It looks like you're new here. If you want to get involved, click one of these buttons!
Copyright 2021 Queer Indonesia Archive. See our Privacy Policy. Contact us at [email protected]
Dengan menggunakan situs ini berarti Anda setuju dengan Aturan Pakai.
BoyzForum.com adalah situs anti pedofilia!
Comments
oke deh.. ntar ak baca..
lg sibuk bikin kueh lebaran nih *tebar nastar* hihi
masa iya ngepostnya di bf, tapi ga ada unsur gay nya. Ada kok. Tp ga eksplisit. Kalo si Han gay ato ngga, ada deh, ga mau spoiler di cerita sendiri. Haha.
Jgn lupa tees mnta kritiknya..
Nah klo w mnta nastarnya ajj..!!
#ngarep.com.. Haghaghag..
sy mikirnya psti nih cerita based on true story, iya kan om ? *sotoy
If one day you lose your way~
Just remember one thing my friend~
If you’re under a cloud~
Just visit music and sing~
If one day you lose your way~
Just remember that I’m here to stay~
Don’t you give up~
Keep your chin up and *beep*
Kumatikan alarm dari telepon genggamku yang berada di atas meja sebelah ranjangku tanpa beranjak dari posisi tidurku, aku sudah teramat hapal letak-letak tombolnya kalau hanya sekedar untuk mematikan bunyi alarm saja.
Memang sejak kemarin sudah kuputuskan untuk mengganti nada alarmku dengan lagu yang lebih ceria, lagu berjudul Happy dari Mocca itu. Entahlah, hanya saja, kurasa yang sebelumnya itu sudah tak begitu cocok untukku.
Pagi ini hujan mengguyur deras. Gemuruh suara petir menggelegar membuatku yang belum sepenuhnya sadar dari lelapku terhenyak seketika. Kelebat-kelebat cahayanya masuk melalui celah-celah tirai jendela, samar-samar menerangi ruang kamarku seolah-olah mencoba menembus kelopak mataku yang masih separuh terpejam, memaksanya terbuka secara sempurna.
Kukerjap-kerjapkan kedua mataku yang masih terasa berat, kugosok-gosoknya dengan punggung jari telunjukku agar bisa lebih terbiasa sambil sedikit membersihkan kotoran di pinggir-pinggirnya. Kuraih dan kulihat telepon genggamku yang masih menyala untuk melihat waktu, masih pukul lima.
Kupikir aneh sekali, tak seperti biasanya. Tak ada hasratku untuk terlelap lagi, rasa kantukku sudah benar-benar menghilang. Akupun hanya diam, telentang dengan kedua tangan kuletakkan di bawah kepalaku untuk sandaran sambil mendengarkan suara hujan.
Lima menit berlalu, aku masih saja termenung. Akupun mulai merasa bosan. Aku meloncat daritempat tidurku dan kuputuskan untuk menyalakan lampu.
Kududukkan diriku di atas kursi kayu yang letaknya tepat menghadap ke cermin. Aku memperhatikan bayangan diriku di dalamnya sambil senyum-senyum sendiri seperti oranggila. Entahlah, aku memang merasa seperti orang gila akhir-akhir ini.
Suara petir di luar sana sesekali masih kudengar dari sini. Tapi tak sekeras tadi, hanya pelan dan sayup dari kejauhan. Gemuruhnya berpadu dengan gemercik suara kucuran air hujan yang rapat mencipta riuh di pagi buta yang biasanya hening.
Kugeser kursi yang sedang kududuki mendekati jendela. Dengan sedikit memaksa, kuraih sebuah tali terikat simpul di ujungnya yang menggantung di samping jendela kamarku dan kutariknya. Seketika tirai di dekatnyapun terbuka lebar, menampilkan pemandangan luar yang gelap dan basah.
Sesekali kilatan cahaya datang membuat suasana luar berubah menjadi terang seperti saat siang dalam beberapa detik, hingga jalanan yang masih sepipun tampak terlihat dari jendela kamarku yang letaknya di lantai dua ini, walau sedikit terhalang kucuran air hujan dari atap.
“Aneh sekali! Biasanya kalau suasananya begini, hujan begini, dingin begini, aku sulit sekali menahan kantukku. Tapi ini justru sebaliknya. Tak biasa-biasanya.”, gumamku yang tak habis pikir dengan diriku sendiri. Dengan pelan dan lembut kugesek-gesekkan kedua telapak tanganku sambil kutiup-tiupnya mencoba membuat hangat.
“Aku memang benar-benar aneh akhir-akhir ini.” Aku bergumam lagi. Kuubah posisi dudukku, kuangkat kedua kakiku, kutelungkupkan tubuhku, dan kupeluk lututku sendiri. Aku mendesah karena kedinginan.
“Kapan hujan ini akan berakhir?”, gerutuku sambil memeluk kedua lututku lebih erat.
***
“Tumben sekali! Biasanya kau justru menunggu-nunggu datangnya hujan supaya bisa membolos.”, celetuk Stevan menyindirku.
“Umm.. Itu.. Karena aku.. Umm.. Aku.. Hari ini ada mata pelajaran kesukaanku.”, kataku terbata-bata karena terlalu sulit mencari alasan yang tepat untuk sesuatu yang menurut diriku sendiri saja aneh ini.
“Bukankah semua mata pelajaran kecuali olahraga itu kesukaanmu? Dasar aneh!” Stevan memicingkan matanya.
“Sudahlah steve, biarkan saja. Lagipula, kau ini apa-apaan? Adikmu semangat begitu, masih saja kau salahkan.”, kata mama menengahi, atau lebih tepatnya membelaku. “Sana cepatlah mandi! Antarkan Han ke sekolah! Ini sudah hampir pukul tujuh.”, lanjut mama.
“Tapi, ma.. Hari ini aku sudah mulai masuk pagi.”, kata Stevan mencoba menolak.
“Mama tahu itu. Lagipula, di luar sedang hujan lebat begitu. Jadi, bawa saja mobilnya!”
“Tapi, ma..”
“Apa lagi? Mama hari ini tidak ke toko, jadi bawa saja mobilnya Steve!”, tukas mama, Stevanpun mendengus kesal.
“Baiklah. Tapi ini yang terakhir!”, Dia akhirnya mengiyakan, dengan nada menggerutu.
***
“Kenapa jadwal hari ini harus ada fisika? Dan kenapa dibiarkan kosong begitu saja?”, keluhku.
“Kenapa tidak diisi dengan kelas lain sambil menunggu Ibu Yohanna kembali saja?” Aku menghela nafas panjang.
Kulangkahkan kembali kakiku, semakin mendekati ruang kelas semakin terasa berat. Rasa-rasanya seperti ada yang membuat sepatuku menempel di lantai.
Aku memasuki ruang kelas dengan perasaan gugup dan takut. Tapi kupaksa tenang, aku berpura-pura tenang. Dengan langkah yang sebisa mungkin kubuat seolah-olah terlihat santai, aku mendekati bangkuku dan mendudukinya.
Jantungku mulai berdetak tak karuan, sama seperti di saat jam-jam kosong sebelum-sebelumnya. Aku berdebar menunggu saat-saat yang bisa kubilang eksekusi.
Tapi beberapa menit berlalu, tetap tak ada apa-apa. Hening sama sekali, terlalu hening untuk sebuah ruang kelas dengan jam kosong. Mataku mondar-mandir ke seluruh penjuru ruangan, semuanya diam, benar-benar hening. Kulirik dia, Samuel, diam juga.
Pikirku, ini terlalu aneh. Ini tidak seperti biasanya. Biasanya mereka langsung mengerjaiku di saat-saat jam kosong begini. Tapi ini? Terlalu ganjil.
Kulirik lagi Samuel, dia masih diam. Lima belas menit berlalu, tapi tetap saja tak terjadi apa-apa. Mataku masih tak henti-hentinya melihat-lihat ke sana sini, mencoba mencari tahu sesuatu, sesuatu yang membuat mereka semua mendadak jadi tak biasa, tapi tak kutemukan. Aku masih tak mengerti, tak habis pikir.
“Han, kau disuruh menghadap Bu Helena! Sekarang!”, teriak seseorang yang berdiri tepat di depan pintu masuk ruang kelasku, salah seorang siswa dari kelas lain yang kutahu dia teman sekelasku waktu kelas tujuh dulu.
Akupun seketika beranjak dari tempat dudukku untuk menemui Bu Helena. Tapi belum juga aku sempat keluar, masih berada di depan kelas, tiba-tiba saja gelegar tawa Samuel yang kemudian diikuti tawa yang lainnya memecah keheningan.
Kontan, akupun kebingungan. Aku merasa kikuk dan malu karena walaupun tak begitu yakin, aku merasa mereka semua sedang mentertawaiku.
Aku melihat ke arah Samuel, dan benar saja, dia menunjuk-nunjuk ke arahku sambil masih tertawa lepas.
“Ada apa ini?”, gumamku cemas, dan pelan, terlalu pelan bahkan sampai tak terdengar olehku sendiri, atau mungkin karena ruang kelas ini yang terlalu riuh.
Aku melihat sekitar kebingungan. Nyaris semua yang ada di dalam ruang kelas tertawa geli, sementara sisanya kulihat berusaha menahan tawa.
Aku kini benar-benar panik. Spontan, kuraba-raba tubuhku sendiri. Berharap tak ada ulat atau apa-apa yang mengerikan yang menempel di tubuhku. Dan ternyata benar saja..
“Oh, Tuhan!”, kataku kesal kemudian berlari keluar kelas dengan perasaan malu yang teramat sangat, aku berlari menuju ruang kepala sekolah dengan salah satu tanganku menutupi bagian belakang celanaku. Terdenger sayup-sayup mereka masih mentertawaiku.
***
JK Rowling bukan penyihir loh. Haha. Btw, gue masih dua puluh satu taon. Jangan panggil om dong.
“Oh, Hansel. Selamat pagi! Masuklah! Duduklah!”, kata Bu Helena yang sedang duduk tepat di belakang meja kaca besar berbentuk persegi itu mempersilahkanku, dia menyingkirkan beberapa berkas yang ada di hadapannya. Akupun melangkah masuk ke dalam ruangan itu dengan ragu.
“Tidak usah, Bu. Lebih baik berdiri saja.”, kataku menolak sambil masih memegangi bagian belakang celanaku.
“Kau kenapa? Kau sakit? Maaf, Pantatmu sakit?”, tanya Bu Helena.
“Oh, tidak! Maksudku.. Iya, Bu! Jadi lebih baik berdiri saja.”, kilahku terbata-bata. “Oh iya, Bu.. Ada apa saya dipanggil ke sini?”
“Oke, langsung saja. Jadi begini, Han. Kalau Ibu lihat, nilai akademismu di kelas delapan ini jauh sekali jika dibandingkan dengan kelas tujuh dulu. Catatan kehadiranmu juga kacau. Kenapa? Kau ada masalah?”, tutur Bu Helena sambil sesekali membetulkan posisi kacamatanya.
“Oh tidak, Bu! Hanya saja, saya..” Aku menunduk, tak tahu harus berkata apa.
“Tak apa, Han. Katakan saja kalau memang ada masalah yang sekiranya mengganggu kegiatan belajarmu!”
“Tidak, Bu. Mungkin memang karena saya saja yang akhir-akhir ini terlalu malas. Tapi saya berjanji akan segera memperbaikinya.”, kataku mencoba meyakinkan Bu Helena.
“Baiklah. Ibu hanya ingin memastikan saja. Karena Ibu terlalu menyayangkan turunnya prestasimu, Han. Jadi Ibu harap kamu bisa kembali seperti dulu lagi.” Bu Helena membetulkan posisi kacamatanya lagi.
“Iya, Bu.”, jawabku singkat sambil mengangguk.
“Baiklah. Sekarang kau boleh kembali ke kelas.”, kata Bu Helena sambil tersenyum dan mengangguk satu kali.
“Terimakasih, Bu.”, ucapku kemudian secepat kilat memutar badanku seratus delapan puluh derajat. Tapi belum sempat aku melangkah, Bu Helena tiba-tiba memanggilku. Membuatku terpaksa membalikkan badan lagi.
“Jika kau berubah pikiran, datang saja ke sini! Ceritakan semua! Tak usah takut!”, katanya tiba-tiba. Dengan dahi berkerut, aku mengangguk sebentar dan pergi meninggalkan ruangan itu dengan tangan masih lekat di belakang celanaku.
Tapi langkahku mendadak terhenti saat mendekati ruang kelas itu. Tepat di depan sana adalah ruang kelas delapan F. Sebenarnya aku ingin sekali menemuinya, tapi untuk sekarang ini sepertinya tidak bisa, aku terlalu malu. Lagipula, pasti dia sedang ada kelas.
Dengan sedikit kupercepat, akhirnya kulanjutkan langkahku kembali. Tanpa menoleh sama sekali, aku berjalan cepat melewati kelas itu. Berlari karena tak ingin dia melihatku.
“Syukurlah!”, gumamku lega sambil mengelus dada sesaat setelah merasa berhasil melewati ruang kelas itu dengan aman.
“Hai, Han!” Suara itu, begitu kukenal, sapaannya tiba-tiba saja membuatku terkesiap. Aku tersentak dan buru-buru menutupi bagian belakang celanaku. Perlahan, kubalikkan badanku.
“Hai, Lin!”, sapaku balik sambil tersenyum masam, dia mengernyitkan keningnya.
“Kau kenapa?”, tanyanya penasaran.
“Aku tak apa-apa, aku baik-baik saja”, kilahku menutupi, dia mengernyitkan keningnya lagi.
“Kau darimana?”, tanyanya kemudian.
“Ah, jangan pura-pura tak tahu, Lin.”, gerutuku sambil memicingkan mata, dia tertawa sebentar kemudian berjalan mendekatiku. Aku mendadak gugup, mendadak salah tingkah dan mundur beberapa langkah.
“Kau kenapa? Kau sakit? Pantatmu sakit?” Dia meraih lenganku, memegangnya kuat-kuat berniat untuk menariknya, tapi berhasil kutahan. Namun dia berhasil membuatku tak bisa mundur untuk menjauhkan sedikit saja posisiku darinya.
“Ah, tidak. Aku tak apa. Kau sedang tidak ada kelas?”, aku bertanya balik, bermaksud mengalihkan pembicaraan.
“Jam kosong.”, jawabnya singkat. “Pantatmu sakit?” Dia bertanya begitu lagi, aku menarik nafas berat kemudian membalikkan badanku dan mengangkat kedua tanganku. Dia tertawa geli.
“Permen Karet? Samuel?”
“Iya. Aku selalu saja mendapat kejutan semacam ini di saat jam kosong atau jam istirahat. Hebat bukan?”, keluhku sambil membalikkan badan lagi.
“Ah, tapi aku berani bertaruh kalau itu akan menjadi yang terakhir. Kau tenang saja!”, katanya yakin sambil menepuk pundakku.
“Jadi benar kau mengadukan semua ini kepada mamamu?”
“Kenapa kau berpikir begitu?”
“Aku baru saja menghadap. Jadi benar kan kau mengadukan ini semua?”
“Apa kau marah?”
“Apa kau gila? Tentu saja tidak! Aku justru harus berterima kasih kepadamu. Kau itu benar-benar seperti..”, kata-kataku sengaja kuhentikan, tak enak jika harus kuteruskan.
“Apa, Han? Seperti apa?”, tanyanya penasaran.
Sebenernya, nggak perlu di mention juga karena kmrn pas baca postingan pertama, memang udah pengen baca
jadi, tadi abis sahur aku baca cerita ini dari awal sampai postingan terakhir, karena memang bau sedikit jadi langsung main lahap aja.
Beberapa kritik atau saran yang bisa aku kasih :
1. Ketik di laptop/komputer. Kenapa harus di ponsel yg cuma bisa nampung 5000 karakter? Kenapa nggak biarin diri kamu nulis di laptop/komputer yg bisa bikin kamu nggak terbatas buat ngembangin cerita kamu? Selain itu, kamu bisa ngatur layout, spacing lebih enak. Lebih nyaman aja menurutku. Mungkin, ponsel kamu bisa kamu gunain buat nulis draft ceritanya trus nanti kamu kembangin lagi lewat laptop/komputer.
2. “Begitulah kau! Tak pernah membuka dirimu, membuka pikiranmu. Tak pernah menyadari sekitarmu.” “Sekarang begini saja.. Saat ini, apa kau merasa bahagia duduk di sini bersamaku?”, lanjutnya bertanya.
Aku lihat banyak dialog tumpuk kayak gini. Sebenernya, gak perlu pakai dua tanda kutip kalau memang dialog itu masih diucapkan oleh satu tokoh. Ngerti kan maksudku?
Misal, kalimat diatas bisa dibuat kayak gini :
“Begitulah kau! Tak pernah membuka dirimu, membuka pikiranmu. Tak pernah menyadari sekitarmu. Sekarang begini saja..,Saat ini, apa kau merasa bahagia duduk di sini bersamaku?”
lebih enak dibaca kan? Ada banyak banget dialog tumpuk di cerita ini. Buat yang nggak merhatiin, mungkin nggak terlalu penting, tapi, buat beberapa orang, cukup distracting juga.
3. “Selamat Pagi!”
“Oh, Hansel. Selamat pagi! Masuklah! Duduklah!”
Tanda seru di kalimat ini agak kurang pas. Apakah kalau kamu dipanggil guru/Kepala Sekolah ke ruangannya, nada bicara kamu meninggi? karena tanda seru berasosiasi sama nada bicara yang meninggi. Jadi, kesannya, kamu mengucapkan salam itu kayak berteriak. Begitu juga Bu Helena, seperti memerintah Han untuk masuk dan duduk, bukan menyilakannya.
Kalimat diatas bisa diperbaiki, misal begini :
"Selamat Pagi, Bu Helena, apakah Ibu memanggil saya?"
"Selamat Pagi Hansel, masuklah. Ayo duduk, kenapa berdiri saja disitu?"
Itu cuma contoh aja ya? hehehe. Diperhatiin lebih aja soal tanda baca. kalau kamu nulis cerita, bayangin aja di pikiran kamu tokoh2 kamu itu bicara, nada bicara kayak apa yang mereka pakai, nanti tanda baca pasti ngikut. OK?
4. Masih ada beberapa typo dan itu wajar, aku juga masih sering ada typo kok
5. Penggunaan kata 'kau' Ini mungkin karena aku nggak kebiasa pakai 'kau' jadi rasanya aneh, tapi bukan berarti penggunaan ini salah. Sah-sah aja kok. tapi, menurutku agak mengganggu kalau Ibunya Han memanggil anak2nya dengan 'kau' seperti kurang nendang gitu buat seorang Ibu. Kurang kerasa kelembutan dan kasih sayang seorang Ibu. Ini aku, ya, mungkin yang lain nggak ngerasa begitu. Jadi, kamu yang bisa ngerasain feel tokoh2 kamu. Terus juga 'aku' dan 'ku'. Ini juga harus lebih hati2. Nggak semua kata kerja/sifat bisa cocok sama 'ku' yang lebih banyak kamu pakai disini. Dirasain aja. Nulis itu kalau pakai feel, nanti yg lain2 ngikut kok.
6. Diksinya udah enak sih, meskpiun terkesan terlalu formal untuk anak SMP, tapi, nggak papa. Aku nggak kehilangan kesan anak SMP nya meski bahasanya formal. Aku punya feeling kalau ini akan jadi cerita dengan tema yang cukup serius untuk anak SMP, jadi, sah-sah aja pakai bahasa formal.
7. Baca cerita ini, nggak tahu kenapa, ngebayangin Han nya kayak Greyson Chance, hehehehehe. It's just me.
8. Kamu pasti udah banyak baca ya? Keliatan dari tata bahasa kamu. Meskipun kamu bilang baru cerita pertama (beneran baru cerita pertama?) tapi, kalau orang yang suka baca, diksi dan tata bahasanya keliatan. Keep reading! Mungkin, karena ini temanya teen (aku lebih suka nyebut YounG Adult sih, hahaha) baca novel2nya John Green/David Levithan. Mereka ngangkat tema2 yg agak serius di kalangann remaja tanpa jatuhnya jadi cheesy dan remaja banget. Coba deh
Apa ya? So far itu aja sih yg kepikiran. Aku mungkin nggak bisa sering2 komen ke depannya, tapi, aku bakal ngikutin cerita ini. Sesungguhnya, nulis itu proses dan kalau tulisan pertama kamu aja udah kayak gini, aku percaya, tulisan2 kamu ke depannya bisa jauh lebih baik. Tulisan pertamaku dulu aja nggak sebagus ini, hahahaha.
So, keep writing and reading! Nggak usah terburu2 postingnya disini. Nikmatin aja proses nulisnya, jangan terbebani oleh komen2 readers yang minta dilanjut, hahahahaha. Kamu yg punya cerita jd kamu mau posting kapan, terserah kamunya. Pokoknya, kalau kamu ngerasa belum sreg sama chapter yg kamu tulis, jangan dipost. Tunggu sehari dua hari baru kamu baca lagi, mgkn selama satu/dua hari itu, kamu dapet ide baru. Aku juga gitu kok.
Anyway, apa yg aku tulis diatas, itu murni pendapatku ya? Kamu nggak harus ngikutin semua yang aku tulis And please....jgn sebut aku master disini. Aku masih harus banyak belajar kok dan banyak juga penulis lain yg lebih bagus dari aku. So, saya menolak dipanggil master Karena merasa belum seperti itu.
Keep the good work!
P.S : Bolehkah aku nyolek @totalfreak kesini? Coba baca deh gaya bahasanya kamu banget, hehehe. Mungkin bisa nambahin apa yang udah aku tulis sebelumnya
2. Okesip. Masukan kece. Abis ini bakalan tak jadiin satu semua.
3. Sebenernya iya, awalnya ngerasa tanda seru itu kesannya too harsh. Cuman kata temenku, tiap kalimat perintah itu harus pake tanda seru, dan baru tau itu sesat. Ntar mau tak jitak dia. Masalah kalimat yang kurang tepat itu, ntar aku edit-edit lagi kalo ada percakapan sama guru atau kepala sekolah lagi.
4. Iya. Harusnya sebelum dipost di mari, aku self-editing dulu ya biar ngga banyak typo.
5. Entah. Keseharian sih aku sama temen-temen kalo ngobrol emang pake 'lo-gue', tapi kalo nulis ngga terbiasa sih. Ini dulu sebelumnya emang pake 'lo-gue' tapi jatohnya malah kaya ngga dapet feelnya. Momen romantispun kesannya malah jadi boring. Ato cuman masalah selera ya? Karena aku terbiasa baca novel terjemahan yang pakenya 'aku-kau' ya?
6. Itulah dilema awalnya. Ceritanya emang terlalu 'dewasa' buat pake karakter anak SMP. Tapi ini si karakter utama ada masalah semacam krisis kepribadian gitu, couldn't tell if he's gay or not. Jadi kalo pake karakter anak SMA ato kuliahan nyesuaiin sama backgroundku biar gampang, kayanya terlalu klise. Udah bukan masanya buat ngga tau orientasi seks sendiri.
7. When it comes to something like that, it's all up to the readers. Bahkan ada yang ngebayangin si han itu aku. But no, actually it's nothing more than a story I made up.
8. Baca? Hobi banget-banget. Selama ini juga jadi silent reader di beberapa forum buat roleplaying, fan fiction, bahkan boyzstories ini. Tapi kalo nulis, honestly, this story I post here is actually my very first work. Bahkan nulis cerpenpun belum pernah. Mentok-mentok puisi. Hehe.
Tentang novel yang direkomendasiin, coba deh ntar aku nyari di gramed, persewaan buku, atau file pdf nya buat referensi.
Gotta say, thank you so much bli @abiyasha atas masukannya. Happy reading, dan kalo ada kritikan lagi, mohon berkenan menyampaikan ^^