BoyzForum! BoyzForum! - forum gay Indonesia www.boyzforum.com

Howdy, Stranger!

It looks like you're new here. If you want to get involved, click one of these buttons!

Selamat datang di situs Boyzforum yang diarsipkan oleh Queer Indonesia Archive. Forum untuk komunitas gay Indonesia yang populer ini didirikan pada tahun 2003, dan ditutup pada tanggal 15 Desember 2020.

Forum ini diabadikan untuk kepentingan sejarah. Tidak akan ada konten baru di forum ini. Silakan menikmati forum ini sebagai potongan dari sejarah queer Indonesia.

Perhaps Love [UNFINISHED]

1246

Comments

  • perasaan semalem udah koment tp koq ga ada
  • Perhaps Love
    Tamma
    ♫ Nada Keempat—Fa (Bagian Pertama)

    PLAK!

    Kedua bola mataku menatap nanar ke arah mama yang duduk gelisah sambil menatapku dengan tatapan tak tega. Pipiku yang memerah langsung berkedut-kedut dengan sendirinya saat melihat mama seperti akan menangis, sementara Bang Alto yang duduk di sampingnya mengusap-usap punggung mama lembut. Aku mengangkat kepalaku yang awalnya tertunduk, menatap mata hitam ayah yang penuh dengan bermacam emosi. Garis rahang yang melekat pada pipinya terlihat jelas sekali, menahan amarah yang menggelegak.

    “Ayah…” gumam mama lirih. Aku tak tahu maksud dari gumaman mama itu. Entah untuk mengingatkan ayah untuk berhenti atau mungkin mengingatkan ayah bertindak sedikit lebih ‘halus’, aku tak tahu.

    Demi apa pun, aku tidak merasakan rasa sakit yang berarti pada pipiku yang terasa ‘hangat’ dan memerah ini. Sungguh. Jelaslah, justru yang saat ini sedang ‘panas’ adalah dadaku sendiri. Aku tahu. Aku tahu ayah pasti marah padaku. Aku pun tahu ayah pasti kecewa denganku, kecewa mengetahui anaknya yang berkembang tidak sesuai dengan harapannya dan keinginannya. Aku juga tahu ayah pasti malu, mengetahui anaknya sendiri berbuat sesuatu yang bisa saja mencoreng nama baiknya dalam sekejap.

    Tapi… kenapa ayah (harus) sampai menamparku?

    Apakah beliau tidak mengerti bagaimana perasaanku saat ini?

    Ayah harus tahu.

    Aku juga malu, Yah.

    Aku juga kecewa, Yah.

    Aku juga marah, Yah.

    Pada diriku sendiri, terutama.

    ***

    “Tidak dimakan?”

    Pertanyaan Aksel barusan membuatku harus melepaskan lamunanku. Aku segera menatap wajahnya yang bersinar dengan gerakan canggung, apalagi saat melihat bibir merahnya yang belepotan dengan American cheese. Sialnya, American cheese itu perlahan-lahan turun dari bibir ranumnya, menuju dagunya yang terlihat sangat tegas. Hal tersebut membuatku otakku yang sedang crash ini tak sabar untuk menjilat ‘sajian’ yang telah terhidang itu.

    Saat Aksel menyadari dagunya terkena lelehan dari American classic cheese-nya, dengan segera ia mengeluarkan lidahnya yang tak kalah merah dengan bibirnya. Lidahnya yang—sialnya, begitu menggoda itu—meliuk-liuk di dagunya, menjelajahi setiap inchi epidermisnya sambil tak lupa membersihkan dagunya itu dari lumeran American cheese. Lama-kelamaan, lelehan itu sirna dari dagunya, digantikan oleh air liurnya yang bisa dibilang tak sedikit. Sial! Aku mengepalkan telapak tanganku yang berada di bawah meja kuat-kuat hingga buku-buku jariku memerah, saking tak kuat menahan—

    “Bass?”

    “E-eh, apa?” Refleks, aku segera mengalihkan pandanganku, menunduk pada seonggok Chicken Lovers medium hand tossed pizza-ku yang telah lama aku anggurkan. Bukannya, memakan hand tossed itu, otakku malah sibuk me-reka ulang semua adegan yang kulihat tadi. Saat American cheese itu mengotori bibir dan dagu… lalu lidah itu… dan air liur—

    “Tidak dimakan?” tanyanya sekali lagi.

    Aku segera mengangkat wajahku dari hand tossed-ku dan memasang senyum kikuk. Senyuman kikuk-ku semakin melebar saat Aksel menatap wajahku dengan wajah yang telihat super-heran dan super-kenapa. Sejurus kemudian, ia berdeham dan membuatku harus menggaruk alis mataku yang tidak terasa gatal sama sekali. “Iya-iya, ini dimakan,” sahutku sambil mengambil seperempat hand tossed-ku dan mengunyahnya dengan paksa.

    “Kamu aneh,” ujar Aksel sambil mengunyah hand tossed-nya. Oh, Tuhan, aku harus berhenti memperhatikan bibirnya yang sialan itu jika tak mau mengulangi kejadian tolol tadi. “Kamu tak punya masalah dengan ayahmu, kan?” tanyanya dengan nada menyelidik penasaran.

    Aku segera menyisipkan senyum lebar pada bibirku saat pertanyaan itu dilontarkan, berusaha menyiratkan padanya bahwa aku benar-benar bahagia sekarang dan tak perlu dikhawatirkan. Nyatanya, sekarang aku tak begitu bahagia dan ingin sekali dikhawatirkan olehnya. “Tidak, aku tak punya masalah dengan ayahku,” bohongku, tak berusaha membuat percakapan tentang masalah itu karena aku tak ingin mengingatnya.

    Aksel mengangguk-anggukkan kepalanya. “Baguslah kalau begitu,” gumamnya sambil mendesah lega. Ia melanjutkan kegiatan makannya sambil memerhatikan wajahku lekat, seolah sedang ada sebuah layar televisi yang melekat tepat di depan wajahku. Ia sendiri tak tahu jika tatapannya itu membuatku… tak kuasa. “Cepat habiskan makananmu,” perintahnya padaku tepat setelah ia sejenak melihat Swiss yang melekat pada pergelangan tangan kanannya. “Bukannya sebentar lagi kita akan ke Hitam Putih?”

    Aku mengangguk sekali lalu melanjutkan proses pencernaan mekanik dalam rongga mulutku. “Iya,” jawabku. Sekarang, kami makan sambil saling menatap. Jujur saja, aku agak canggung, tapi sesuatu di wajahnya membuat tatapanku terkunci. Oleh karena itu, aku pun tahu aku tak boleh melihat daerah terlarang—bibir dan dagunya—, jadi aku memutuskan untuk melihat… lehernya.

    Bodoh. Pemikirannya yang salah! Aku melongo melihat leher jenjangnya yang terlihat sangat putih dan bersinar. Tatapanku berpindah semakin ke bawah, ke arah tulang selangkanya yang sebagian tersembunyi di balik v-neck hitamnya. Entahlah, tulang selangka yang menonjol itu terlihat begitu sangat… seksi? Oh, Tuhan, kenapa Engkau menciptakan tulang sialan itu di bawah lehernya? Tulang seksinya itu membuatku… melayang.

    “Hei!”

    Aksel kembali mengingatkan kekhilafanku.

    “Kamu kenapa sih?” tanyanya dengan nada yang agak kesal.

    Kepalaku segera menggeleng ke kiri dan ke kanan.

    Kedua alis matanya yang tebal menyatu, lalu ia bertanya sambil menusap lehernya, “Ada masalah dengan leherku?”

    “Ti-tidak,” jawabku singkat dan canggung. Tak ingin mendapat pertanyaan darinya lagi, aku memutuskan untuk mengedarkan pandanganku ke seluruh isi Domino’s. Mengamati interiornya yang terasa, maaf aku aku harus mengatakan ini, sungguh sangat membosankan. Sebenarnya, aku tak ingin datang ke tempat makan yang menjual pizza ukuran tangan ini. Hanya saja, saat pulang sekolah, Aksel memaksaku ke tempat ini karena ia ingin sekali memakan makanan berbentuk bundar itu.

    Mataku akhirnya tertumbuk pada sebuah LCD Plasma yang terpajang di pokok ruangan. Layar itu menampilkan seseorang yang sudah sangat kukenal. Siapa lagi kalau bukan Bang Alto? Yah, Bang Alto memang menjadi brand untuk Domino’s Indonesia.

    Dalam layar itu, Bang Alto memakai pakaian casual dengan tangan yang memegang seperempat bagian hand tossed dengan American cheese yang meleleh—persis seperti Aksel barusan. Setelah menggigit dan mengunyah hand tossed itu dengan gaya yang menggoda, Bang Alto menyanyikan sebuah jingle yang terdengar sangat konyol di telingaku. Konyol sekali, percayalah. Untung saja suara Bang Alto bagus. Jika suaranya tidak bagus, aku yakin sekali seluruh outlet Domino’s akan segera bangkrut jika pelanggannya melihat commercial-video itu.

    Bahkan Bang Alto pernah bilang padaku bahwa ia akan menyesal menjadi brand untuk Domino’s Indonesia jika royalti yang didapatnya tidak tinggi.

    “Loh, kok, malah melamun lagi?!” Kali ini Aksel marah besar.

    E-eh, sorry.

    Bersambung ke ♫ Nada Keempat—Fa (Bagian Kedua)

    NOTES: ♫ Nada Keempat—Fa (Bagian Kedua) akan menceritakan kejadian di studio Trans 7 (acara Hitam Putih).
  • Oops, sorry, update-nya sedikit banget. Selain karena (masih) dengan alasan sibuk, aku juga kesulitan untuk menggali karakter Om Deddy Corbuzier-nya. Yep, beberapa hari yang lalu, secara mengejutkan, si om-om botak itu mengumumkan bahwa acaranya yang abu-abu—Hitam Putih—memasuki episode terakhir. Gosh! Dengan kejadian tak terduga itu, aku harus men-download beberapa video dari Youtube sebagai referensi. Yah, mungkin bagian kedua akan di-post beberapa hari setelah ini (entah kapan).

    Atau mungkin aku gak akan bisa nerusin ini lagi, huhu. Selain sibuk (banget), peminat cerita ini (sepertinya) sedikit sekali. Hal itu bikin aku kehilangan ‘alasan’ buat berjuang menulis ini dengan seluruh tenaga yang ada. Lagi pula, aku sebenernya paling gak bisa nulis cerita bersambung, aku cuma bisa nulis one-shoot doang. Selain selalu kehilangan gula-nya, aku juga suka lupa sama kejadian sebelumnya. Jadi… yah… bye-bye. Lupakan cerbung ini, okay? Nanti aku post one-shoot spesial Imlek, deh, sebagai permintaan maafku.

    Tamma
    “Karena kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa”—Preambule UUD ‘45
  • Lha ko gitu?? Tanggung jawab eeeyyy udah bikin aku masuk disini :D
  • Jangan di hentikan @Tamma, banyak kok peminatnye, agak lambat gpp Ўğ penting ga mati suri.

    Makin kacau si bass kalau ketauan ma keluarganye kalo die belok :(
  • please don't stop the STORY... 3x (plesetan lagu Rihanna)
    Pokoknya cerita ini harus ditamatin.. (maksa) klo perlu ubah aja jadi cerpen yg alurnya cepat dari pada gantung gini (melly goeslow - gantung)
    ya ya ya @Tamma ganteng...
  • Waaahhh waahhh waaaaaahhhhh
    Ni crita harus klimax..jgn smpai cabut ditengah jalan
  • Keep writing please... :)
  • Dont stop dancing Plis... Eh writing....
    Plis rampungkan cerita ini, dah kepalang nanggung.... ^_^
  • Jangan putus asa tamma, tetap semangat
  • kl sering apdet pasti banyak responnya... :bz
  • >:) oooughhhh g puasssssshhhhh
  • Oh nooo!! Jangan sampe gk dilanjutin..
Sign In or Register to comment.