It looks like you're new here. If you want to get involved, click one of these buttons!
Copyright 2021 Queer Indonesia Archive. See our Privacy Policy. Contact us at [email protected]
Dengan menggunakan situs ini berarti Anda setuju dengan Aturan Pakai.
BoyzForum.com adalah situs anti pedofilia!
Comments
Novel TKVDW ini sempet diskusikan sama beberapa temen-temen pecinta sastra, yang bikin novel ini luar biasa adalah kekuatan HAMKA mengambil tema yang sangat berani dan penggunaan gaya penulisan sastra yang lebih modern pada masa Pujangga Balai Pustaka.
Yang menyebabkan novel ini langka karena dalam penerbitannya HAMKA memilih percetakan swasta untuk menghindari sensor yang di lakukan oleh Balai Pustaka karena "ketabuan" tema cerita.
Film nya berusaha untuk sama persis dengan novelnya bahkan sampai ke dialog, peribahasa, serta isi suratnya. Tapi ada yang kurang, menurut gue pribadi film ini tidak mampu menjelaskan konflik si Zainudin dengan baik. serta penggambaran kekayaan zainudin dalam film terlalu berlebihan untuk ukuran pribumi pada zama kolonial.
ya untuk film yang coloring nya di lakukan di thailand, film ini termasuk film indonesia yang bermutu kok.
gitu ya bro. makasih ya bro buat reviewnya.
di jakarta gada sama sekali. parahhh.
bro ini artikel kontra nya. gue nemu di kaskus.
Kritik Film Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck
Pertama tama Gua mau bilang kalo saya bukan pembenci
film tanah air. Gua suka film2 yang ngetop, seperti
Laskar Pelangi, Mengejar Matahari, Sang pemimpi, dll.
Gua salut sama Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck
berani masang modal 20 M buat bikin film ini, dan
melihat trailernya yang bombastis, gua akhirnya
memutuskan untuk nonton film indonesia di BIOSKOP
untuk pertama kali setelah sederetan nonton sederetan
film yang bikin parno dan memutuskan untuk tidak
nonton film lokal.
Gua terkagum kagum melihat trailernya, jarang sekali
film indonesia punya setting tempo dulu yang
mengangkat sisi gramor kolonial, biasanya tentang
sejarah perjuangan, tapi film ini lain dari pada yang lain.
Props yang dipakai mulai dari pakaian sampai mobilnya
bener bener antik dan agak susah dibikin di indo,
mengingat jumlah mobil antik mungkin tidak sebanyak di
luar negeri. Apalagi adegan pacuan kudanya, gak pernah
kita lihat di film indonesia sebelumnya. keren...
Gua gak mau menjabarkan gimana jalur ceritanya, nanti
malah spoiler, mending pada liat sendiri di bioskop.
Yang gua mau bahas adalah keluhan2 gua setelah
melihat film ini, soalnya gua dah cari banyak review film
ini, dan kebanyakan tidak membahas hal ini.
Spoiler for Keluhan Gua
1. Color Filter
Dari awal cerita kita dibawa ke tanah minang dengan
tone warna BIRU yang mungkin ingin menggambarkan
kondisi alam disitu yang dingin dan sejuk. Tapi dimata
gua kok malah bikin filemnya jadi gelap sekali, filter
cold-cathode yang kebiru biruan itu dipakai terlalu
keras, sampai tone warna muka masing masing karakter
jadi kebiru biruan dan gelap sekali. Semua adegan bak
lagi di sunset atau malam hari, padahal adegannya di
siang bolong. Filter warna yang biasanya gua liat di
filem2 yang lain biasanya cuma dipakai di beberapa titik,
misalnya background alam, dan biasanya tidak
diaplikasikan di seluruh frame seperti yang terjadi di film
ini, kalaupun iya seharusnya warna muka tidak terlalu
terganggu.
Gua juga nggak bisa ngeliat warna kerudung yang
dipakai hayati, yang adalah salah satu icon penting di
film ini , soalnya smuanya keliatan biru doang. Setelah
perpindahan kota kita bisa lihat beberapa tone warna
dipakai seperti Oranye dan Hijau. Gua ngerti bgt kenapa
ada beberapa warna yang dipakai biar bisa menandai
perpindahan setting, dan sebenenarnya tidak masalah.
Cuma ya itu, filternya terlalu keras, seperti sang
sutradara ingin menyembunyikan beberapa kelemahan
visual dari film ini. Warna muka, kostum dan ornamen
penting lain malah jadinya ketutupan dan gak keliatan
sama sekali. Gua malah menikmati sekali visual film ini
saat gak ada filter sama sekali, kejernihan kamera HD
yang dipakai baru keliatan pas gak pake filter sama
sekali.
2. Inkonsistensi Penggunaan Bahasa / Dialek
Ada beberapa bahasa yang dipakai di film ini antara lain
Minang, Makassar dan Indonesia, dan beberapa bahasa
lain seperti Belanda, Jawa dan Sunda. Gua belum pernah
membaca novelnya, tapi apakah iya penggunaan bahasa
daerahnya harus dipaksakan, walaupun sang aktor tidak
mampu mengeksekusi dengan baik? Gua sedikit
mengerti dialek minang, dan banyak banget tertumpang
tindih dengan pengucapan Indonesia, contohnya
karakter Randy Nidji yang seharusnya memakai bahasa
minang, tapi terkadang di dialog panjang, dia juga slip
kalimat yang indonesia bgt di satu rangkaian kalimat.
Dan yang paling gak natural adalah Hayati yang
seharusnya jadi orang minang asli, tapi penuturannya
kaku banget dan terlihat maksa.
Untuk karakter utama si Junot dengan bahasa makassar,
gua ga ngerti sama sekali tentang logat makassar,
apakah benar atau salah eksekusinya, cuma kok gua
ngerasa cara ngomongnya jadi kaku banget.
Film ini seharusnya tidak terlalu memaksakan memakai
bahasa daerah kalau emang aktornya tidak mampu, atau
kalau perlu tidak usah pakai sama sekali, pakai bahasa
indonesia aja biar semua aktornya bisa tampil maksimal.
3. Casting & Akting
Akting dalam film ini mungkin yang berada dibawah
standar layar lebar ya si Pevita Pierce (Hayati). Dia
sepertinya berjuang keras sekali untuk merubah gaya
akting sinetronnya ke layar perak. Saat tau si Pevita
Pierce main di film berbudget besar ini, gua agak sedikit
ragu, kenapa dia yang dipilih, karena dia kan bisa
dibilang masih ijo. Awalnya gua mikir positif, mungkin di
film ini ternyata dia bisa mengeluarkan permainan yang
bagus, tapi tiap adegan yang ada dia, adalah sebuah
penderitaan untuk ditonton. Dia mainnya selalu sedih
dan raut wajahnya begitu2 aja. Hal ini bikin gua
bertanya, emangnya gak ada aktor lain yang lebih
matang yang bisa dikasih peran yang menurut gua cukup
penting dalam film ini.
Untuk Junot (Zainuddin), aktingnya "oke lah", walau
terkadang terlihat terlalu dipaksakan dan ngotot. Bahasa
makassar yang seperti gua tulis diatas, membuat dia
kelihatan kaku. Saking kakunya, dibeberapa adegan
serius justru malah kelihatan lucu dan bikin penonton
seisi bioskop tertawa.
Yang paling bagus diantara 3 karakter utama menurut
gua adalah Reza Rahadian yang mainin Azis, anak urang
kayo yang bergaya hidup glamor kolonial dimainkan
dengan apik sekali dan terasa mengalir. Salute!
Kebanyakan figuran di film ini bermain sangat baik,
malah lebih baik daripada pemeran utamanya, salah satu
favorit gua adalah Arzetti yang mungkin "no wonder"
bisa memerankan karakter minang, soalnya dia
keturunan sana. Dan yang harus diacungi jempol adalah
Randy Nidji yang bisa main dengan baik walaupun dia
aslinya adalah musisi. Karakter dia yang jenaka bisa
menetralkan kefrustrasian gua dengan dua karakter
utama yang mainnya kaku bgt.
3. Alur cerita
Untuk film yang berdurasi 2 jam lebih, alur ceritanya kok
terasa serba instan. Kadang kita dihadapkan ke sebuah
konflik yang seharusnya bisa diceritakan dahulu asal
muasalnya. Masing masing karakter seharusnya bisa
dijabarkan dulu, dibangun sebelum dihadirkan
permasalahannya. Contohnya karakter Randy Nidji yang
tiba tiba mau jadi jongos, padahal kita gak tahu kalau
dia sebelumnya deket apa nggak ama si Zainuddin. Atau
pas konflik rumah tangga Azis dan Hayati yang tiba tiba
berubah dari romantis jadi pertengkaran. Atau pas si
Zainuddin malah menghujat Hayati yang sebenarnya
juga adalah korban. Terus saat Hayati tiba tiba berhasil
diselamatkan, padahal kita ngeliat kalau dia bener bener
udah tenggelem bareng kapal itu. Sekali lagi gua belum
pernah baca novelnya jadi mungkin hal ini sama dengan
novelnya, tapi menurut gua durasi 2 jam lebih terasa
hampa dan gak masuk akal.
4. Editing & Sinematografi
Mungkin banyak yang suka dengan durasi adegan yang
panjaaang dan lamaaa. Buat gua justru bikin boring
banget, dan memperlihatkan kelemahan akting dari
aktornya. Contohnya ketika si Zainuddin menhujat hayati
panjang lebar, kita ngeliat mukanya zainuddin dari satu
sudut kamera yang perlahan ngezoom, hal ini juga
banyak kita lihat di film lain yang ingin menggali emosi
si pemain saat mengucapkan dialog yang super panjang
itu, tapi kalau aktingnya tidak terlalu bagus, malah jadi
bumerang ke aktornya. Seharusnya mereka pakai
setidaknya 2 atau 3 sudut kamera yang bergantian
sehingga tidak boring.
Gua ngerasa durasi film ini bisa dipersingkat dibawah 2
jam, soalnya banyak banget adegan yang terlalu lama
dan dipanjang panjangin. Film ini kebanyakan
mengempasis hal hal yang "sinetron banget" seperti
nangis nangisannya Hayati.
Sinematografi film ini bagus banget untuk ukuran film
lokal. Pemilihan kostum yang bagus banget ,produksi
set yang sesuai dan pengambilan gambar yang cantik.
Cuma banyak hal yang bocor, seperti kadang kita
ngelihat banyak benda masa kini yang masuk ke layar,
seperti pagar besi minimalis yang jaman dulu tentunya
belum ada. Soal rumah Zainuddin saat jadi pengarang
buku terkenal, sepertinya terlalu dibesar besarkan,
mungkin gak sih seorang pengarang buku "inlander"
punya penghasilan yang untuk beli rumah yang sekelas
Gubernur belanda saat itu. Ya tapi ini cuma minor, tidak
terlalu ngaruh sebenernya.
Untuk teknik 3D kapal ala titanic masih agak kasar, gua
rasa banyak bgt 3D animator tanah air yang bisa bikin
lebih bagus, contohnya pas hayati lagi ada di pelabuhan,
keliatan sekali efek blur green screennya, dan
background dinding kapal yang low res, sepertinya ingin
mengejar waktu rendering. Tapi sekali lagi ini hal minor
di film ini, gua puji effortnya yang cukup berani untuk
menghadirkan teknologi ini di film indonesia.
5. Subtitling
Film ini memakai beberapa bahasa daerah yang tentunya
tidak semua orang mengerti, tapi mengapa tidak semua
adegan yang memakai bahasa daerah diberi
terjemahannya. Subtitlingnya inkonsisten, kadang pake
kadang tidak.
Dan film ini juga memakai beberapa setting waktu dan
tempat yang berbeda. Itupun juga tidak dikasih
keterangan kita lagi dimana dan kapan. Hal yang
membantu mungkin cuma tone warna yang berubah
sesuai lokasi.
Sekarang gua mau ngasih tahu apa aja yang menurut
gua bagus di film ini:
- Reza Rahadian yang mainin Azis, dia adalah bintang di
film ini. Well played.
- Props, kostum dan produksinya cukup baik.
- Storyline yang unik. Mengangkat isu budaya dimasa
itu yang mungkin belum pernah diangkat dilayar lebar,
seperti gaya hidup perlente muda mudi masa penjajahan
yang demen kebut2an mobil dan nonton pacuan kuda.
Gua berharap banyak saat membeli tiket untuk nonton
film ini, gua expect film ini bakal sebagus trailernya,
sampai sampai gua akhirnya mendahulukan nonton film
ini dibanding Soekarno. Durasinya kelamaan buat gua
dan rasanya pengen pulang ditengah tengah film.
Rating gua buat film ini:
6 dari 10
Mohon maaf kalau ada yang tidak setuju, tolong jangan
jangan dikasih bata ya. Mudah mudahan kedepannya film
indonesia bisa jadi lebih baik.
pertama kredit buat film ini adalah cerita yang emang udah jelas kuat banget. keberanian soraya intercine ngangkat novel TKVDW ini ke layar lebar patut di acungin jempol hehhe... soalnya bikin cerita dengan setting tahun 1930an ga akan gampang dengan teknologi perfilman kita yang masih standard kaya sekarang ini. namun soraya intercine bisa melakukan itu dgn cukup baik.
dari segi acting, saya rasa udah cukup bagus, walau emang ga pake bahasa / dialek daerah dengan bener tapi itu bisa dimaklumin karna film ini juga diperuntukan buat penonton seluruh indonesia (takutnya klo pake dialek daerah semua scene nya malah banyak yg ga ngerti ntar, akibatnya malah ga dapat feel ceritanya)
ekspresi yang dibawain para aktor dan aktris nya udan dapet kok menurut saya hehehe
soundtracknya juga sangat oke. earscatching bgt. sampai sampai setelah beberapa hari abis nonton filmnya tuh lagu masih kengiang2 di telinga hahha )
sedikit kekurangannha sih dari segi visual yang memang kurang mulus ya, tapi bagi saya masih dapat dimaklumin karna bisa jadi faktor budget.
seingat saya ada sedikit perbadaan cerita di film dengan novel. pertama di bagian kenapa Zainuddin tidak diterima di kampung ayah nya. di novel diceritakan zainuddin tidak diterima di kampung ayahnya karna selain di tidak punya suku (karna ibunya bukan orang minang) selain itu juga karna ayahnya dulu pernah melakukan kesalahan di kampung itu ( klo ga salah mwmbunuh mamak (paman) nya sendiri) jadi warga jadi tidak suka sama zAinuddin. perbedaan kedua klk ga salah ending nya harusnya sad ending dimana zainuddin nya jadi sakit dan meninggal dunia setelah hayati meninggal.
intinya terlepas dari kelebihan dan kekurangan tadi film TKVDW sangat layak lah buat ditonton.
dan untuk ukura fil indo saya berani nilai 8 out of 10 hehe
IMHO