BoyzForum! BoyzForum! - forum gay Indonesia www.boyzforum.com

Howdy, Stranger!

It looks like you're new here. If you want to get involved, click one of these buttons!

Selamat datang di situs Boyzforum yang diarsipkan oleh Queer Indonesia Archive. Forum untuk komunitas gay Indonesia yang populer ini didirikan pada tahun 2003, dan ditutup pada tanggal 15 Desember 2020.

Forum ini diabadikan untuk kepentingan sejarah. Tidak akan ada konten baru di forum ini. Silakan menikmati forum ini sebagai potongan dari sejarah queer Indonesia.

[movie] tenggelamnya kapal van der wijck

1235»

Comments

  • Terakhir gue dapet salinan setelah hilang 3kali di tukang buku loak.
    Novel TKVDW ini sempet diskusikan sama beberapa temen-temen pecinta sastra, yang bikin novel ini luar biasa adalah kekuatan HAMKA mengambil tema yang sangat berani dan penggunaan gaya penulisan sastra yang lebih modern pada masa Pujangga Balai Pustaka.

    Yang menyebabkan novel ini langka karena dalam penerbitannya HAMKA memilih percetakan swasta untuk menghindari sensor yang di lakukan oleh Balai Pustaka karena "ketabuan" tema cerita.

    Film nya berusaha untuk sama persis dengan novelnya bahkan sampai ke dialog, peribahasa, serta isi suratnya. Tapi ada yang kurang, menurut gue pribadi film ini tidak mampu menjelaskan konflik si Zainudin dengan baik. serta penggambaran kekayaan zainudin dalam film terlalu berlebihan untuk ukuran pribumi pada zama kolonial.
    ya untuk film yang coloring nya di lakukan di thailand, film ini termasuk film indonesia yang bermutu kok.
  • ichaltede wrote: »
    Terakhir gue dapet salinan setelah hilang 3kali di tukang buku loak.
    Novel TKVDW ini sempet diskusikan sama beberapa temen-temen pecinta sastra, yang bikin novel ini luar biasa adalah kekuatan HAMKA mengambil tema yang sangat berani dan penggunaan gaya penulisan sastra yang lebih modern pada masa Pujangga Balai Pustaka.

    Yang menyebabkan novel ini langka karena dalam penerbitannya HAMKA memilih percetakan swasta untuk menghindari sensor yang di lakukan oleh Balai Pustaka karena "ketabuan" tema cerita.

    Film nya berusaha untuk sama persis dengan novelnya bahkan sampai ke dialog, peribahasa, serta isi suratnya. Tapi ada yang kurang, menurut gue pribadi film ini tidak mampu menjelaskan konflik si Zainudin dengan baik. serta penggambaran kekayaan zainudin dalam film terlalu berlebihan untuk ukuran pribumi pada zama kolonial.
    ya untuk film yang coloring nya di lakukan di thailand, film ini termasuk film indonesia yang bermutu kok.

    gitu ya bro. makasih ya bro buat reviewnya.
  • Wilhem wrote: »
    Di Gramedia PS Palembang ada lho. Banyak lagi.

    Serius bro ? Kok di jakarta susah amat ya. Kebanyakan harus online.

    Iya, beneran Will. Ada banyak. Di bagian bestseller.

    di jakarta gada sama sekali. parahhh.
  • firkhafie wrote: »
    @wilhem copas juga artikel kontra nya dong #hehe

    bro ini artikel kontra nya. gue nemu di kaskus.

    Kritik Film Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck
    Pertama tama Gua mau bilang kalo saya bukan pembenci
    film tanah air. Gua suka film2 yang ngetop, seperti
    Laskar Pelangi, Mengejar Matahari, Sang pemimpi, dll.
    Gua salut sama Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck
    berani masang modal 20 M buat bikin film ini, dan
    melihat trailernya yang bombastis, gua akhirnya
    memutuskan untuk nonton film indonesia di BIOSKOP
    untuk pertama kali setelah sederetan nonton sederetan
    film yang bikin parno dan memutuskan untuk tidak
    nonton film lokal.
    Gua terkagum kagum melihat trailernya, jarang sekali
    film indonesia punya setting tempo dulu yang
    mengangkat sisi gramor kolonial, biasanya tentang
    sejarah perjuangan, tapi film ini lain dari pada yang lain.
    Props yang dipakai mulai dari pakaian sampai mobilnya
    bener bener antik dan agak susah dibikin di indo,
    mengingat jumlah mobil antik mungkin tidak sebanyak di
    luar negeri. Apalagi adegan pacuan kudanya, gak pernah
    kita lihat di film indonesia sebelumnya. keren...
    Gua gak mau menjabarkan gimana jalur ceritanya, nanti
    malah spoiler, mending pada liat sendiri di bioskop.
    Yang gua mau bahas adalah keluhan2 gua setelah
    melihat film ini, soalnya gua dah cari banyak review film
    ini, dan kebanyakan tidak membahas hal ini.
    Spoiler for Keluhan Gua
    1. Color Filter
    Dari awal cerita kita dibawa ke tanah minang dengan
    tone warna BIRU yang mungkin ingin menggambarkan
    kondisi alam disitu yang dingin dan sejuk. Tapi dimata
    gua kok malah bikin filemnya jadi gelap sekali, filter
    cold-cathode yang kebiru biruan itu dipakai terlalu
    keras, sampai tone warna muka masing masing karakter
    jadi kebiru biruan dan gelap sekali. Semua adegan bak
    lagi di sunset atau malam hari, padahal adegannya di
    siang bolong. Filter warna yang biasanya gua liat di
    filem2 yang lain biasanya cuma dipakai di beberapa titik,
    misalnya background alam, dan biasanya tidak
    diaplikasikan di seluruh frame seperti yang terjadi di film
    ini, kalaupun iya seharusnya warna muka tidak terlalu
    terganggu.
    Gua juga nggak bisa ngeliat warna kerudung yang
    dipakai hayati, yang adalah salah satu icon penting di
    film ini , soalnya smuanya keliatan biru doang. Setelah
    perpindahan kota kita bisa lihat beberapa tone warna
    dipakai seperti Oranye dan Hijau. Gua ngerti bgt kenapa
    ada beberapa warna yang dipakai biar bisa menandai
    perpindahan setting, dan sebenenarnya tidak masalah.
    Cuma ya itu, filternya terlalu keras, seperti sang
    sutradara ingin menyembunyikan beberapa kelemahan
    visual dari film ini. Warna muka, kostum dan ornamen
    penting lain malah jadinya ketutupan dan gak keliatan
    sama sekali. Gua malah menikmati sekali visual film ini
    saat gak ada filter sama sekali, kejernihan kamera HD
    yang dipakai baru keliatan pas gak pake filter sama
    sekali.
    2. Inkonsistensi Penggunaan Bahasa / Dialek
    Ada beberapa bahasa yang dipakai di film ini antara lain
    Minang, Makassar dan Indonesia, dan beberapa bahasa
    lain seperti Belanda, Jawa dan Sunda. Gua belum pernah
    membaca novelnya, tapi apakah iya penggunaan bahasa
    daerahnya harus dipaksakan, walaupun sang aktor tidak
    mampu mengeksekusi dengan baik? Gua sedikit
    mengerti dialek minang, dan banyak banget tertumpang
    tindih dengan pengucapan Indonesia, contohnya
    karakter Randy Nidji yang seharusnya memakai bahasa
    minang, tapi terkadang di dialog panjang, dia juga slip
    kalimat yang indonesia bgt di satu rangkaian kalimat.
    Dan yang paling gak natural adalah Hayati yang
    seharusnya jadi orang minang asli, tapi penuturannya
    kaku banget dan terlihat maksa.
    Untuk karakter utama si Junot dengan bahasa makassar,
    gua ga ngerti sama sekali tentang logat makassar,
    apakah benar atau salah eksekusinya, cuma kok gua
    ngerasa cara ngomongnya jadi kaku banget.
    Film ini seharusnya tidak terlalu memaksakan memakai
    bahasa daerah kalau emang aktornya tidak mampu, atau
    kalau perlu tidak usah pakai sama sekali, pakai bahasa
    indonesia aja biar semua aktornya bisa tampil maksimal.
    3. Casting & Akting
    Akting dalam film ini mungkin yang berada dibawah
    standar layar lebar ya si Pevita Pierce (Hayati). Dia
    sepertinya berjuang keras sekali untuk merubah gaya
    akting sinetronnya ke layar perak. Saat tau si Pevita
    Pierce main di film berbudget besar ini, gua agak sedikit
    ragu, kenapa dia yang dipilih, karena dia kan bisa
    dibilang masih ijo. Awalnya gua mikir positif, mungkin di
    film ini ternyata dia bisa mengeluarkan permainan yang
    bagus, tapi tiap adegan yang ada dia, adalah sebuah
    penderitaan untuk ditonton. Dia mainnya selalu sedih
    dan raut wajahnya begitu2 aja. Hal ini bikin gua
    bertanya, emangnya gak ada aktor lain yang lebih
    matang yang bisa dikasih peran yang menurut gua cukup
    penting dalam film ini.
    Untuk Junot (Zainuddin), aktingnya "oke lah", walau
    terkadang terlihat terlalu dipaksakan dan ngotot. Bahasa
    makassar yang seperti gua tulis diatas, membuat dia
    kelihatan kaku. Saking kakunya, dibeberapa adegan
    serius justru malah kelihatan lucu dan bikin penonton
    seisi bioskop tertawa.
    Yang paling bagus diantara 3 karakter utama menurut
    gua adalah Reza Rahadian yang mainin Azis, anak urang
    kayo yang bergaya hidup glamor kolonial dimainkan
    dengan apik sekali dan terasa mengalir. Salute!
    Kebanyakan figuran di film ini bermain sangat baik,
    malah lebih baik daripada pemeran utamanya, salah satu
    favorit gua adalah Arzetti yang mungkin "no wonder"
    bisa memerankan karakter minang, soalnya dia
    keturunan sana. Dan yang harus diacungi jempol adalah
    Randy Nidji yang bisa main dengan baik walaupun dia
    aslinya adalah musisi. Karakter dia yang jenaka bisa
    menetralkan kefrustrasian gua dengan dua karakter
    utama yang mainnya kaku bgt.
    3. Alur cerita
    Untuk film yang berdurasi 2 jam lebih, alur ceritanya kok
    terasa serba instan. Kadang kita dihadapkan ke sebuah
    konflik yang seharusnya bisa diceritakan dahulu asal
    muasalnya. Masing masing karakter seharusnya bisa
    dijabarkan dulu, dibangun sebelum dihadirkan
    permasalahannya. Contohnya karakter Randy Nidji yang
    tiba tiba mau jadi jongos, padahal kita gak tahu kalau
    dia sebelumnya deket apa nggak ama si Zainuddin. Atau
    pas konflik rumah tangga Azis dan Hayati yang tiba tiba
    berubah dari romantis jadi pertengkaran. Atau pas si
    Zainuddin malah menghujat Hayati yang sebenarnya
    juga adalah korban. Terus saat Hayati tiba tiba berhasil
    diselamatkan, padahal kita ngeliat kalau dia bener bener
    udah tenggelem bareng kapal itu. Sekali lagi gua belum
    pernah baca novelnya jadi mungkin hal ini sama dengan
    novelnya, tapi menurut gua durasi 2 jam lebih terasa
    hampa dan gak masuk akal.
    4. Editing & Sinematografi
    Mungkin banyak yang suka dengan durasi adegan yang
    panjaaang dan lamaaa. Buat gua justru bikin boring
    banget, dan memperlihatkan kelemahan akting dari
    aktornya. Contohnya ketika si Zainuddin menhujat hayati
    panjang lebar, kita ngeliat mukanya zainuddin dari satu
    sudut kamera yang perlahan ngezoom, hal ini juga
    banyak kita lihat di film lain yang ingin menggali emosi
    si pemain saat mengucapkan dialog yang super panjang
    itu, tapi kalau aktingnya tidak terlalu bagus, malah jadi
    bumerang ke aktornya. Seharusnya mereka pakai
    setidaknya 2 atau 3 sudut kamera yang bergantian
    sehingga tidak boring.
    Gua ngerasa durasi film ini bisa dipersingkat dibawah 2
    jam, soalnya banyak banget adegan yang terlalu lama
    dan dipanjang panjangin. Film ini kebanyakan
    mengempasis hal hal yang "sinetron banget" seperti
    nangis nangisannya Hayati.
    Sinematografi film ini bagus banget untuk ukuran film
    lokal. Pemilihan kostum yang bagus banget ,produksi
    set yang sesuai dan pengambilan gambar yang cantik.
    Cuma banyak hal yang bocor, seperti kadang kita
    ngelihat banyak benda masa kini yang masuk ke layar,
    seperti pagar besi minimalis yang jaman dulu tentunya
    belum ada. Soal rumah Zainuddin saat jadi pengarang
    buku terkenal, sepertinya terlalu dibesar besarkan,
    mungkin gak sih seorang pengarang buku "inlander"
    punya penghasilan yang untuk beli rumah yang sekelas
    Gubernur belanda saat itu. Ya tapi ini cuma minor, tidak
    terlalu ngaruh sebenernya.
    Untuk teknik 3D kapal ala titanic masih agak kasar, gua
    rasa banyak bgt 3D animator tanah air yang bisa bikin
    lebih bagus, contohnya pas hayati lagi ada di pelabuhan,
    keliatan sekali efek blur green screennya, dan
    background dinding kapal yang low res, sepertinya ingin
    mengejar waktu rendering. Tapi sekali lagi ini hal minor
    di film ini, gua puji effortnya yang cukup berani untuk
    menghadirkan teknologi ini di film indonesia.
    5. Subtitling
    Film ini memakai beberapa bahasa daerah yang tentunya
    tidak semua orang mengerti, tapi mengapa tidak semua
    adegan yang memakai bahasa daerah diberi
    terjemahannya. Subtitlingnya inkonsisten, kadang pake
    kadang tidak.
    Dan film ini juga memakai beberapa setting waktu dan
    tempat yang berbeda. Itupun juga tidak dikasih
    keterangan kita lagi dimana dan kapan. Hal yang
    membantu mungkin cuma tone warna yang berubah
    sesuai lokasi.
    Sekarang gua mau ngasih tahu apa aja yang menurut
    gua bagus di film ini:
    - Reza Rahadian yang mainin Azis, dia adalah bintang di
    film ini. Well played.
    - Props, kostum dan produksinya cukup baik.
    - Storyline yang unik. Mengangkat isu budaya dimasa
    itu yang mungkin belum pernah diangkat dilayar lebar,
    seperti gaya hidup perlente muda mudi masa penjajahan
    yang demen kebut2an mobil dan nonton pacuan kuda.
    Gua berharap banyak saat membeli tiket untuk nonton
    film ini, gua expect film ini bakal sebagus trailernya,
    sampai sampai gua akhirnya mendahulukan nonton film
    ini dibanding Soekarno. Durasinya kelamaan buat gua
    dan rasanya pengen pulang ditengah tengah film.
    Rating gua buat film ini:
    6 dari 10
    Mohon maaf kalau ada yang tidak setuju, tolong jangan
    jangan dikasih bata ya. Mudah mudahan kedepannya film
    indonesia bisa jadi lebih baik.
  • udah nonton film ini di bioskop dan saya setuju klo film ini film indo yang terbaik di tahun 2013 ini.
    pertama kredit buat film ini adalah cerita yang emang udah jelas kuat banget. keberanian soraya intercine ngangkat novel TKVDW ini ke layar lebar patut di acungin jempol hehhe... soalnya bikin cerita dengan setting tahun 1930an ga akan gampang dengan teknologi perfilman kita yang masih standard kaya sekarang ini. namun soraya intercine bisa melakukan itu dgn cukup baik.

    dari segi acting, saya rasa udah cukup bagus, walau emang ga pake bahasa / dialek daerah dengan bener tapi itu bisa dimaklumin karna film ini juga diperuntukan buat penonton seluruh indonesia (takutnya klo pake dialek daerah semua scene nya malah banyak yg ga ngerti ntar, akibatnya malah ga dapat feel ceritanya)
    ekspresi yang dibawain para aktor dan aktris nya udan dapet kok menurut saya hehehe

    soundtracknya juga sangat oke. earscatching bgt. sampai sampai setelah beberapa hari abis nonton filmnya tuh lagu masih kengiang2 di telinga hahha :))

    sedikit kekurangannha sih dari segi visual yang memang kurang mulus ya, tapi bagi saya masih dapat dimaklumin karna bisa jadi faktor budget.

    seingat saya ada sedikit perbadaan cerita di film dengan novel. pertama di bagian kenapa Zainuddin tidak diterima di kampung ayah nya. di novel diceritakan zainuddin tidak diterima di kampung ayahnya karna selain di tidak punya suku (karna ibunya bukan orang minang) selain itu juga karna ayahnya dulu pernah melakukan kesalahan di kampung itu ( klo ga salah mwmbunuh mamak (paman) nya sendiri) jadi warga jadi tidak suka sama zAinuddin. perbedaan kedua klk ga salah ending nya harusnya sad ending dimana zainuddin nya jadi sakit dan meninggal dunia setelah hayati meninggal.

    intinya terlepas dari kelebihan dan kekurangan tadi film TKVDW sangat layak lah buat ditonton.
    dan untuk ukura fil indo saya berani nilai 8 out of 10 hehe :D

    IMHO
  • thanks bro buat comment nya. FYI bro, gue ampe tiga kali nonton loh bro. hahaha.
Sign In or Register to comment.