Kuibaratkan cinta itu hijau, sedangkan kita itu daun. Sejuk seperti pembawaannya, tapi tak pernah semudah hijaunya. Mereka bilang hijau itu biru dan kuning, perpaduan dua warna yang berbeda. Tapi daun, yang hijaunya ku ibaratkan cinta, tak pernah terjabarkan dalam perpaduan-perpaduan yang berbeda. Daun hijau karena Tuhan mencipta hijau. Begitupun kita, tak perlu mencari-cari dari mana asalnya cinta. Karena kita ini daun, satu warna yang tak terikat pebedaan. Dan ketika cinta harus pergi dari kita, lantas apalagi? Ibarat daun, akan menguning tanpa melepas birunya, karena daun tak pernah mengenal biru dalam hidupnya. Kita akan menguning, kemudian gugur dan tak berdaya di bawa angin.
***
Namaku adalah Han. Aku adalah tokoh utama dalam cerita ini. Cerita yang kuanggap cerita cinta. Walaupun sebenarnya, aku sendiri masih belum bisa mendefinisikan cinta secara mudah, secara tegas, dan secara benar. Atau mungkin memang cinta itu tak pernah mudah, tak pernah tegas, dan tak pernah benar? Entahlah.
Namaku adalah Han. Aku adalah seorang remaja tanggung, terlalu tanggung untuk mengerti cinta. Tapi apa boleh buat, cinta datang dengan segala kerumitannya di saat aku menganggap diriku sendiri belum sanggup memahami cinta. Hingga kemudian satu hal yang akhirnya kupahami tentang cinta.. Ialah dia datang dengan cara memaksa. Tak pernah menunggu kesanggupan dan kesiapanku. Sama sekali.
Namaku adalah Han. Saat ini aku duduk di bangku salah satu sekolah menengah pertama yang kurasa tak terlalu menjadi sekolah unggulan di Kota Surabaya ini. Aku duduk di kelas delapan lebih tepatnya. Masa-masa yang menurutku sangat memuakkan. Sangat membuatku tak bersemangat.
***
Comments
Persetan pagi ini~
Aku tak ingin bangun lagi~
Biar lepas aku kembali~
Bermimpi~
Persetan hari ini~
Aku lelah untuk berlari~
Coba untuk hindari *beep*
Segera kumatikan alarm dari telepon genggamku yang deringnya tak begitu kencang tapi cukup memekikkan telinga karena suasana pagi yang masih terlalu buta. Mungkin bagi orang lain akan terdengar aneh kenapa lagu itu bisa kujadikan nada alarmku. Tapi kalau saja mereka tahu betapa menderitanya aku setiap kali harus dengan terpaksa menghadapi kegilaan-kegilaan yang tak pernah bisa kuduga-duga setiap harinya, mungkin mereka akan menganggapnya wajar. Ada hal-hal yang membuatku muak, hal-hal yang membuatku lebih 'suka' menyambut pagi dengan umpatan-umpatan atau keluhan-keluhan, bukan semangat atau hal-hal yang bersifat positif lain yang biasa dilakukan orang kebanyakan.
Sebenarnya aku tidak seperti ini setiap hari. Maksudku, keluhan-keluhan dan umpatan-umpatan semacam itu hanya terjadi di deretan hari selain Hari Sabtu dan Hari Minggu. Pengecualian untuk Hari Libur di luar Sabtu dan Minggu tentunya.
Sekolah? Iya memang, tapi bukan sekolah itu sendiri sebenarnya. Ada hal-hal lain di sekolah yang selalu membuatku muak, hingga akhirnya aku terlalu mengagung-agungkan hari libur. Bukan juga karena aku malas. Bukan sama sekali. Aku tak pernah mengutuk hariku yang penuh dengan sedemikan kegiatan. Ini bukan tentang kesibukan, sama sekali bukan. Karena aku ini sebenarnya orang yang suka kesibukan. Hari Sabtu dan Minggu aku juga punya banyak kesibukan. Mengerjakan pekerjaan rumah atau pergi ke gereja misalnya. Dan aku selalu menikmatinya.
Kalau bisa kubilang, mungkin ini tentang perbedaan. Kupikir diriku ini terlalu berbeda, aku ini lain. Dan hal itu lah yang membuatku akhirnya terlalu tidak bersahabat dengan sederetan hari itu.
Pagi masih terlalu buta, masih terlalu gelap, tak ada penerangan kecuali sinar dari lampu taman yang sebagian kecil masuk menyeruak dari celah-celah kecil jendela kamarku yang tirainya sengaja tak kututup rapat dan juga sedikit sinar dari lampu telepon genggamku yang sudah mulai meredup membuat siluet-siluet benda di sekitarnya. Lampu di dalam rumah belum ada satupun yang menyala. Itu artinya mama dan Stevan belum bangun.
Ya, Stevan. Dia saudaraku. Dua tahun lebih tua dariku. Tapi kami tak pernah dekat. Dia terlalu berbeda dariku. Jauh. Dan hal itulah yang membuatku setidaknya punya satu alasan saja untuk tidak harus dekat dengannya.
Dengan sedikit memicingkan mata untuk menyesuaikan dengan silaunya, aku melihat telepon genggamku untuk memastikan waktu. Ternyata masih pukul lima lebih sedikit. Itu berarti aku masih punya waktu untuk tidur kembali.
Begitulah aku, selalu men-set alarmku lebih awal. Entahlah, menurutku dengan cara yang seperti itu, aku bisa lebih menikmati menit-menit yang tersisa dari waktu istirahatku sebelum akhirnya harus terpaksa benar-benar bangun dan pergi ke sekolah.
***
“Bukannya ini masih musim hujan ya?”, keluhku yang malas dengan dagu melekat di atas meja makan sambil menapan menerawang penuh harap ke arah jendela kaca yang letaknya tepat di seberang meja makan. Mama yang tak habis pikir hanya bisa menggeleng-gelengkan kepalanya.
“Lalu kenapa? Kau berharap hujan seperti kemarin? Agar kau bisa bolos lagi?”, celetuk Stevan dengan nada tinggi. Seketika, aku beranjak dari posisi malasku dan meliriknya tajam.
“Lihat apa?!”, gertaknya tiba-tiba, membuatku terkejut.
“Steve..”, seru mama menegur. Tapi Stevan justru mengacungkan jarinya tepat di depan wajahku, membuatku mataku membulat, aku terkejut lagi.
“Ma, dia itu laki-laki, tidak seharusnya seperti ini. Pemalas, tidak suka bergaul, penyendiri, tidak bisa membela diri. Tidak seharusnya mama mendidik dia seperti ini, memanjakan dia.”, lanjut Stevan menggebu-gebu.
“Steve! Sudah!”, tegur mama lagi. “Kau ini kenapa? Mama sudah tahu bagaimana seharusnya menjalankan tugas mama sebagai seorang ibu, walau tanpa papa kalian sekalipun. Mama tahu bagaimana seharusnya mama mendidik masing-masing dari kalian. Lagipula, kau tahu sendiri seperti apa kondisi Han. Sedikitlah mengerti adikmu ini.” Terdengar mama menarik nafas agak berat sesaat setelah menyelesaikan kata-katanya. Stevan hanya bisa diam kemudian perlahan menurunkan jari telunjuknya yang sedari tadi mengarah kepadaku.
“Mama ingin sekali melihat kalian berdua itu dekat, akrab. Tidak seperti ini.”, tutur mama dengan nada yang jauh lebih halus. “Jadi mulailah dari sekarang. Antarkan Han ke sekolah.”, lanjut mama memerintah membuat Stevan yang kini terkejut, sampai-sampai kulihat mulutnya menganga.
“Tapi, ma..”
“Tapi apa? Bukankah hari ini kau sudah mulai masuk siang? Jadi mama pikir tak ada alasan!”, tukas mama cepat yang kemudian diikuti desahan nafas kesal Stevan.
“Baiklah..”, kata Stevan dengan nada tak sepenuh hati akhirnya mengiyakan.
***
Kalau mengingat ini masih awal semester pertama di kelas delapan, rasa-rasanya seperti ingin mati saja. Bagaimana tidak? Itu artinya aku masih harus menjalani penderitaan di tempat mengerikan ini lebih dari setahun lagi. Sungguh sangat mengerikan jika harus dibayangkan.
Aku berjalan pelan dan ragu di koridor sekolah, melewati ruang-ruang riuh yang terabaikan oleh perhatianku. Pikiranku terbang entah kemana, menerawang tak jelas, sekali-sekali menerka-nerka apa yang akan aku terima hari ini.
Aku bergidik ketika mengingat semua perlakuan-perlakuan dari mereka selama ini. Ular-ularan karet, atau bahkan lebih parah ketika aku mendapati seekor kodok yang benar-benar hidup dan asli di dalam laciku.
Kugeleng-gelengkan kepalaku sendiri mencoba tak lagi mengingat-ingat hal itu, pikiranku melayang-layang tak karuan lagi. Tapi tak berapa lama, mendadak ada sesuatu yang lain yang secara tiba-tiba memenuhi otakku.
Sesuatu yang terngiang, sampai-sampai mendenging di kepalaku. Ucapan yang masih jelas kuingat, kata demi kata. Padahal yang ku tahu, dia selama ini tak pernah ambil pusing. Seperti apapun tingkahku dirumah, kupikir dia tak pernah peduli. Sama sekali. Bisa dibilang, kami ini seperti dua biji yang tumbuh berdampingan. Walaupun berasal dari satu buah yang sama, tapi tak pernah ada keterlibatan di antara keduanya.
Sebagai saudara, kami memang terlalu tak wajar. Terlalu tak banyak perbincangan. Bahkan, jari-jari ini pun cukup untuk sekedar menghitung kata-kata yang keluar dari mulutnya untukku atau tentangku dalam satu hari.
Tapi tadi itu? Kenapa dia begitu? Apa dia tahu? Tahu kalau selama ini aku menjadi bulan-bulanan mereka yang kusebut ‘premansekolah’ itu?
“Ah, mustahil!”, seruku tiba-tiba menepis pikiranku sendiri. “Mungkin saja itu tadi semacam emosinya yang selama ini dia pendam tentangku. Jadi kurasa tak harus kupedulikan semua kata-katanya itu. Bukankah selama ini aku juga tak pernah peduli dengannya?” “Lagipula, kalaudipikir-pikir, suatu kemajuan dia mau berkomentar tentangku. Dan bukankah tadi sat mengantarku, dia sudah kembali lagi seperti biasa, tak berucap satu katapun seolah-olah aku ini tak ada? Atau mungkin berat badanku ini saja yang terlalu ringan hingga membuat dia tidak menyadari kalau dia sedang memboncengku?”, lanjutku bergumam kemudian tertawa kecil sendiri sebelum akhirnya tersadar bahwa ternyata aku sudah sangat dekat dengan ruang kelasku. Seketika, rasa takutpun tiba-tiba saja datang menyergapku.
Aku berhenti sebentar untuk menarik nafas panjang. Berulang-ulang sampai aku akhirnya benar-benar merasa sedikit lebih tenang. Akupun melanjutkan langkahku walaupun terasa sangat berat. Perlahan, aku memasuki ruang kelas, bersiap-siap menerima kejahilan-kejahilan yang aku taktahu seperti apa itu, seperti apa untuk hari ini.
***
Aku tak begitu ingat bagaimana bisa dan seberapa lama aku terjebak di sini. Tapi yang pasti, ini sudah lebih dari setengah jam terhitung sejak aku sadar. Dan tak juga ada satu orangpun yang menyadari keberadaanku di sini.
Badanku masih terasa lemas, tapi aku tak punya pilihan lain. Sekuat tenaga, kugedor-gedor, kuguncang-guncang pintu itu. Kuputar dan kutarik-tarik gagangnya, berkali-kali. Tapi sia-sia, takada pergerakan sama sekali. Hanya membuat tangan-tanganku terasa nyeri.
Akhirnya kuputuskan untuk berhenti. Ku tengadahkan kedua tanganku tepat di depan wajahku dan meniupnya bergantian, berharap kekonyolan yang kulakukan ini bisa mengurangi setidaknya sedikit saja rasa sakitnya.
Kulihat lagi pintu itu lekat-lekat, ingin sekali rasanya kudobrak. Tapi terlalu konyol jika benar-benar aku lakukan, karena ujung-ujungnya pasti hanya akan menyakiti lenganku sendiri.
“Ini aneh.” Aku berpikir sejenak sambil terus menatap lekat ke arah pintu itu. “Pintu ini seharusnya hanya bisa dikunci dari dalam. Tapi aku justru terkunci di dalam. Ini aneh! Apa yang mereka lakukan dengan pintu ini? Apa mereka memantrainya? Lalu aku harus bagaimana?”, racauku yang mulai panik. Aku benar-benar takut, tapi tak punya pilihan lain selain pasrah. Terlalu putus asa untuk tidak pasrah.
Tubuhku terasa semakin melemah. Kini aku hanya bisa terduduk di pojok ruangan gelap yang beberapa bagian lantainya lembab ini, menyesali diriku sendiri. Menyesali kelemahanku yang menyedihkan ini.
Tak berselang lama, tiba-tiba ada sesuatu yang melintas di kepalaku. Sesuatu yang sedikit meruntuhkan keputus-asaanku. Dengan sedikit bersemangat, segera kurogoh saku celanaku dan kuambil telepon genggamku.
“Sial! Kenapa tidak ada jaringan? Lengkap sudah!” Kugigit bibirku sendiri, mendadak keputus-asaan itu muncul kembali. Kulihat lagi telepon gengganku, dan.. Astaga.. Kali ini aku benar-benar terkejut. Ini sudah pukultiga sore. Itu berarti aku sudah sekitar dua jam terkunci, atau lebih tepatnya sengaja di kunci disini.
Akupun akhirnya mulai menangis, mulai sesenggukan. Aku benar-benar merasa lemah saat ini. Kedua telapak tangankupun sudah basah karena keringat dingin.
Ku coba berhenti menangis tapi tak bisa, aku masih sesenggukan, semakin sesenggukan. Rasa takutku semakin membesar, semakin menjadi-jadi. Bagaimana tidak? Ini sudah pukul tiga. Itu artinya semua kelas sudah berakhir setidaknya satu jam yang lalu. Dan mungkin saja sekarang sekolah sudah sepi. Kupikir, harapanku saat ini hanya tinggal pak penjaga sekolah yang biasanya berkeliling di areal sekolah.
“Tapi seberapa besar kemungkinan dia menyadari keberadaanku di sini?”, gumamku masih sesenggukan.“Ah, tidak! Ini Hari Kamis! Seharusnya masih ada anak PMR.” “Tapi percuma, mereka biasanya berkumpul di aula depan. Jauh dari sini. Ya, Tuhan!” Aku menyandarkan kepalaku di dinding ruangan ini, aku benar-benar pasrah.
Tapi di tengah-tengah isak kalutku, aku tiba-tiba mendengar suara yang teramat keras tepat dibalik pintu itu. Berulang-ulang hingga membuat tangisku berhenti seketika. Aku tak tahu suara apa itu. Kupikir dan kuterka-terka tapi tak bisa, aku tetap tak mengerti suara apa itu.
Mendadak, aku merasa ngeri. Kupeluk tubuhku sendiri erat-erat dan semakin kurapatkannya ke dinding. Kutatap pintu yang kini berguncang-guncang itu. Suara itu masih tetap ada. Suara yang aku tak tahu itu apa, tapi pikiranku berkata itu sesuatuyang sangat mengerikan.
Aku hanya bisa diam dalam ketakutan. Tubuhku gemetar. Kututup kedua mataku rapat-rapat, bersiap-siap menerima hal-hal buruk mungkin saja bisa terjadi.
***
“Alina. Aku anak kelas delapan juga, sama sepertimu. Kalau kau ingin tahu, aku di kelas delapan F.”, jawabnya panjang menjelaskan, aku mengangguk-angguk pelan.
“Yang tadi itu.. Terimakasih, Alina. Aku.. “
“Panggil saja Alin, atau Lin saja.”, tukasnya dengan cepat.
“Oh, baiklah. Yang tadi itu, terimakasih, Lin.” Aku mengulangi kata-kataku.
“Sama-sama”, sahutnya sambil tersenyum lebar. Aku mengulurkan tanganku ke arahnya
“Namaku..”
“Hansel kan? Anak delapan C kan?” Lagi-lagi dia memotong kata-kataku, kali ini sambil menjabat tanganku dan mengguncang-guncangkannya naik turun perlahan.
“Kau kenal aku?”, tanyaku tak percaya.
“Kenapa memangnya?”
“Bukan apa-apa, hanya saja.. Rasa-rasanya aku ini orang yang tak terkenal sama sekali di sini. Jadi heran saja kalau ternyata ada anak dari kelas lain yang mengenaliku.”, jelasku.
“Kau anak yang pandai. Aku tahu dulu kau peringkat satu di kelasmu. Walaupun, yah.. Kautahu.. Kau kurang begitu.. Bergaul. Tapi, kurasa banyak yang mengenalmu.” “Ngomong-ngomong, bagaimana bisa tadi kau terkunci di sana?”, tanyanya sambil menunjuk ke arah toilet.
“Samuel dan teman-temannya” Aku mendengus.
“Samuel? Teman-temannya?”, tanyanya dengan dahi berkerut-kerut. Belum sempat kujawab, tiba-tiba saja telepon genggamku bergetar. Tiga pesan masuk sekaligus. Kulihat semuanya dari Stevan. Kalau kubaca dari kata-katanya, sepertinya dia marah besar kepadaku karena aku telah membuatnya menunggu. Tapi, apa peduliku? Kumasukkan telepon genggamkuke saku celanaku dengan wajah acuh.
“Oh iya, maaf. Tadi apa?” Aku meminta Alina mengulangi pertanyaannya yang sedikit kuabaikan tadi.
“Siapa itu Samuel?”, tanyanya kemudian.
“Kau ini aneh.”, kataku sambil meliriknya, dia mengerutkan keningnya. “Kau mengenaliku, tapi tidak mengenali Samuel.”, lanjutku.
“Tapi, aku memang tak mengenalinya sama sekali. Kalau boleh kutebak, apakah Samuel itu anakyang tinggal kelas itu?”
“Tepat sekali! Sekarang dia satu kelas denganku.” Aku mendengus lagi.
“Sudah kuduga.” Dia mengangguk-angguk mengerti.
“Kau sendiri? Kenapa masih di sini?Kau anak PMR?”, tanyaku mengganti topik pembicaraan.
“Bukan. Aku anak teater. Kebetulan saja hari ini aku ada konsultasi dengan Bu Helena.”, katanya kemudian menatapku. Seketika akupun menundukkan wajahku, tak terbiasa saling bertatap muka dengan seseorang, apalagi yang baru kukenal.
“Aku beruntung kau masih di sini. Lebih beruntung lagi, mereka mengunciku di toilet perempuan. Kalau tidak? Kau tahu, aku mungkin saja terkunci sampai besok”, kataku sambil masih menunduk.
“Begitu masih bisa kau bilang beruntung? Dasar!”, gerutunya, aku meringis sambil masih menunduk.
“Oh ya, ngomong-ngomong, apa yang mereka lakukan dengan pintu itu? Kurasa seharusnya pintu itu hanya bisa dikunci dari dalam saja.” Aku mengangkat wajahku kembali.
“Apa kau tak mendengar saat mereka memasang papan-papan itu?”, tanyanya keheranan.
“Tidak. Aku tadi.. Pingsan.”, jawabku sambil menggigit bibirku sendiri.
“Pingsan?”, tanyanya dengan nada terkejut. Belum sempat aku menjelaskan, dia sudah mulai nerocos lagi, “Dulu, setahun lalu, waktu kita masih kelas satu, yang seperti itu juga pernah terjadi, Han. Kau tahu, anak itu juga. Siapa tadi? Oh iya, Samuel. Jadi saat tadi aku melihat ada papan-papan kayu menempel di pintu itu, aku sudah bisa menduga-duga dan langsung meminta bantuan Pak Kriss, penjaga sekolah.”, ceritanya, aku mengangguk-angguk paham.
“Oh iya, kaupulang naik apa?”, tanyanya kemudian. Seketika aku teringat kalau hari ini aku tidak membawa sepeda. Dan kurasa Stevan tak mungkin sudi menungguiku sampai jam segini. Apa aku harus memintanya untuk menjemputku sekarang? Ah, mustahil dia mau! Bukankah dia sedang marah besar kepadaku? Lagipula, dia hari ini masuk siang. Jadi kupikir pasti sekarang dia sedang ada kelas.
“Kau naik apa?” Alina bertanya lagi, membuyarkan lamunanku.
“Entahlah. Angkutan umum, mungkin.”, jawabku ragu, aku tak pernah naik angkutan umum sebelumnya.
“Kau pulang denganku saja. Kita boncengan.”, katanya memberi saran seolah-olah bisa membaca wajah raguku. Aku berpikir sejenak.
“Kenapa? Apa kau malu?”, tanyanya tiba-tiba.
“Oh, tidak. Bukan itu. Hanya saja...”
“Sudahlah! Aku tahu dimana rumahmu. Tak terlalu jauh dari rumahku. Jadi tidak akan merepotkan, sama sekali.” “Ngomong-ngomong, dimana tasmu?”
“Sial. Tertinggal di kelas.”, umpatku.
“Tak apa. Ambil saja besok! Semua ruang sudah dikunci kurasa. Sekarang ayo kita pulang saja!”, ajaknya kemudian, aku mengangguk setuju.
“Kau akan kubonceng.”, lanjutnya tiba-tiba.
“Apa?!”, seruku kaget.
“Aku tidak mau!” Aku menggeleng. “Kau yang akan kubonceng”, imbuhku sambil menunjuknya.
“Nanti kau pingsan lagi?”, tanyanya menggoda.
“Aku hanya pingsan jika ketakutan. Dan kau tak akan menakutiku kan?” Aku menyipitkan mataku. Dia tertawa terbahak-bahak.
“Ayolah, ini sudah sore!”, ajaknya lagi dengan tawanya yang masih tersisa.
***
Tadi selama perjalanan dari sekolah menuju rumahku, dia banyak bercerita. Segala hal, tentang ini dan tentang itu. Dari sana, aku benar-benar bisa melihat, benar-benar tahu sedikit banyak hal tentang dia. Yang ku lihat, Alina itu gadis yang ceria, suka bergaul, punya banyak teman, supel, yang pasti bertolak belakang sekali denganku.
Tapi entahlah, hanya saja, hal-hal darinya yang seperti itu yang justru membuatku merasa nyaman dan tak begitu canggung berbicara dengan dia. Aku tak biasa seperti ini memang, apalagi dengan sesorang yang belum genap satu hari kukenal.
“Melamun saja!”, Tegur Alina mengagetkanku.
“Oh, maaf. Ini dia rumahku. Ayo masuk!”, kataku mempersilahkan. Dia hanya mengangguk sambil tersenyum, tapi kuperhatikan matanya sibuk melempar tatapan ke sana sini mengamatisetiap sudut depan rumahku.
“Ada apa? Ada yang aneh?”, tanyaku penasaran.
“Oh, tidak. Hanya saja, kurasa, akumenyukai rumahmu. Terasa begitu damai sepertinya.”, katanya.
“Ah, kenyataannya tidak seperti itu.” “Ngomong-ngomong, tuan putri, apa kau akan terus dudukdi situ saja sepanjang hari?” Aku menunjuk sadel belakang sepeda yang sedang Alina duduki kemudian melangkah pergi. Dia hanya tertawa kecil kemudian berjalan mengikutiku.
“Ayo, masuklah!” “Mungkin mamaku sedang ada di belakang. Aku panggilkan dulu. Kau duduk saja yang santai.” Aku tersenyum ke arahnya, diapun membalasnya.
Aku berlari secepat kilat menuju kamarku, bergegas mengganti kemeja seragamku dengan kaos yang sedikit over size agar terasa longgar tanpa berganti celana. Aku sudah biasa begini. Lagipula, aku takut membuat Alina terlalu lama menunggu.
Aku berlari lagi menuju dapur untuk mencari mama, tapi tak kutemukan. Aku sedikit berjinjit, kutumpu badanku dengan telapak kaki bagian depan, dengan sedikit susah payah kuintip melalui jendela kaca yang terhubung langsung ke arah halaman belakang. Dan benar saja, kulihat mama sedang bersama Stevan di sana. Akupun berjalan menghampiri mereka berdua.
“Mamat ahu. Bagi mama, ini juga bukan perkara yang mudah. Tapi mama sudah berpikir matang dan mama sudah menentukan.”, kata mama samar-samar kudengar.
“Tapi setidaknya tunggu sampai semester depan, Ma.”, timpal Stevan.
“Mama bisa pikirkan itu, Steve.” Suara mama terdengar lebih pelan dari sebelumnya. Aku tak begitu paham dengan apa yang sedang mereka bicarakan. Aku tidak sengaja mendengar, tapi aku begitu penasaran karena mereka terdengar begitu serius.
Aku ingin tahu, setidaknya jika ini ada hubungannya dengan masalah keluarga, aku berhak tahu. Lagipula, aku bukan anak kecil lagi. Jadi kuputuskan untuk mendekat saja, tapi bukan untuk menguping.
“Apanya yang semester depan?” Kata-kataku membuat mereka yang sebelumnya tak menyadari kehadiranku seketika membalikkan badan. Dapat kulihat tanda-tanda keterkejutan di wajah mereka.
“Bukan apa-apa, sayang.”, kata mama mencoba menutupi.
“Kau akan tahu nanti.”, timpal Stevan dengan nada ketus.
“Steve..”, tegur mama pelan.
“Kenapa? Dia juga harus tau.”, seru Stevan dengan nada yang masih ketus.
“Sudahlah. Lupakan! Aku juga tidak berminat untuk tahu.”, kataku mengakhiri.
“Ngomong-ngomong, Steve. Kau tidak sekolah?” Entah kegilaan macam apa yang membuat mulutku bertanya sedemikan. Maksudku, aku hanya ingin memastikan apakah dia tidak masuk sekolah karena menungguiku tadi. Tapi.. Tak seharusnya aku berkata begitu, tak seharusnya aku memulai percakapan dengan Stevan lagi.
“Apa urusanmu? Lagipula, dari mana saja kau?”, kata Stevan masih dengan nada yang tak enak didengar. Walaupun aku sudah bisa menduga sebelumnya kalau aku akan mendapat jawaban yang sedemikian, tapi tetap saja tak enak didengar.
“Aku dari...” “Ohiya, ma. Ada temanku di depan.”, kataku tiba-tiba mengabaikan pertanyaan dari Stevan karena teringat tujuanku awalku.
“Iya, sayang.”, kata mama sambil tersenyum kemudian pergi masuk ke dalam rumah. Aku mengikutinya dari belakang, kami berdua meninggalkan Stevan yang masih berdiri kaku dengan tatapan aneh lekat ke arahku.
***
“Apa-apaan ini? Sepertinya sekarang waktu berjalan lamban sekali.”, gumamku menggerutui waktu. Hanya sekedar untuk membunuh kebosanan, akhirnya kunyalakan televisi. Berkali-kali kuganti salurannya, tapi tak ada satupun yang menarik perhatianku. Akupun akhirnya berhenti di salah satu acara musik pagi, tapi tetap saja acara itu tak juga kuperhatikan.
Kulirik lagi jam di dinding, masih setengah tujuh lebihnya tak banyak. Aku menghela nafas kesal.
“Tumben sekali, sayang. Biasanya jam segini belum apa-apa. Tapi ini sudah rapi saja. Bahkan sepertinya lebih rapi dari biasanya. Gadis itu ya?”, kata mama yang baru saja keluar dari dapur menggodaku.
“Ah, bukan... Hari ini.. Han mau..Umm..” Aku berpikir mencari alasan tapi sialnya tak satupun terlintas di pikiranku. Mama mentertawaiku kecil, akupun menunduk menyembunyikan wajahku yang mungkin sudah semerah kepiting rebus.
“Kauingin berangkat sekarang, sayang?”, tanya mama tiba-tiba.
“Umm.. Entahlah. Mungkin lima belas menit lagi.”, jawabku tak yakin sambil melirik jam dinding lagi. “Baiklah! Sekarang saja!”, lanjutku tiba-tiba berubah pikiran, akupun beranjak dari posisi dudukku.
“Kalau begitu biar mama bangunkan Stevan dulu.”
“Ah, tidak usah, ma. Han berangkat sendiri saja.”
“Oh begitu? Sepertinya kau hari ini semangat sekali?”, kata mama dengan nada menggoda lagi.
“Ah, bukan. Hanya saja.. Entahlah..” Lagi-lagi aku tak bisa mencari alasan, mamapun akhirnya mentertawaiku lagi.
“Baiklah, aku berangkat sekarang!”, seruku lagi dengan cepat kemudian segera berlari menuju pintu depan karena tak ingin mama melihat wajah maluku.
“Tunggu dulu, Han!”, seru mama tiba-tiba. Seketika, akupun berhenti dan membalikkan badan.
“Apa, ma?”, tanyaku penasaran.
“Mana tas mu?”, tanya mama.
“Oh, itu.. Anu.. Umm.. Itu..”, kataku sambil berpikir keras, kali ini aku harus menemukan alasan yang tepat. Kalau tidak, mama pasti akan menanyaiku dan memaksaku berterus terang tentang kejadiankemarin itu.
“Umm.. Itu... Tertinggal di rumah Alina. Ya, di rumah Alina. Jadi kemarin Han sempat mampir disana sebentar. Makanya hari ini Han buru-buru, ma. Kalau tidak, Han takut tidak sempat mengambil tas di rumah Alina. Begitu, ma.”, kilahku berusaha membuat mama percaya, dan sepertinya berhasil. Akupun menarik nafas lega.
“Baiklah, kalau begitu sampaikan salam mama untuk Alina.”, seru mama lagi, aku hanya mengangkat tangan kananku dan menyatukan ujung ibu jari dan jari telunjukku sementara yang lainnya berdiri tegak tandaku mengiyakan kemudian berlari secepat kilat menuju garasimengambil sepedaku.
***
Tak heran, karena setidaknya hal ini memberiku dua keuntungan sekaligus. Pertama, hari ini aku bisa benar-benar terbebas dari kejahilan Samuel dan teman satu geng nya itu. Dan yang kedua, hari ini aku punya waktu lebih bersama Alina. Dan sepertinya yang kedua itulah yang justru membuatku lebih.. Entahlah.. Merasa gembira.
Jadi kuputuskan untuk segera mencari gadis itu. Tapi sayangnya, tak bisa kutemukan dia dikoridor sekolah. “Ah, mungkin dia masih di kelas. Kalau tidak salah, dia bilang delapan F.”, gumamku sembari mengingat-ingat kata-katanya kemarin itu. Akupun segera berlari menuju kelas delapan F.
Begitu sampai di koridornya, aku berjinjit mengintip dalam ruang kelas itu melalui jendela, tapi ternyata dia tak ada di sana. Yang kulihat justru tiga orang siswa yang sedang bercengkrama. Pikirku, untung saja, aku masih bisa menanyai mereka. Akupun berjalan masuk kedalam kelas itu dan menghampiri mereka. Dan dari mereka, aku tahu bahwa ternyata memang gadis itu tidak hadir hari ini.
Dengan cepat sesaat setelah keluar dari ruang kelas itu, kurogoh saku celanaku dan kukeluarkan telepon genggamku. Beberapa kali ku tekan-tekan tombolnya untuk mencari-cari nama Alina dalam daftar kontak. Begitu ketemu, langsung kuhubungi dia.
“Hallo.” Akhirnya dia menjawab panggilanku sesaat setelah aku menunggu.
“Hallo. Kau sakit?”, tanyaku kemudian.
“Tidak. Sama sekali. Kenapa?”
“Lalu kenapa hari ini kau tidak masuk?”
“Buat apa? Hari ini pulang pagi kan?”
“Hah! Bagaimana kau bisa tahu?”, tanyaku dengan nada terkejut.
“Aku tahu semuanya. Ibu Yohanna kan?”, sahutnya dengan nada yakin.
“Bagaimana kau bisa..”
“Datang saja ke rumahku!”, tukasnya memotong kata-kataku.
“Apa kau ada hubungan keluarga dengan Ibu Yohanna?”, tanyaku penasaran.
“Tentu saja tidak. Buktinya aku tidak hadir di acara itu. Lagipula semua juga tahu, Han. Ibu Yohana tak punya keluarga di Surabaya ini. Sudahlah, datang saja ke sini!”
“Kalau begitu, pasti kau keluarga calon suaminya kan?” Aku tak memperdulikan perintahnya, masih berusaha menebak karena terlalu penasaran.
“Bukan juga. Aku bahkan tidak tahu dengan siapa Ibu Yohanna akan menikah. Sudahlah, datang saja ke rumahku! Nanti kau juga tahu.”, perintahnya lagi, sedikit sebal.
“Kau membuatku takut. Sungguh, Lin.”, kataku sambil menggigit bibirku sendiri. Kudengar dia hanya tertawa lepas di sana kemudian memutuskan panggilan dariku.
“Dia itu benar-benar aneh. Atau lebih tepatnya menakutkan. Tapi juga membuatku penasaran.”, aku bergumam sendiri sambil memasukkan telepon genggamku ke dalam saku celanaku kembali.
***
Dari pintu pagarnya yang terbuka lebar, tampak jelas rumah bertingkat dengan warna cat putih dan abu-abu yang menurutku cukup megah itu. Kulihat dia sudah ada di sana, di teras depan. Dia tersenyum dan melambai-lambaikan tangannya ke arahku.
“Hai, Han, kemari! Masuklah!” “Bawa saja sepeda mu masuk”, teriaknya masih dengan gerakan tangannya yang pelan teratur. Akupun langsung turun dari sepedaku dan menuntunnya masuk ke halaman depan rumah itu.
“Kau mau duduk di sini atau di dalam?”, tanyanya menawari.
“Di sini saja. Anginnya sedang enak.”, jawabku beralasan. Dia tak berkata apa-apa, matanya lekat ke arahku. Membuatku merasa seperti sedang diamati.
“Kenapa? Ada apa?”, tanyaku yang sudah mulai merasa sedikit risih.
“Kau masih memakai seragam?”, dia bertanya balik.
“Tidak!”, jawabku dengan berseru.
“Itu!”, sahutnya sambil menunjuk celana pendek selutut berwarna coklat tua yang sedangkupakai.
“Ah, aku sudah biasa begini. Lagipula hanya celananya saja.”, kilahku.
“Tapi, bukankah besok itu masih dipakai?”
“Lantas kenapa? Kau juga tidak akan mengajakku bermain lumpur kan?”, tanyaku dengan nada menggoda, dia tertawa geli.
“Tentu saja tidak.” “Oh iya, kau mau minum apa?”
“Tidak usah. Aku tidak sedang haus.” “Ngomong-ngomong, kau sedang sendiri saja?”, tanyaku tiba-tiba.
“Kenapa memangnya?” Lagi-lagi balik bertanya.
“Entahlah. Hanya saja, bagiku, rumahmu terasa sepi sekali.”, jelasku.
“Itulah sebabnya aku ingin kau ke sini. Aku tak suka sepi.”, katanya kemudian tertawa lagi, kali ini kecil saja.
“Oh iya, kalau boleh tahu, apa saja hal-hal di dunia ini yang tak kau sukai, Han?”, tanyanya tiba-tiba, aku menatapnya dengan tatapan heran.
“Entahlah.”, jawabku tak tahu sambil mengangkat bahuku. “Sepertinya banyak sekali.” “Ngomong-ngomong, kenapa kau mendadak bertanya begitu?”
“Hanya penasaran saja.” “Kalau begitu, apa saja hal-hal yang kau benci di dunia ini?”
“Entahlah.” Aku mengangkat bahuku lagi. “Memang apa bedanya?”, tanyaku tak mengerti.
“Kadang memang tak begitu terlihat, Han. Terlalu tipis. A fine line. Semacam itu kupikir.” “Kau tahu, tidak semua yang tidak kau sukai itu yang kau benci, tapi sudah pasti semua yang kau benci itu yang tidak kau sukai. Kau paham maksudku kan?”, tanyanya lagi setelah menjelaskan panjang lebar, aku menggelengkan kepalaku pelan.
“Entahlah, Lin.. Kata-katamu terlalu rumit.” Aku menggaruk-garuk pelipisku sendiri dengan jari telunjuk.
“Ah, kau ini! Sepertinya suka sekali berkata ‘entahlah’. Sebenarnya kau ini benar-benar tak mengerti atau malas berpikir saja?”, gerutunya dengan wajah bersungut, aku hanya meringis.
“Jadi, apa? Apa yang tak kau sukai? Apa yang kau benci?”, tanyanya lagi tiba-tiba, membuatku raut wajahku berubah seketika, kusipitkan kedua mataku.
“Ah, kau me-wawancaraiku, Lin.”, gerutuku, dia hanya tertawa kecil.
“Umm.. Apa ya? Mungkin.. Oh, aku tahu! Aku tak suka difoto! Aku tak suka dijahili! Aku tidak suka rambutku diacak-acak!”, aku menjawab dengan lantang. Tepat setelah aku berkata begitu, Alinapun tiba-tiba dengan usilnya mengacak-acak rambutku.
“Kau memang gila.”, gerutuku sambil menggeser posisi dudukku sedikit menjauhinya.
“Tapi kau suka kan?”, tanyanya menggoda.
“Iya!”, jawabku spontan. Mendengar jawabanku sendiri, aku terperanjat dan langsung menutup mulutku dengan tangan kemudian menunduk menyembunyikan wajah merah ku.
“Jadi kau suka aku?”, dia menggoda lagi.
“Bukan. Maksudku.. Umm.. Itu..”, Aku benar-benar kikuk.
“Jadi kau tak suka aku?”
“Bukan, maksudku tidak begitu.. Hanya saja.. Entahlah.” Aku mendengus pelan, dia tertawa lagi.
“Maaf, maaf, aku hanya bercanda.” “Kalau begitu apa yang kau suka?” Dia mulai bertanya lagi.
“Sepertinya rasa penasaranmu tak ada habisnya, Lin.” Aku menyipitkan mataku lagi, dan lagi-lagi dia mentertawaiku.
“Kali ini serius, apa yang benar-benar kau sukai?”
“Entahlah.” “Mungkin menggambar. Tapi itu dulu. Sekarang tidak lagi.”, jawabku sedikit asal.
“Kenapa?”
“Entahlah..”
“Kau suka menulis?”
“Kau ini benar-benar mewawancaraiku, Lin.”
“Biar saja.” Dia menjulurkan lidahnya.
“Jadi kau suka menulis?”
“Tidak. Sama sekali tidak!”, seruku tegas.
“Sayang sekali.”
“Sayang sekali kenapa?”
“Ah tidak. Hanya saja, kupikir kau suka menulis sepertiku.”
“Tapi aku suka membaca.”, kataku tiba-tiba bersemangat. “Mungkin aku bisa membaca tulisan-tulisanmu.”, imbuhku.
“Baiklah! Akan kuambilkan. Kau tunggu dulu sebentar.”, serunya ikut bersemangat. Dia kemudian masuk ke dalam rumahnya, menghilang dari pandanganku. Dan tak berselang lama, diapun kembali dengan membawa setumpuk buku yang tingginya sampai nyaris menutupi wajahnya.
“Memangnya sejak kapan kau mulai menulis?”, tanyaku lagi.
“Entahlah.” Dia menirukan gayaku kemudian tertawa, aku meliriknya dengan mata memicing.
“Aku tak begitu ingat, Han. Tapi yang pasti sudah sejak lama sekali.”, jelasnya.
“Kenapa tak kau ketik saja?”
“Aku lebih suka menulis tangan.”
“Oh begitu.” “Boleh aku baca?”
“Memang itu tujuanku membawa mereka ke sini.”, gerutunya.
“Oh, iya ya.”, kataku sambil nyengir. Kuambil satu dari sekian banyak buku yang bertumpuk diatas meja itu, kuambil yang paling atas dan mulai membukanya.
“Tulisanmu tanganmu bagus.”, kataku memuji.
“Sudah baca saja!”, gerutunya lagi, kali ini sambil memukul pelan lenganku.
“Aku tak mengerti.. Kenapa harus aku?”, gumamku mulai membaca. Aku berhenti sebentar, kemudian meliriknya. Dia melihatku dengan wajah penasaran, kedua alisnya saling bertautan. Akupun lanjut membacanya, “Aku tak pernah ingin menjadi seperti ini, sedikitpun. Maksudku, kenapa harus aku? Banyak orang di luar sana, mereka ingin melihat hantu, bayangan-bayangan masa depan, dan segala hal yang kuanggap tak wajar ini. Bahkan demi hal itu, mereka sudi melakukan ritual-ritual yang bisa kubilang aneh-aneh.” “Lantas aku? Berpikir akan menjadi seperti ini saja tak pernah, sungguh tak pernah.”
Aku berhenti membaca, kulihat-lihat sekilas buku-buku yang lain.
“Semuanya begini?”, tanyaku dengan jidat berkerut.
“Apa yang kau maksud dengan ‘begini’?”, dia balik bertanya.
“Semuanya tentang hantu? Cerita seram? Orang yang melihat masa depan? Seperti itu?”, tanyaku bertubi-tubi.
“Tentu saja tidak. Hanya saja, sebagian besar memang iya.”
“Apakah itu berdasarkan pengalamanmu sendiri? Maksudku, apa kau itu semacam orang yang bisa melihat hal seperti itu?” Aku mengernyitkan kening.
“Kenapa kau bertanya begitu?”
“Entahlah, hanya saja..” Kata-kataku terhenti, tak yakin untuk kuteruskan.
“Hanya saja apa, Han?”
“Umm.. Kau membuatku takut, Lin.” Aku menggigit bibirku sendiri, tetapi dia malah tertawa geli.
“Dasar kau, Han. Kau pikir J.K. Rowling itu seorang penyihir?”
“Jadi?”
“Imajinasi itu tak ada batasnya, Han. Apa yang aku tulis tak harus apa yang pernah aku lihat atau aku alami sebelumnya.” “Kau tahu, imajinasi itu hebat. Dia bisa mencipta sesuatu yang tak pernah benar-benar terjadi.”
“Jadi kau bukan..”
“Tentu saja bukan!!”
“Lalu?”
“Apa?”
“Bagaimana kau bisa tahu hari ini pulang pagi?”
“Oh.. Itu..” Dia tertawa lagi. “Ikut aku!” ajaknya kemudian, dia beranjak dari tempat duduknya dan berjalan masuk ke dalam rumahnya. Dengan sedikit ragu, aku mengikutinya dari belakang.
Dia membawaku ke sebuah ruangan di lantai satu yang tak terlalu luas jika dilihat dari besar keseluruhan bangunan rumah ini. Ruangan yang tak bisa kusebut ruang tamu, suasananya terlalu privat menurutku.
Kulihat ruangan ini biasa-biasa saja, tak ada yang begitu istimewa dari arsitekturnya, begitupun dekorasinya. Hanya ada satu set sofa berwarna abu-abu, sebuah meja kaca bundar di depannya, lemari kecil tempat dvd dan televisi flat berukuran sekitar tiga puluh inci, serta beberapa foto terbingkai berukuran sedang bertengger hampir memenuhi seluruh permukaan dindingnya.
Dia tiba-tiba menunjuk salah satu dari foto-foto itu yang ukurannya menurutku paling besar. Karena ruangan ini tak terlalu terang, kuputuskan untuk melihat foto itu lebih dekat, kuamati sebentar. Tampak di dalamnya tiga orang dengan latar pantai. Kulihat satu di antara mereka adalah Alina sendiri, kemudian yang satunya lagi seorang laki-laki yang kukira itu ayahnya, dan yang terakhir....
“Oh, Jadi kau..”
“Iya.” Dia mengangguk sambil tersenyum lebar.
“Bodohnya aku! Tak pernah berpikir hal yang semacam ini sebelumnya.”
“Itu karena kau selalu berpikir yang tidak-tidak.”, sindirnya.
“Sepertinya kau sudah begitu mengenalku sekarang.” Aku menyipitkan mataku, dia tertawa geli.
“Tapi bukan berarti aku akan berhenti mewawancaraimu.” Dia tertawa semakin keras, tapi sebentar saja kemudian tiba-tiba berhenti.
“Ngomong-ngomong, boleh aku memintamu berjanji sesuatu, Han?” tanyanya tiba-tiba.
“Apa?” Aku balik bertanya.
“Jangan beritahu yang lain tentang hal ini! Aku tak ingin mereka tahu. Cukup kau saja, Han.”, pintanya, aku tersenyum kemudian mengangguk mantap.
***