It looks like you're new here. If you want to get involved, click one of these buttons!
Copyright 2021 Queer Indonesia Archive. See our Privacy Policy. Contact us at [email protected]
Dengan menggunakan situs ini berarti Anda setuju dengan Aturan Pakai.
BoyzForum.com adalah situs anti pedofilia!
Comments
Suka juga sama atheis karya achdiat miharja (cmiiw).
Biar gak oot : trailernya keren sih, pevita nya juga cantik. Biasanya film yg diadaptasi dari buku akan sedikit mengecewakan terutama bagi yg udah baca novelnya.
jadi...recommended atau ngga nih filmnya? Kalo oke biar dimasukin ke list wiken ini.. hehe
Saranku kalo nyari bukunya yg cetakan edisi ke 2. .bahasa bicara dan bahasa ceritanya mak nyess. .asli menyentuh.
Seakan kita dibawa ke masa thn 1930an. .
ya kalo dibandingin sama visual effect film hollywood masih jauh lah bro. tapi sumpah bro, ceritanya dalem bgt.
ya elah bro, lo kira titanic. sealian aja bro kapal nya nabrak gunung es ga. (secara di indonesia iklim tropis) hahahhaa
serius bro ? kalo di perpus nasuonal bisa di pinjem ga bro bukunya ? maklum blm oernah ke perpus nasional.
iya, film termahal sepanjang penbuatan film oleh soraya
visual effect ga begitu "wah".
"Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck", Film Kelas
Academy Award
Sumber: Film
Mungkin terkesan lebay judul tulisan di atas.
Tapi saran saya, sehabis membaca ulasan
ini....tontonlah film nya, buktikan bahwa saya bukan
sedang " bajaga ubek di balai" (artinya: jualan obat di
pasar).....istilah ini pun saya dapatkan dari salah satu
dialog dalam film ini.
Film yang diangkat dari novel karya Haji Abdul Malik
Karim Amarullah atau yang lebih kita kenal sebagai salah
satu ulama terbaik negeri ini, dengan panggilan yang
terkenal Buya Hamka.
Novel nya, yang berjudul sama dengan judul film ini,
adalah materi bahasan pelajaran sastra, dalam mata
pelajaran Bahasa Indonesia ketika saya duduk di bangku
SMP.
Film karya sutradara Sunil Soraya sekaligus produser
film, menunjukkan kualitas yang Bollywood jika saya
belum dapat menyamakan dengan Hollywood. Yaitu
mengandalkan keindahan gambar, dialog, hingga alur
cerita yang memainkan emosi penonton.
Mengambil latar belakang kisah kasih dua insan suku
Minangkabau, Zainuddin dan Hayati. Hanya bedanya,
Zainuddin (diperankan oleh Herjunot Ali) adalah seorang
pemuda yaitim piatu, berayah suku Minangkabau dan ibu
berdarah Bugis. Sejak ayahnya meninggal, Zainuddin
ikut ibunya pulang kampung ke Makassar, itulah
sebabnya selain pandai berbahasa Padang, dalam film
ini digambarkan Zainuddin juga mahir berbahasa
Makassar.
Namun ketika ibunya pun wafat, Zainuddin yang
kemudian beranjak remaja, kembali ke kampung halaman
ayahnya, dusun (nagari) Batipuh, Padang Panjang,
Sumatera Barat.
Sementara Hayati (Pevita Pearce), gadis Batipuh,
Sumatera Barat, sekampung dengan ayah Zainuddin,
berasal dari keluarga asli Minangkabau yang masih
memegang teguh adat Minang. Bagi suku Minang, masa
itu, tahun 1930-an, garis keturunan itu ditentukan dari
pihak Ibu. Bukan dari Ayah sebagaimana lazimnya umat
Islam.
Karena hal inilah, ketika Zainuddin hendak melamar si
cantik Hayati, keluarga Hayati menentang habis-habisan.
Alasannya Zainuddin bukan terlahir dari Ibu berdarah
Minang, maka ia dianggap tak jelas garis keturunannya.
Ia dianggap bukan orang Minang walaupun ayahnya
orang Minang tulen. Indak basuku istilahnya dalm film
ini. Saya sedikit faham pola pikir seperti ini, karena
Maka, sebagai seorang anak dari perempuan berdarah
Bugis, Zainuddin, seolah dihukum atas dosa yang tidak
dilakukannya. Ia tak boelh menikahi gadis pujaan
hatinya.
Hayati pun, akhirnya berjodoh dengan Azis (Reza
Rahardian) seorang putera orang kaya Padang Panjang,
yang bekerja pada perusahaan dagang Belanda. Banyak
berkawan dengan orang Belanda, mahir berbahas
Belanda, dan bergaya hidup ke Barat-barat an, gemar
berjudi, main wanita (dengan bule sekalipun ia kencani),
gemar mabuk.
Singkat cerita, Zainuddin yang patah hati akhirnya
merantau ke Pulau Jawa. Ditemani oleh sahabat setianya
Muluk (Randy Nidji), ia pun berkarir sebagai seorang
penulis novel yang sukses di Batavia,lalu diangkat
sebagai pemimpin sebuah surat kabar "Pewarta
Soerabaja" di kota Surabaya, menikmati ketenaran dan
kemakmuran namun hidup membujang, karena cinta
seumur hidupnya adalah Hayati yang kini telah menjadi
istri orang.
Kisah pun berbalik, pasangan Azis - Hayati ditakdirkan
pindah ke Surabaya, dan akibat Azis bangkrut, mereka
pun berbalik terpaksa mengemis belas kasih kepada
sesama perantau Minang di Surabaya, yang kini telah
menjadi salah seorang jutawan muda yang tenar, Si
Puyuh Bugis, Zainuddin yang telah berganti nama
menjadi Shabir.
Saya tak akan menceritakan semua kisahnya di sini,
nanti Anda akan malas menontonnya, meskipun bagi
yang telah menamatkan novelnya sekalipun, film ini
masih menyimpan kejutan-kejutan di luar yang saya
ceritakan di atas.
Saya lebih suka mengomentari kualitas film ini.
Kalo dibandingkan dengan film-film Indonesia yang
sebelumnya menjadi "hits" di bulan Desember 2013 ini,
yaitu "Sagarmatha", "99 Cahaya di Langit Eropa" bahkan
dibanding film kontroversial "Soekarno".....saya nilai film
Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck ("TKVWD") adalah
yang terbaik !
Dari segi apa?
1) Kualitas gambar
Setting pemandangan, properti (pakaian, rumah, mobil,
delman, sepeda onthel hingga kapal laut) dipilih dari
kualitas terbaik, sehingga dapat dikatakan "wah" sekali.
Contoh rumah gedong nya Zainuddin di Surabaya, lokasi
pacuan kuda di Padang Panjang.....semua nampak
bergaya ke Barat-barat an, tampak sekali pengaruh gaya
Eropa dalam kehidupan di dalam film tersebut, akibat
ketika itu Indonesia masih dalam penjajahan Belanda.
Setting film diambil sekitar tahun 1931-1938. Masa
Hindia Belanda.
Permainan kamera nya pun cermat, menangkap moment-
moment penting bahkan, adegan kapal Van Der Wijck
berlayar di lautan yang saya tahu betul itu, kapal replika
diapungkan di bak di studio, jadi tampak indah dengan
baluran sinar matahari senja di Laut Jawa.
Sumber: Detil Setting Properti yang luar biasa
(cms.jakartapress.com)
2) Pemilihan Aktor dan aktris
Selain nama-nama di atas, mungkin selain Arzetti
Bilbina yang menjadi etek (bibi/tante) dari Zainuddin,
maka pemeran lainnya hampir tidak ada yang tenar dan
spesial.
Namun akting mereka menurut saya rata-rata bagus,
bahkan para pemeran tetua-tetua di kampung Batipuh,
selain begitu fasih berbahasa Minang, mereka juga rata-
rata terlihat serius dan total memerankan perannya.
Juga cukup banyak menggunakan figuran bule,
mengesankan benar bahwa ini film di jaman kolonial,
masa begitu bertebarannya orang Belanda di Indonesia
(Hindia-Belanda) kala itu.
Sumber: Akting Herjunot Ali dan Pevita Pearce yang
mengharukan (koleksi pribadi)
3) Detil dalam gambar maupun cerita
Ini yang paling saya suka dibandingkan rata-rata film
Indonesia pada umumnya.
Sedemikian detilnya, hingga Herjunot Ali pun dalam film
ini tidak hanya digambarkan menguasai bahasa Minang,
namun juga bahasa Makassar.
Ada sebuah adegan Zainuddin sedang menulis surat
cinta kepada Hayati, di sebelahnya terlihat sepiring
penganan khas Minangkabau, makanan kesukaan alm.
nenek saya, makanan Padang yang telah langka dijual,
Bika Kelapa Bakar.
Jangan tanya soal kedetilan Sunil yang mencari mobil-
mobil tahun 1930-an untuk properti film ini, hingga ada
mobil yang spare part nya harus dipesan di Jerman, agar
di film ini bisa benar-benar berjalan, karena selama ini
hanya koleksi museum.
Untuk membuat filmnya saja, pihak Soraya Intercine
Films harus melakukan riset lokasi, lingkungan sosial,
pada masa kisah dalam novel itu terjadi dan sejarah
tenggelamnya Kapal Van Der Wijck yang nyata terjadi di
Laut Cirebon tahun 1936.
Tiket kapal Van Der Wijck berbahasa Belanda, telepon di
rumah Zainuddin yang klasik tahun 1930-an, kostum,
bahkan setting kota nya...sangat jadul dan detil.
Desain kapal Van Der Wijck pun harus dicari dari
galangan kapal Feyenoord Rotterdam Belanda. Itu juga
cetak birunya didapat dari kolektor. Tak ada foto-foto
bersejarah tentang kapal "Titanic" nya Hindia Belanda
tersebut.
Bahkan setiap adegan-adegan yang menggambarkan
banyak orang Belanda di sekitar aktor utama, selalu
soundtrack film yang semula banyak diisi oleh lagu-
lagu band Nidji, tiba-tiba diganti oleh lagu-lagu
berbahasa Belanda, yang sedang hits di tahun itu.
Sedikit saja saya kurang sreg, ketika acara pesta
gathering Klub Perantau Anak Sumatera (KLAS) di
Surabaya berpesta di rumah Shabir a.k.a Zainuddin.
Lagu nya sih sudah benar lagu Belanda tahun itu, hanya
sayang nya ditabuhi suara synthesizer dan electronic
instruments serta beat musik cepat ala lagu-lagu disco
atau clubbing music era tahun 2000-an. Bagi saya musik
seperti itu cukup mengganggu, walau tidak penting
sekali.
Juga tak dikisahkan bagaimana Muluk si pemuda
kampung yang awalnya tak mampu menegmudi mobil,
yang diperankan dengan kocak oleh Randy Nidji, tiba-
tiba mampu menguasai keahlian mengemudi mobil
sehingga menjadi chauffeur nya Meneer Shabir alias
Zainuddin kemana-mana.
Sungguh lho, bagi saya sejak film "Penghianatan G 30 S
PKI" , dan "Tjoet Njak Dhien" ....sangat langka
menemukan film Indonesia yang digarap dengan begitu
serius dalam hal detil.
Mohon maaf, saya juga penggemar sutradara Gareth
Evans, namun film nya yang berhasil menjadi hits di
Hollywood yaitu The Raid:Redemption yang dibintangi
Iko Uwais, itu saja....masih jauh kalah dalam hal detil
dibanding film TKVWD.
Menurut saya sih...hmmm....film ini layaklah untuk
diikutkan dalam Festival-Festival Film Internasional,
seperti Cannes, Berlin, Golden Globe atau bahkan
Academy Awards 2014, untuk kategori film berbahasa
asing.
Teknik penggarapannya sudah kelas dunia menurut saya.
Menurut saya lho.....hehehe.
Dan...bagi yang berprasangka bahwa film ini alur cerita
nya meniru film " Titanic" nya James Cameron, saya
ingatkan, bahwa walau kisah kapal Titanic (1912) yang
tenggelam lebih dahulu daripada kisah tenggelamnya
kapal Van Der Wijck (1936).
Namun kisah cinta dua insan yang dipisahkan oleh
tragedi kapal tenggelam, lebih dahulu novel
Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck (1938), dibanding
film nya James Cameron (1998) atau 60 tahun kemudian.
Dalam kisah kapal Titanic asli tak ada kisah kasih tak
sampai ala Leonardo Di Caprio dengan Kate Winslet
tersebut. James Cameron baru menciptakan untuk
filmnya di tahun 1998.
Dibaca : 162 kali
Penulis : Andhika Heru