Embun~
Embun, itulah aku. Aku ada saat matahari tertidur dan bulan menggantikan matahari, tak hanya itu. Aku ada saat hujan turun.
Aku sangat iri dengan Gersang, waktunya lebih banyak untuk bisa melihat kehidupan. Tapi aku dan Gersang bisa melihat bersamaan di kala siang yang hujan. Maka dari itu kami suka hujan.
Aku tahu iri itu perbuatan tidak baik, tapi aku hanya iri, aku tidak bertindak diluar kuasaku, ya karena memang aku tidak bisa.
Melihat pemandangan manusia itu amat menyenangkan, apa lagi percintaan manusia.
Sekarang atau entah dari kapan, aku memperhatikannya, anak Adam (laki-laki) yang mencintai anak Adam lainnya.
Hari-hariku kini sibuk memperhatikan mereka.
Aku itu berada di belakang Gersang tapi membelakanginya, sama seperti Gersang jika di malam hari, aku memang tidak bisa melihat dikala siang dan tak hujan, tapi Gersang dengan berbaik hati menceritakan semua yang ingin aku lihat.
Terimakasih Gersang~
***
Gersang~
Gersang. Ya aku si Gersang. Aku dan embun sama-sama suatu cuaca yang tak terpikir. Mungkin.
Kami hidup, aku lebih tentunya, aku bisa melihat sepanjang pagi hingga menjelang malam hari, aku bersyukur atas itu. Bahkan ketika hujan turun di siang hari aku tetap bisa melihat, bahkan ada si Embun yang menemaniku.
Hujan. Iya hujan, hujan adalah tempat dimana aku dan Embun bertemu, aku sangat suka hujan turun, degub jantungku mulai berlomba saat Embun menemaniku melihat anak manusia, melihat percintaan mereka khususnya.
Aku cinta Embun bukan karena kami sama-sama suka tentang hal berbau percintaan sesama yang menurut kami itu unik, dan perjuangannya itu lebih dari percintaan biasanya.
Aku cinta Embun karena, tak perlu aku jelaskanlah, aku cinta Embun, aku sangat suka hujan, karena saat itulah aku di temani Embun untuk melihat kehidupan manusia yang indah dan kadang menyakitkan.
Aku cinta kamu Embun~
***
Tsah, ini akan jadi berantakan pasti nantinya.
Sebetulnya gue nggak mau posting ini dulu, tapi karena temen-temen chat gue banyak yang minta yauwes lah gue posting.
Mungkin kali ini akan lebih lebay aja yak, masih sekitaran anak muda tapi gue mau coba bawaiinnya berbeda, mudah-mudahan caranya konsisten *lirik
@mamomento *
Maakasih udah baca awalan yang nggak jelas ini.
Ini menceritakan tentang 2 unsur yang ada Di dunia ini, yaitu si Embun yang pake sudut pandang Cewek dan Gersang pakek sudut pandang cowok, gue buat ini se luwes mungkin, gue nggak mau batesin Embun cuman Di malem gersang cuman Di siang. Jadi kalo soal POV mereka yang waktunya ngacak sorry-sorry yaak gue mau bikin mereka ada pas moment-momen Bagus gak perduli waktunya pas si Gersang atau si embun. Hahahaha
Kata temen gue, ini tulisan gue bukan tulisan orang lain, kalo diri sendiri enjoy orang yang baca juga enjoy.
Kita buktikan yuuuk....
Sumon mode on, yang keberatan gue panggil yaa maap yaaak...
Keritik dan saranya ditunggu yaa
@kimo_chie.
@galau_er @alfa_centaury
@Kiyomori @PrincePrayoga @aicasukakonde @Taylorheaven @rudirudiart @ElunesTear @aii @SeveRiandRa @faisalits_ @xcode @agran @yubdi @adachi
@the_angel_of_hell @aryadi_Lahat @rezka15 @jony94 @myoumeow @iamyogi96 @amira_fujoshi
@lasiafti @arieat @alvian_reimond
@zeamays @rebelicious
@mamomento @earthymooned
@Sicnus @Klanting801
@egosantoso @4ndh0
@Bintang96 @agungrahmat
@danar23 @rendifebrian
@Zhar12 @heavenstar
@adinu @RyoutaRanshirou.
@Bintang96 @Tsu_no_YanYan
@egalite @Adam08 @saverio makasih udah baca
Comments
dtunggu
bagus pan.. openingnya asik. lanjuuuuuuut ah
Aku sendang merentangkan apapun yang bisa aku rentangkan, sesaat dimana aku melihat seorang remaja menegang.
Remaja yang masih terbalut seragam sekolahnya, tas dan sepatu lusuh menempel ditubuhnya. Tidak untuk wajahnya, dia tampan, tampan dan ceria, mungkin bisa di bilang polos, orang plos biasanya bodoh dalam sifat? Aku tidak yakin, tapi Embun pernah berkata seperti itu.
Aku menelitinya, mendekat sedekat yang aku bisa, entah remaja ini menegang karena apa, tidak ada hewan buas atau manusia berjawah menyeramkan di sekitarnya.
"Ren, liat Agus nggak lo?" seorang pemuda yang lebih dewasa dari si remaja menghampiri si remaja yang di panggilnya Ren, aku lihat nama yang tertera di seragamnya. Rendi.
Rendi hanya menggelengkan kepada, terlihat amat gugup seperti anak yang kepergok sedang mencuri buah di tuan Madit.
Pemuda itu memicingkan matanya ke arah Rendi, menatap aneh ke arah Rendi yang bereaksi aneh saat dia tanya.
"Seriusan?" tanya pemuda tampan itu lagi.
Rendi hanya mengangguk, dadanya membusung beku entah kenapa.
Sang pemuda memasang wajah jengah dan berjalan melewati Rendi masuk ke dalam gerbang sekolah.
Rendi membuang nafasnya banyak-banyak, mencoba menenangkan dirinya, aneh? Aku sangat heran, anak itu menahan nafas sejak si pemuda menghampirinya? Seperti film Cina "vampire" yang di ceritakan oleh Embun.
Rendi masih diam di bawah pohon rambutan di depan gerbang sekolahnya, sekolahnya tidak luas tapi menjorok ke dalam hingga semua orang harus melewati jelan masuk untuk mencapai gedung sekolah yang berjarak lima puluh meter dari gerbang utama.
Pemuda tadi keluar lagi bersama seseorang! Seseorang yang amat mirip! Aku mendelik, melihat dengan seksama, tak lagi aku memperhatikan Rendi.
Iya. Pemuda itu sangat mirip walaupun yang satu masih mengenakan seragam sekolah, mungkin jika mereka memakai baju sama aku akan sangat sulit membedakan, tinol suaranya sangat mirip, cukuran rambut mereka juga sama-sama disisir ke samping tapi si pemuda yang memakai kaos biru lautnya rambutnya di buat berantakan walau masih ada kesan di sisir ke samping.
Yang berseragam aroma tubuhnya itu wafer vanilla, sedangkan yang memakai kaos aroma tubuhnya itu kayu manis, entah kenapa, jarang sekali aku memperhatikan manusia hingga ke aroma tubuhnya.
“Tumben lo ke sini kak” tanya si anak berseragam.
“Tumben juga elo manggil gue kak, biasanya Levi doang” tanya balik anak yang memakai kaos itu, Levi. Aku sekarang tahu namanya.
“Salah mulu aah ngomong sama orang pinter kayak lo aah” si remaja yang memakai seragam menjauh dari jangkauan Levi. Aku tahu sekarang, Levi itu kakaknya si anak berseragam itu, bukan kembaran, wajahnya lebih terlihat dewasa, begitu pula fisiknya.
“Agus” panggil temannya dari belakang. Anak sekolah ini namanya Agus, aku tahu sekarang.
Teman yang memakai baju basket masih bersimbah keringat, bibirnya di gerak-gerakan menambah kesan kerennya, "Kenapa Ndri?" Agus bertanya balik kepada temannya.
“Jangan pulang dulu ada rapat Osis, emang Figi nggak BBMin elo apah?”
Agus buru-buru mengecek blackberry nya . “Kak elo balik sendiri aja yak, gue kudu rapat” Agus berekspresi muram, Levi hanya mengangguk-angguk mengerti.
“Yaudah gue balik yak ” Levi melambaikan tangan meninggalkan adiknya yang kini berjalan memasuki gerbang bersama temannya.
Aku lihat Rendi masih di bawah pohon rambutan itu dan kembali menegang.
“Loh Ren, elo beloman pulang?” Levi menghampirinya. Redi semakin menegang tapi entah bagaimana Levi seperti tidak menyadarinya.
Rendi kembali menggelengkan kepala, “Lo sakit bukan” Levi kontan memegang dahi Rendi membuat wajah Rendi merah seketika.
“Heh, elo kenapa? Udah kayak mau di perkosa gue aja, itu muka merah banget” Levi tertawa kecil masih memegangi kepala Rendi.
Rendi hanya menggeleng lagi. “Yaudah, ayok balik bareng” Levi merangkul Rendi, Rendi yang jauh lebih pendek darinya.
Aku perhatikan Rendi terus menerus, wajahnya masih memerah bahkan mereka sudah berada separuh jalan untuk kembali kerumah.
“Kelas berapa sekarang Ren?” tanya Levi yang mungkin jengah dengan keadaan membisu mereka.
“Satu kak” jawab Rendi halus tapi berat.
Rendi menghembuskan nafas beratnya, mungkin dia lelah menahan semua nafasnya, entah. Aku belum mengerti si Rendi ini.
Mereka melewati perkampungan. Iya memang rumah mereka di perkampungan. Melihat ternak-ternak warga yang berbau khas di belakang atau di samping rumah mereka, berbagai macam makanan olahan khas kampung mereka seperti opak, kerupuk merah dan sebagainya di jemur di pelataran luas mereka, lapanganpun beralih fungsi jika masih siang dan gersang seperti saat ini.
Levi mulai melemparkan pertanyaan-pertanyaan untuk Rendi, Rendi hanya menjawab tak sekalipun bertanya.
“Lo bisakan pulang sendiri?” Levi telah sampai di depan rumahnya, gerbang yang besar dan bangunan yang besar tidak bertingkat tapi luas dan bagus, aku tahu rumah ini sudah berdiri sejak tiga puluh tahun yang lalu. Saat orang tua Levi menikah dan membangun rumah ini.
“Bisa kok kak, orang rumahku cuman di situ” Rendi menunjuk ke sisi kananya, menunjuk sebuah jalan setapak menurun di samping mushola. Di bawah situ ada pemukiman dan sebuah setu yang berjarak seratus meter. Danau. Ya, danau tapi orang sini menyebutnya setu.
Levi hanya tersenyum, gigi putihnya terlihat berjejer rapih, tidak seperti Agus yang mempunyai gigi gingsul. Rendi berjalan dengan langkah cepatnya, Aku lihat Levi masuk kedalam rumahnya.
Rendi menghembuskan nafasnya dan menghirup lagi secara banyak-banyak.
Semilir angin menyambutnya, lapangan di bawahnya dan genangan air yang luas menyegarkan matanya lagi.
Wajahnya tak lagi memerah, tapi mulutnya kini mengucapkan sesuatu dengan amat pelan, aku tutup semua indraku kecuali pendengaran, aku melayang menghampirinya dengan jarak sedekat mungkin.
“Rendi bego. Gimana kak Levi bakalan tau, kalo aku aja gini mulu, tadi itu harusnya aku ajak ngobrol kak Levi bukan cuman nunggu di tanya. Aduh moment kayak gitu kan langka banget buat aku, harusnya aku manfaatin sebisa mungkin tadi itu, bego, bego, bego" runtuknya kesal.
Aku menjauh darinya, tapi pandangan super tajam aku tunjukan kepadanya. Rendi menyukai Levi? Iya. Aku tahu itu sekarang ini.
Rendi memasuki rumahnya, rumah yang terbuat dari banyak bahan, kayu, seng, dan semen. Bangunan semi permanen di dekat danau ini, danau yang masih asri walau tidak sebesar danau-danau lain di sekitar kota ini, tapi danau ini lebih dari cukup untuk memberikan manfaatnya kepada semua penduduk kampung ini.
Aku lihat Rendi terpaku di hadapan cermin yang memperlihatkan setengah tubuh atasnya, Rendi menerawang jauh kedalam mata yang ada di cermin ini.
Wajahnya yang bersih, guratan-guratan yang nyaris nihil berada di wajahnya, bibirnya yang tipis nan ranum, rambut lurus mengkilap tekulai ke samping, matanya yang tidak besar tidak juga kecil tapi berwarna coklat tua sangat amat terlihat sendu, hidung yang sangat pas menghiasi wajahnya.
Rendi bergerak membuka semua bajunya, menggantinya dengan pakaian lusuh, celana panjang trening berwana biru dan baju hitamnya.
Lalu mengambil tas yang berbeda dari tas sekolahnya tapi masih sama tak layaknya.
Rendi melangkah cepat, sangat luwes dan cepat, aku tak menyangka anak yang bertubuh biasa seperti dia bisa selues dan se-santai ini saat berjalan dengan langkah panjang.
Rendi terus berjalan, menyapa banyak orang yang berada di pinggir danau, keluar dari kampungnya menuju perumahan besar, Rendi memilih jalan alternativ agar cepat sampai tujuan.
Dia berhenti di rumah yang pagarnya berwarna ke emasan, dinding kelabu dan berbagai aksen mewah lainnya.
“Ibu” Rendi memanggil sosok wanita, aku yakin beliau Ibunya. Sang Ibu menghampiri Rendi yang berdiri di luar gerbang, membukakannya dengan senyum yang tulus.
“Kamu udah makan nak?” tanya sang Ibu dengan penuh perhatiannya.
“Udah dong Bu” jawab si anak sambil mencium punggung lengan sang Ibu. Bohong, Rendi berbohong, aku tidak melihat dia makan sedari tadi.
“Kalau gitu kamu bersihin kamar den Figi, inget jangan lancang, kita udah beruntung boleh bantu-bantu di sini walau ada pembantu tetapnya di sinih” nasehat si Ibu ke pada anaknya. Rendi hanya tersenyum, mengangguk lalu masuk ke dalam.
“Biie” Rendi menyapa salah satu pembantu di rumah ini, “Rendi ke kamar den Figi yak? ” tanya si pembantu tersebut yang wajahnya lebih tua dari Ibunya Rendi.
“Iya Biie” Rendi mengangguk masih terus berjalan lambat. “Hati-hati, yang bersih ya Ren”. “Sip Biie” Rendi tersenyum masygul.
Rendi membuka kamar Figi, poster-poster Harry Potter dan banyak poster Film bertajuk sihir menghiasi kamar yang bercat-kan abu-abu dan coklat untuk penambahan di furniturenya.
Rendi mulai membersihkan kamar ini, si empunya kamar masuk, menyapa Rendi yang masih bekerja di dalam kamar ini, anak yang manis, mukanya juga polos walau tak sepolos Rendi, tapi tak bisa di pungkiri ekonomi membuat Figi lebih terkesan tampan daripada Rendi.
"Aku mandi yak Ren, kamu terusin aja, jangan kaku-kaku, santai aja kayak kamar sendiri” Figi masuk kedalam kamar mandinya.
Baru saja Figi menutup kamar mandinya Rendi memanggil. “Den, Den Figi” panggil Rendi sambil mengetuk pintu kamar mandi.
“Kenapa Ren?” Figi muncul dari balik pintu.
“Aku nemuin ini di celana Aden”
Figi menatap Rendi seperti ingin ketawa, “Aden? Heeh, Kakak, okeh! Jangan Aden, kesannya aku tua tauk, udah itu ambil aja kalo kamu malu taro aja di laci deket kasur, okeh” Figi menghilang di balik pintu kamar mandinya lagi.
Rendi menatap uang lima puluh ribu berbentuk pecahan campuran di tangannya, aku tahu Rendi bimbang antara ingin mengambil uang itu atau tidak.
Rendi menyelesaikan tugasnya di kamar Figi, menaruh uang yang dia temukan di laci dekat kasur.
Kini dia beranjak ke perpustakaan kecil milik Figi di lantai tiga, di lantai teratas yang ber-viewkan pemandangan indah yang masih asri di kota ini, ilalang berdansa tertiup angin, walet-walet terbang indah saat Embun mulai menemaniku sampai aku berhenti beraktivitas, aku sangat suka masa pergantianku dengan Embun, karena akan ada beberapa waktu Aku dan Embun melihat dunia secara berdampingan.
“Kamu mau baca buku itu Ren”
Aku dan Rendi sama-sama melamun, aku tak tahu kalau Figi sudah duduk dengan manis membaca sebuah buku di kursinya.
“Nggak kak, aku udah selesai nih kak beres-beresnya, aku turun yah kak, mau bantu-bantu Ibu di bawah” Figi hanya menganggu sambil tersenyum.
+++
Embun berada di sisiku kini, detak jantungku berdegup bagai pelari maraton, sebisa mungkin aku terlihat tenang kini.
“Apa yang kau lihat seharian ini? Menyebalkan, ini kota hujan tapi kenapa tidak ada hujan hari ini, aku jadi tidak mempunyai banyak kesempatan sepertimu, aku harap saat aku terjaga akan ada peristiwa yang menarik antara Rendi dan Levi” seru Embun selalu bersemangat kalau membicarakan mereka berdua.
“Aku tau sekarang apa yang kau maksud sekarang ini Embun, Rendi mencintai Levi bukan?” tanyaku kepadanya.
“Iya, Rendi itu pengagum si tampan Levi” jawab Embun, senyumnya adalah suatu hal yang amat menyejukan bagiku.
“Apa aku tidak lebih tampan dari Levi, Embun?” tanyaku sedikit pelan.
“Haha, kau berbeda tentu dengannya, kau tampan, kalau tidak mana sudi aku berteman denganmu”
Hanya teman ternyata, hatiku mencelos kini, aku hanya teman bagi Embun, tidakkah aku punya peran yang lebih dari sekedar teman.
***
Rendi dan Ibunya telah berpamitan kepada si pemilik rumah, mereka membuka gerbang lalu keluar dari rumah megah tersebut.
“Rendi, tunggu” Figi menghampirinya, membawa buku bertema ....? Aaah, GAY. Ternyata Figi sama seperti Rendi?
“Ini baca aja, tadi kamu lagi baca kan” Figi memberikan buku tersebut. Rendi mengucapkan terimakasih lalu menyusul Ibunya yang berjalan meninggalkannya.
Buku itu Rendi buka, uang lima puluh ribu yang di temukan Rendi tadi kini menyelip di buku itu, aku tahu Figi pasti yang menyelipkannya dengan sengaja, Figi itu anak baik, aku yakin itu.
Rendi menoleh ke arah Figi yang masih berdiri di depan gerbang, Rendi tersenyum lebar perumpamaan ucapan terimakasih darinya, Figi hanya mengangguk dan menutup gerbangnya.
*****
Pengagum rahasia~Embun
Aku kini bisa beraktivitas, aku sudah bisa melihat para anak Adam melakukan kegiatannya walaupun aku kini baru hanya bisa melihat, aku belum melakukan tugasku menjatuhkan embun-embun syahdu dari langit.
Gersang kini ada di sampingku, seharian aku tertidur di belakangnya, biasanya aku suka bertanya banyak hal kepada Gersang, padahal aku menanyakan tempat dimana Gersang tidak sedang berada di sana, tapi Gersang sangat baik, Ia rela melakukan apapun untuk, dan sepertinya aku mencintainya. Entahlah.
---
Aku tahu Figi anak baik, begitu pula Rendi, aku mengamatinya jauh sebelum hal ini aku beritahu kepada Gersang, aku suka percintaan anak Adam, laki-laki maksudku, kalau manusia punya sebutan fujoshi untuk para wanita yang suka romance ini, lalu apa julukannya untuk aku? Meneketehe?
Adzhan mahgrib berkumandang, mereka melakukan tugas seharusnya, walau tidak semua, kini aku mulai bergairah, huuuh setiap moment ini aku seperti di beri kehidupan kembali, sangat semangat rasanya.
Gersang sudah kelihatan lelah di sampingku, tak lama dia akan tertidur di belakangku.
"Gersang, selamat tidur" aku bisikan kata-kata itu saat Gersang mulai beristirahat, tak ada jawaban, aku lebih suka mengatakan kata-kata itu setelah Gersang benar-benar terlelap.
Kini Rendi duduk di pojok lapangan, lamangan yang sedikit temaram, walau terang dengan lampu neon berbagai warna, lampu atas sumbangan warga suka rela.
Dua kubu sedang bertanding merebutkan bola di tengah lapangan.
Aku tahu Rendi sedang melihat dan memperhatikan siapa. Itu dia, lihat pemuda yang bertubuh tinggi rambut teracak ke sebalah kiri, hidung mancung dengan kulit ketat berwana putih menggairahkan.
Aku juga suka Levi, andai aku manusia aku pasti berebut Levi dengan Rendi. Stop. Aku seakan-akan menyukai Levi dari fisiknya, ooh tentu aku suka fisik Levi, tapi karakternya yang membuat si Rendi jatuh cinta, aku yakin. Terserah kalian bilang bahwa aku sok tahu.
Levi menggiring bola dengan luwesnya, menggocek setiap orang yang hendak merebut bola di kakinya, aku tak pernah mengerti soal pesepak bolaan, tapi aku menikmati, ada Levi dan Agus di sana, dua pria tampan yang berwajah sama walau bukan kembar.
Rendi tetap setia menunggu menyaksikan walau selalu tidak pernah di pandang oleh Levi. Itu yang tidak aku suka dari Levi, Levi memang pendiam kepada setiap orang baru yang dia kenal, tapi harusnya tidak kepada Rendi yang sudah dari lahir satu kampung dengannya.
Levi terlalu cuek, aku tahu Levi menyukai wanita tapi setidaknya dia menyambut perhatian Rendi sedikit saja.
Aaah, Rendi pun sama saja, menyebalkan, memberikan perhatian secara rahasia kepada orang cuek? Apa itu tidak bodoh.
Aku benar-benar geregetan kepada mereka berdua, kalau aku manusia akan ku tarik dua insan ini agar berhadapan, menegur Levi yang selalu tidak pernah perduli, memaksa Rendi untuk lebih berani menunjukan perasaan yang dia punya.
Aku emosi melihat ini, menyebalkan sekali mereka. Kapan mereka akan bersatu sesuai harapanku kalau begini terus.
“Hey, lo kayaknya ngelitin kita maen bola terus? Elo mau maen?” tanya seorang pemuda tinggi kurus dan berjerawat.
“Eh? Nggak kak makasih, aku cuman suka liatnya nggak bisa mainnya” kilah Rendi.
Orang itu memutar matanya, ujung bibir tebalnya bergerak sedikit mencibir, Rendi hanya tersenyum lebar menanggapi cemoohan itu.
“Yaudah” tegas si pemuda itu lalu meninggalkan Rendi. Pemuda yang sok keren, menyebalkan. Dia fikir siapa? Hiiih aku tak suka orang seperti itu.
Rendi menatap sendu ke arah Levi yang sedang tertawa-tawa bersama pemuda lainya, aku tahu tatapan Rendi itu begitu ingin berada di dekatnya, harusnya Rendi lebih berani, payah.
Rendi memutar haluannya, barbalik melewati pohon nangka di ujung lapangan ini tempat biasa dia bersandar memperhatikan Levi merumput.
“Hey, kok tumben nontonnya nggak sampe gue pulang”
Aku yang sedang terhanyut oleh perasaan Rendi pun terkejut bukan kepalang, Levi yang masih bersimbah keringan merangkul Rendi. Sudah pasti Rendi terperajat menegang dan membisu.
“Eh, nggak aku cuman laper mau pulang aja deh jadinya” jawab Rendi dengan nada kaku nanberat.
“Yaudah kita makan bareng di warung nasi uduknya Haji Madit yuk” Levi menyeret Rendi dengan halus.
Aku tersenyum kini, aku tahu ini akan berjalan baik sampai mereka jadi nanti, aku sok tahu ya? Biarlah inilah si Embun sebenarnya.
Aku mulai melaksanakan kewajibanku.
Bulir-bulir udara mulai turun dari langit menggumpal dan mengendap atas suatu benda tak beratap, sentuhlah! Maka kesejukan dari embun yang kau pegang itu akan menyejukan hatimu yang gersang.
(tamat_LOL) hahahahaha nggak lah masa tamat.
Okeh ini cerita baru gue lagi, kalo jelek please kasih keritik, jangan bilang lanjut doang, soalnya bikin mood turun dan mata perih. Okey-okey mudah-mudahan suka.
tpi gk papa lah.. bagus ini jg. hohoho
cuma mau tanya pan.. ini settingnya sesudah doni meninggal apa sebelum? figi udah pacaran sama agus blm?
Siip bang udeh gue masukin ke kolom sumon.
Yeeeey situ penasaran yeh? Nanti liat aja gimana....
Di bawahnya ada lagi baca lah aahahaha
Masih inget Rendi kan Di chap 11 KITA yang imut ituloh, terus kakaknya Agus yang namanya Levi, naaah ini cerita mereka, ini awalannya baru hehehe liaat nanti yaak bisa nggak gue jelasinnya. Keritikknya Di tunggu bang danar.
si rendi muncul lagi !!!!!!!!!!
awas fan ntr diserampang ma rendi lagi :P
bgus ceritanya q suka
Makasih udah baca hehehe sorry yak di sumon.
q suka semua cerita yg kamu tulis
semangat ya