It looks like you're new here. If you want to get involved, click one of these buttons!
Copyright 2021 Queer Indonesia Archive. See our Privacy Policy. Contact us at [email protected]
Dengan menggunakan situs ini berarti Anda setuju dengan Aturan Pakai.
BoyzForum.com adalah situs anti pedofilia!
Comments
Tamma
♫ Nada Keempat—Fa (Bagian Kedua)
“… Bass Prayata!”
Saat namaku dipanggil, aku mulai melangkahkan kakiku pelan dari bagian backstage yang agak remang menuju front-stage yang sangat terang. Aku langsung menyipitkan mataku begitu seluruh lampu studio mengarah tepat ke arah tubuhku. Seiring riuhnya tepuk tangan penonton, sedikit demi sedikit, aku membuka mataku dan mengedarkan pandanganku ke seluruh isi studio. Yang pertama kulihat adalah Aksel yang sedang duduk di bagian tengah bangku penonton sambil menatapku lekat lalu Mbak Winny—tim kreatif acara Hitam Putih.
Aku memasang senyum yang paling lebar pada bibirku, lalu turun melalui tangga kecil yang ada di front-stage. Mataku segera tertuju pada ayah, mama, dan Bang Alto yang sedang terduduk di sofa. Mereka terlihat sangat terkejut sekali dengan kedatanganku.
Selanjutnya, pandanganku tertuju pada seorang pria yang berdiri di tengah-tengah stage dan sedang tersenyum tipis—atau sinis? Entahlah—ke arahku. Begitu tepat berada di sampingnya, aku segera mengangkat tanganku untuk bersalaman dengan pria tak berambut itu. Yep, Deddy Corbuzier. “Hallo, Om,” sapaku.
“Apa kabar, Bass Prayata?” tanyanya setelah melepaskan genggaman tangan kami.
“Baik,” jawabku singkat sambil tak lupa menghambur-hamburkan senyumanku ke arah kamera yang terdapat lampu menyala merah di bagian depannya.
“Baiklah kalau begitu, kita langsung mulai saja… this is a Question of Life!” seru om-om bergigi tak rata itu, yang disambut tepukan riuh oleh penonton yang duduk di dalam studio.
Om Deddy meraih bahuku pelan lalu menuntunku untuk duduk di salah satu kursi tinggi yang minimalis. Setelah duduk di bangku itu, aku mengetuk-ngetukkan jariku di atas meja yang ada di hadapanku, gugup. Siapa yang tidak gugup jika ditanyai berbagai pertanyaan—yang mungkin saja aib bagi orang yang ditanya—dan harus dijawab dengan jawaban paling jujur? Kau juga akan gugup, bukan?
Beberapa detik kemudian, aku mengangkat kepalaku. “Pemirsa… Bass ini adalah adik kandung dari Alto, benar begitu?” tanyanya padaku sambil melihatku sekilas lalu kembali menatap kamera. Aku hanya mengangguk pelan sebagai jawaban atas pertanyaan yang sudah pasti jawabannya itu. “Pantas saja mirip sekali—”
“Ya iyalah, Mas. Adik-kakak pasti miriplah,” potong orang-bertubuh-pendek yang duduk di balik grand piano hitam. Selaannya itu menimbulkan gelak-tawa di seluruh isi studio. Tapi, aku tidak tertawa sama sekali. Memangnya lucu, ya? Sedangkan Deddy Corbuzier hanya melotot karena perkataannya dipotong oleh seseorang—sebut saja ‘Anu’.
Deddy Corbuzier pun berdeham, menghentikan tawa yang sempat menggelegak. “Okay… kita langsung saja. Kalau saya bilang ‘saya’ itu berarti kamu, ya?” tanyanya sambil mengetukkan kertas kecil berisi pertanyaan ke meja yang ada di hadapanku.
“Okay,” sahutku.
Jeda sejenak, lalu—“Keluarga saya tidak pernah tahu kalau saya…?”
Anjrit! Tidak mungkin, kan, kalau aku menjawab aku ini adalah gay? BIG NO! “Aku suka makan pedas diam-diam,” jawabku cepat. Biarlah ayahku tahu kalau aku suka makan pedas diam-diam, yang penting mereka tak tahu aku gay. Jangan sampai.
“Saya paling tidak suka jika saya…?”
Jujur saja, aku paling tidak suka jika… “Ditatap lama-lama oleh orang yang baru aku kenal.”
“Saya akan merasa sangat bahagia jika berada di…?”
“Berada… di dekat orang yang aku sukai.” Aksel.
Aku sempat melirik ke arah Aksel yang terlihat sedang memerhatikanku, tapi terputus begitu om-om itu bertanya lagi padaku. “Saya lebih mengutamakan keluarga dibandingkan…?”
Kenapa pertanyaannya tentang keluarga terus, sih? “Diri saya sendiri.”
Om Deddy terlihat sempat meragukan jawabanku “Perez,” komentarnya, tapi ia segera menanyakan pertanyaan selanjutnya. “Keluarga atau pacar?” Sekarang pertanyaannya berupa pilihan. Sial!
Aku sempat berpikir sekejap, lalu menjawab cepat, “Keluarga.” Setidaknya tak ada istilah ‘putus’ dalam keluarga. Yah, kecuali keluargaku. Mungkin.
“Menyontek atau nilai jelek?”
“Nilai jelek,” jawabku mantap.
“Yakin?” selidiknya, agak memaksa.
Aku sedikit mendengus. “Ya udah deh, menyontek aja,” jawabku sambil tersenyum, dan aku mendapat serangan tawa dari penonton.
“Meninggalkan atau ditinggalkan?”
Jika aku meninggalkan, aku akan menyakiti orang lain. Tapi, jika aku ditinggalkan, maka akulah yang akan tersakiti. “Meninggalkan,” jawabku, egois. Tentu sajalah, jika aku meninggalkan seseorang seharusnya orang itu mengejarku kembali, itu pun jika orang itu ingin mengejarku. Kalau tidak? Terserah.
“Makan udang atau mengupil di depan kamera?”
Pertanyaan sinting! Aku alergi udang! Om-om botak ini tahu dari mana, sih, kalau aku alergi udang? Sedangkan, mengupil di depan kamera. Ihhh! “Mmm… makan udang.” Biar, deh, kena alergi, asal tidak mengupil di depan kamera!
Deddy Corbuzier mengangguk atas jawabanku dan tersenyum, seolah puas membuatku kebingungan. “Okay… pertanyaan terakhir…” Deddy Corbuzier membuat jeda sejenak, membuat suasana tiba-tiba seolah mencekam. Pertanyaan pamungkas ini pasti adalah pertanyaan yang paling mengerikan dibandingkan pertanyaan lainnya. “Diselingkuhin cewek yang disukai atau suka sama cowok?”
Loh? Kok… pertanyaanya…
Apa dia bisa membaca pikiranku? Astaga, dia kan mentalist! Bagaimana kalau dia bisa membaca seluruh kata-kata yang aku umpatkan untuknya tadi? Bagaimana kalau dia tahu semua rahasia-rahasia terbesar dalam kehidupanku? “Su-suka cowok,” jawabku.
Seluruh isi studio hening seketika.
Bodoh! Aku salah menjawab! Bagaimana ini?
Aku langsung tertawa canggung dan menggaruk tengkukku yang tak gatal sama sekali. “Bercanda!” seruku. Entah kenapa, tiba-tiba semua orang di studio mendesah lega dan ikut tertawa bersamaku. “Aku milih diselingkuhin cewek,” jawabku. Ya iyalah, aku pasti akan memilih diselingkuhi oleh perempuan. Toh, hal itu tak akan berpengaruh terhadapku.
“Dasar,” umpat Deddy Corbuzier lalu berdiri dari kursi tingginya. “Tepuk tangan untuk Bass Prayata!” perintahnya pada penonton sambil ikut menepuk-nepukkan tangannya dan berjalan menuju mejanya.
“Silahkan duduk.” Ia mempersilahkanku duduk sambil menunjuk sebuah single-chair berwarna putih—bagian dari sofa yang diduduki keluargaku.
Aku bangkit dari kursi tinggiku dan menghampiri single-chair yang ditunjuk itu. Sebelum aku duduk, aku ditodong pertanyaan oleh Bang Alto. “Kok kamu bisa ada di sini?” tanyanya heran.
“Surprise!” seruku sambil tersenyum lebar. Sebenarnya aku dipinta Bang Reno—manager Bang Alto—untuk mengisi acara ini, jadi surprise ini sama sekali bukan ideku.
Setelah menjawab pertanyaan dari Bang Alto, aku segera menempatkan pantatku di single-chair yang luar biasa empuknya. Aku mengalihkan pandanganku pada ayah dan mama yang duduk bersebelahan di sofa yang sama dengan sofa yang diduduki Bang Alto. Sepertinya ayah masih marah padaku perihal showcase-ku waktu itu, tentu saja. Hal itu terbukti dari pandangan ayah yang enggan untuk menyambangiku. Aku hanya tersenyum kecut melihat hal itu.
“Okay… Alto. Menurut kamu, adik kamu ini seperti apa orangnya?” Pertanyaan Om Deddy mampu mengalihkan perhatianku dari ayah, dan sekarang aku memerhatikan wajah Bang Alto lekat, penasaran dengan jawaban yang akan dilontarkan dari mulutnya.
“Adikku, ya?” Ia menerawang, berpikir. “Dia sangat baik. Dia mengerti aku ini seperti apa orangnya. Dia juga… pandai memijat,” ungkap Bang Alto sambil terkekeh saat menyebutkan kalimat terakhir.
“Memijat?” tanya Om Deddy sambil mengernyitkan keningnya.
Bang Alto tertawa sejenak. “Ya… memijat. Kalau aku sedang capek, dia sering memijat tubuhku. Tapi dia matre,” ujarnya.
Matre? Maksud Bang Alto soal chicken-wings itu? Jadi selama ini Bang Alto menganggapku matre hanya karena makanan super-pedas itu? Aku kan sudah sewajarnya meminta imbalan, toh memijat bukan pekerjaan yang tidak mengeluarkan tenaga dan energi.
“Matre? Matre seperti apa?” tanya Deddy Corbuzier heran.
“Kalau aku memintanya untuk memijat badanku, dia sering meminta imbalan terlebih dahulu. Jika tidak ada imbalan, dia tidak mau melakukannya,” jelas Bang Alto.
“Oh,” sahut Om Deddy. “Tuh, jadi adik harus nurut sama kakak. Jangan matre!” nasehatnya padaku, yang tak kuanggap sama sekali. Sudah kubilang, kan, kalau imbalan itu sesuatu yang wajar?
“Terus, apa kalian sering bertengkar? Biasanya kan adik-kakak yang sama-sama laki-laki itu sering bertengkar… atau mungkin berebut… sesuatu?” tanyanya dengan pertanyaan ambigu. Apa maksudnya dengan berebut sesuatu? Aku tak bodoh untuk memahami maksud dari pertanyaan itu.
“Kalau bertengkar… mungkin dulu kami sering bertengkar. Tetapi, aku kan sekarang sibuk dan kami juga sama-sama sudah dewasa. Bertengkar hanya bisa membuang-buang waktu—”
“Kalau berebut sesuatu… berebut pacar, misalnya?” potong Om Deddy sambil melihatku dengan ujung matanya.
Bang Alto tertawa atas pertanyaan itu. “Tidak, kami tidak pernah berebut pacar. Bahkan aku tidak tahu pacar Bass yang mana.” Bang Alto belum tahu aku gay. Jadi tenang saja, Bang. Aku tak akan segelap mata itu merebut pacarmu—entah siapa pun itu.
“Kalau saya menanyakan, seberapa dekat hubungan Anda dengan adik Anda, Anda akan menjawab apa?”
“Sangat dekat,” ujar Bang Alto mantap.
“Benarkah?” tanya Om Deddy, seolah meragukan jawaban mantap dari Bang Alto. “Kalau begitu, saya akan melakukan tes kedekatan antara kalian berdua.”
Om Deddy berdiri dari kursinya lalu menerima dua buah papan dada dan dua buah spidol papan dada putih dari seorang kru yang memakai pakaian serba hitam. Setelah mendapatkan semua benda itu, Om Deddy menyerahkannya padaku dan Bang Alto. Aku mengamati kertas A4 kosong yang melekat dengan papan dada. Kata Mbak Winny, saat briefing tadi, aku harus menjawab pertanyaan yang diberikan Deddy Corbuzier mengenai Bang Alto. Aku belum tahu pertanyaannya seperti apa.
“Okay…” Aku mengangkat kepalaku melihat Deddy Corbuzier yang sudah kembali duduk di balik mejanya. “Jadi tes kedekatan ini bertujuan untuk mengetahui seberapa dekatkah Anda dengan adik Anda. Saya akan memberikan pertanyaan yang sama untuk kalian berdua. Setiap pertanyaan harus berisi dua jawaban. Jawaban mengenai Anda sendiri dan satu lagi jawaban mengenai adik atau kakaknya.”
Bang Alto mengangguk singkat sambil membuka penutup spidol hitamnya. Aku pun melakukan hal yang sama dengannya.
“Pertanyaan pertama… berapa tanggal lahir masing-masing?”
Aku segera menggoreskan tanggal lahirku—12 Juni 1997—pada kertas A4 yang berwarna itu. Setelah itu, aku menuliskan tanggal lahir Bang Alto tepat di bawah coretan tanggal lahirku.
“Sudah?” tanya Deddy.
Kami menjawab serempak, “Sudah.”
“Saya ingin mendengar jawaban dari Alto terlebih dahulu,” ujarnya. “Berapa tanggal lahir Bass?” tanyanya pada Bang Alto.
Bang Alto melihat jawaban dari papan dadanya lalu berujar, “12 Juli?” Dia malah balik bertanya seolah tak yakin.
“Salah, Bang!” seruku sambil membalikkan papan dadaku dan memperlihatkannya ke arah kamera—seperti yang sudah diperintahkan oleh Mbak Winny. “Harusnya tanggal 12 Juni,” ralatku. Jujur saja, aku merasa agak kecewa dengan ketidaktahuannya dengan tanggal lahirku. Tapi, yah…
“Aduh, bagaimana ini, katanya dekat dengan adiknya tapi malah tak tahu tanggal lahirnya,” komentar Deddy. Kalau aku bisa me-retweet kata-katanya, mungkin aku sudah me-retweet-nya sekarang juga, kalau bisa, aku akan menjadikannya sebagai favorites. “Sekarang kamu… Bass. Berapa tanggal lahir Alto?”
“16 Januari 1990,” jawabku mantap. Soal ulang tahunnya, aku sangat ingat sekali. Ulang tahun ayah dan mama pun aku sudah hapal di luar kepala.
“Benar,” ucap Bang Alto sambil membalikkan papan dadanya sepertiku, dan aku langsung mendapatkan tepuk tangan dari penonton.
“Pertanyaan kedua… berapa nomor sepatu masing-masing?”
Aku segera menuliskan jawabanku.
“Bass…” Aku mengangkat kepalaku. “Berapa nomor sepatu Alto?”
“42,” jawabku. Aku ingat, karena saat ulang tahunnya yang lalu, aku menghadiahinya Vans berukuran sebesar itu.
“Benar,” kata Bang Alto lalu kembali membalikkan papan dadanya.
“Sekarang, Alto… berapa nomor sepatu Bass?”
Bang Alto menatap wajahku. “38, ya?” Pertanyaan itu kembali dijawab dengan pertanyaan tak yakin.
“Kakiku tidak sekecil itu, Bang,” ucapku geli sendiri. “Nomor sepatuku 40.”
“Wah, bagaimana bisa seperti itu?” tanya Deddy heran. Karena tak membutuhkan jawaban, ia langsung berkata, “Sekarang pertanyaan terakhir… sebutkan tipe perempuan masing-masing.”
Aku bingung, itu kan bukan pertanyaan, tapi perintah. Tapi, ya, sudahlah. Aku tetap menuliskan tipe perempuan Bang Alto. Aku pernah mendengar Bang Alto menyukai tipe perempuan seperti Raisa—bahkan, aku sempat mendegar gosip bahwa Bang Alto dan Raisa itu pernah berpacaran, tapi aku tak tahu kebenarannya, karena aku tak pernah menanyakannya langsung pada Bang Alto. Nah, loh, terus… Bang Alto pasti tak akan tahu tipe perempuanku seperti apa. Ya, iyalah! Aku kan tidak suka perempuan, Bang!
“Kamu terlebih dahulu, Bass. Sebutkan tipe perempuan Alto itu seperti apa!”
“Aku tidak tahu pastinya seperti apa. Tapi…” Aku menyebutkan ciri-ciri dari Raisa, “Yang pasti: cantik, berambut panjang, manis, dan… bisa menyanyi.”
Kulihat Bang Alto tersipu malu dari tempat duduknya. “Ya… bisa seperti itu.”
“Wah, benar lagi, sepertinya Anda tahu sekali tentang kakak Anda,” komentarnya padaku, yang kubalas dengan senyuman tipis.
“Sekarang kamu… Alto. Sebutkan tipe-tipe perempuan Bass itu seperti apa!” Aku tertawa-tawa dalam hati bergitu pertanyaan itu dilontarkan. Saat akan menjawab, Deddy malah menyelanya, “Sekarang harus benar, masa dari tiga pertanyaan kamu tidak bisa menjawab satu pun pertanyaan?”
Bang Alto terkekeh sendiri. “Aku tidak tahu tipe perempuan seperti apa yang Bass sukai. Soalnya dia tidak pernah bercerita.” Ungkapan Bang Alto mendapatkan respon tawa dari penonton. Memangnya lucu, ya? Aku bahkan melihat Aksel pun tertawa dengan ungkapan Bang Alto itu. “Tapi, yang pasti, adik iparku harus… cantik.”
Aku melongo sendiri mendengar jawaban dari Bang Alto. Seperti itukah?
“Bagaimana?” tanya Deddy Corbuzier padaku, menanyakan kebenaran dari ungkapan Bang Alto.
Bagaimana ini? Aku agak ragu dengan jawabanku sendiri. Aku hanya tertawa pelan untuk menutupi keraguanku. “Y-ya, iyalah, Bang. Masa ganteng, sih?” Tawa penonton kembali menggelegak. Mataku segera tertuju pada Aksel. Astaga, dia… dia… terlihat… kecewa? Mungkinkah—
“Nah, pemirsa… tes kedekatannya berhenti sampai di situ. Jadi, kesimpulannya, adik-kakak ini tidak terlalu dekat. Apalagi kakaknya yang bahkan tak tahu ulang tahun adiknya sendiri—”
Aku segera memotong pernyataan Deddy Corbuzier. “Tapi, menurutku, itu wajar, sih. Bang Alto kan super-sibuk dengan kegiatannya. Ditambah lagi Bang Alto itu pelupa, bahkan… jika aku memesan sesuatu padanya, aku harus mengingatkannya berkali-kali. Kedekatan seseorang itu tidak dapat dinilai dari hal itu saja,” jelasku panjang lebar. Tetapi, tetap saja, aku kecewa karena Bang Alto tak mengingat tanggal ulang tahunku.
Deddy Corbuzier yang mendengarkanku langsung bertepuk tangan, disertai tepuk tangan penonton. Aku hanya bisa tersenyum dan ikut menepuk-nepukkan kedua tanganku.
“Sekarang, pertanyaan untuk Pak Benny. Apakah mereka memang dekat?” tanya Deddy pada ayahku.
Bagaimana ayah bisa menjawab pertanyaan itu, ayah kan tak pernah memerhatikan—“Dekat.” Bohong.
“Oh, begitu.” Deddy mengangguk-anggukkan kepalanya. “Oh, iya. Saya punya satu pertanyaan, apakah benar Bass ini bersekolah di Postlude Music Highschool?”
Astaga, bagaimana om-om sialan ini bisa tahu? Ayah dan mama saling melemparkan pandangan, seolah ragu untuk menjawab pertanyaan itu. Ayah melihat ke arah sang penanya, lalu ke arahku. Aku tak mengerti maksud dari tatapan ayah padaku itu apa.
“Iya,” jawab ayah dan mama serempak, akhirnya.
“Wah, kalau begitu, Bass pintar menyanyi, bukan?” tanya Om Deddy lalu melihatku.
DEG. Seolah ada sebuah penyekat yang melekat pada epiglotisku, membuatku harus bersusah payah menelan salivaku. Aku menganggukkan kepalaku sekali, dengan berat dan kaku. Astaga, hal apa yang akan terjadi? Jangan sampai—
“Kalau begitu, nanyikan satu lagu untuk pemirsa di rumah!” perintah Deddy lalu berdiri dari kursinya dan mengambil microphone dari seorang kru kreatif.
Tunggu, saat briefing tadi, tidak ada jadwalku menyanyi sedikitpun di rundown yang dibagikan padaku. Aku menatap Mbak Winny seolah meminta pertolongan, tapi hanya dibalas senyuman maklum dan pemberi ‘semangat’ dari Mbak Winny. Apa maksudnya? Aku menatap ragu tangan Deddy Corbuzier yang menyerahkan sebuah microphone berwarna hitam ke arahku. Aku menerimanya dengan tangan yang agak bergetar.
“Aku harus menyanyi lagu apa?” tanyaku.
Deddy Corbuzier berpikir sejenak. “Bagaimana kalau kamu menyanyi lagu terbaru Alto yang judulnya… Mendekap Rasa?”
Demi Tuhan, aku hapal sekali lirik lagi itu, nada bahkan not angkanya sekaligus. Tapi… Ya, Tuhan. Kenapa harus?
Aku berdiri dari single-chair-ku dan menatap ayah, mama, dan Bang Alto yang mengulas senyuman yang sama persis dengan senyuman Mbak Winny. Aku berjalan ragu ke tengah-tengah stage. Mataku berkeliaran kesana-kemari. Akhirnya, mataku tertumbuk pada Aksel yang menatapku dengan pandangan: kasihan.
Seseorang bertubuh pendek yang duduk di balik piano mulai memainkan pianonya. Dentingan-dentingan tuts yang kompleks mulai menyapa telingaku. Nada-nada yang menyapa itu, mampu membuat syaraf-syarafku kehilangan fungsinya. Tanganku semakin bergetar, dan…
NGIIING!
Bersambung ke ♫ Nada Kelima—So
Oh, iya. Di antara sekian ‘banyak’ pembacaku, ada yang lagi kuliah di FITB ITB, gak? Entah itu jurusan Teknik Geologi, Oseanografi, ataupun Meteorologi. Kalau ada, PM aku, ya. Aku pengen tahu gimana rasanya kuliah di situ. Ada beberapa hal juga yang mau aku tanyain, tentang stratigrafi, misalnya. Ayolah… PM aku, ya?
@farizpratama7 do'ain aja semoga happy ending. Yah, semoga aja.
request donk,, tampilin foto untuj mewakili karakter para pemain donk,,
semangat buat @Tamma , jangan lama2 kalo update ya,,
Oh tidak... Apa yg gue khawatirkan terjadi jg, Bass disuruh nyanyi... Mudah2n aja ada yg nutupin kekurangan Bass..
Kalau aku post foto, nanti takutnya ada yang protes. Jadi, imajinasiin sendiri-sendiri, ya.
Menurutku si Aksel suka ma si Bass deh. Terus di akhir cerita ada adegan dimana Aksel nyatain perasaannya sama Bass, tapi si Bass bilang kalo dia gak bisa jadi pacarnya. Tapi itu bukan berarti kalau Bass gak cinta sama Aksel.
Cerita ditutup dengan Aksel yang menangis di kesunyian malam.
#EHHH, itu kan Love Of Siam.
(mew and tong)
Typo:
Om Deddy berdiri dari kursinya lalu menerima dua buah papan dada dan dua buah spidol papan dada putih dari seorang kru yang memakai pakaian serba hitam.
Harusnya:
Om Deddy berdiri dari kursinya lalu menerima dua buah papan dada dan dua buah spidol papan tulis dari seorang kru yang memakai pakaian serba hitam.
Typo:
"Silahkan duduk!"
Harusnya:
"Silakan duduk!"
Dan... Please please please jgn sad end.. Bikin galau