Di hadapan Kelvin, di depan TV yang sedang menayangkan acara olahraga. Bagaimana bisa aku menangis di situasi seperti ini? Bagaimana bisa aku menangis karena menonton liputan olahraga?

    Aku tidak menangis, mungkin tepatnya belum. Mataku memang memandang pada TV, tapi otakku berkelebat pada hal lain. Hatiku menderu-deru pada masalah lain. Aku bisa menangis sekarang sebenarnya. Tidak ada guling yang bisa dipeluk untuk pelampiasan, aku bisa saja mengeluarkan air mata dan menangis terisak. Aku benar-benar harus melampiaskannya.

    Tiba-tiba Kelvin melingkarkan tangan kirinya ke belakang pundakku, merangkulku. Aku menatapnya dan dia hanya tersenyum. “Jangan ditahan. Menangislah,” katanya lembut.

    Lalu sedetik kemudian kepalaku bersandar di bahunya dan aku mulai meneteskan air mata. Setiap tetesan air mata ini aku mengingat kembali harapanku atas Rakha. Setiap tetesan air mata ibarat tetesan rinduku padanya yang begitu menyesakkan dada. Hatiku semakin berat. Semakin tertekan. Aku melingkarkan tanganku di pinggang Kelvin dan mendekapnya seperti memeluk guling. Kubenamkan wajahku di dadanya dan mulai menangis lebih keras diiringi sesengukan.

    Kelvin membelai rambutku perlahan, penuh kelembutan. “Luapkan saja semuanya, Bel. Lepaskan semua,” katanya.

    Aku mengikuti titahnya dan kuluapkan semuanya. Kesedihanku, kemarahanku, kegalauanku, dan kecemburuanku. Kuhempaskan semua lewat tangisan ini. Sudah lama aku tidak menangis, dan rasanya lebih baik daripada sekedar memeluk guling di kamar sendirian.

    Setelah aku merasa lebih lega, aku melepas pelukanku pada Kelvin. Dia tersenyum melihatku, sedangkan aku merasa malu karena harus menangis di hadapannya. “Terima kasih, Vin,” kataku. Dia tersenyum lagi dan mengelus-elus kepalaku.

    Senang rasanya punya orang untuk tempat berbagi. Senang rasanya bisa membuka diri. Aku lebih lega sekarang. Lebih tenang dan bisa bernafas dengan lega. Berkat Kelvin aku menutup hari dengan senyuman.

    **

  • update rapelan, 2 chapter sekaligus. :))
    sorry baru bisa update sekarang karena dari kemaren sibuk ngerjain tugas kampus. :D

    mention: @T_bex @alexislexis @ryanjombang @Zhar12 @ridhosaputra @earthymooned @jacksmile @jokosuseno @boy_filippo @bayumukti @jokerz
  • Mention saya ya ntar :)
  • bisa di bayangin sakitnya kaya gmn...
  • Puas bacanya.. Tapi kasian sama si Gembel, eh Ibel.. Hhuu
  • Keren euy, ternyata kelvin cuman teman saja, coba kelvin ada rasa ma abel dan jadian... Biar nanti di jakarta raksa cemburu.... Gue pernah di php in ma cowok straight... Ahhhh reserse
  • psen lagi ya klo dh Up,,.?
  • kasihan budak satu nie *ikut2 bhs melayu* lanjutt...
  • pengen cepet2 si Ibel balik ke kostan (⌒˛⌒)
  • eyke suka, kalo update banyak.
    jut
    jut
    jut !
  • Sorry lama gak update guys. Habis UAS kemaren langsung sibuk sama kerjaan, jadi gak sempet nulis. Update 2 chapter lagi ya. :)
  • Chapter 7: Let It Go!

    Aku merapikan lagi bagian kemeja yang masuk ke dalam celanaku. Masih ada sedikit lipatan-lipatan kecil yang membuatnya nampak berantakan. Kupandangi lagi penampilanku di kaca besar di kamar Kelvin ini. Sempurna.

    Berkat Kelvin, tadi pagi aku bangun dengan perasaan yang lebih lega. Seolah aku sudah membuang beban berton-ton di hatiku dalam bentuk air mata semalam. Aku memang belum bisa melupakan Rakha, tapi aku ingin mencobanya. Bukan melupakan secara aktual, tapi sekedar melupakan bahwa dia adalah orang yang spesial di hatiku.

    “Awak menangis macam ni, awak pikir dia rasa kah?” tanya Kelvin semalam, tangannya mengelus-elus rambutku.

    Kulepas pelukanku pada Kelvin dan kupandangi wajahnya. Aku ingin menjawab tapi jawaban itu serasa tertahan oleh sesuatu. Aku ingin bilang bahwa aku pun tidak tahu apa yang terjadi pada Rakha. Dan sekelumit pertanyaan-pertanyaan membingungkan muncul di kepalaku. Dan pertanyaan yang paling santer terngiang adalah ‘apakah aku sebodoh ini?’

    Sebelum liburan kali ini datang, aku sudah bersiap pada kemungkinan yang akan terjadi padaku karena harus berpisah dengannya. Saat liburan datang, aku tak kuasa menahan rindu dan menjadi seperti orang penyakitan. Galau setiap saat. Dan bila kulihat masa lalu, saat liburan berakhir dan aku berjumpa lagi dengannya, aku bertingkah seolah tidak ada apa-apa yang terjadi.

    Apa yang sedang kulakukan? Apa yang salah denganku? Apa aku sebodoh ini? Selama ini aku hanya menyiksa diriku sendiri, sementara dia tidak pernah merasakan apa-apa. Apa untungnya semua ini?

    Aku menatap Kelvin dan menggeleng. “Aku tidak tahu,” kataku parau.

    “Awak ingin dia tahu?”

    Aku mengangkat bahu. Bingung antara ya atau tidak.

    “Tegas lah, Bel,” paksa Kelvin.

    Aku memalingkan wajahku dari Kelvin, menatap hampa pada layar televisi. “Kenapa aku bisa begini, Vin?” tanyaku.

    “What?”

    Aku menoleh pada Kelvin, kuulang pertanyaanku, “Kenapa aku bisa begini?”

    Kelvin menghela nafas sebentar, lalu bertanya, “Awak cinta dia?” Aku berpikir sebentar, apa ini disebut cinta? Aku memutuskan untuk mengangguk saja. “Awak ingin terus bersama dia?” tanya Kelvin lagi, dan aku kembali mengangguk. “Awak nak terus terang pada dia?” Kelvin bertanya lagi, dan setelah pertanyaan itu, aku hanya diam.

    “Aku ... aku tidak yakin aku seberani itu,” kataku pelan.

    “Kalau awak tak terus terang, macam mana dia kan tahu awak suka sama dia?”

    “Bukan begitu, Vin. Masalahnya gak mungkin, karena kita sama-sama cowok!” kataku agak keras.

    “Kalau tahu tak mungkin, lantas mengapa awak mengharapkannya?”

    Jleb. Pertanyaan Kelvin menancap cepat dan tepat ke lubuk hatiku. Aku benar-benar serasa ditusuk. Otakku mulai bermain-main dengan pertanyaan yang sama dengan Kelvin. Hatiku menjadi kecut karena diberondong pertanyaan yang sulit untuk dijawabnya.

    “Jawab pakai logika awak, Bel. Jangan pakai hati,” ujar Kelvin mengingatkan. “Kalau awak tanya pada logika, semua jawabannya ada di dalam sana. Hati kita ni klise, hanya rasa apa yang ingin kita rasa. Karena tak ada manusia yang mau disakiti hatinya.”

    Aku merenung sendiri. Kucoba berpikir dengan logika, kutahan hatiku dari keinginan untuk berontak dan memberi jawaban yang ingin kudengar. Pertanyaannya satu, kenapa aku masih mengharapkannya? Logikaku berputar cepat, mencari jawaban yang sesuai nalar dengan mengesampingkan bahwa aku gay. Cowok mencintai cowok pada dasarnya saja sudah diluar logika. Makanya kukesampingkan dulu segala hal yang tidak berkaitan.

    “Aku tidak tahu, Vin. Selama ini dia sering memberi kode yang menunjukkan seolah-olah dia gay. Tapi rasanya gak mungkin. Dia pasti normal. Tapi semua kode-kode itu, benar-benar membuatku bingung. Seolah-olah ....”

    “Bel!” potong Kelvin. Jari telunjuknya sudah menempel di bibirku dan aku pun terdiam. “You must take control! Jika selama ini dia yang suka beri awak kode-kode macam tu, kenapa awak tak balas beri dia kode-kode serupa?” tanya Kelvin, sebuah gagasan.

    “Tidak, nanti dia curiga kalau aku gay,” elakku.

    “Pasti? Dia sudah sering beri awak kode, tapi awak masih bingung dia gay atau tidak kan?” tanya Kelvin. Benar juga yang diucapkannya. “Oh God! Kenapa semua gay yang saya kenal selalu macam ni. Mereka sering digoda oleh idaman mereka yang tampak straight, tapi tidak berani goda balik karna takut disangka gay. huh,” keluh Kelvin.

    Aku melongo melihat Kelvin. Darimana dia menemukan kata-kata tersebut? Pemikiran radikal yang seharusnya sudah terpikirkan pula olehku. Aku sendiri bingung kenapa aku takut untuk membalas kode-kode dari Rakha. Ya memang aku takut kalau Rakha berpikiran kalau aku gay, tapi hei, aku memang gay! Lalu kenapa?

    Aku mengerti maksud kalimat panjang Kelvin barusan. Aku harus pegang kendali. Selama ini aku hanya mengikuti arus yang dimainkan oleh Rakha. Kenapa bisa begitu, karena aku terlalu takut untuk memegang kendali.

    “Jawab segala kodenya macam dia yang butuh awak, bukan sebaliknya. Take control!” kata Kelvin dengan penuh keyakinan.

    Aku mengangguk mantap.

    “Besok saya kan ajak awak untuk katakan kalau awak cinta sama dia,” kata Kelvin, tanpa basa-basi lagi dia langsung beranjak dari sofa.

    “Seriously?” tanyaku kaget.

    “Tidur lah. Besok kita berangkat pagi,” balasnya singkat.

    Aku berpikiran macam-macam. Apa Kelvin sungguh-sungguh dengan rencananya untukku besok? Kalau iya, aku akan menolaknya dengan tegas. Aku memang ingin memperbaiki keadaanku, memegang kendali pada hubungan tanpa arah dengan Rakha. Tapi untuk jujur pada dia, rasanya belum saatnya.

    Ternyata Kelvin sungguh-sungguh. Tapi maksud dari rencananya itu hanya perumpamaan saja. Paginya dengan gaya seperti orang hendak lari pagi, aku dan Kelvin sudah berada di tepi Jurong Lake. Awalnya aku banyak bertanya, tapi dia memintaku untuk diam dan percaya padanya. Seperti biasa, aku menurut karena dia lah sang tuan rumah.

    “Nah, sekarang katakan kalau awak cinta dia,” kata Kelvin.

    “Hah?” aku masih belum paham perintahnya.

    “Ayo, Bel. Awak pasti bisa. Disini masih sepi lah, jadi tak ada orang nak hiraukan awah teriak-teriak macam budak gila,” katanya.

    “Hah?”

    “Scream here and tell that you love him!” kata Kelvin kesal, memakai bahasa Inggris karena menurutnya aku tidak paham kalimatnya dalam bahasa melayu.

    “Tapi ...”

    “Just scream! Bebaskan semua beban awak tentangnya di sini. Tak ada kan hiraukan awak. Let it go!”

    Sebenarnya aku mengerti maksud Kelvin dari awal. Dia ingin aku mengatakannya di sini. Di tepi danau yang sunyi ini. Suasana di tepi danau Jurong ini memang menyegarkan, aku tidak merasa sedang di sebuah negara kecil bernama Singapura. Bahkan Jakarta yang lebih luas rasanya tidak punya tempat seperti ini.

    Aku terhanyut sebentar dengan tarikan nafas segar yang bisa kuhirup. Kupejamkan mata dan entah bagaimana bisa terlintas bayangan Rakha dalam pikiranku. Tangisan dan air mata semalam tentu tidak bisa begitu saja menghilangkan rasa cinta yang telah kupupuk selama berbulan-bulan. Sayatan luka yang dalam tentu akan lebih lama hilang daripada hanya sekedar goresan.

    Aku merasakannya lagi dalam hatiku. Galau itu. Hanya sekelebat bayangannya dalam benakku, aku kembali galau. Dadaku terasa tertekan membuatku menghirup udara lebih dalam, sedalam yang kubisa.

    Menyedihkan rasanya mencintai seseorang tapi kita tidak bisa berbuat apa-apa, bahkan sekedar memberitahu cinta yang kita rasakan. Aku pernah update status seperti itu di Facebook sebelum liburan ini.

    “Ciee ada yang lagi galau nih,” kata dia mengejekku saat aku sedang berkemas di kamar kosku. Seperti biasa, berkemas untuk pulang ke rumah.

    “Apaan sih?” balasku sok acuh.

    “Itu status FB lu,” dia berjalan masuk dan duduk di tepi ranjangku. “Siapa? Kenalin dong,” tuturnya.

    Aku menatapnya, dia melihatku dengan cengiran lebarnya. Sok asik.

    “Gak ah, ntar lu naksir lagi,” balasku berbohong.

    “Gue gak makan temen kok, Bel. Tenang aja,” sahutnya cepat.

    “Tapi makan jeruk?”

    Demi apa pun kalau aku bisa menahan kata itu keluar dari mulutku, aku akan sangat bersyukur. Kenapa bisa-bisanya aku berkata seperti itu?

    “Emang lu gak doyan jeruk? Bukannya lu gak doyan duren ya?” dia malah menanggapi jeruknya, meski maksudnya berbeda

    “Gue doyan jeruk lah. Siapa yang gak doyan?” kataku dengan sedikit terbata-bata. Sebisa mungkin aku mencoba bicara lancar tanpa gelagapan.

    “Tergantung jeruknya sih,” katanya sambil bangkir dari ranjangku. Hmm, kata-katanya memang menjurus atau hanya aku yang terlalu berprasangka saja?

    “Yaudahlah, kok jadi malah bahas jeruk sih?” aku menutup sleting koperku lalu memandangnya. Dia mengangkat bahu sambil tersenyum tanpa makna, atau tepatnya aku tidak paham maksud senyuman itu. Lalu dia pergi dari kamar kosku.

    “Gue cinta sama lu, Kha,” bisikku pelan sambil menatap kepergiannya.

    “Lebih keras, Bel!” komentar Kelvin setelah mendengar ucapanku yang lebih terdengar seperti berbisik.

    “Gue cinta sama lu, Kha,” ulangku.

    “Don’t let me down! Louder!” kata Kelvin, dia berteriak seperti seorang pelatih sepakbola sedang memarahi pemainnya yang tidak berlatih dengan baik.

    “GUE CINT A SAMA LU, RAKHAAA!!!” teriakku.

    “Again!”

    “RAKHAAA!! GUE CINTA SAMA LU!! GUE SAYANG SAMA LU!!” kukerahkan semua suaraku untuk meneriakkannya. Benar-benar sepi disini, hanya beberapa burung terlihat terbang menyebrangi danau.

    “RAKHAAA!!!!!” aku berteriak lebih keras. Aku merasakan sesuatu di hatiku yang membuatku ingin terus meneriakkan namanya. Sebuah gejolak cinta yang membuatku ingin melakukannya lagi dan lagi. Aku tidak pernah bisa sebebas ini. Ini kesempatannya, dan akan kukerahkan semua yang kumampu. “GUE CINTA SAMA LU!! RAKHAA!! Uhuk uhuk.”

    Aku terbatuk. Namanya yang harus pake kho memang menyebalkan, rasanya seperti mengeluarkan semua cairan yang ada di tenggorokanku sehingga sekarang suaraku jadi serak. Kelvin menyodorkan minum, aku langsung meminumnya sampai tenggorokan ini terasa lega.

    “Cukup?”

    “Once more,” kataku. Aku menarik nafas dalam-dalam, udara pagi yang segar ini membuatku semakin bergairah. Begitu segar, dan aku memulai lagi. “RAKHAAA I LOVE YOUU!!!”

    Aku puas sekarang. Hatiku terasa menjadi lebih lega, lebih ringan. Aku telah mengatakan apa yang selama ini tidak bisa kukatakan. Meskipun tidak bicara langsung padanya, tapi setidaknya alam ini bisa menjadi saksi bisu bahwa aku sudah mengatakannya. Hal yang selama ini tidak pernah bisa kuucapkan langsung.

    Setelah minum lagi karena teriakan yang terakhir, aku dan Rakha tidur bersisian di rumput di bawah bayangan pohon. Aku menatap langit biru pagi hari Singapura. Cerah meskipun sekarang musim hujan. Terdengar kicauan burung yang membuat suasanya menjadi lebih tentram.

    “Thanks, Vin,” kataku.

    “Tak masalah. Saya senang bisa bantu awak,” dia tersenyum padaku.

    Aku tersenyum balik, lalu kembali menatap langit yang biru. Syahdu sekali alam ini, kenapa aku bisa tidak menyukainya? Kenapa aku lebih suka hiruk pikuk kota dan bangunan-bangunan yang menyebabkan polusi daripada alam yang begitu menentramkan ini? Kurasa aku mulai menyukai alam sekarang. Kalau ada kesempatan wisata, aku ingin pergi ke alam. Gunung, danau, sungai, apa saja, aku ingin merasakan ini lagi suatu saat nanti.

    “Dulu aku tidak suka wisata alam begini, Vin,” ujarku, “menurutku tidak ada yang menarik dari pergi ke gunung, sungai, danau atau apa lah. Semuanya hanya akan bikin capek. Lebih enak jalan-jalan ke kota, semua tersedia, praktis. Transportasi gampang, gak perlu jalan kaki. Makanan banyak yang jual, gak perlu susah-susah bikin sendiri. Tapi disini, di alam ini, aku baru tahu ada satu hal yang gak bisa aku lakukan di kota.”

    “Apa?”

    “Bilang kalau aku cinta seseorang yang gak bisa kubilang langsung,” aku menatap Kelvin dan tersenyum penuh rasa terima kasih. Kalau tidak ada Kelvin, aku tidak akan pernah melihat alam dari sudut pandang lain.

    “Di kota pun awak boleh teriak-teriak macam tadi. Kebanyakan orang kota tak saling peduli kan?”

    Aku terkekeh pelan. Benar juga sih. “Ya tapi aku nanti disangka orang gila,” balasku. Kelvin tertawa. Aku meraih tangan kanan Kelvin dan menggenggamnya. “Terima kasih, Vin. Untuk segalanya,” kataku tulus.

    “Saya hanya lakukan yang saya bisa lakukan. Menolong sesama.”

    “Sesuatu yang jarang kita lihat di kota jaman sekarang ya?” kataku dan kami berdua tertawa dan tangan kami masih berpegangan.

    Aku merasa damai sekarang. Jauh lebih bahagia meskipun tidak ada Rakha disini. Aku merasa tentram karena aku telah melepaskan semuanya. Tidak semuanya sih, aku masih mencintainya. Tapi aku sudah tidak menahannya lagi, karena alam kini sudah tahu. Aku sudah berbagi, hal yang bukan hanya dibutuhkan orang yang dibagi, tapi juga yang memberi. Karena pahlawan hebat pun tidak bisa menyimpan semua rahasianya sendiri.

    Pintu kamar Kelvin tiba-tiba terbuka.

    “Bel, lekas! Kita akan terlam...,” Kelvin menghentikan kalimatnya begitu melihatku yang sudah rapi. Aku tersenyum dan berharap dia senang karena aku memakai kemeja ungu yang dia belikan untukku. “Saya kira awak tak nak pakai kemeja tu?” katanya sambil melangkah masuk. Dia mengenakan kemeja yang sama denganku.

    Aku nyengir kuda lalu berputar sekali memamerkan penampilanku yang sudah sempurna untuk acara malam ini. “Sebagai ungkapan rasa terima kasih, aku pakai ini. Khusus untuk kamu, Vin,” kataku senang.

    “Well. You look awesome!” pujinya. “Eh ayo lekaslah. Taksi dah tunggu di depan nih,” katanya langsung menarik tanganku.

    Dengan berlari kecil kami melintasi ruang keluarga dan ruang tamu, langsung masuk taksi yang sudah menyalakan argo di depan pagar rumah Kelvin. Akhirnya aku tahu kenapa dia minta buru-buru. Tarif taksi di Singapura tidak semurah di Jakarta!

    **

  • Chapter 8: Being Loved

    Aku dan Kelvin sekarang berada di salah satu sudut butik yang tidak terlalu ramai namun dekat dengan tempat makanan yang dihidangkan prasmanan. Mama baru saja selesai memberikan sambutan kepada tamu undangan yang sebagian besar kalangan desainer dan teman-temannya yang kini masih bertepuk tangan.

    “Selamat menikmati pestanya,” seru mama dengan senyum sumringah lalu turun dari panggung kecil setinggi 20 cm yang berada di seberang ruangan tempatku berada sekarang.

    “Nah, sekarang saatnya saya berdendang nih,” kata Kelvin sambil meletakkan gelasnya begitu saja.

    “Berdendang? Kamu mau dangdutan, Vin?” tanyaku meledek, aku tahu maksud dia sebenarnya.

    “I mean, sing a song,” Kelvin meluruskan, tidak mau berputar-putar pada masalah bahasa yang kini malah jadi bahan ledekanku padanya.

    Kelvin pun meninggalkanku sendiri dan berlari kecil menuju panggung. Disana dia bicara sebentar dengan para pemain musik serupa organ tunggal dan mereka semua saling mengangguk-angguk.

    “Hello guys,” kata Kelvin menyapa para tamu undangan, namun sebagian besar dari mereka masih cuek saling mengobrol karena menganggap sapaan itu tidak perlu dibalas. Kelvin mengangkat tangan kanannya ke arahku dan tersenyum. Tanpa ragu aku membalas sapaannya yang terasa konyol. Semenit yang lalu kami masih bersama dan sekarang dia menyapaku seolah dia artis sedang menyapa fans-nya.

    “Tonight, I will sing a special song, for special person. Because, this party is so special. Good luck for your new boutique aunty,” katanya sambil tersenyum pada mama, satu-satunya orang selain tante Rita yang memperhatikan Kelvin. Selain aku juga.

    Musik mulai beralun, aku tahu intro lagu ini. Aku suka menyanyikannya diiringi musik akustik dari gitarku. If you’re not the one yang dipopulerkan oleh Daniel Bedingfield. Aku sering membayangkan dia ada di hadapanku saat aku menyanyikannya sambil bermain gitar. Aku masih ingat jelas liriknya.


    If you’re not the one
    Then why does my soul feel glad today?
    If you’re not the one
    Then why does my hand fit yours this way?


    Kelvin mulai bernyanyi. Aku benar-benar kaget begitu mendengar suaranya. Sungguh merdu dan karakter suaranya pas dengan lagu Daniel Bedingfield yang sedang dinyanyikannya. Rakha menatapku sambil tersenyum, dan aku membalas senyumannya sambil mengangkat gelasku. Bersulang untuk suara Kelvin yang indah itu.


    I’ll never know what the future brings
    But I know you here with me now
    We’ll make it through
    And I hope you are the one I share my life with


    Kelvin terus menatap mataku saat menyanyikan lagu itu. Aku mendadak risih. Seolah ada pancaran kasat mata yang sedang diarahkannya padaku. Mungkinkah?


    I don’t want to run away but I can’t take it
    I don’t understand
    If I’m not made for you then why does my heart tell me that I am
    Is there any way that I can stay in your arms?


    Aku masih menampik prasangka itu. Tidak mungkin. Kalaupun mungkin, tidak boleh. Tidak bisa. Kelvin tidak boleh melakukan itu. Dia tahu aku mencintai orang lain yang mungkin masih akan menghuni hatiku sampai beberapa saat sampai aku benar-benar bisa melupakan rasaku padanya. Bukan begini caranya, aku tidak butuh pelarian. Buat apa pelarian kalau hanya akan membuat sakit lainnya?

    Dengan begitu merdu Kelvin menyanyikan bait selanjutnya, membuatku merinding dengan penghayatan lagunya yang sangat mendalam.


    ‘Cause I miss you, body and soul so strong that it takes my breath away
    And I breathe you into my heart and pray for the strength to stand today
    ‘Cause I love you, whether it’s wrong or right
    And I thought I can’t be with you tonight
    You know my heart is by your side


    Lalu kembali ke reff. Sekali lagi Kelvin menatapku, tepat saat lirik “Cause I love you”, aku risih dengan pandangannya itu. Semakin lama aku semakin tidak kuat terus mendengarkan suaranya yang merdu itu. Aku meletakkan gelasku dan berjalan meninggalkan ruangan pesta. Keluar dari butik.

    Di luar sini lumayan ramai, tidak seperti pertama kali aku datang. Mungkin karena sekarang malam Sabtu, banyak orang yang pergi malam sebab besok sudah libur kerja. Kubiarkan saja orang lalu lalang. Aku berdiri di pagar pembatas dan melihat pemandangan mall secara luas ke bawah. Lebih ramai di bawah. Tapi kenapa aku merasa sepi?

    Hatiku merasakan yang lain sekarang. Aku masih belum bisa menghilangkan semua cintaku kepada Rakha, tapi sesuatu yang berbeda tiba-tiba saja masuk tanpa permisi. Aku galau dengan cerita yang berbeda. Aku takut kalau apa yang kusangkakan pada Kelvin benar adanya.

    Baru dua hari, apakah mungkin? Cinta pada pandangan pertama? Ah omong kosong. Cinta pada pandangan pertama artinya cinta pada penampilan fisik, bukan dari hati. Aku pernah dicinta pada pandangan pertama, dan dengan sifatku yang pengiba, aku berhasil menjadi penghancur hati wanita yang keji. Beberapa kali.

    “Bel, dapet salam dari Irma. Anak ekonomi,” kata Inu saat aku sedang main gitar di teras kos-an dengan Rakha.

    “Wuihh. Gebet bel gebet!” seru Rakha bersemangat. Tidak tahu saja dia kalau orang yang kutaksir sebenarnya dia sendiri.

    “Irma yang mana?” tanyaku bingung.

    “Yang kemaren lu bayarin makan di kantin gara-gara si ibu kantin gak ada kembalian,” jawab Inu, “dia temen SMA gue. Makanya gue kenal.”

    “Ohh. Yaudah salam balik aja,” kataku cuek.

    “Beuhh gaya lu, Bel. Sok ngartis dah cuek begitu,” Inu melempariku dengan buku chord gitar di tangannya. “Cinta pada pandangan pertama katanya dia sama lu,” imbuh Inu.

    “Ciyee Ibel,” seloroh Rakha.

    Akhirnya aku penasaran dengan cewek yang katanya naksir denganku itu. Hanya butuh dua minggu pendekatan saja dan akhirnya kami pacaran. Cepat datang, cepat pergi. Begitu kata pepatah. Dua bulan setelahnya, aku memutuskannya karena bosan. Begitu cepatnya padahal aku masih belum tahu banyak tentang Irma. Tapi ya, gak tertarik mau diapain lagi?

    “Kenapa awak sendirian di luar sini?” tanya Kelvin yang tiba-tiba sudah berada di sampingku. Dia menyodorkan segelas minuman kepadaku. Tidak ada alasan untuk menolak, jadi kuambil saja. Kuseruput sedikit sebelum kujawab pertanyaannya.

    “Gak pa-pa. Di dalam ramai sekali, lebih enak disini, sepi,” jawabku seadanya.

    “Biasanya, kalau awak cakap gak pa-pa itu artinya ada apa-apa,” Kelvin menatapku dengan tatapan menyelidik. “Apa lagi? Masih ingat pada dia kah?”

    “Kalau iya gimana? Kamu mau nyuruh aku teriakin nama dia lagi dari sini?” tanyaku meledek.

    Kelvin tertawa, “kalau awak tak sungkan ya silakan dicuba. Siapa tahu dia sedang disini,” katanya.

    “Impossible!” balasku singkat.

    Hening. Aku minum minuman yang diberikan Kelvin tadi sambil melihat ke bawah, ke lantai dasar mal yang ramai dengan orang hilir mudik. Biasanya bila suasana sudah sepi begini, Kelvin akan bertanya, tapi entah kenapa dia membisu. Akhirnya aku juga yang bersuara memecah keheningan di antara kami berdua.

    “Vin,” kataku, sejenak kemudian aku ragu untuk berbicara.

    “Ya?”

    “Kita ... hanya berteman saja kan?” tanyaku dengan tampang seperti orang bodoh.

    Sesuai dugaan, Kelvin memicingkan matanya menatapku. Aku tahu tadi itu pertanyaan tolol, tapi aku hanya ingin memastikan saja. Tidak ingin ada perbedaan persepsi antara aku dengan Kelvin.

    “Kenapa awak tanya macam tu?”

    “Just asking. Jawab lah,” aku mendesak.

    “Ya. We’re just friend. Kenapa? Awak pikir saya suka sama awak ya?” Kelvin langsung tertawa dengan bayolannya, tapi aku merasa itu tidak lucu sama sekali.

    Aku tersenyum kecut lalu mengalihkan pandangan pada kerumunan orang di lantai dasar kembali. Aku mengingat kembali alasanku memastikan hal ini pada Kelvin. Aku tidak ingin dia sama seperti orang-orang yang kusakiti tanpa sadar. Aku tidak sebaik yang dia pikir kalau benar dia menyukaiku. Lebih baik jangan daripada mencoba-coba.

    “Aku sudah beberapa kali pacaran, dengan perempuan,” aku mulai berkata, entah kenapa tiba-tiba ingin bercerita, sekaligus memberi penjelasan atas pertanyaanku tadi. “Tapi aku tidak pernah benar-benar pacaran. Aku tidak pernah merasakan yang namanya mengejar cinta, karena awalnya mereka yang menyukaiku. Dan begitu tahu, aku langsung mendekati mereka seolah-olah aku juga menyukai mereka. Kronologisnya kebanyakan sama, seperti itu, dan akhirnya juga sama. Aku memutuskan mereka semua dengan alasan yang dibuat-buat, padahal sebenarnya aku bosan dengan hubungan yang kujalani.”

    “Kenapa awak cerita ini?” Kelvin menatapku bingung. Aku hanya tersenyum lalu menghela nafas.

    “Aku takut kamu suka sama aku, Vin,” kataku berterus terang, serius. Bukan seperti banyolannya tadi.

    Kelvin diam, tidak bereaksi sedikitpun.

    “Hehe, aku berpikiran begitu pas denger kamu nyanyi tadi. Entah lah. Hanya perasaanku saja mungkin,” kataku ngawur.

    “Apalah awak ni cakap tak jelas lah,” gerutu Kelvin.

    Aku menyeringai. Sudah ah, cukup obrolannya. Aku tidak tahu apakah Kelvin menangkap maksud dari perkataanku tadi atau tidak. Aku tidak peduli karena yang terpenting aku sudah mengutarakannya.

    Kemudian aku mengajak Kelvin masuk lagi ke butik, kembali ke pesta. Aku menghabiskan waktu di pesta hanya bersama Kelvin karena mama sibuk dengan semua koleganya. Masa bodo, mama sudah sering mengacuhkanku saat aku ikut acaranya. Makanya kadang aku malas pada acara-acara semacam ini.

    Jam sepuluh Kelvin mendadak mengajakku pulang duluan. Saat kutanya ada apa, katanya ada urusan penting dengan orang di Australia. Aku langsung mengerti maksudnya. Dan benar saja, saat sampai kamarnya, tanpa beres-beres, dia langsung menghidupkan laptop dan menyalakan skype. Mungkin Kelvin kangen berat dengan pacarnya di Australia itu sehingga rela meninggalkan pesta yang meriah di butik.

    Aku masuk kamar mandi untuk ganti baju dan persiapan tidur. Saat aku selesai dan membuka pintu kamar mandi, aku langsung kaget saat melihat cowok berkemeja ungu yang sedang skype itu menangis tersedu-sedu. Matanya menatap lurus pada layar monitor laptopnya. Air mata membanjiri pipinya. Kelvin yang selalu tampak ceria di mataku, kini sedang menangis.

    Kulangkahkan kakiku mendekatinya. Sungguh aku ingin bertanya ada apa sehingga dia menangis, tapi dia masih terus bicara dalam bahasa Inggris dengan cowoknya di layar laptop. Sedikit aku menangkap Kelvin berkali-kali berkata ‘cheat’. Pikiranku langsung tertuju pada perselingkuhan. Siapa yang selingkuh? Aku benar-benar penasaran. Ingin rasanya memotong pembicaraan Kelvin untuk sekedar bertanya, tapi situasinya tidak memungkinkan. Kuurungkan niatku dan berbelok ke pintu kamar. Keluar.

    Aku mendarat di sofa tempat semalam aku menangis dalam rangkulan Kelvin. Otakku masih terus memikirkan tentang Kelvin. Akan kutanyakan setelah keadaan Kelvin membaik, atau setidaknya saat dia dengan pacarnya sudah tidak skype-an lagi. Di sisi lain otakku berpikir tentang perselingkuhan. Dan sebuah pikiran membuatku bergidik karena takut sekali membayangkannya.

    Apa mungkin Kelvin disangka selingkuh denganku dan membuat hubungan mereka berdua retak?

    Aku pun menyalahkan diriku sendiri sambil berharap apa yang kupikirkan tidak benar-benar terjadi. Sedetik kemudian aku mendengar pintu kamar Kelvin terbuka. Aku langsung menengok dan melihat Kelvin berdiri di depan pintu kamarnya dengan mata yang sembab. Dia tersenyum padaku.

    Perlahan dia menghampiriku. “Begitu cepat dunia berputar ya. Kemarin awak di bawah dan saya di atas, sekarang sudah terbalik,” ujarnya, ada kesedihan dalam nada suaranya. Kelvin mendarat duduk di sampingku. Aku menatapnya untuk memberitahu padanya bahwa aku ada disini untuk membantunya.

    “I will not cry,” katanya, tapi suaranya sudah bergetar seperti menahan tangis.

    Tanpa ragu aku memajukan tubuhku dan memeluknya. Nafas Kelvin jadi terisak dalam pelukanku. Keadaan memang jadi terbalik sekarang, hanya dalam waktu 24 jam. Cinta benar-benar tidak dapat ditebak, berputar-putar seenaknya tanpa peduli pada para pecinta.

    “Mungkin besok kita bisa ke Chinese Garden lagi, dan giliran kamu besok yang teriak-teriak,” kataku berusaha menghiburnya.

    Lalu terdengar sedikit tawa dibalik isakan tangis Kelvin yang terus dicoba untuk ditahannya. Dia tidak menjawab tapi memelukku lebih erat. Semakin erat sampai aku sendiri merasa tidak ingin melepaskannya juga, seolah aku yang membutuhkan pelukan itu. Kuhirup nafas panjang dan kunikmati setiap hembusan yang ada. Entah bagaimana mulanya, aku merasa nyaman dengan pelukan ini.

    **

Sign In or Register to comment.