It looks like you're new here. If you want to get involved, click one of these buttons!
Copyright 2021 Queer Indonesia Archive. See our Privacy Policy. Contact us at [email protected]
Dengan menggunakan situs ini berarti Anda setuju dengan Aturan Pakai.
BoyzForum.com adalah situs anti pedofilia!
Comments
Keritik dan saranya ditunggu yaa
@paranoid
@kimo_chie.@galau_er @alfa_centaury
@Kiyomori @PrincePrayoga @aicasukakonde @Taylorheaven @rudirudiart @ElunesTear @aii @SeveRiandRa @faisalits_ @xcode @agran @yubdi @adachi
@the_angel_of_hell @aryadi_Lahat @rezka15 @jony94 @myoumeow @iamyogi96 @amira_fujoshi
@lasiafti @arieat @alvian_reimond
@zeamays @rebelicious
@mamomento @earthymooned
@Sicnus @Klanting801
@egosantoso @4ndh0
@Bintang96 @agungrahmat
@danar23 @rendifebrian
@Zhar12 @heavenstar
@adinu @RyoutaRanshirou. @Bintang96 @Tsu_no_YanYan
@egalite @Adam08 @saverio makasih udah baca
“Gersang, hey, bangun. Lihatlah, mereka menunjukan perkembangan” aku membangunkan Gersang yang telah terlelap.
“Ini belum apa-apa Embun, jangan terlalu berlebihan” jawab Gersang sangat malas, aku tahu dia sedang letih, tapi seharusnya dia mendengarkanku.
“Sulit memang, kau selalu bergantung dengan akal mu, gunakan hati mu seharusnya”
“Iya, besok aku akan gunakan hatiku, tidak malam ini” ucapan Gersang mendayu membawanya kebali ke peristirahatannya.
---
Levi merangkul tubuh ringkih Rendi kini, jika kalian melihatku, aku pasti sedang tersenyum lebar bak manusia mendapatkan kejutan dari orang yang dikasihinya.
Aku menoleh ke arah belakang, Agus berjalan lambat menyusul kakaknya. “Gus” panggil seseorang yang keluar dari mobil putihnya.
“Figi” Agus berjalan menghampiri si Figi itu, untunglah, jadi tidak ada seorangpun yang akan menganggu mereka.
Hujan turun, semua orang berlari keberbagai arah, entah kemana mereka berlari.
Aku lihat Levi dan Rendi tak lagi berada di turunan mengarah ke danau, aku menutup semua indraku, merasakan buliran air yang mengguyur setiap insan di malam ini.
Dapat. Aku mendekat, melihat lebih jelas seorang remaja yang mencintai pemuda. Mereka berteduh di warung nasi pinggir danau ini, di warung nasi seorang haji yang sangat kikir.
“Elo mau makan apa Ren? Pesen aja gue yang bayar, gue kan abis menang taroan, lagi pula ini sebagai ucapan terimakasih gue karena elo selalu nonton gue, bahkan Meisya aja nggak pernah mau nonton gue ngerumput” kata Levi panjang lebar, iish. Aku sungguh tidak suka dengan Meisya, dia itu wanita bermuka dua.
“Eh, tau darimana kakak aku suka liatin kakak? Wong aku suka liat orang main bola, walaupun aku tidak bisa main bola” jawab Rendi sangat terburu-buru namun mengandung nada ragu.
“Eh, jadi elo nggak ke situ buat nonton gue yak? ...... Sialan sih Agus” Ish. Bodoh. Levi bodoh, kenapa sih jadi cowok nggak peka, aku saja si Embun peka, kalau Rendi mencintainya. Masa ini sudah diberi kode sebegitu jelasnya masih saja tidak sadar. Ingin rasanya mengguncang pundak Levi lalu teriak dihadapan wajahnya. Meneriaki bahwa Rendi benar menyukainya.
Hujan semakin deras, tuhan sedang menurunkan rahmatnya kala ini.
Mereka menyantap makanannya, hanya berdua di warung itu, mereka duduk di sisi kiri warung tidak terlihat oleh si pemilik warung, aku lihat wajah Rendi tersenyum malu memandang kilauan lampu temaram di genangan hujan, aku belum tahu arti senyum itu.
Levi masih terlihat asyik menyesap wedang jahenya, keringatnya terlihat kering sekarang, baju tanpa lengan mengekspose lengan berotot Levi, dengan bulu ketiak yang menggiurkan.
Wangi kayu manis merebak dari selah tubuhnya yang terkontaminasi dengan keringat mulai menyebar, bagaikan aroma tanah kering terguyur air hujan. Reaksi dan kontan.
Aku benci Rendi jika saat seperti ini, ayolah Rendi berbicara, katakan sesuatu, mulailah, jangan hanya menunggu.
Levi, tanyalah Rendi, jangan terlalu asyik dengan duniamu, berbicaralah. Rendi menunggumu.
---
“Tidakkah kau lelah Embun? Se-dari tadi kau selalu mengomentari mereka, diam saja dan saksikan, celotehanmu itu membuat aku kembali terjaga” tegur Gersang yang terbangun.
“Aku hanya ingin melihat mereka bersatu dan bahagia Gersang” jawabku sangat beralasan.
---
Levi bergerak kesamping Rendi duduk disampingn Rendi yang langsung melihat danau yang gelap.
Rendi kembali menegang, payah.
“Apa yang lo liat sih Ren”. Tanya Levi pelan.
“Aku lagi liat air hujan yang ngebasahin keringnya tanah, kayak embun yang nyejukin di kala berhawa gersang yak kak” senyum Rendi terlihat lebar, membuat sudut wajah Levi yang kaku itu tertarik melebar menghasilkan sebuah senyum.
“Kamu kelas berapa Ren?” tanya Levi membosankan.
“Eh, kak bukanya udah pernah nanya hal itu yak?” nada Rendi mulai terbiasa, nafasnyapun mulai terbawa santai.
Levi menggaruk-garuk kepalanya tanpa ekspresi.
Rendi hanya mengayun-ayunkan kakinya menunggu hujan reda.
Hujanpun berhenti, tapi aku masih belum terpuaskan, aku ingin mereka berbicara intim dan lebih dekat dan lama harusnya.
“Ujannya udah reda nih kak, aku pulang yak, udah malem, Ibu pasti nyariin” Rendi berdiri lalu tersenyum kaku ke arah Levi dan pergi, langkah kakinya yang panjang membuat tanah basah yang dipijaknya terkoyak dan menyiprat ke kaki Rendi yang mulus itu.
Entah kenapa aku lebih suka memperhatikan Rendi, aku lebih suka Rendi ketibang Levi, karena Rendi lah yang amat mencintai Levi.
Aku suka saat Rendi bermain dengan penanya malam hari seperti ini.
*
Kau bagaikan suatu aksara dibarisan sajak yang mendayu, aku selalu larut akan semua tentangmu, menggilaimu itu memang sudah tugasku.
Hidupku gersang, engkau bagai embun di dalamnya. Entah kenapa aku beranggapan seperti itu, kau tak pernah melakukan apapun untukku, tapi melihatmu saja aku sudah lebih dari tegar, serasa kau penyemangat yang paling ampuh yang aku miliki hanya dengan melihat wajahmu.
Kapankah gayung bersambut?
Gayung yang bersambut menghasilkan melodi cinta yang tak pernah terpikir bagaimana rasanya.
Tenanglah, aku takkan lelah menunggumu.
*
Aku tersenyum sekarang ini, seperti balon yang mengait hatiku terbang membawa hatiku ke ujung kerongkongan, ya andai aku seperti manusia aku pasti sedang merasakan seperti itu.
Aku lihat Gersang yang telah terlelap dibelakangku, seperti kata Rendi, -tenanglah, aku takkan lelah menunggumu-
Gersang, kalau memang kau mencintaiku. Aku mohon, katakan. Menunggu itu sesuatu yang menyakitkan, soal cinta tentunya.
Aku lihat Rendi menutup lembaran sajak yang Ia tulis dan simpan di atas lembaran kertas lusuh dari mendiang Ayahnya. Menyimpan di balik lemari dari rotan yang beralaskan koran, berdindingkan kain batik berdebu yang usang.
Rendi membuka jendela kamarnya menatap langsung genangan air danau yang luas di depannya, sudut air yang terlihat berpijar terkena cahaya lampu sekitar.
Hujan kembali turun, aku merasakan kenyamanan yang hakiki saat ini.
Aku tak pernah bisa membaca mata Rendi yang selalu melihat danau dan tersenyum, aku belum bisa mengerti Rendi sepenuhnya.
Rendi menutup jendelanya lalu tidur di atas kasur lusuhnya.
*****
Awal ~Gersang
---
Aku telah terbangun, sebentar lagi adalah masaku untuk melihat kehidupan dan percintaan anak Adam.
Aku menutup semua indraku, merasakan hangatnya hatiku yang hanya aku persembahkan untuk Embun seorang.
Saling membelakangi itu takdir kami, saling berdampingan itu anugerah kami.
Embun, tahukah kau aku sungguh dalam memiliki rasa untukmu, aku tahu aku pengecut, entah kapan aku akan mengatakan perasaan indah ini untukmu.
---
“Apa yang sedang kau lihat sekarang Gersang” tanya Embun ceria di sisiku. Beberapa waktu lagi aku akan menggantikan Embun dan saat ini kami sedang bersisian.
“Levi, aku sedang melihat Levi yang baru akan melakukan aktivitasya Embun, kau sendiri?” aku akan selalu memanfaatkan saat kami bersisian untuk berbicara panjang lebar bersama Embun walau sebentar.
“Rendi tentunya, aku selalu ingin tahu apa saja yang sedang Ia kerjakan Gersang, dia itu anak laki-laki manis nan kuat, berbeda dengan anak lelaki yang manis nan lemah seperti kebanyakan” nada Embun sangat amat menandakan dia sedang menerawang kagum atas pribadi Rendi.
Embun menggeser tubuhnya kebelakangku, kini sudah waktuku. “Aku harap akan ada hujan di hari ini” kata-kata Embun melemah dibelakangku tapi penuh pengharapan.
Aku lihat Levi mulai keluar dari kamarnya, tubuhnya sudah segar sehabis mandi tadi, pakaiannya juga sudah telihat rapih, entah kenapa aku lebih suka Levi ketibang Rendi, Rendi itu mencintai seseorang dengan cara wanita, aku tidak suka.
Aku melihat keluarga rukun mereka sedang sarapan pagi, ada tamu rupanya, kata Embun cowok yang sedang duduk di sebelah Agus adiknya Levi itu pacarnya, tapi entah mengapa Embun tidak terlalu suka bercerita tentang Agus dan kekasihnya, padahal mereka terikat cinta sesama layaknya Rendi.
Aku mulai beraksi membentangkan apapun yang bisa aku bentangkan, memberikan udara hangat di bumi ini.
Levi menyusuri koridor kampusnya, kampus yang biasa, aku tidak terlalu suka menjabarkan tempat apalagi tempat pendidikan seperti ini, bosan saja rasanya.
“LEV” panggil suara lelaki entah dari mana, aku mulai mengedarkan pandanganku.
Seorang laki-laki bertubuh tegap, seperti binaragawan, terlalu berotot tubuhnya sangat tidak ideal menurutku.
Levi menghentikan langkahnya, memutar balik badannya mengarahkannya kepada sumber suara.
“Kenapa Dli?” tanya Levi datar.
“Cabut aja nyook” lelaki bertubuh tegap ini menarik tas slempang Levi yang berwana abu-abu bergambar elang itu dengan cepat.
“Kagak aah, gue mau ketemu Dosen” Levi menarik tasnya lagi.
“Si botak kagak masuk, caya deh sama gue” yakin si lelaki tersebut.
“Iya, kita pergi yuk Lev, di fakultas juga nggak ada yang seru nih” seorang wanita bertubuh sintal, memakai dress berwarna merah muda menghampiri mereka.
“Tapi Meisya-”
“Bener Fahlevi Aditya Hermawan, dosennya nggak masuk mending kita hang-out, iyakan Fadli Dito Prayoga” jelas wanita bernama Meisya ini dengan nada benar-benar menjijikan.
Aku beritahu sesuatu yang menjijikan kepada kalian.
Fadli itu teman satu kampung Levi, dari kecil mereka bermain bersama, walau hanya saat kuliah mereka satu kampus dan fakultas.
Percaya padaku Fadli itu ular, sama seperti Meisya. Mereka berdua memanfaatkan kebaikan Levi, apalagi Levi menyukai Meisya dari awal mereka masuk kuliah.
Fadli dan Meisya itu manusia jalang, mereka berdua berpacaran, tapi dengan jahanamnya mereka merahasiakan hubungan itu. Bukan karena itu aku bilang mereka jahanam.
Fadli dan Meisya sama-sama menggerogoti banyak hal dari Levi, dari mulai kemampuan otak Levi hingga kemampuan financial Levi.
Fadli selalu saja mengatas namakan persahabataan untuk mendapatkan apapun yang dia inginkan dari Levi.
Sedangkan Meisya, berpura-pura menyukai Levi untuk mendapatkan nilai bagus dan barang-barang branded yang tidak bisa di dapatnya dari Fadli.
Ingin sekali rasanya aku untuk memberitahu Levi monopoli mereka ini. Aaah Levi juga terlalu bodoh sebagai laki-laki.
“Okey, kita mau kemana nih” tanya Levi melemah, dia sudah pasti lemah dengan rayuan Meisya, menjijikan.
“Kamu bawa mobilkan? Yaudah cabut dari sini aja dulu” Meisya menggenggam tangan Levi dengan sok mesra, Levi memimping di depan, tangan kiri Levi bertauan dengan tangan kanan Meisya tapi tangan kiri Meisya bertautan dengan tangan kanan Fadli, sangat menyedihkan nasib Levi. Ck.
Aku bosan, aku muak, bodoh, amat sangat bodoh si Levi itu. Aku tidak suka cowok seperti Levi dan Rendi. Liat saja tingkah mereka dalam bercinta.
---
“Kenapa dengan Levi memangnya Gersang” tanya Embun di belakangku. Aku tertegun sejenak.
“Levi lagi-lagi di pecundangi oleh Fadli, dan Rendi sama saja terlalu bodoh saat memendam cinta” cetusku kesal.
“Aku suka Rendi, Rendi itu cerminanmu!!” kekeh Embun di belakangku.
Sial, aku seperti termakan omonganku, aku selalu menilai orang buruk, tidak mengaca diri bahwa aku memang sama seperti Rendi, mencintai orang tanpa mengakuinya. Memalukan.
---
Kini aku melihat Rendi yang amat semangat menyelesaikan ulangan akhir semesternya. Aku tahu dia pintar, aku yakin dia akan mendapat predikat anak terpintar di angkatannya lagi, Rendi itu penerima beasiswa penuh, buku pelajaran dan segala tetek bengeknya sudah di jamin seratus persen oleh sekolah, sama seperti Resti sahabat si Agus adiknya Levi.
Bell berbunyi menandakan akhir dari ulangan hari ini, Rendi dan kawan-kawannya berhamburan keluar kelas dengan raut wajah beragam.
Mereka berbincang-bincang sebentar, semua anak-anak sekolah ini menyukainya kecuali anak-anak belagu dan berhati batu yang tidak menyukai sifat polos Rendi.
Rendi keluar dari kantor guru setelah membicarakan tentang beasiswanya untuk kelas dua nantinya.
Rendi tidak langsung keluar gerbang dia berjalan menyusuri koridor kecil sekolahnya mengarah ke toilet sekolah.
“Kolekan dong” seseorang bertubuh cungkring tinggi dengan muka seperti burung hantu berdiri di pojok dekat toilet, memegang lengan kiri Rendi dengan kasar.
“Aku nggak punya uang kak, aku kasih Ibu semua uangnya” jawab Rendi di hiasi senyum tulus. Ini yang aku suka dari Rendi.
“Sepiiik banget ah lo, sini gue periksa” cowok itu meraih tas slempang Rendi yang lusuh hingga putus talinya.
“Kak pelan-pelan dong putuskan” protes Rendi, menarik balik tasnya.
“Bawel loh, cuman putus gini doang” cowok tersebu menarik tas Rendi lagi dengan kerasnya membuat tali tas Rendi putus di kedua sisi.
“Kak, aku nggak punya uang lagi buat belinya” Rendi menarik kasar balik tasnya.
“Sialan lo yak, berani ngelawan gue lo? Gue tau elo baru dapet uang tunjangankan, berapa itu? Oh lima ratus ribu kan, sini bagi gue dikit”
Rendi terkejut dia menarik tasnya lebih kencang dan berusaha kabur, uangnya tadi memang di selipkan kebeberapa buku pelajarannya, berhubung si pemalak tahu Rendi mendapatkan uang tunjangan, Rendi panik seketika.
Dengan kasar si pemalak menjatuhkan Rendi kelantai, Rendi tidak menyerah, dia merebut tasnya lagi walau tidak memukul balik.
“Lepasin kak, uangnya buat bayar hutang keluarga aku” Rendi menarik balik badan tasnya yang dipegang erat si pemalak.
“Taik loh nyet” dorong si pemalak hingga kepala Rendi terbentur tembok ruang Osis.
“Elo miskin banget ya Bang? Segitunya elo mau ngerebut hak orang yang kata lo lebih miskin dari lo”
Si pemalak menegang, tas Rendi masih di pegang erat olehnya, seorang siswa berdiri sambil menghisap rokoknya dengan amat santai di ujung koridor mengarah ke area kelas.
Cowok tampan, berwajah Chinese dengan bibir atas runcing nanseksi.
“Udeh ah Lul, jangan ngerusuhin urusan gue, kita udah masing-masing kan sekarang” jawab si pemalak sedikit terbata-bata.
“Balikin tuh tas ke bocahnya” perintah si perokok.
“Kak Elul, itu uangnya buat bayar hutang Ibu ke Haji Madit kak” Rendi menatap perokok yang bernama Elul dengan sangat memohon.
Rendi berdiri ketika si pemalak berhasil mengambil uang seratus ribu sebanyak dua lembar dari dalam tasnya.
“Jangan kak buat bayar hutang uangnya” si pemalak berhasil menjatuhkan Rendi lagi.
“Thanks Lul udah nggak ikut campur” si pemalak mengunjukan uang yang diambilnya lalu pergi ke arah yang berlawanan.
“Kak-” panggil Rendi entah ke siapa.
“Bambang” panggil Elul pelan.
Si pemalak yang bernama Bambang itu hanya melirik ke arah Elul dan Rendi lalu melangkah.
“Bangsat lu yak, nggak kena gue baek-in” Elul membuang rokoknya ke sembarang lalu berlari dengan cepat menerjang Bambang.
Elul menarik keras rambut Bambang hingga wajahnya menghadap ke wajah Elul.
Pukulan keras di perut Bambang membuat Bambang limbung, tas ditangannya direbut cepat oleh Elul lalu uang dua ratus ribu yang diambil Bambangpun diambil kembali oleh Elul begitu pula tas Figi.
“Kak” Rendi memekik keras.
Elul memutar kakinya menahan Bambang yang hendak menerjangnya. “Orang yang banyak omong kayak lo nggak bakalan bisa nyentuh gue, lo tuh lemah! Mulut lo aja kayak cewek, mending lo mabur deh daripada gue buat bonyok” sentak Elul dengan nada sesarkas mungkin.
“Awas lo, abis lo diluaran sama temen-temen gue”
“Gue tunggu” Elul menaikan satu Alis kanannya tinggi-tinggi, Bambang pergi sambil menatap geram ke arah Elul dan Rendi.
“Nih, besok-besok kakak lo aja atau nggak Ibu lo yang suruh ambil uang tunjangan itu” Elul memberikan tas Rendi yang sudah tidak bertali lagi dan uang dua ratus ribunya.
”Makasih kak, aku nggak tau kalo nggak ada kakak bakalan gimana”
“Udah kayak sinetron lo ah pakek ngomong begitu” Elul membantu Rendi berdiri lalu berjalan pulang bersama, Rumah mereka memang satu arah, sebelum danau Elul berbelok kesebelah kanan sedangkan Rendi lurus ke arah danau.
“Sekali lagi makasih ya kak”
“Iya hati-hati lo yak” Elul mengangkat tangan kanannya salam perpisahan lalu mereka berpisah di pertigaan jalan.
Rendi berjalan dengan langkah panjangnya, menyapa setiap orang yang duduk didekat danau.
“Mau sampai tanggal berapa Des? Hutang kamu udah delapan juta ini” sentak Haji Madit di depan rumah Rendi.
Beberapa warga menatap kasihan dan beberapa lainnya mencemooh keluarga Rendi. “Pak Haji, Kak Desi” Rendi berlari cepat ke depan pintu, disana sudah ada Haji Madit, si Fadli jahanam anaknya, dan Desi kakak perempuan Rendi satu-satunya.
“Kita omongin di dalam pak” mohon Rendi sambil mengisyaratkan agar Haji Madit masuk kedalam rumahnya.
“Kamu nggak usah ikut campur Ren urusan kamu itu cuman belajar doang” kata Desi lirih, kakak perempuan yang tak kalah cantik berwajah lugu seperti Rendi terlihat sangat sedih.
“Saya punya uang lima ratus ribu pak, sebaiknya dibicarakan di dalam rumah saja” kata Rendi dengan nada tenang, tapi raut wajah sedih tak bisa dipungkiri lagi.
Dengan lancangnya Fadli masuk ke dalam rumah Rendi yang jauh dari kata layak.
“Saya baru ada uang lima ratus ribu, nanti pasti dilunasi kok pak semuanya, pasti”
“Kalian sudah menghutang selama satu tahun, nanti, nanti, nanti mulu jawabanya” sentak pak Haji.
“Kalo mau, elu jadi simpenan gue aja Des, hutang lo nanti gue yang bayarin” tantang Fadli dengan sangat sombongnya. Jika aku manusia, aku sudah patahkan semua gigi yang Fadli punya.
“Maaf kak, kami memang miskin, tapi jangan pernah usik harga diri kami” Rendi menegang, Desi mencoba menenangkan, baru kali ini aku lihat Rendi si munggil bereaksi sangat menakutkan.
“Baik, saya tunggu bulan depan cicilan kalian, harus lebih banyak, atau bunganya akan terus beranak pinak” tegas pak Haji lalu menarik Fadli anaknya yang jahanam keluar dari gubuk Rendi.
“Dek, harusnya kamu nggak bayarin hutang kita, biar Ibu sama kakak yang bayar, itu buat biaya fotocopy pelajaran selama satu semesterkan Ren” Desi menatap lirih ke arah adiknya, tangannya menepuk-nepuk punggung tangan adiknya.
“Rendi bisa kerja kak, buat biaya fotocopy doang mah, kak Figi juga suka kasih Rendi kalo lagi bersih-bersih kamarnya”
“Orang nggak selamanya ngasih kita Ren” nasihat kakaknya.
“Rendi tau kok kak, yang terpenting sekarang itu kita terbebas dari jerat renternir seperti pak Madit itu” tegas Rendi, senyum tegarnya diberikan ke kakak perempuanya.
Keluarga Rendi itu punya hutang kepada Haji Madit sebesar tiga juta dulunya, setahun yang lalu saat mendiang Ayah Rendi meninggal karena tertabrak mobil, tabrak lari.
Kondisi mereka yang kekurangan memaksa Ibu Rendi meminjam uang untuk pengubur an dan biaya sekolah Desi menghadapi ujian nasional, Desi tidak sepintar Rendi, dia tidak pernah mendapatkan beasiswa seperti Rendi. Kini Desi bekerja disalah satu perusahaan retail terbesar di Indonesia sebagai kasir.
Kini Rendi berada dirumah Figi, seperti biasa dia membantu Ibunya, bukan karena hanya membantu, tapi Rendi memang di minta khusus untuk membersihkan kamar dan perpustakaan kecil milik Figi, baiknya Figi dan keluarganya.
---
“Gersang, andai aku punya kemampuan selain memberikan kesejukan, aku ingin membantu Rendiku yang malang” Embun berkata dibelakangku.
“Akupun begitu Embun, tapi sayang kita hanya bisa mendoakan mereka” aku mencoba membuat Embun tersenyum.
“Senja masih beberapa jam lagi, aku sudah tak sabar untuk menyaksikan Rendi berjuang untuk hidup dan cintanya” kata-kata Embun melemah dibelakangku.
---
“Aku nanti bertanding Futsal lagi malam ini Mei, kau mau ikut?” ajak levi sembari membawa barang belanjaan Meisya.
“Yah, aku nanti malem udah janji sama Mami buat nganter ke mall Lev, maaf yaa” Levi hanya mengangguk, meletakan balanjaan Meisya yang iya belikan, Fadli sudah pulang setelah ditraktir makan tadi.
“Lev, uang bulanan dari Mami aku udah habis, waktu minggu kemarin aku punya hutang sama Fadli buat tugas waktu itu, Empat ratus ribu, gimana ya?”
Aku tahu ini trik Fadli dan Meisya, Fadli anak seorang renternir yang lebih miskin daripada Rendi, miskin hati. Rendi saja yang semiskin-miskinnya tidak memanfaatkan kebaikan orang sama sekali. Jika aku manusia akan ku balas semua perlakuan jahanam mereka.
“Nanti aku bayarin kamu tenang aja yah” Levi menepuk-nepuk punggung tangan Meisya dengan penuh perhatian, Meisya mulai merajuk membuat Levi jatuh lebih dalam kepermainan mereka.
Mereka sampai d irumah Meisya, “Kamu langsung pulang ya Lev, Papih lagi pusing pasti dia banyak omong kalo kamu mampir” Meisya beralasan.
“Iya, aku langsung pulang Mei” Levi tersenyum masygul lalu menutup kaca mobilnya dan melaju pulang.
Kini Levi berjalan kerumah Fadli, padahal baru saja dia sampai rumah, tapi demi Meisya, Levi lekas melunasi hutang Meisya ke Fadli, katanya.
Levi melangkah jenjang mendekat ke selatan danau ini, memasuki rumah megah bergaya norak dan berlebihan ini.
“Fadli, Fadli,-”
Tak lama sosok Fadli yang hanya memakai celana basket keluar dari barik pintu, tubuh atasnya yang kekar berotot berlebihan mendekat ke arah Levi yang masih berdiri dihalaman rumah Fadli.
“Kenapa Lev?” kata Fadli sok baik, aku tahu ini trik mereka untuk mendapatkan uang dari Levi, mana pernah Meisya mempunyai hutang dengan Fadli toh mereka pacaran, hal terhina Meisya dan Fadli itu mengaku bahwa mereka bersahabat hanya demi meraup keuntungan sebanyak mungkin dari Levi.
“Emang Mei punya utang sama lo Dli?” tanya Levi sedikit berbisik.
“Iyak Lev, kenapa emang elo mau bayarin” Fadli menyeringai.
“Berapa?”
“Empat ratus Lev, satu minggu yang lalu sih janjinya pas jumat kemaren, tapi sampe sekarang beloman di bayar tuh” Oh, ekspresi Fadli seperti aktor kawakan, ingin rasanya aku hancurkan mukanya.
“Nih” Levi memberikan uang sejumlah nominal yang di sebutkan Fadli.
“Ajigileee, sama gebetan baek bener deh, utangnya sampe dibayarin, udeh di kasih apa aja lo sama Mei? Cucus? Apa secelup dua celup?” kekeh Fadli sangat menjijikan bagiku.
”Stttt, bawel lo ah, gue balik dulu yak, belom mandi” Levi bergegas meninggalkan Fadli.
“Dasar tolol, ganteng-ganteng tolol, Mei itu cewek gue, elo itu ATM berjalan gue sama Mei, tolol dasar” cibir Fadli ketika Levi menghilang dari pandangannya.
Levi berjalan ke arah mushola, kini dia menanjak untuk mencapai rumahnya yang berada di dataran tinggi, dari rumah Levi pemandangan danau itu sedikit terlihat. Apalagi jika naik kepohon mangga miliknnya semua bagian danau terlihat jelas dari atas sana.
Aku berada disisi Gersang, senja kini menyapa, sayang tak ada hujan hari ini.
---
“Gersang, itu Figi-kan yang sedang berada di atas rakit?“ tanyaku kepada Gersang.
“Iya, benar Embun kenapa?” jawab Gersang bodoh.
“Dia sudah pulang dari rumah Figi?” tanyaku heran. Gersang hanya menjawab. Iya dengan isyaratnya.
Aku susah sekali membuat Gersang menyamai imajinasiku, menyebalkan.
Aku hembuskan kesejukan sebisaku kearah Levi. Berhasil. Levi memutar pandangannya.
Matanya memicing seketika, sudut bibirnya tertarik berubah menjadi seulas senyum. Levi berbalik turun ke arah danau.
Rendi masih asyik dengan kegiatannya menjala ikan, setiap penduduk disini behkah menjala ikan walau dibatasi hanya untuk keperluan pribadi.
Levi berdiri di dekat danau, disebelah pohon dukuh nan rindang, tubuhnya disenderkan di pohon tersebut sambil menatap ringan Rendi ditengah danau.
Rendi menegang, memegang jalanya dengan amat gemetar, menatap seorang pemuda yang di cintainya tersenyum kearahnya.
Levi masih saja memberikan senyum tipisnya, tidak bergerak, berkedip atau berisyaratkan apapun kepada Rendi.
Angin bertiup menerpa Rendi dan Levi, rambut mereka yang indah terkoyak begitu saja, angin sejuk disenja ini.
Aku lihat Gersang tersenyum atas ulahku. Tidak apa-apa, sekali-kali bertindak sedikit ikut campur demi kebaikan orang nantinya diperbolehkan. Walau hanya aku yang bilang begitu.
Rendi menepi beberapa meter dari Levi berdiri. “Permisi kak” ucap Rendi sambil menunduk membawa hasil jeratnya.
“Eh Ren tunggu” Levi mengejarnya kecil, Rendi berhenti seketika.
“Kenapa kak?”
“Nanti malem kamu mau kemana?”
“Kelapangan bola lihat anak-anak pada main bola”
“Gue nggak main dilapangan loh nanti malem”
Rendi mengarahkan wajahnya yang dari tadi menunduk menjadi menatap Levi.
“Masih ada yang lain tapi kan?” tanya Rendi dengan raut wajah tidak bisa aku tebak.
“Eh, ada sih, maksud gue, elo mau nggak ikut gue futsal, nonton gue”. Bola mata Rendi bereaksi mendengar perkataan Levi barusan, wajahnya memerah bak udang rebus.
“Gimana Ren?” pertanyan dari Levi kali ini menyadarkan Rendi dari lamunannya.
“Eh, iya kak, aku suka kok nonton bola”
“Nonton gue kali” goda Levi. Levi hanya bercanda tapi wajah Rendi memerah seketika, aku suka moment ini walau sederhana tapi sedikit memacu imajinasiku.
“Yaudeh gue jemput nanti yak, jam setengah tujuh Ren, oke” Levi berjalan meninggalkan Rendi yang mamatung di tempat, saat Rendi sadar jala yang dipegang erat tadi sudah tergelekat di tanah, buru-buru dia berjalan dengan langkah panjang kerumahnya.
Senja telah tiba, bukan tiba lagi tapi hampir berakhir, Gersang berada dibelakangku kini, aku rindu Gersang jika saat baru berpisaah seperti saat ini, entah kenapa, padahal Gersang selalu ada dibelakangku.
Levi mengentikan motor Vixion putih milik Agus di depan rumah Rendi.
“Des, ada Rendinya?” Sapa Levi cepat.
Levi sudah memakai seragam futsalnya, hanya tidak memakai sepatu dan tubuhnya dibalut sweeter lagi.
Rendi keluar dari balik pintu sebelum Desi bereaksi menjawab satu patahpun pertanyaan Levi.
Rendi memakai sweeter abu-abu lusuhnya dengan celana jeans yang dibuat pendek karena dengkulnya robek.
“Ayo Ren, yang lain udah pada jalan, Des kita pergi dulu yak” Desi hanya mengangguk. Mereka pergi ketempat pertandingan futsal.
Mereka berhenti di GOR futsal tak jauh dari perumahan Figi, GOR dilengkapi toko sport, restoran, kolam renang ukuran medium, Gym, lapangan bulu tangkis dan Futsal.
“Lev, lama lo aah” Agus berteriak dari dalam lapangan yang dibatasi jaring-jaring. Levi lekas melepas sweeternya lalu memakai sepatu futsal dari dalam tasnya. Lawan sparing futsal mereka sudah mencibir keterlambatan Levi.
Rendi malah tertawa konyol melihat pemuda yang dicintainya kualahan diperotes orang banyak. Rendi berjalan kearah kanan dan duduk disamping seseorang yang sedang menengguk air mineral dalam botol.
Rendi terus memperhatikan Levi yang sekarang berada di dalam lapangan futsal berumput plastik itu.
“Kakak tau siapa yang kamu suka sekarang Ren” kata seseorang disamping Rendi.
“Ah? Kak Figi?” Rendi sedikit tersentak.
Figi tertawa renyah melihat ekspresi Rendi.
“Sebentar lagi naik kelas dua ya? Hebat” seru Figi menatap Rendi.
“Kakak juga sebentar lagi lulus, hebat banget!” seru Rendi kekanak-kanakan.
“Sejauh mana hubungan kamu sama kak Levi?” tanya Figi.
“Ang, nggak kita cuman temen”
“Tapinya kamu demen kan?” ledek Figi, wajah Rendi memerah, entah kenapa aku jadi diam membisu tidak mengomentari apa yang kulihat saat ini, jarang sekali loh.
“Jangan bohong, telat kalo mau bohongnya sekarang” tegas Figi lagi.
Rendi menundukan kepalanya, “Masih tahap pengagum rahasia kak” jawab Rendi pelan.
“Kata Agus, Levi punya bakat suka sama kamu tauk” aku terkejut mendengar informasi dari Figi, tidak terkejut sih, aku memang optimis Levi pasti menyukai Rendi walau aku tidak bisa menjamin kapannya. Aku lebih condong kearah, bertambah semangat.
Rendi menatap wajah Figi dengan seribu ekspresi, Figi memainkan kedua alisnya untuk meyakinkan Rendi.
“Nggak mungkin, Wong kak Levi suka ngomongin kak Mei mulu kalo disetiap kesempatan”
“Itu tantangannya Ren, mereka beloman jadian ini, rebut hati kak Levi, apa aku nanti yang pacarin dia? Kamu sama si Agus?” kekeh Figi bernada seperti serius. Figi menyebalkan, keganjenan ih.
Rendi tertawa kecil, “Enak yah jadi kakak di rebutin setiap cowok ganteng terus berwajah dan bertubuh menggiurkan semua, kayak, si Dimas, kak Agus, kak Doni, sama satu lagi yang pas kakak nitip kunci mobil kakak ke aku itu siapa kak? Yang mirip Ariel senyumnya loh, wah kakak beruntung banget tuh, untung kak Rama straight kalo sama kayak kita pasti udah jadi perang dunia era baru” kekeh Rendi atas perkataannya yang panjang lebar.
Figi membisu, bukan hanya itu, botol air mineralnya diremas keras. Hingga wajah Rendi memucat seketika. Aku masih belum mengerti dengan dua cowok penyuka lelaki ini, mereka misterius.
“Kak, ya Allah, maapin Rendi kak, Rendi nggak maksud ngingetin kakak sama kak Doni” ekspresi wajah Rendi bercampur antara takut dan malu.
Aku mengerti kini. Iya. Sedih sekali nasib Figi, nasib percintaanya. Melihat lelaki yang dicintainya terenggut oleh Mikail di depan matanya, bahkan aku tak mau lagi menginggat saat nelangsa seperti itu.
“Eng....,ggaak apa-apa kok Ren, santai aja kok” Figi menepuk-nepuk pundak Rendi, wajah Rendi mendongak menatap wajah Figi yang sok tegar sekarang ini.
Figi tersenyum simpul meyakinkan bahwa dia baik-baik saja. “Lusa kamu dateng kerumah Almarhumkan? Seratus harinya loh” kata Figi sambil memberikan minuman isotonik dari tas Agus.
“Aku pasti dateng kok” Rendi meraih minuman yang di berikan Figi.
“Aku juga” Levi meniru suara Rendi.
“Kak Levi aah joroook” Rendi meronta-ronta saat Levi duduk disebelah kirinya dan memeperkan keringat Levi yang bercucuran diwajah Levi dengan tangan kanannya ke wajah Rendi. Tapi rangkulan Levi memaksa Rendi tetap berada ditempatnya duduk.
Aku tak lagi memperhatikan Agus yang sudah ada disamping Figi, terserah mereka mau berbuat apa. Aku suka drama Levi dan Rendi. Dimana mereka terlihat akrab, aku tak tahu kenapa secepat ini, tapi benar kata Desi kakak Rendi, tidak Ada yang tahu apa yang terjadi beberapa menit kemudian. Aku tak sabar melihat Levi atau Rendi menyatakan cinta mereka.
“Doain aku yah, nanti kalo aku menang aku teraktir makan deh” Levi berjalan meninggalkan Rendi kembali kelapangan. Istirahat babak pertama usai.
Apa yang aku dengar? Aku-kamu? Biasanya Levi berbicara gue-elo terhadap Rendi.
“Bodo” sahut Rendi sambil bersungut-sungut menyeka keringat Levi diwajahnya. Levi dan Agus tertawa cekikikan lalu masuk ke dalam lapangan futsal.
“Lampu hijau Ren, sebelom digebet cowok laen loh” Figi mengompori Rendi, aku suka Figi sekarang.
Pertandingan selesai, lagi-lagi dimenangkan oleh kubu Levi dan Agus.
Kini Rendi mengekor dibelakang Levi, disebelah Levi ada Figi dan Agus. “Ada yang punya janji teraktir nih kalo menang taruhan” cuts Figi konyol.
“Oh iya, yaudah makan yuk”ajak Levi ke Rendi yang diam saja dibelakang.
"Ketemuan di bambu haur Sentul aja yaak? Okeh” Figi menentukan tempat. Levi hanya mengangguk, Agus masuk kedalam mobil Figi tak lama mobil itu menghilang dari GOR kecil ini.
“Pegangan nanti jatoh Ren” kata Levi setengah nada menggoda.
Rendi memukul pelan pundak Levi yang kokoh, Levi hanya tertawa kecil lalu menjalankan motornya keluar dari GOR ini.
Aku tersenyum kini, melihat dua obyek imajinasiku yang akan segera nyata.
---
”Gersang, lihat, Rendi memeluk Levi hangat, aku sangat bahagia melihatnya” aku berkata kepada Gersang dibelakangku.
”Embun, aku lelah besok saja ya membahasnya” jawab Gersang membuat semua yang kulihat tidaklah sempurna, aku ingin menikamati ini beruda denganya, tapi responnya malah mengecewakan. Dasar laki-laki.
---
“Kak, kok di seafood? Kan janjinya di Sentul, nanti kak Figi sama Agus nyariin kita loh?” tanya Rendi bingung.
“Udah turun aja dulu, sama lepasin tuh pelukan, udah sampe tauk”
Rendi reflek melepaskan pelukannya yang tanpa sadar masih saja melilit keperut Levi yang sixpack karena sering berolah raga.
“Tapi nggak gitu juga sih ngelepasinnya, udah kayak orang dilemparin kecoa aja” timpal Levi.
“Salah mulu” gerutu Rendi dengan wajah di tekuk membuat wajahnya semakin terlihat lucu.
“Pesek”
“Jelek” balas Rendi sedikit cepat.
“Baru kamu doang loh yang bilang aku jelek” Levi memasang wajah se cool mungkin.
Rendi hanya memajukan kedua bibirnya, Levi tertawa sambil menggeleng-gelengkan wajahnya lalu menarik tangan Rendi, mereka masuk ke tenda warung seafood.
“Udah kenyang belom?” tanya Levi setelah dia menaiki motor Vixion putih milik Agus yang dia pinjam. Rendi hanya mengangguk.
“Kak, harusnya kak Agus sama kak Figi dikabarin kalo kita nggak jadi nyusul mereka”
“Pesek bawel, udeh hayo naek, tinggal nih” goda Levi lagi.
Rendi kini memasang wajah sedatar mungkin, Levi tak kuasa lagi menahan tawanya, dia mengacak-acak rambut Rendi hingga tak beraturan seperti sedia kala.
“Naik sayang” (inget doni: penulis gila). Aku tersenyum selebar mungkin, entah kenapa aku masih menahan Embunku untuk melembabkan bumi, aku tahu sebentar lagi aku akan melakukannya.
Rendi naik ke motor besar itu dengan raut wajah sebahagia mungkin, sama bahagianya denganku, aku yakin. Dan mereka melaju mengikuti tujuan Levi selanjutnya.
Mereka berhenti di atas sebuah tebing, masih tidak terlalu jauh dari tempat makan mereka, dibawah mereka perumahan didepan mereka terlihat kelap-kelip lampu jalan, empat ratus meter dari sini terlihat plang McDonald's, dengan udara dingin yang telah aku buat, aku tahu sekarang waktunya aku melakukan tugasku, menurunkan embun yang dinanti tiap orang.
Semua bagai aset alam yang mendukung di malam hari ini, hanya mereka berdua disini. Tidak. Aku ada disini, aku kan menceritakan semua yang akan terjadi di sini. NANTI.
Nantiii yaaaaaa.... Kapan taaauk
jlan critanya mkin asyik.. mkin kereen..
klau cara pnulisan mah aq gakk bisa coment...
4:27 aq coment lho...
HªhªhªhªHªhª ) º°˚˚°º
ish.. ifan kjam akh...
btw cerita ini doni dah meninggal ya???
aseeeeem bgt ya si irpan. huh
hahaha.. irpan bahagia bgt yak nge-bully ak.
nyesel ah curcol ke km pan. huuuuuu :P
*cubit irpan pake tang*
.
.
wiiiii ada si desi
trnyata di balik keluguannya trdapat lilitan jerat hutang pak haji..
hahahaha
desi sabar ya nak. haha
duh si bambang comel berani2nya malakin si Rendi.. huh
cieeee yg kangen sama si dodon *colek2in penulisnya*
hohoho
Terus "Sweeter" itu pemanis, kalau "Sweater" baju hangat.
Oke?