Sore. Langit sudah mulai menghitam. Lampu jalan berpendar kuning menerangi tubuh-tubuh lelah oleh rutinitas yang membosankan. Burung-burung walet terbang kesana-kamari, mencari sarang buatan diatas toko-toko yang dibuat bagai pasungan yang kelam, daripada sarang burung dengan harga jual liur jutaan rupiah. Sore ini terlihat berbeda dari sore-sore sebelumnya, gelapnya lebih hitam, lelahnya lebih menguras tenaga dan lampu yang berpendar-pendar terlihat lebih redup. Mungkin hanya aku saja yang merasakan sore ini tampak berbeda, mungkin untuk kebanyakan orang-orang lelah itu, sore ini, kemarin, kemarinnya lagi, esok atau lusa, bahkan seumur hidup mereka, sama. Hitam dengan redup lampu jalanan yang melelahkan.
Aku berjalan di tepian taman pinggiran kota kecil ini, menikmati sore dengan hati berkecamuk, entah senang entah resah, ini adalah rasa tak definisikan yang bahkan seorang pujanggapun sulit untuk menyusun makna menggambarkan perasaan ini. Taman ini terlihat sudah tua, sudah ada sejak delapan tahun lalu aku pindah ke kota kecil ini, tidak ada yang berbeda hingga sore ini. Pohon beringin raksasa mengapit pintu masuk utama taman ini, flamboyan-flamboyan yang mekar dengan indah membuat taman ini terlihat intim dengan warna jingga dan merah menyeruak di atas-atas taman, serupa kanopi yang melindungi orang-orang ditaman dari hitamnya sore ini.
Aku memilih bangku paling pojok, bukan bangku-bangku dengan bentuk lucu yang mengundang untuk diduduki, bangku ini terlihat tua, berkarat dengan cat hijaunya yang mengelupas, coretan-coretan vandalis menambah kesan tak estesis bangku ini, kasian. Lampu taman berpendar genit diatas ku, seakan mengajak masyuk pasangan muda-mudi yang beraduhai di taman sore ini. Tapi bukan aku. Aku cuma sendiri, sebotol air mineral dan rokok terakhir yang sudah hampir habis kuhisap. Seorang pria perokok dengan air mineral digenggamannya, apa yang lebih konyol dari itu?. Aku duduk, menunggu seseorang.
*******************
Aku berjalan memasuki taman, pohon beringin besar menyambutku, bagai dua algojo yang siap menebas kepalanku bila aku salah langkah. Pasangan muda-mudi terlihat asyik masyuk di bangku-bangku taman yang tersembunyi di balik perdu-perdu yang tumbuh liar. Heran, padahal ini malam akhir pekan. Manusia kiranya sudah lupa diri. Kumencari jalan setapak menjauhi tempat pasangan-pasangan muda-mudi itu, bukannya aku tak ingin menggaanggu romansa mesum mereka, kalau aku mau, aku berani melemparkan botol bir ke kepala pemudi-pemudi itu, bukan pemudanya, mengapa? Untukku perempuan jaman sekarang sudah tidak waras, tak bisa membedakan mana pria penuh cinta mana bangsat yang penuh muslihat. Kupecahkan agar mereka segera sadar, dan berlalu dari pendar mesun lampu taman.
Aku menuju bangku taman paling pojok, dengan pendar lampu genit. Dari jauh aku bisa melihat siluet tubuhnya yang diterpa lampu taman. Hitam dan jingga. Kepul asap rokok melayang-layang diatas bayangan kepalanya, timbul tenggelam menari-nari bebas, membentuk cula iblis atau mahkota indah dikepalanya, asap yang membunuhnya perlahan, walau sore ini mungkin yang akan membunuhya lebih dulu, dan tidak perlahan.
*******************
Kulempar putung rokok terakhir ke bawah, kuinjak, remuk. Kuteguk habis air mineralku, berharap racun-racun yang baru hinggap ditubuhku lulus oleh air mineral yang bahkan harganya tidak sebanding dengan harga racun tadi yang harus ku bayar. Saatnya telah tiba, penantianku selama ini, gundah gulana yang kusimpan sejak delapan tahun lalu. Taman ini terasa seperti kamar pengakuan dimana aku akan mengakui segala dosa-dosaku, melemparkannya kebawah, menginjaknya dengan sungguh. Ia telah datang, menemaniku dalam sakramen pengakuan dosa malam ini, bukan Romo, ia cantik dengan wajah sendu dan rambut sewarna padi menguning, yang mungkin telah aku cintai delapan tahun lamanya. Aku akan jujur padanya.
*******************
Hatiku berdegup kencang, aku bahkan kesulitan mengatur nafasku sendiri, berulang kali kucoba mengarahkan penglihatanku kesegala arah, agar degup jantungku ini berjalan dengan ritme yang taratur. Laki-laki dihadapanku, walau sudah kukenal delapan tahun lamanya, orang asing yang aku mungkin cintai selama itu, terlihat jengah dengan segala romansa basi yang kita ciptakan, sore ini, aku akan meluapkan semua, bahkan ketika jantungku meloncat keluar sangking gugupnya, aku akan menyelesaikannya, sore ini, dibawah pendar lampu taman.
*******************
Ia duduk disampingku, menyilangkan kaki belalangnya yang pernah membuatku mabuk kepayang. Gaun merah satin yang ia kenakan kiranya salah untuk tempat seperti ini, atau mungkin ia ingin memberikan kesan berbeda untuk perayaan sakramenku sore ini. Waktunya telah tiba.
*******************
Aku tahu ia sedang merangkai kata untuk mengawalinya, redup lampu seakan menunggu kata pertama yang terucap dari laki-laki yang terlihat tangguh bagai karang namun mampu hancur oleh deburan ombak selama delapan tahun. Bunga-bunga mawar terlihat seperti manguping pembicaraan kita, menerka-nerka apakah si-pria atau si-wanita yang akan ditinggalkan si taman ini.
Aku sudah tidak sanggup menahan. Kugenggam tangannya, tangan dengan dua kali lipat ukuran genggaman tanganku, alhasil aku hannya mampu menggengam ujung-ujung jemarinya. Kutatap matanya, kucoba mencari jawaban atas apa yang membuatnya mematung. Aku tidak bisa menemukannya, tatapannya nanar. Ia tak mampu mengawalinya, hal ini harus diawali agar berakhir secepat-cepatnya.
“ Kau tak harus mengawali semua ini, kau tahu hal ini akan terjadi, entah hari ini, esok atau lusa,” bunga mawar mendengarkan, redup lampu kecewa.
“Aku hanya orang yang terlalu bernafsu untuk jatuh hati, memilihmu adalah pilihan dari seribu pilihan yang mungkin, seperti memilih bagaimana kita akan hidup namun tak mampu memilih bagaimana kita mati,” aku mengencangkan genggamanku, ia masih nanar.
“Namun pilihan hanyalah pillihan, ia seperti air di laut, menguap, menjadi mendung, menjadi hujan, ke sungai dan kelaut lagi, atau kalau mungkin, terjebak dalam telaga selamanya,” .Rahangnya mengencang, ia seakan mencoba menyela kata-kataku, namun tak mampu.
“Pilihanku terjebak dalam telaga, ia tak mampu mengalir kelaut, dia abadi didalamnya,”. Aku melepaskan genggamanku, wajah ini terasa panas.
“Kanda, kau bukan lah telagaku,”. Lepas, semua rasa yang mengganjal selama beberapa tahun terakhir ini membumbung tinggi keangkasa, menerjang awan-awan hitam dan mengoyaknya menjadi butiran-butiran hujan.
*******************
Tetes air kulihat membasahi wajahnya, melelehkan merah bibirnya yang dulu pernah menjadi favoritku. Itu air mata, mungkin tidak, karena gerimis datang dengan sengaja, membasahi kami, dua sejoli yang bercinta sekian lama dan menguap hanya dalam satu sore, dibawah pedar lampu taman. Aku hanya bisa mematung.
*******************
Aku memeluknya, laki-laki yang telah mendampingiku selama delapan tahun lamanya, peluk perpisahan untuk sandiwara romansa kami. Untuk cinta dan dusta kami. Aku beranjak dari dudukku, gerimis sudah menjadi hujan, kubiarkan hujan membasahi wajahku, aku tidak menangis, ini hanya air hujan yang hangat. Aku beranjak pergi, meninggalkanya sendiri termenung di bangku taman.
Sampai hari ini aku tidak mampu mengutarakan alasan kami berpisah, tidak bisa. Aku mencintainya, namun tak cukup, sudah kubilang tadi kalau aku terlalu bernafsu untuk jatuh hati. Aku mencintai orang lain, bukan laki-laki ditaman ini yang baru kugenggam tangannya, bukan juga laki-laki lain diluar sana yang pernah kugenggam tangannya. Aku mencintai wanita lain, dengan bibir merah sama seperti bibirkku, dengan kaki belalang sama sepertiku, namun dengan rambut hitam sehitam arang tak seperti rambutku. Mana mungkin aku jelaskan, mana mungkin.
*******************
Ia telah berlalu, tanpa mampu mengutarakan alasan yang sejak dari dulu membuatku bingung.Hanya peluk perpisahan. Aku yang ditinggalkan. Bukanlah hidup memang tentang meninggalkan dan ditinggalkan?.
Kami mengawalinya bersama, kukira aku lah yang akan mengahiri semua ini, ternyata tidak. Aku tak perlu susah payah memberi alasan mengapa aku diam saja. Sakramenku gagal.
Kini aku tahu yang kurasakan, aku senang, bahagia, meluap-luap tak terbayangkan. Ah rasanya sayang sore ini dilalui dengan berhujan ria di taman, aku beranjak, berlari menembus tirai dingin hujan yang menari-nari diatas bahuku. Kembali pulang, menemuinya, laki-laki dengan segenap cinta yang ia korbankan selama delapan tahun lamanya. Mana mungkin aku jelaskan, mana mungkin.
Tangerang 2013 –untuk sahabatku yang berusaha jujur
Comments
Ήм̣̣̥̇̊мм̣̣̥̇̊‘♌⌣ .̮ ⌣♌Ήм̣̣̥̇̊мм̣̣̥̇̊”
Dramatis
Romantis
tp yg baca ko' ky org autis ya( q maksudnya)....g ngerti rumit
iya mas @arieat , saya pake 2 sudut pandang penokohan, jd kalo g ngeh malah bingung, haha, maklum cerpen perdana, baru nulis
lebih tepatnya laki-lakinya sudah gay mas, yg wanita accidentallya gay mas @rizal_m2
hehe maap ya mas @syeoull malah bikin cape bcnya, saya emang tertarik sama cerpen-cerpen yg bkin pembaca sdkit 'mikir' sblum twistnya dapet, haha
makasih lho semuanya udh pd mampir
wah boleh-boleh, makasih lho buat apresiasinya, tar saya bikin yg lbh light deh buat masnya @syeoull
kesannya kalo mau baca bertapa dulu mas @zhar12, hahaha
@Zhar12, thank you udah mention.
Here's my comment :
- Lampu jalan berpendar-pendar kuning - Sepertinya lbh tepat kalau cm pakai berpendar deh. Lbh estetis.
- Burung-burung walet terbang kesana-kamari mencari sarang buatan diatas toko-toko yang dibuat lebih mirip tempat pasungan yang kelam daripada sarang burung dengan harga jual liur jutaan rupiah, sama seperti kebanyakan dari kita - Kalimat ini terkesan terlalu panjang. Jd ngos2an bacanya. Mgkn, bbrapa koma cukup untuk bikin kalimat ini lbh enak dbca. Lalu, kamu menulis KITA, yg berarti pembaca ikut terlibat. Tp, cm satu kata itu yg aku temuin dlm cerita ini. Jd, sebenarnya, kamu mau ngelibatin pembaca dlm cerita kamu atau nggak?
- Mungkin hanya saya saja yang merasakan sore ini tampak berbeda, - Ini juga aku temuin cuma satu. Kenapa nggak semuanya pakai aku? Atau keselip nih kata 'saya' nya? He3x.
- berkecambuk - bukannya berkecamuk ya? Atau typo?
- ini adalah rasa tak definisikan yang bahkan seorang pujanggapun lelah untuk menyusun makna menerjemahkan perasaan ini. - Aku agak nggak ngerti maksud kalimat ini. Ada kata yg kurang sepertinya.
- “Kanda, kau bukan lah telagaku”, Lepas,
Aku yang ditinggalkan, lalu apa lagi?, - ada 2. Pemakaian kata Kanda yg sangat nggak lazim. Bukan salah, hanya nggak lazim aja. Terus, tanda kutip, koma, huruf besar sbg awal kalimat. Harusnya, koma dulu, tanda petik lalu huruf kecil. Kecuali kamu pakai titik, br pakai huruf besar.
Msh ada beberapa typo yg ckp lumayan. Terus, penggunaan -ku dan aku yg d beberapa tempat kurang pas.
Menurutku, kamu mencoba menulis cerita dgn bahasa sastra yg umum dipakai penulis2 seperti Ayu Utami maupun Djenar, dgn analogi dan diksi yg nggak biasa, tp, kamu lupa bhwa esensi menulis cerita itu supaya bs sampai pesan yg pengen kamu sampein ke pembaca. Terlepas dari kamu yg pengen bikin cerita yg mikir dan nggak gampang dicerna, menurutku itu lain perkara. Dgn bhsa yg santai dan ringan pun, cerita bs jd rumit untuk dpahami lho. Aku angkat topi buat usaha kamu ngasih cerita yg beda d BF tp sekali lg, kamu jg harus pinter2 memilih diksi agar tetap bs dpahami tanpa menghilangkan keinginan kamu untuk bikin cerita yg mikir.
Semua yg aku tulis itu murni menurut pendapatku ya? He3x. Silakan dipilah mana yg menurut kamu bener dan mana yg salah. Atau, dcuekin jg gak papa, he3x. It's all yours to decide
Keep writing and reading! Aku yakin, kamu pasti bs bikin yg lbh baik dr ini.
Cheers,
ABI
wah makasih banyak lho buat apresiasinya, memang harus dirombak sana-sini mas abi,
saya emg msh ksulitan menciptakan diksi yg tepat, msh perlu bnyak belajar buanyak deh pokoknya
cerita mas nyastra, smntara aku lbih ska crita kalem.. Wkwk
@zhar12
hee iya, makasih lho udah mentionin mas @abiyasha , jdinya makin jelas 'reget'nya seng mana,