Setelah beberapa kali membaca cerita/thread di sini. Terakhir saya baca ceritanya mas
@seno, saya jadi ingin menulis juga. Saya bukanlah penulis profesional, saya hanya ingin menuangkan ide dalam otak saya kedalam tulisan di sini.
Ini cerita tentang pencarian jati diri seorang remaja yang penuh dengan konflik. Ya biasa, konflik remaja.
Langsung saja ya.
Mata ku terpejam menikmati hembusan angin menerpa tubuh ku. Deburan ombak yg menghantam karang terdengar berulang-ulang sejak aku menginjakkan kaki di tempat berpasir ini. Gaduhnya suara orang-orang yang jelas tak ku hiraukan lagi semenjak aku duduk di sini. Ak menikmati keadaanku saat ini. Duduk dengan santai, menikmati suara ombak dan hembusan angin yang cukup kencang menerpa wajah dan tubuhku. Aaaaah... Indahnya dunia, indahnya hidupku...
"Raka!"
Tiba-tiba ak mendengar suara seorang wanita setengah berteriak. Suaranya tak asing lagi di telinga ku. Suara yang setiap hari aku dengar. Ibu...??
Ak terperanjat dari tidurku. Aku membuka mata seketika. Mata ku terbelalak melihat sekeliling. Yang ak lihat hanyalah sebuah tembok bercat biru terang di sekelilingku. Ah sial! Rupanya aku bermimpi. Jam berapa ini? Aku berusaha mencari ponsel ku dalam setengah sadar. Belum sempat aku meraihnya, ibu ku berteriak lagi seakan menyambung teriakan yang sempat ia jeda tadi.
"Bangun! Sudah siang! Katanya hari ini hari kelulusanmu?"
Aku baru ingat. Ku nyalakan ponsel ku yang sepat aku raih tadi. Layarnya menunjukkan angka digital 06:30. Ah sial! Ini sudah siang. Ini pasti gara-gara aku bergadang menonton film di televisi sampai larut malam.
"Iya buuuu...."
Aku bergegas keluar dari kamar, mengambil handukku yang ku gantung dibelakang pintu.
"Kenapa tak membangunkan ku bu?" Tanyaku sedikit menyalahkan ibu ku walau aku tau ini sebenarnya salah ku.
"Membangunkan mu? Ibu dari tadi sudah membangunkan mu. Tapi kamu tak bangun-bangun." Jelasanya.
Ah sudahlah. Tak ada guna aku berdebat dengan ibu ku. Hanya mengulur waktu ku saja untuk datang ke sekolah.
Aku meninggalkan ibu dan segera menuju kamar mandi satu-satunya di rumah ini yang terletak dekat dengan dapur. Segera ku tanggalkan pakaianku dan ku gantung di dekat pintu.
Segera ku raih pasta gigi dan sikat gigi yang biasa aku gunakan. Aku sudah tak memperdulikan lagi bersih atau tidak, yang penting aku sikat gigi dan mandi.
Selesai mandi ak setengah berlari menuju kamar ku. Aku ambil seragam putih-biru untuk aku kenakan lengkap dengan dasinya. Tak lupa topi pun aku masukkan ke dalam tas untuk perlengkapan upacara rutin setiap hari senin. Bergegas aku keluarkan sepeda motor dari dalam rumah, aku panaskan selagi aku memakai sepatu dan pamitan kepada ibu.
"Ibuuuu... Aku mau berangkat nih." Aku sedikit berteriak.
"Iya sebentar." Teriakan yang sepertinya berasal dari dapur.
Tidak lama ibu ku keluar. Aku segera bersalaman dan berpamitan dengannya.
"Assalamu'alaikum"
"Wa'alaikum salam. Semoga kamu lulus dengan nilai yang baik"
Aku tak mempedulikan lagi kata-katanya. Yang ada dipikiranku saat ini adalah takut terlambat. Segera aku kendarai sepeda motor ku menjauh dari rumah. Biasanya aku memakai sepeda ke sekolah. Tapi aku dan teman-temanku sudah sepakat untuk berangkat memakai sepeda motor hari ini.
[BERSAMBUNG]
Comments
"Kemana aja lu hari gini baru nongol?"
Sambutan pertama yang aku terima dari teman ku yang bernama Ian. Nama lengkapnya Alvian Sunandar. Dia paling cerewet diantara teman-teman ku yang lain.
"Sorry, sorry. Gue kesiangan. Udah ngumpul semua?" Tanyaku untuk meyakinkan ku.
"Haloo pak... Lihat sendiri lah! Kita udah ..." Teman ku yang bernama Deden menyambar bagitu saja.
"Woy! Udah jangan ribut. Telat neh kita. Buruan. Ful, lu bonceng sama si Raka sana. Lu ga bawa motor kan? Lu Gus bonceng gua. Yang lain udah kebagian kan?" Tangkas Joni yang sok-sok-an jadi pemimpin. Hahaha... Memang benar sih, dia yang jadi komandan di kelompok kami. Hahaha. Perawakan dia bongsor, tinggi-besar. Tapi tidak gendut.
"Woy gus, makan mulu lu! Buruan!" Sambungnya.
"Iya iya... Gue bayar dulu."
"Markas" kami memang sebuah warung yang biasanya kami jajan selagi menunggu yang lainnya datang. Kami bergegas pergi. Untung jarak sekolah dan markas kami tidak jauh. Kira 5 KM. kira-kira bisa dijangkau dengan waktu 10-15 menitan lah.
"Wah... Gerbangnya mau ditutup tuh!" Pekik Dede memberitahu kami sebelum kami mencapai gerbang sekolah.
"Cepetan! upacara sudah mau dimulai." Kata pak Tarno, penjaga gerbang sekolah kami. Kami bergegas ke parkiran, memarkir sepeda motor masing-masing. Kami berlari, segera menyimpan tas di bangku depan koperasi, di moridor. Aku mengambil topi ku yang ku taruh di dalam tas. Tak ada waktu untuk ke kelas dulu. Segera kami ke barisan kelas masing-masing. Dan upacara berlangsung seperti biasanya.
"Huh kenapa sih masih aja upacara bendera padahal udah mau lulus atau meninggalkan sekolah ini?" Aku bersungut dalam hati.
Sebenarnya ak tidak membenci sekolah ini. Aku senang bersekolah di sini. Aku senang terhadap guru-guru yang ada di sekolah ini walaupun ada beberapa guru killer. Yaaa... Sudah biasa. Pasti ada guru killer disetiap sekolah. Mengenai guru killer aku jadi ingat kejadian pas bulan puasa waktu kelas dua dulu. Dipikir-pikir lucu juga. Hahaha..
Dulu sepulang sekolah pada jam biasanya di hari yang begitu panas. Seperti biasa, kami menunggu teman-teman yang lain keluar kelas lalu pulang bersama. Entah ide gila siapa tiba-tiba si Joni, Alvian dan Deden berhenti disebuah warung yang memang tempat biasa kami jajan sepulang sekolah. Yang lain ikut berhenti. Semua ikut berhenti. Ak berhenti paling terakhir karena memang aku paling belakang pada saat itu. Aku ikut berhenti walaupun aku bingung.
What? Biasanya kami langsung pulang. Ini kenapa ada acara berhenti di warung segala? Lagipula ini kan bulan puasa.
Aku bagai orang bloon mengikuti mereka, masih bertanya-tanya sampai salah satu dari mereka memesan es. Oh my God!
Aku sebenarnya sedang tidak berpuasa karena maag ku kambuh dan tadi pagi ibuku membuat tato tulang ikan di punggungku. Ya mau bagai mana lagi. Aku hanya cocok dikerokin jika aku sedang masuk angin.
Beberapa orang sudah memesan minuman. Glek, tiba-tiba terasa kerongkongan ku kering bak tanah gersang di Afrika. Kayanya boleh juga tuh pesen es. Hihihi. Wow es kelapa muda mantep mas broooo.... Tanpa pikir panjang aku segera memesannya. Lagipula aku sedang sakit, jadi sepertinya tak apa lah walau aku rakut teman sekolah memergoki ku. Hmm... Tapi aneh juga sih sakit maag dan masuk angin minum es. Ah masa bodoh, aku tak peduli. Yang penting kerongkonganku dapat siraman air supaya tidak gersang lagi seperti gurun sahara.
****
Besoknya aku kembali bersekolah seperti biasa. Setelah selesai sarapan di kantin sekolah, kebetulan di rumah aku belum sarapan. Ketika tengah bercanda dengan teman-temanku suasana tiba-tiba hening sejenak. Terdengar bunyi bel tanda sekolah sudah mau dimulai. Suara gaduh kembali bergemuruh, lebih gaduh dari sebelum bel berdering. Aku bergegas masuk ke kelas bersama teman ku. Duduk menunggu kembalinya ketua kelas yang baru saja meninggalkan kelas ke ruang guru. Aku duduk paling depan, sendiri. Bukan karena aku tak mempunyai teman. Tapi karena mereka enggan duduk di depan. Entahlah... Aku tak mengerti, aku senang duduk di sini. Lebih jelas melihat papan tulis dan penjelasan dari guru.
Tidak lama guru kami muncul dari balik daun pintu kelas yang tertutup, di ikuti oleh ketua kelas kami bak kacung yang setia terhadap tuannya. Suara gaduh dari teman-teman ku lenyap seketika.
Yes... Pak Dandi datang.
Pak Dandi adalah guru Fisika. Aku menyukainya, selain karena dia asik mengajarnya, juga karena dia guru fisika, pelajaran favorit ku. Cara mengajar dia lebih santai, tidak terlalu serius. Dia humoris. Sesekali dia melawak ditengah-tengah pelajarannya layaknya pemain OVJ. Suasana kelas jadi lebih hangat di buatnya.
Pelajaran pertama sudah usai. Pak Dandi sudah tidak kelihatan lagi sosoknya dan sudah menjauh dari kelas. Riuhnya suasana kelas kembali hadir. Aku pun ke belakang, ikut bercanda dengan teman-temaku sementara ketua kelas kami sudah melesat ke ruang guru.
Ditengah-tengah ramainya kelas yang seperti pasar minggu, ba-tiba ada yang memanggil namaku. Ah... Itu Andi ketua kelas kami, ada apa dia memanggilku? Tidak hanya aku tapi Joni dan Alvian juga ikut di panggil.
"Kalian di suruh ke ruang BP oleh bu Astuti." Terang Andi si ketua kelas IX E yang juga sekaligus anggota OSIS.
Duarrr! Bak tersambar petir. Ruang BP? Bu Astuti guru killer itu? Oh my god! Kasus apa yang telah aku perbuat? Ini pasti ada kesalah fahaman. Aku, Raka murid yang lumayan pintar di sekolah ini, salah satu murid teladan di sekolah ku dipanggil ke ruang BP? Tidak, tidak! Aku tak mengingat suatu kesalahan yang telah ku perbuat hari ini, kemarin dan hari-hari sebelumnya. Ada apa ini?
[BERSAMBUNG]
iya... Nnti di lanjut koj. Sayang bgt sebenernya uda ngetik panjang utk part 3, rencananya kemarin mau publish tp filenya hilang. Insya Allah nanti sore dilanjut. Makasih atas komentarnya
hehe ikutin aja yaa... Makasih mas atas kunjungan dan komentarnya
Insya Allah nnti sore ya.
Tubuh ku benar-benar kaku seketika. Masih tak percaya dengan apa yang baru saja aku dengar. Ini benar-benar memalukan untuk ku.
Dengan ragu aku keluar meninggalkan kelas, membuntuti teman-teman ku. Menyusuri setiap koridor. Ahhh... Otak ku befikir keras, berusaha mengingat kesalahan apa yang telah aku perbuat.
Tok tok tok... Suara ketukan pintu menyadarkan ku, aku sudah berada di depan ruang BP. Ku dengar seseorang mempersilahkan kami masuk. Suara siapa lagi kalau bukan suara bu Astuti.
"Ibu memanggil kami?" Tanya Joni untuk sekedar meyakinkan.
Mataku melihat setiap sudut ruangan. Aku sedikit terkejut, ternyata bukan hanya aku, Joni dan Alvian yang ada di sini. Teman-teman ku yang lain sudah menunggu dengan wajah yang sangat gelisah. Ada apa ini?
"Iya. Silahkan tutup pintunya." Kata bu Astuti setengah ketus.
"Karena kalian sudah berkumpul, ibu mau bertanya pada kalian. Ibu mendengar kabar bahwa kalian mampir di warung kemarin selepas pulang sekolah, apa itu benar? Kalian tidak berpuasa?" Tanyanya garang.
Duar!!! Astaga! Jadi soal ini? Siapa yang telah melaporkan? Ah... Aku ingat. Sewaktu aku keluar dari warung, ak melihat Andi yang sempat melihat kami di warung. Terlebih Agus keluar dengan minuman menggantung di tangannya. Aku tak menyangka. Aku sadar, ini sebuah kesalahan. Aku berusaha tenang walau keringat dingin mulai membasahi dahi dan tubuhku.
"Maaf bu, kemarin memang saya mampir di warung dan membeli minuman di sana. Tapi pada waktu itu saya sedang sakit, jadi sedang tidak berpuasa." Aku berusaha membela diri.
"Sakit apa?" Tanyanya.
Ak setengan menunduk,
"Maag saya kambuh bu, terus saya juga masuk angin paginya." Jelas ku.
"Setahu saya masuk angin tidak boleh minum es."
Aku tahu ini tak akan menyelamatkanku. Bu Astuti tentu tidak akan percaya. Ah... Sia-sia sudah penjelasanku. Aku pasrah.
"Terus yang lain? Ada lagi alasan?" Tanyanya. Seperti biasa, wajahnya sangat menyeramkan seperti monster yang siap menerkam kami kapun pun.
Yang lain hanya tertunduk diam seribu bahasa. Tidak ada yang berani berbicara sepatah kata pun. Suasana hening sejenak.
"Oke, kali ini ibu maafkan. Ini peringatan untuk kalian. Jika kalian mengulanginya, ibu akan kasih kalian sanksi." Tiba-tiba terdngar sebuah pernyataan dari bu Astuti yang tidak dapat aku percaya. Hah? Tidak ada hukuman? Serius? Aku benar-benar tidak percaya. Malaikat apa yang telah merasuki guru killer itu? Aku bernafas lega. Dadaku seperti terbebas dari ikatan yang begitu menyesakkan. Semua orang melengkungkan senyuman.
"Terima kasih banyak bu."
Entah berapa orang yang mengucapkannya dengan serempak termasuk aku. Aku tak memperhatikannya. Kami segera keluar dari ruangan yang bagi kami adalah neraka. Kembali ke kelas dengan wajah berseri.
"Wa'alaikum salam warrahmatullahi wabarakatuh."
Jawaban salam dari para murid membuyarkan lamunanku.
Loh? Sudah sampai tahap Pidato?
Seperti pada upacara bendera pada umumnya, selalu ada sambutan atau pidato dari guru maupun pengurus sekolah. Yang berbeda kali ini adalah kepala sekolah yang berdiri di mimbar, di depan kami. Ah... Paling mengenai kelas tiga. Mengenai kelulusan, acara perpisahan dan peringatan kegiatan corat-coret selepas acara perpisan kelas sembilan.
*****
Upacara bendera membuat tenggorokanku kering. Aku menelan ludah beberapa kali untuk membasahinya. Segera ku langkahkan kaki ku menuju kantin. Teman-teman ku entah melesat kemana. Paling juga ke kantin biasanya, pikirku.
Benar ternyata. Wah sudah seperti pasar senin jika mereka berkumpul. Aku memesan minuman dan duduk di dekat mereka dan sesekali ikut bercanda.
"Semua siswa-siswi kelas tiga diharapkan berkumpul di lapangan. Sekali lagi untuk siswa-siswi kelas tiga diharapkan berkumpul dilapangan." Terdengar suara pengumuman dari pengeras suara. Uh... Baru saja 20 menit aku duduk santai di sini.
Semua siswa bergegas menuju lapangan. Kami mendengarkan pengumuman pembagian surat kelulusan. Rupanya tidak dilakukan di sekolah. Kali ini dilakukan di luar sekolah, di sebuah lapangan sepak bola yang kebetulan letaknya tidak jauh dari sekolah. Wah... Sepertinya akan lebih segar di sana.
Usai pengumuman kami segera ke kelas masing-masing untuk mengambil tas lalu bergegas ke parkiran dan menuju ke tempat pembagian surat kelulusan.
Aku mencari tempat untuk memarkirkan sepeda motor ku. Mataku melihat setiap inci tempat ini. Lapangan ini memang bukanlah sebuah lapangan sepak bola elit. Sebuah lapangan sepak bola biasa tempat bermainnya orang-orang di desa ini. Hanya rumput yang terhampar luas yang ada di sini dengan bangunan bercat cream mengelilinginya. Beberapa pohon berdiri kokoh di depan beberapa bangunan tersebut. Entah ini bangunan apa. Sepertinya bangunan untuk pemerintahan.
Walau matahari mulai membakar tubuh ku, tapi semilir angin dengan tulus memberikan kesejukannya. Mataku masih memperhatikan setiap sisi dan sudut lapangan. Aku mencari teman-teman sekelas ku. Oh di sana rupanya. Aku segera bergabung dengan teman-teman sekelas. Di bawah rimbunnya pohon yang entah ini pohon apa. Aku duduk manis menunggu dibagikannya surat 'wasiat' itu. Cukup lama juga kami menunggu hingga tiba waktu yang telah kami tunggu-tunggu.
Ada perasaan cemas, senang, sedih, semua bercampur jadi satu. Jantungku berdetak semakin cepat. Entah ini perasaan takut atau tak sabar menunggu.
Kami sudah menerima surat 'wasiat' yang begitu penting bagi kami. Secarik kertas beramplop yang dapat menentukan masa depan kami. Kami menunggu aba-aba diperbolehkannya kami untuk membuka amplop tersebut secara bersamaan. Jantungku berdetak semakin kencang. Ada rasa takut. Meski aku siswa yang tergolong cukup pandai yang selalu mendapat peringkat 3 besar dari SD sampai SMP. Ditambah lagi dengan kejuaraan perlombaan IPA tingkat kecamatan yang pernah ku dapat sewaktu aku kelas 5 SD dlu, plus Juara dua olimpiade komputer tingkat kabupaten sewaktu aku duduk di kelas delapan. Tapi ini tidak menentukan aku lulus Ujian Nasional mengingat pembacaan lembar jawaban ujian memakai komputer.
Aba-aba telah kami dengar. Aku tak sabar untuk membukanya. Aku membukanya perlahan.
... Mataku membesar seketika. Aku tak mempercayainya. Sungguh-sungguh tak mempercayainya. Apakah ini nyata? Atau hanya mimpi? Oh Tuhan.
[BERSAMBUNG]
Selamat membaca.
Maaf kalo update-nya gak tepat waktu. Ada beberapa kendala tadi. Maaf juga kalo update-annya kali ini sedikit.
Untuk mas @danar23, mungkin di part ini bisa di mengerti kenapa awal cerita mau lulus lalu tiba2 sekolah lagi.
Terima kasih atas kunjungannya
Waduh di cipok. Hahahaha
jadi gini loh ceritanya mas danar, memang hari itu hari kelulusan kelas sembilan. Ketika upacara kan Raka memikirkan tentang sekolahnya, dia menyukai sekolahnya walau ada guru killer. Nah mengingat2 guru killer membuatnya mengingat kejadian buruknya dgn guru killer itu. Jadi sewaktu belajar itu bayangannya raka sblm lulus, flash back lah ceritanya. Lalu dia sadar dr lamunannya ketika mendengar jawaban salam dr semua peserta upacara.
Ya... Setelah upacara selesai murid2 disuruh kunpul di lapangan sekolah, lalu guru mengumumkan bahwa pembagian surat kelulusan dilakukan di luar sekolah, di sebuah lapangan sepak bola. Yasudah setelahnya berjalan sesuai alur.
Maaf kalo ceritanya kurang difahami, lain kali saya akan tulis lebih rinci. Terima kasih atas kunjungannya mas.