It looks like you're new here. If you want to get involved, click one of these buttons!
Copyright 2021 Queer Indonesia Archive. See our Privacy Policy. Contact us at [email protected]
Dengan menggunakan situs ini berarti Anda setuju dengan Aturan Pakai.
BoyzForum.com adalah situs anti pedofilia!
Comments
hahaha emang sombong. stttt OOT di lapak gue. pergisana. *sambil ngaca*
awal baca sempat berpikir "ini cerita apaan sih pake embun, gersang atau apalah, kayakx tdk menarik". Eh taux dibaca cerita keren abis.#TS: makax liat buku itu jgn dr sampulx..PLAKK.. (auw...hehe.. Maaf, ini bukux gw kembaliin)
Lanj-... (TSx ambil buku lagi, siap2 dilempar)
hahaha makasih ya udah baca nanti tahjn baru update nya
hahaha makasih ya udah baca nanti tahjn baru update nya
di kita juga lo nggak komen haaha. jangan ah sekarang masih dikit
ahahaha koment perdana gw di karya lu tuh, ywdah tp nanti updetnya yg banyak ya, ntar gw cium deh hahaha
jangaaaaaaan... jangan tanggung2
waaaaaaahhh gw siap kali mau yg ga tanggung2 hahaha
lagi..lagi..lagi..
tahun depan yaaa
Gersang : Embun, tau kah kamu... Pengabaianmu seperti meletakan pisau karat tepat di tengah hatiku tidak kah kau rasakan sedikit saja pengorbanan yang kubuat untuk mu? Tidakah kau mengerti?
Embung : Gersang, tetaplah mencintaiku, aku tau kau mencintaiku, aku memang terlalu munafik, membiarkanmu larut dalam luka berkarat. Luka yang aku buat, aku hanya ingin melihat seberapa kuatnya kamu, untuk cinta kita nantinya.
***
Drama, langit indah pulau dewata akan jadi saksinya.
***
Angin menyapu pantai Tanah Lot, membuat tatanan rambut Rendi menjadi sedikit berantakan, berkali-kali Rendi menghela nafasnya entah karena apa dan untuk apa, matahari kian lengser namun masih jauh dari kata sunset. Orang-orang di sekitarnya sibuk berfoto dan berenang bersama kerabat atau pacarnya.
Rendi duduk di atas batu karang yang menjorok agak ke tebing, seorang diri. Menikmati irama alam yang dihasilkan dari hantaman ombak. Levi terlihat melempar pandangnya kesegala penjuru pantai ini mencari sosok yang saat ini kuperhatikan.
Tarik nafas, embuskan, begitu seterusnya, seperti sedang melakukan ritual pelepasan beban.
"Kamu di sini Ren. Aku nyari kamu ke mana-mana padahal" Levi melangkah mendekati Rendi tepat di sebelah kirinya.
"Lagi apa? Kenapa mau ke pantai nggak bilang-bilang!" Seperti bos. Levi benar-benar memperlihatkannya kini, entah mengapa ia seperti itu sekarang ini.
Rendi terperangah, aku tahu dia heran, sama sepertiku. "Kakak tadi lagi ngobrol sama kak Agus jadi aku nggak berani ganggu, kelihatannya ngobrolin hal serius tadi ya?" Rendi berdiri, menepuk bagian-bagian tubuh yang kotor lalu berlalu naik ke atas tebing.
Aku semakin aneh dengan Levi, seperti cemas, kesal, gundah atau entahlah gusar sekali gelagatnya. "Mau ke mana sih!" Levi benar-benar terlihat bodoh saat ini, bertanya saatp Rendi sudah memilih tempat favoritnya selama tiga hari ini, tempat yang menurutku juga amat indah untuk menikmati sunset.
"Di sini aja, mau ke mana lagi emang" aku tahu dengan jelas
kenapa mereka sedikit canggung dan Rendi terlihat murung, karena sebuah drama. Hidup menyajikan beberapa dramanya untuk dilakoni para manusia.
"Menurut lo, gimana kalau orang-orang kampung lo yang super kolot tau kalau lo dan Levi gei" Meisya tersenyum menang. Drama, jelas drama karena kenapa sampai ada ia di pulau ini? Di pantai Kuta di hari pertama Rendi dan yang lainnya menapaki pulau ini.
Walau terlepas dari kebetulan, di musim libur siapà saja berhak berlibur ke pulau ini, tapi mengapa Meisya ada di sini pada waktu yang sama dengan mereka? Apa Meisya membuntuti? Apa sebuah kebetulan saja.
"Gay? Aku sama ka Levi nggak punya hubungan apa-apa, dan kak Levi bukan gay!" Seru Rendi gugup.
"Tapi lo yang gay dan lagi bermimpi kalau suatu saat Levi bakalan cinta sama lo, aduh homo kayak kalian itu jangan ngimpi tinggi-tinggilah. Dapet gadun juga harusnya udah sujud syukur! Nggak usah ngarep cowok ala Alejandro deh!" Meisya terlihat amat sombong, menatap bengis ke arah Rendi.
"Aku nggak-". "Jangan ngarep lebih deh, atau lo bakalan ngerasain gimana hidup sengsara, gue bakalan pastiin! Sampai lo goda Levi, lo dan keluarga lo yang miskinnya nggak ketulungan bakalan mati kelaperan di jalanan" ia fikir ia siapa? Wanita tukang hayal. Aku benar-.
"Ren.." panggil Levi lembut, suara Levi menariku dari renungan.
Rendi menoleh dan satu ciuman di pipi Rendi dari Levi. "Aku--mau kan kamu jadi pacar aku? Ren?" wajah Levi berubah pias begitu juga Rendi.
Akhirnya, kuharap kalian akan kuat melawan dunia, seberapa pun sulitnya teruslah bersama, saling menggenggam sampai badai yang akan datang nanti bosan menerjang. Kuat kalian, aku berharap banyak dari kuat kalian.
"Aku nggak bisa"
Apa yang aku dengar barusan? Rendi mengapa... mengapa menolaknya..
Desauan angin dari sisi tebing ini serasa merenggut kebahagian Levi begitu juga denganku.
Kenapa begitu dan harus seperti itu? Kenapa drama terlalu pekat sekarang ini, manusia, berhentilah mendramai ke adaan, seharusnya kalian bergerak dan melawan, bukan berdrama ria mengikuti alur penyiksaan.
"Kenapa Ren" Levi menahan siku Rendi yang hendak pergi, raut wajah Levi jelas heran dan sedih. Lalu bagaimana dengan Rendi? Setiap orang yang mengatakan bahwa Rendi saat ini baik-baik saja itu BOHONG. Liat wajah mulusnya yang bergurat, liat matanya yang mengerenyit dan sedikit berair, jika kalian sama sepertiku kalian akan mendengar detak jantungnya yang terdengar amat merana, membunuh cinta yang mulai nyata itu sangat sulit, kalian pasti sependapat denganku.
"Karena aku nggak mau kakak tinggalin setelah puas dengan aku" aku tergagap-gagap sekarang ini, nada bicara Rendi sangat mantap seakan dendam menguasainya, matanya menatap nyalang ke arah laut melihat para ombak yang sedang mendendangkan sang matahari yang akan segera terbenam. Tidak sedikit pun Rendi menatap wajah Levi.
Levi terhenyak, aku tahu ia sedang memutar otaknya untuk mendapatkan beberapa kalimat yang bisa ia ucapkan untuk menjawab tuduhan Rendi, namun tidak satu pun huruf yang bisa digabungkan dalam kata dan disatukan menjadi kalimat yang Levi temui dalam pemikirannya, terpaku diam sambari menahan siku kanan Rendi.
"Lihat kakak Ren, lihat mata kakak" aku tidak mengerti itu sebuah perintah atau permohonan dari Levi, nada suaranya begitu ambigu kudengar.
Rendi tetap tidak mau menatap Levi, ia berontak kecil dan terus menghindar dari tatapan Levi.
Turis dan orang-orang sekitar mereka masih asyik menatap sunset yang menjinggakan langit sibuk dengan kegiatan mereka dan tidak sepertiku yang hanya terpaku kepada Levi dan Rendi.
Bodoh, Levi bodoh, mengapa kau biarkan Rendi pergi? Harusnya kau kejar, kejar cintamu, sesungguhnya ini belum apa-apa, masih banyan krikil tajam yang harus kalian tapaki. Kuatlah.
Sapuan angin yang menerpa tubuh Levi seperti menyadarkannya. Levi melangkah jenjang, mengejar Rendi yang sudah agak menjauh dari pandangannya.
Kuatkan cinta kalian, sesungguhnya kuat kalian yang nantinya menjadi pembuktian.
Levi menggenggam lengan Rendi dengan amat mantap, menariknya turun ke pantai yang sepi pengunjung, entah mengapa pantai ini sepi, ada beberapa pasangan namun dengan jarak berjauhan.
"Aku cinta kamu, aku emang nggak bisa janji apa-apa sekarang ini ke kamu, tapi tolong lihat mata aku, lihat ke sini, rasa-in yang aku rasa-in sekarang" Rendi total memalingkan wajahnya, tapi Kali ini Levi tidak menyerah diraih wajah Rendi dan dipaksakan untuk menatap mata Levi.
Mereka bergerak risau, karena beberapa pasang mata kini menatap mereka, Levi menghela nafas dalam-dalam menggenggam ke dua tangan Rendi dengan mantap menginggatkan Rendi kembali bahwa ada seseorang di hadapannya yang akan menjaganya.
"Kalau kamu nggak cinta sama aku ngomong sekarang, tatap mata aku!" Levi mulai yakin ini.
"Kakak nggak sakit kayak aku dulu, salah banget kalau aku buat kakak kayak aku sekarang"
"Kita nggak sakit, kita nggak gila, kita cuma lagi jatuh cinta!" tegas Levi.
"Cuman?" Rendi total kekeuh.
"Aku cinta sama kamu! Apa itu kurang cukup" entah mengapa aku merasa begitu bersemangat sekarang ini.
"Sulit ke depannya kak"
"Maka dari itu, aku sama kamu jadi kita, kita lawan dunia sama-sama. Aku. Kamu. Kita" Levi mengangguk-angguk seperti orang bodoh, orang bodoh yang amat aku kagumi kini.
Aku tahu Rendi menyerah, dan aku tahu Rendi percaya semua kata-kata Levi, aku benar-benar bisa melihat dari sorot matanya. Mata mereka.
Beberapa mata mulai menatap risih ke arah dua insan yang aku cintai ini. Aku iri melihat mereka berpelukan, Gersang bisakah kamu peluk aku sekarang, batinku.
"Janji, lawan dunia bareng-bareng sama aku.?" tanya Rendi. Levi mengangguk mantap lalu di susul Rendi.
Kini Rendi melempar pandang dengan malu-malu ke sekitar mereka, kepada beberapa pasang mata yang menatap dengan sejuta ekspresi ke arah mereka.
"Kita nggak ganggu mereka, jadi jangan takut dan malu sama mereka" yakin Levi. Rendi hanya mengangguk ragu.
"Lo di sini kak! Gue cariin juga daritadi" Agus dan Figi datang, mereka memakai kaus putih dan celana Hawaii.
Gersang : mungkin sunset telah berakhir tapi moment indah baru sama diukir.
Embun : kau melihat semuanya Gersang? Benar momen yang mereka ukir lebih memesona daripada sunset.
Ya. itulah Gersang, diam, namun aku tahu ia selalu ada di sisiku, menjauhkan tiap rasa kesepian yang ingin hadir dalam hidupku. Bersamanya, beberapa warna yang tidak aku suka terasa jauh lebih indah dipandang. Bersamanya pula, aku mulai jatuh cinta dengan hal-hal yang mengundang aku dan Gersang bersamaan di satu waktu. Saat senja.
Langit malam di Bali yang amat indah malam ini, seperti terus menampilkan pesona alamnya, sedari senja hingga malam hari. Bintang-bintang kini bertaburan di langit, saling berkelip-kelip memukau para pemandangnya.
"Kakak janji akan genggam tanganku se-erat ini saat masalah yang tak ingin kita temui itu datang menghampiri" Rendi tersenyum menatap jemarinya dan Levi yang kini saling bertalutan.
"Hey, nggak akan ada apa-apa ke depannya. Kalau pun ada aku akan genggam tangan kamu jauh lebih erat dari sekarang" yakin Levi. Rendi ikut mengangguk.
Wahai Dewa-dewi cinta, lihat mereka, tegakah kalian menyakiti mereka, apa masih ada yang salah saat cinta mulai menyatukan dua insan.
***
Sekarang aku tahu siapa Levi, dan semua pandanganku terhadapnya ternyata tak terbukti. Aku harus jauh lebih baik di banding Levi mencintai Rendi.
Iya. Aku akan mencintai Embun dengan caraku, cara terbaikku.
Surya kini mulai terbangun, mulai merangkak naik dan memperlihatkan sinarnya yang digjaya.
Hem, dua adam ini betul-betul membuatku menyeringai iri.
Tidur dengan saling berpelukan, memperlihatkan ekspresi damai dan tak kunjung terjaga walau matahari telah bercokol tinggi.
Handphone Levi telah berdering dari dua kali dan dering ketiga mampu membangunkan mereka.
"Kenapa Umi? Apa? Sekarang? Nggak bisa tiga hari lagi? Yah, iya deh pulang" Levi menutup pembicaraan lewat handphone dengan penuh ekspresi kecewa.
"Kalo kita diminta pulang, ya kita harus pulang, siapa tahu banyak hal penting di rumah yang Ibu kakak pengen sampaikan, kakak mandi duluan, barangnya aku yang packing" kata Rendi sembari bangkit dari posisi tidurnya.
"Nggak usah, nanti siang aja kita packingnya, sekarang kita cuci muka, sarapan terus ke pantai, Agus sama Figi udah nunggu di sana" Levi berdiri, mengantongi ponselnya lalu menarik mesra Rendi ke kamar mandi.
***
Siapa yang tidak bahagia menikmati pagi di pantai Bali?
Dua pasangan yang kini sedang aku perhatikan sangat terlihat bahagia. Lalu kapan aku dan Embun akan seperti mereka.?
"Udah aku urus kak, nanti sore pesawatnya" Figi menjawab cepat pertanyaan Levi.
Meisya! "Lev! Umi kamu nyuruh kamu pulang bareng aku sekarang!" kenapa musti ada Meisya di sini?
Levi memperlihatkan wajah kaget setengah mati. Lain dengan tiga orang di sisinya yang hanya mengerenyit aneh menatap Meisya.
"Betulkan. di Kuta kemarin gue liat dia sama Darriel Gus." bisik Figi agak keras karena tak ingin kalah dengan embusan angin pantai.
"Iyap! Darriel itu adik gue" Figi seketika memasang wajah datar-lebih ke ekspresi malas tepatnya-lalu menatap Agus yang tak kunjung mengerti.
"Sejak kapan Umi gue akrab sama lo?" tanya Levi, saat Meisya hendak menjawab Levi dengan cepat memotongnya. "Lagi pula ribet banget lo Meiy, gue kan udah gede bisa pulang sendiri. Lagi pula nanti malem gue pulangnya." jawab Levi malas.
"Kalau gitu, aku mau ngomong sama kamu" Meisya menarik Levi dari yang lain. Sekilas aku melihat Levi menatap Rendi dengan pandangan menyesal, namun dengan amat bijak Rendi tersenyum ke arah Levi seakan memberi tahu-tidak apa-apa kak-namun dengan bahasa nonverbal.
"Kamu jauh lebih dewasa dari yang ku kira tau nggak Ren." tutur Figi, Agus pergi membeli air mineral untuk mereka, dan kini hanya Figi dan Rendi di pinggir pantai tempat mereka tadi.
Rendi hanya menatap wajah Figi dengan bingung dan malu-malu.
"Maksud kakak?"
"Oia. kamu jadian sama kak Levi teraktir-teraktir dong" pinta Figi.
Namun Rendi memperlihatkan ekspresi terkejutnya. "Kamu bingung ya aku tau darimana? Kan aku sama Agus yang nyadarin kak Levi, kalau dia itu sebenernya suka sama jamu dan begitu sebaliknya, terus kemarin aku liat kalian pelukan jadi aku simpulin kalau kalian udah jadian, tapi benerkan aku?" di nada terakhir perkataanya Figi sedikit ragu dan hati-hati.
Rendi nengangguk pelan. "Wohooo.. nanti bakalan ada makan besar nih!" seru Figi semangat.
Rendi hanya tersenyum kecil. "Kamu kenapa Ren? cemburu sama si Meiys itu?" tanya Figi sembari menoleh ke belakang ke arah Meisya dan Levi pergi. "Bukan karena itu." kata Rendi cepat.
"Berarti ada hal besar lain yang masih menyangkut si Meis itu kan"
"Meisya namanya kak". "Iya Meisya deh, apa kek, ribet namanye"
"Emang kenapa? siapa tau gue bisa bantu, ayo cerita"
Rendi terlihat ragu namun aku tahu ia butuh teman cerita teman dari sesamanya yang mengertikannya dan yang mampu memberikan gambaran untuk hal-hal apa saja yang harus ia lakukan ke depannya.
***
Kali ini suatu yang buruk benar-benar akan menghampiri dan waktunya kalian menguji seberapa kuat kalian, cinta yang tulus bukan berasal dari laki-laki dan perempuan, namun dari segala pemilik ketulusan.
selamat beristirahat.
udh update nih