Dear all,
Thread ini Vin buat untuk menuangkan karya-karya cerita pendek Vin. Vin dedikasikan untuk semua teman-teman senasib seperjuangan. Hehehe
Vin juga mengucapkan terima kasih kepada teman-teman yang sudah mau mampir ke thread ini. Selamat menikmati. Vin harap karya Vin bisa memuaskan pembaca.
Selain itu, Vin mohon apresiasinya dari teman-teman semua yang . Bisa berupa komentar, pujian, kritik, saran, dan caci maki untuk setiap judul cerpen yang Vin posting. Kalau misalnya gak baca pun (skip), kasih aja komentar, seperti "Hoaaahmmm... Malesin ceritanya." atau " "Gua gak baca, gak menarik" dan sebagainya. Pokoknya apapun komentarnya itu penting bagi gua, karena semua itu bisa membuat Vin menjadi lebih baik lagi dalam menulis.
Best regards
Alvindra Fahrezia
Daftar Isi :
Halaman 1 - Malaikat Pengantar Surat
Halaman ? - ???
Comments
Sebuah kotak pos besar berwarna jingga, kokoh bertengger di sisi jalan. Jalan yang terletak di sebuah kompleks perumahan. Lengang… Tenang... Kendaraan melintas jarang.
Hingga seseorang berseragam pengantar surat memberhentikan sepedanya tepat di depan kotak surat keluar itu. Tubuhnya menjulang setinggi 186 cm. Seragamnya yang ketat memamerkan lekuk tubuhnya yang sangat menawan. Seluruh tubuhnya dilapisi kulit putih bersih nyaris pucat. Mata, alis, bulu mata, hidung, dan bibir, semua terlukis sempurna pada wajah yang tanpa cela. Rambutnya hitam lebat, sedikit panjang dengan poni di keningnya.
Pengantar surat itu mengambil semua surat yang berada di dalamnya. Diperiksanya satu per satu. Dan lagi. Ia menemukan sebuah surat dengan amplop berwarna kuning. Mengapa berwarna kuning? Apakah itu lambang berkabung?
Selain warna yang mencolok, begitu pun dengan kepada siapa surat itu ditujukan. Teruntuk RAJA SATRIA RAKASIWI di SURGA. Ini surat ketujuh yang ia temukan di Kotak Pos Blok A perumahan itu, dengan nama pengirim dan tujuan surat serupa.
Siapa yang tidak berpikir bahwa sang penulis surat sudah gila? Tetapi lelaki itu tidak menunjukkan ekspresi apapun di wajah tampannya. Ia hanya memisahkan surat itu dari surat lainnya dalam tas selempang yang ia bawa, kemudian pergi.
Pekerjaannya selesai sudah, kini ia berdiri tertegun menatap ketujuh surat di atas tempat tidurnya di rumah. Seperti telah disebut, kesemuanya beramplopkan kuning.
“Orang ini tidak main-main.” Begitu pelan desisnya.
Lantas, ia mengambil sepucuk surat yang pertama kali ia temukan dan membacanya seksama.
…
Wahai sang penguasa hati ini.
Kemarin lusa, saat aku menghibur kesepianku sendiri di sebuah taman anak-anak. Aku duduk manis di atas ayunan dengan sejuta lamunan. Angin sepoi, begitu lembutnya.
Seketika, langit meniupnya sedikit lebih kencang. Selembar kertas foto melayang-layang di udara dan berakhir tepat di pangkuanku. Aku menyesal setelah melihat foto itu. Hatiku terguncang lagi. Wajahmu di sana. Itu foto keluargamu. Aku tak mungkin salah mengenali. Kau, dengan istri yang ku tahu persis wajah cantiknya, dan seorang anak kecil. Apakah itu anakmu?
Aku memperhatikan sekeliling dengan kedua mata ini yang mulai terasa pedih. Aku melihat gadis kecil yang serupa dengan gambar pada foto itu. Dia sedang asyik bermain pasir ditemani seorang perempuan yang membawa sekotak bekal, mungkin orang itu pengasuhnya.
Lantas aku menghampirinya untuk mengungkapkan sejuta tanya.
“Hey, anak manis. Apakah ini milikmu?” tanyaku pada anak kecil itu sambil menunjukkan foto tadi.
Ia tersenyum manis dan lugu, mengambil foto itu dengan kedua tangan mungilnya, lalu mengucapkan terima kasih kepadaku dengan lafal cadelnya yang masih kental.
“Apakah itu ayah dan ibumu?” tanyaku lagi penasaran.
“Iya, tetapi ayahku yang itu sudah meninggal.” Jawabnya begitu polos.
Saat itu aku berharap salah orang. Maka ku pastikan dengan mendatangi tempat peristirahatanmu, sesuai dengan petunjuk pengasuh gadis mungil itu. Tempatnya tak jauh dari taman ini, juga tidak jauh dari tempat tinggalku. Aku menangis di atas pusara yang jelas bertuliskan nama indahmu. Ya, kau sudah meninggal, itu benar.
Mengapa setelah tiga tahun tiada kabar, kini kau datang dengan berita duka? Mengapa kau pergi tanpa bisa kupandangi ragamu untuk terakhir kali? Bahkan kau dimakamkan di sini dan aku tidak tahu kau pernah hidup di kota ini sebelumnya. Kau tahu? Hatiku sangat sesak.
…
Wajah sang pengantar surat tak menunjukkan raut apapun setelah membacanya, kecuali jakun di lehernya yang bergerak naik turun.
Kini dia mengambil surat kedua dan membacanya di atas meja baca. Ia duduk di atas kursi dengan tegapnya. Sebuah lampu baca bersinar terang, membantu kedua matanya bekerja secara optimal.
…
Duhai, wajah tampan tak berotak. Mengapa kau mau menikahi wanita itu? Wanita itu… apakah dia yang menyebabkan kau meninggal? Atau … apa?
Kau bertanya mengapa aku berpikir seperti itu? Baiklah aku akan bercerita lagi.
Berhari-hari setelah pertemuanku dengan anakmu, aku kembali ditakdirkan bertemu dengannya. Masih di taman bermain itu, tentunya. Dia asyik bermain, aku tidak mengusiknya.
Hingga ku melihat, baru tiba, sebuah mobil di tempat parkir. Seorang wanita cantik turun dari pintu penumpang depan. Wajahnya itu sangat ku kenal. Wajah itu tak pernah ku lupa sejak hari pernikahanmu dan menjadi luka seumur hidupku.
Pintu pengemudi juga terbuka, dan muncullah seorang pria dewasa yang tak ku kenal sebelumnya.
“Ibu!!! Ayah!!!” seru sang gadis mungil sambil berlari menghampiri mereka dengan langkah ringan. Kedua dewasa itu memeluk anakmu.
Anakmu memanggil pria itu dengan sebutan ayah? Aku tak percaya.
Aku segera bersembunyi dan mengintip apa yang mereka lakukan. Mereka terlihat sangat bahagia, bertingkah layaknya keluarga utuh nan harmonis. Apakah aku salah jika berpikir bahwa mereka sama sekali telah melupakan dirimu?
Jawab aku! Apakah ada hubungannya sepasang manusia bengis itu dengan kematianmu?
Hey, aku menangis lagi. Misteri apa yang kau bawa ke dalam hidupku?
Wanita itu menemukan pria lain secepat itu. Sementara belum genap sebulan kau tiada. Dan aku di sini tiga tahun terkurung dalam kesendirian karena belum bisa melupakanmu. Menyedihkan sekali hidupku ini.
Sudah jelas? Siapa yang lebih hebat mencintaimu? Aku.
Namun, siapa yang kau miliki hingga terakhir kali matamu dapat melihat dunia ini? Bukan aku. Rasanya aku ingin berteriak. Namun, dayaku pun sudah habis.
…
Sepertinya pengantar surat berparas tampan itu lelah pada posisinya. Dia mematikan lampu baca kemudian beranjak menuju tempat tidurnya. Berbaring terlentang kemudian mulai membaca surat yang ketiga.
…
Raja Satria Rakasiwi
Namamu memang benar.
Maksudku, kau lah yang bertahta di hati dan pikiranku selama delapan tahun ini. Kekuatan dinastimu belum juga runtuh.
Bahkan aku masih seorang siswa tingkat kedua sekolah menengah pertama, saat kita memulai kisah cinta di antara kita berdua. Untuk itu aku sangat bahagia. Dilambung tinggi oleh ketulusan cintamu yang bisa ku rasakan begitu dalam. Tak peduli usiamu yang lebih tua empat tahun dariku. Tak peduli bahwa kita berdua berjenis kelamin sama.
Lima tahun bersama, orang tuamu mengetahui hubungan kita, lalu tergesa menikahkanmu dengan wanita pilihan mereka.
Duniaku hancur… Runtuh…
Tetapi apa dayaku? Kau tidak pernah bisa membantah kedua orang tuamu, bukan? Tak ada pilihan, aku yang terpaksa mengalah. Melepasmu. Melepas kebahagiaanku.
Kota ini adalah pelarianku dari kepedihan. Juga tempat di mana aku melanjutkan pendidikanku dan mencoba mengalihkan diriku dari duniamu, tetapi tak bisa. Dan… tak pernah terbayangkan bahwa di kota inilah semestinya kita bisa bertemu, tetapi tidak.
Mengapa kita tidak ditakdirkan bertemu sebelum ajal menjemputmu? Setidaknya aku ingin memeluk jasadmu saat kau kesakitan karena malaikat sedang mencabut nyawamu.
Di surga sana, apa yang kini sedang kau rasakan? Apakah di sana kau masih mencintaiku?
+++
Esoknya. Di pagi buta, sang pengantar surat tampak terburu-buru dengan sepedanya. Ia mengejar waktu sebelum terbit fajar untuk sampai di sebuah tempat di mana rerumputan terhampar amat luasnya. Sepedanya ia tuntun sampai ke tengah-tengah, melalui jalan setapak. Lalu berdiri tegap menghadap matahari terbit. Sangat indah pemandangannya.
Tetapi, apa yang dia lakukan di sana?
Lagi-lagi tas selempang lusuh itu yang ia bawa.
Dikeluarkannya amplop-amplop kuning dari sana. Dengan tangan kanan, sekuat tenaga ia terbangkan kesemuanya ke arah matahari.
Surat-surat itu sempat melayang di udara, tetapi kemudian raib dalam sekejap. Mereka berubah menjadi sekawanan kupu-kupu berbagai warna. Terbang ke segala sembarang penjuru. Menghiasi langit fajar tak berawan. Lukisan yang sempurna, sungguh.
Siapa dia sebenarnya?
+++
Matahari sudah sepenggalah naik. Pengantar surat tampan itu memulai pekerjaannya, mengantarkan surat-surat kepada tujuannya.
Demi surat selanjutnya, ia kini sudah berada di sebuah rumah bergaya minimalis tanpa pagar. Di depannya terdapat taman kecil yang hanya terisi rumput dan tanaman kering kerontang. Pemiliknya tak merawatnya.
Lantas dia menekan bel dan membangunkan penghuninya yang malas bangun di pagi hari ini. Seorang pemuda membukakan pintu. Pemuda itu terlihat sangat lusuh dan tidak bergairah. Tubuhnya terlihat kurus kering, padahal wajahnya sangat manis dan tampan. Tingginya hanya setinggi dada sang pengantar surat.
Sang pemuda yang matanya belum membuka seutuhnya terlihat kesal dan membentak pelan, “Kalau hanya mengantar surat, seharusnya kau cukup memasukannya ke dalam kotak masuk di depan sana!”
“Maaf, tetapi ini paket khusus. Saya harus memastikan surat sampai kepada pemiliknya langsung,” jawab sang pengantar surat dengan sabarnya.
“Benarkah Anda yang bernama Zidny Prasetya Tanaya?” begitulah ia bertanya dan hanya dijawab oleh sebuah anggukan.
Dengan malas, pemuda itu mengambil sebuah amplop coklat berukuran folio, kemudian menandatangani kelengkapan administrasi yang dibutuhkan pengantar surat.
Urusan selesai, ia masuk ke dalam rumah dan memeriksa isinya.
Zidny terkejut! Ternyata isinya adalah tiga surat beramplop kuning. Sangat familiar baginya. Masih tak percaya, ia mengambil isinya masing-masing. Benar saja, ketiganya adalah coretan-coretan tangan mulusnya.
Ia segera mengeluarkan sepedanya dari garasi dan berniat akan mengejar sang pengantar surat itu. Untung saja tadi ia sempat melihat ke mana arah pergi tukang pos itu sebelum masuk rumah. Dan akhirnya keberuntungan lagi baginya untuk dapat mengejar sang pengantar surat.
Dengan nafas tersengal, Zidny mulai bertanya setelah sepeda mereka berdua berjalan sejajar, “Aku mengerti … jika surat konyol ini dikembalikan. Tetapi mengapa hanya tiga? Sementara aku menulis tujuh.”
Sang pengantar surat tidak menjawabnya. Ia sibuk sendiri memasukkan surat-surat ke dalam kotak surat masuk masing-masing rumah. Zidny terus mengikuti, menunggu jawabannya dengan sabar. Ketika tukang pos berhenti di depan kotak surat, Zidny ikut berhenti. Dan ketika kembali berjalan, ia juga kembali mengayuh.
Dan setelah surat terakhir, sang pengantar surat pun membuka mulut.
“Keempat surat lainnya sudah ku kirimkan ke surga.” Katanya dengan begitu santai.
Mata Zidny terbelalak mendengarnya, “Kau jangan bercanda! Aku memang konyol, tetapi ku mohon! Berhentilah mengerjaiku!”
Tetapi kata-katanya tak dihiraukan, justru ia mempercepat kayuhan sepedanya. Namun, Zidny tak mau kalah. Ia bahkan berhasil menyusul dan memotong jalan sepeda tukang pos itu ke sisi jalan dan membuatnya menarik rem sekuat mungkin. Roda belakangnya terangkat oleh hukum gaya.
“Hey! Kau sudah gila!?” bentaknya pada Zidny.
Tetapi Zidny justru melempar tatapan menyedihkan. Bola matanya yang berbinar indah terlihat memerah. Bulir air mata tertahan di sudut matanya. Melihat tingkah Zidny hanya bisa membuatnya menghela nafas panjang dan berat.
“Baiklah! Ikuti aku!” perintahnya kepada Zidny.
Sepeda pengantar surat memimpin jalan di depan. Mereka melalui jalan menanjak menuju bukit. Terik matahari cukup membuat keduanya dibanjiri keringat.
Mereka berdua sampai di hamparan luas padang rumput, tempat yang sama dengan kala fajar tadi.
Rerumputan menjulang setinggi betis. Kini mereka berdua duduk di atasnya. Begitu tenang, angin bertiup lembut. Damai merasuk ke dalam batin keduanya. Terlihat kehausan, sang pengantar surat menawarkan sebotol air minum kepada Zidny.
“Ketiga surat yang kukembalikan tidak layak untuk dikirimkan ke surga. Kata-kata yang kau gunakan sangat kasar. Penuh kutukan dan sumpah serapah. Surga adalah tempat yang damai dan aku takkan membiarkan kedamaian itu rusak oleh ketiga suratmu itu.” Jelas sang pengantar surat membuka percakapan.
“Jadi kau membacanya?” tanya Zidny. Kemudian meruntukinya, “Lancang!”
Meskipun ingin marah, Zidny merasa itu tak ada gunanya. Toh, lawan bicaranya hanya bergeming dengan makian itu.
“Hentikan semua omong kosongmu! Dan kembalikan empat surat lainnya kepadaku!” bentak Zidny cukup keras.
“Apa kau bilang? Kalau kau tidak percaya surat yang kau tulis akan sampai ke surga, lalu untuk apa kau menulisnya hingga tujuh?” ketus sang pengantar surat. Bibirnya mengguratkan kekesalan.
Zidny menangis. Ya, air matanya jatuh membasahi pipi. “Aku hanya mengungkapkan segala perasaanku. Mengirimkannya melalui pos seolah aku telah menyampaikan kepadanya. Itu membuatku merasa lebih baik, meskipun aku tahu surat itu takkan pernah sampai ke surga.”
Kini lelaki itu tertegun melihat Zidny menangis. Ia merasa iba kepada tubuh mungil di hadapannya yang terlihat benar-benar rapuh luar-dalam.
Tanpa berkata sepatah kata pun, dikeluarkanlah secarik kertas dan sebuah pulpen dari tas selempang itu. Usai menulis sesuatu, kertas itu ia letakkan di atas telapak tangannya. Memejamkan mata, dan seperti tadi pagi, kertas itu berubah menjadi kupu-kupu cantik.
Melihat semua itu, bibir Zidny menganga begitu takjub. Tak ada alasan lagi untuk tidak percaya pada keajaiban itu.
“Siapa kau sebenarnya?” tanya sang pemuda dari bibir ranumnya itu.
“Panggil aku Hero!”
Ya, nama pengantar surat itu ternyata Hero.
“Bukan! Bukan namamu. Maksudku, apakah kau manusia?”
“Apakah itu pertanyaan penting?” cetus Hero menghindari pembahasan itu.
Kini mereka berdua menatap langit cerah dengan sedikit gumpalan awan nan putih bersih. Hero pun kembali bertanya, “Sekarang kau sudah tahu suratmu akan sampai pada seseorang bernama Raja di surga sana. Apakah hatimu sekarang sudah tenang?”
Zidny hanya menggeleng lemah. Karena itu, Hero menyarankan Zidny untuk berteriak sekencang-kencangnya. Menumpahkan semua emosi jiwa yang ada di padang rumput yang luas ini. Tidak ada seorang pun yang mendengar. Tidak akan mengganggu siapapun.
Zidny menuruti saran Hero. Ia mulai berdiri dengan lunglai. Namun matanya menatap langit dengan pasti. Seolah ia benar-benar melihat Raja di sana.
“Raja!!! Duhai Raja yang sangat bodoh!!!” teriak Zidny begitu lantang. Ia tertawa miris seperti orang gila.
Zidny kembali menjerit, “Aku sakit!!! Aku marah!!! Aku kecewa!!! Aku bingung!!! Apa lagi yang harus ku katakan!!??”
“Aku benci kebodohanmu!!! Aku benci istrimu!!! Arghhh!!!” ia mengacak-acak rambutnya dan air matanya mengalir deras.
Hero ikut berdiri di samping Zidny dan memintanya berhenti. Namun, Zidny tak acuh. Ia justru mengamuk, menendang-nendang rumput di sekitarnya sekuat-kuatnya, apapun ia lakukan. Gerakan tubuhnya benar-benar di luar kendali.
Tak tahan melihatnya, Hero memeluk erat tubuh Zidny. Awalnya Zidny meronta, tetapi akhirnya ia tenang di dalam pelukan Hero. Zidny terus menangis sesegukan pada dada kokoh Hero.
Sejujurnya Hero sudah ingin memeluk Zidny sejak pertama kali ia melihat sosoknya. Bukan sekedar rasa iba, tetapi keinginan untuk menghapus duka lara Zidny. Mengganti kesedihan dan keputusasaan hidupnya dengan senyum kebahagiaan. Zidny telah membuatnya terpesona dan berduka secara sekaligus.
“Ikhlaskan semuanya. Kau tahu? Raja tidak akan pernah bisa tenang di sana jika melihatmu terus seperti ini.” Ucap Hero masih sambil memeluk Zidny.
Zidny melerai pelukan hangat itu dan menatap wajah Hero dalam-dalam. “Aku tidak bisa. Setidaknya sebelum semuanya menjadi jelas. Bagaimana Raja bisa meninggal? Mengapa secepat itu istrinya menemukan pengganti Raja? Tapi, bagaimana caranya?”
“Mengapa kau tidak tanyakan langsung kepada istrinya? Bukankah hanya itu satu-satunya cara agar semua menjadi jelas?”
Zidny menunduk dan mendesah.
“Aku ingin tahu semua misteri ini, tetapi di sisi lain aku terlalu takut menghadapi kenyataan. Aku juga bisa membunuh wanita itu bahkan sebelum ia menjelaskan semuanya.” Katanya lirih. Suaranya begitu serak.
Hero merangkul kedua bahu Zidny, dia mendekatkan wajahnya ke wajah Zidny. Mata mereka begitu dekat. Saling menatap.
“Kau harus memaksakan dirimu. Jika ternyata kenyataan tak seburuk apa yang kau pikirkan, maka dendammu, rasa sakitmu, semuanya akan berakhir. Jika kenyataannya memang buruk, aku akan melindungimu. Percayalah padaku!”
+++
Di sebuah rumah yang megah, seorang wanita membukakan pintu rumahnya yang diketuk oleh seseorang. Dia sangat anggun dengan setelan yang casual. Tanpa make up berlebihan pun tak ada yang mampu memungkiri pesonanya. Lekuk tubuhnya terbilang sangat menggoda. Tak tampak seperti wanita yang sudah menikah.
Wanita itu terheran melihat seorang pemuda yang baru pertama kali ia lihat.
“Maaf, Nyonya, jika saya mengganggu. Ada seorang pemuda yang sudah dua hari berada di makam suami Anda. Mungkin Anda mengenalnya. Orang-orang sudah menegurnya, tetapi tak ada hasil. Bisakah nyonya membujuknya.” Begitu kata Hero yang menyamar menjadi penduduk setempat.
Wanita itu segera pergi ke tempat pemakaman suaminya. Dia melihat Zidny berada di sana. Ya wanita itu mengenalinya, bahkan ia tahu bahwa Zidny adalah mantan kekasih mendiang suaminya.
“Dia … meninggal karena kanker otak,” desisnya setelah wanita itu duduk di sisi Zidny.
Zidny tak berani memandang wajah Shena. Berkata, “Kau bohong, Shena! Yang ku tahu saat terakhir melihatnya, dia amat bugar,” dengan pandangan lurus pada sebuah gundukan tanah.
“Seperti itulah kanker. Kami pun telat mengetahuinya. Semua sudah berusaha, tetapi takdir berkata lain.”
“Bohong! Kau tidak menjaga dan merawatnya dengan baik!” bentak Zidny kepada Shena.
Shena tidak terima dan balik membentak, “Berhentilah mengatakan hal seperti itu!”
Shena mengambil nafas meredam emosinya. Ia menyadari bahwa semua ini hanya perlu diperjelas. Amarah, tidak membantu.
“Aku sudah berusaha semaksimal mungkin. Kau pikir untuk apa aku membawanya ke kota ini? Semua itu demi perlakuan medis yang jauh lebih mendukung baginya?”
Semua terdiam, terpaut pada pikiran masing-masing.
Merasa tak ada respon dari lawan bicaranya, Shena berbicara lagi, “Mungkin cintaku pada Raja tidak sehebat cintamu. Tetapi percayalah bahwa aku telah melakukan semua yang terbaik sebagai istrinya. Kau bisa bertanya pada semua orang. Kau bisa bertanya kepada bumi sebagai saksi.”
“Lalu, belum genap sebulan Raja meninggal dunia, kau sudah menjalin hubungan dengan pria lain. Bahkan kau mengajari anakmu untuk memanggilnya ayah,” kata Zidny dengan nada menyindir. Ia menunjukkan kepada Shena, sebuah pandangan yang begitu merendahkan.
Shena, wanita cantik itu hanya diam terkejut, terlihat jelas dari ekspresi wajahnya. Seakan ia ingin bertanya darimana Zidny mengetahuinya, tetapi lidahnya terlalu kelu.
“Jangan pikir aku tak tahu! Aku melihatnya sendiri!” kata Zidny. Kali ini dengan nada membentak. Egonya belum jua runtuh.
Akhirnya Shena berbicara.
“Pria itu … Dia sudah menjadi kekasihku sebelum dijodohkan dengan Raja. Cintaku tak pernah pudar untuknya, seperti cinta Raja kepadamu atau sebaliknya. Namun, aku tidak sekali pun berniat mencurangi Raja, apalagi melakukannya. Dan satu lagi yang harus kau tahu, Raja sendiri lah yang meminta pria itu untuk menjagaku dan juga anakku.”
Air mata Zidny, yang sedari tadi ia tahan demi harga diri seorang pria di hadapan wanita, kini jatuhlah semua. Tumpahlah semua penyesalan atas semua tuduhan yang tak berdasar. Menyesal karena telah menyia-nyiakan hidup demi menyimpan segala praduga yang tak ada guna dan artinya. Menyesal karena tidak bisa mengikhlaskan kekasihnya.
Shena berdiri, hendak meninggalkan Zidny sendiri. Memberikan waktu kepadanya untuk meluapkan segala emosi.
“Kau percaya? Aku bukanlah orang jahat. Aku tidak sejahat yang kau pikir. Jadi, sebaiknya kau melepaskannya, melepaskan bebanmu, dan pulanglah!”
Shena berlalu, tak tampak lagi tubuhnya dari sudut pandang Zidny.
Zidny memandang langit pagi yang cerah. Menggoreskan imajinasinya pada langit bahwa Raja sedang memandangnya kini sambil tersenyum. Dalam hatinya, Zidny berkata bahwa dia akan belajar mengikhlaskan kepergian Raja.
“Hey, tangkap ini!” teriak seseorang mengganggu Zidny.
Zidny menoleh ke arah suara itu berasal. Tetapi…
“Awww!!!”
Zidny meringis karena kepalanya terkena lemparan bola kasti. Siapa yang melempar? Siapa lagi jika bukan Hero? Buktinya, dia kini menertawai Zidny yang sedang mengusap-usap kepalanya.
“Awas kau!!!” ancam Zidny.
“Terima ini!” Zidny melemparkan bola kasti itu ke arah Hero sekeras mungkin ia bisa, tetapi Hero berhasil menangkapnya.
Mereka berdua bermain lempar-tangkap bola dengan begitu bahagianya. Tanpa ada beban, tertawa lepas. Ini pertama kalinya Zidny berwajah seceria itu semenjak Raja dijodohkan. Mereka terus bermain sampai akhirnya, Zidny mengaku menyerah dan meminta Hero untuk berhenti karena ia kelelahan.
Kini sepeda Hero melaju. Zidny berada di bangku boncengan memegang erat perut Hero. Hero mengajak Zidny ke padang rumput. Tempat di mana kemarin, ia menunjukkan keajaiban. Dan kini dia akan menunjukkan keajaiban yang lain kepada Zidny … keajaiban cinta.
Di padang rumput, mereka duduk berdua. Zidny bercerita kepada Hero semua hal yang dia alami dan betapa lega perasaannya sekarang. Tak henti-hentinya Zidny berterima kasih kepada Hero. Dan betapa antusiasnya Hero memandang wajah Zidny yang sedang bercerita. Wajah yang berbeda dari hari kemarin. Kini, Zidny memancarkan keindahan wajahnya yang sebenarnya.
Hingga Zidny berhenti berbicara, ia tersenyum begitu manis. Hero tak tahan lagi untuk mencium bibir merah Zidny. Begitu lembut dan lama. Zidny memberikan respon positif.
“Aku mencintaimu.” Desis Hero selepasnya dari bibir Zidny.
Zidny tidak memberi jawaban. Dia hanya memeluk tubuh Hero dan begitu harunya. Hero menyambut pelukan itu dan menghirup aroma rambut Zidny yang begitu wangi.
Tak lama kemudian, tiga halilintar menyambar-nyambar tanpa jeda mengejutkan mereka berdua. Zidny dan Hero berdiri melihat apa yang terjadi. Langit mendung seketika. Sangat aneh, perubahan cuaca yang begitu cepat.
Zidny menggandeng dan menarik lengan Hero “Ayo cepat kita pulang, sebelum hujan.”
Namun, Hero bergeming, tetap pada posisinya membuat Zidny heran.
“Tidak bisa. Kita terlambat.” Desis Hero.
“Ada apa?”
“Zidny. Aku adalah malaikat yang diturunkan ke bumi untuk satu tugas. Ternyata tugasku sudah selesai. Suara halilintar tadi menandakan bahwa aku harus kembali ke surga. Aku akan segera menghilang bersama hujan.” Terang Hero dengan penuh penyesalan.
Dusta, bila Zidny tidak bersedih dengan kenyataan itu. Dia menundukkan kepalanya dan mulai menangis lagi.
Hero memegang erat pundak Zidny. Kemudian mengarahkan kepala Zidny agar dia menatap matanya. “Maafkan aku. Seharusnya aku tidak pernah mengatakan mencintaimu jika aku tidak bisa selalu bersamamu. Aku terlalu menuruti ego. Maafkan aku!”
Zidny melemparkan senyum walau keseihan tak bisa dia tutupi.
“Walaupun aku tetap bersedih, tetapi apa dayaku? Aku tidak menyesal, justru bersyukur. Kehadiranmu mampu menghapuskan semua bebanku. Dua hari yang sangat singkat, tetapi dengan cepat aku telah belajar untuk mengikhlaskan kepergian orang yang kita cintai. Maka, kini aku juga harus mengikhlaskan kepergianmu, seperti halnya Raja.” Ujar Zidny
“Aku akan mengingatmu. Seperti namamu, kau adalah pahlawan bagiku.” Lanjut Zidny.
“Zidny. Peluklah tubuhku dengan erat hingga aku lenyap nanti.”
Zidny memeluk erat tubuh Hero. Membenamkan wajahnya pada dada bidang Hero. Hero membelai lembut rambut Zidny.
Hujan mulai turun membasahi tubuh mereka. Perlahan, tetes demi tetes air hujan yang membasahi permukaan tubuh Hero membuatnya lenyap. Tubuh Hero seolah luntur. Sama halnya dengan goresan tinta yang basah.
Hingga tak ada yang tersisa dari Hero, tetapi Zidny seolah masih memeluk seseorang di sana. Bibirnya tersenyum lebar, tetapi matanya menangis.
+++
Suatu pagi yang cerah. Udara masih begitu segarnya. Suara kokok ayam bersahut-sahutan. Seorang laki-laki yang begitu manisnya keluar dari sebuah rumah. Dia tersenyum menatap pagi. Ya, dia adalah Zidny. Dengan kaos tanpa lengan yang memamerkan lengan putihnya, celana training pendek, dan sepatu olahraga. Cukup menawan.
Setelah melakukan beberapa gerakan yang biasa disebut pemanasan, ia mengeluarkan sepeda gunungnya dan pergi meninggalkan rumahnya. Sudah lama rasanya dia tidak berolahraga.
Zidny bersepeda mengelilingi kompleks perumahannya dengan berbagai tingkat kecepatan untuk menempa fisiknya yang sudah lama tidak dilatih. Karena mulai jenuh, dia melajukan sepedanya ke padang rumput, sekaligus untuk bernostalgia dengan hari kemarin.
Tak lama kemudian, ia telah sampai. Di sisi kanan jalan yang dia lalui, tampaklah padang rumput sejauh mata memandang. Ia terus menyusuri jalan itu.
Hingga akhirnya dia berhenti di sebuah titik ketika dia melihat seseorang yang sepertinya ia kenal, berdiri di tengah-tengah lapangan itu. Segera, Zidny menepikan sepedanya. Dia turun dari sepeda dan berlari mengejar titik yang ia tuju untuk memastikan semuanya. Tak peduli berapa kali ia tertatih karena tersandung.
Sampai akhirnya Zidny dapat melihat jelas siapakah orang itu. Zidny tersenyum begitu lebarnya, dan sekali lagi, air mata bahagia jatuh membasahi pipinya.
Summon @Irfandi_rahman
Silakan balas dendam Fan. Ahahaha )
kapan-kapan lagi ya?
@Irfandi_rahman ah elah sok sibuk.
oke ditunggu keripik pedasnya.
mau tarik @adinu ah. kritik donk. sepi bgt nih lapak. views lumayan banyak tp gak ada yg nyomen. hikz (
*naik podium*
1. vin cara penulisan lo bikin gw ngiler rapi minim typo.
2. jujur aja ya, 60% gw bingung sama cerita lo, mungkin gw yg bego. ini pov.a orang ke3, zidny or siapa si?
3. diksi! gue rada bingung, seriusan diksi yg lupake ngambang antar sastra dan metropop. dan mnrt gw ya lo blm sukses ciptain diksi lo.
4. harapan gw terlalu tinggi di cerita lo. jd gini, gw banyak mw.a sendiri wkwk.
6. apalagi ya? gw nunggu cerbung lo vin.
JANGAN MUSUHIN GUE YA. HAHAHA
1. Soalnya dibaca ulang berkali-kali. Keuntungan dari cerpen, gak kejar tayang. Wehehehe
2. Ini murni kok sudut pandang orang ketiga, gak ada alih POV. Yang pas pakai sudut pandang Zidny, semata-mata itu isi surat yg Zidny tulis, Fan. Kalau dari komputer bacanya, yang bagian surat sengaja gw bikin tulisan miring. Tapi di HP mungkin tulisannya gak miring. Jadi gak kelihatan beda. Jadi lo bingung.
3. Iya gw akui diksi gw sama sekali ancur. Makanya lagi belajar. Tapi yg pasti gw mengalir aja sih saat menulis.
4. ahahaha, mungkin krn gw jago kritik jd disangka udah expert gitu ya? padahal belum tentu loh. bnyk kritikus makanan yg gak bisa masak.
5. syukurlah hikz
6. Gw gak bisa bikin cerbung. Gw udah nulis cerbung di sini dan gak tamat. Gw gak bisa kejar tayang. Paling habis ini gw mau bikin thread antologi cerpen. Kayak cerbung, tapi masing-masing cerita punya konflik dan penyelesaian masing-masing.
Gw demen bgt kritik kok. Santai aja Fan. Drpd silent readers. Hwaaa T_T