It looks like you're new here. If you want to get involved, click one of these buttons!
Copyright 2021 Queer Indonesia Archive. See our Privacy Policy. Contact us at [email protected]
Dengan menggunakan situs ini berarti Anda setuju dengan Aturan Pakai.
BoyzForum.com adalah situs anti pedofilia!
Comments
tunggu pa lagi jim ajak dong johan tinggal 1 rumah jgn mau kalah ma yadi
Satu setengah tahun berjalan sejak saat itu. Hendra dan Setiadi sudah hidup bahagia satu atap, juga bersama Jimmy dan Johan pun tinggal satu atap. Satu hal yang Setiadi tidak sukai dari Hendra adalah hobby Hendra yang sangat suka dengan kendaraan roda dua, apalagi dengan cara Hendra membawanya yang selalu membuat khawatir Setiadi. Setiadi sudah berkali- kali meminta Hendra memilih kendaraan roda empat apapun supaya lebih aman, namun jarang digubris. Setiadi pun mulai mengangsur mobil kecil untuk keperluannya sendiri dan supaya Hendra tidak selalu harus memilih motor. Berkat ini Hendra pun mulai mengistirahatkan motornya.
Sabtu pagi, Hendra bangun agak kesiangan, hendak latihan bela diri, sementara Setiadi karena mengantuk ia memutuskan untuk pergi renang lebih siang. Hendra karena merasa waktu sudah sempit untuk menyetir, memilih memakai motornya.
“Ndra, kamu pake mobil lah, toh aku gak pake ampe siang juga”
“Gak lah, nanti aku telat pula, lagian Cuma latian biasa. Aku pake motor aja”
“Ya udah kamu jangan ngebut loh, bunda sudah bilang dari dulu jangan ngebut”
“Iyah...”
Siangnya, Setiadi sedang menikmati sarapan pagi. Entah mengapa ia merasa tidak nyaman seharian, ia terus berfikir, mengapa hari ini Hendra memilih memakai motornya.
Tiba- tiba telepon rumahnya bordering.
“Nak, ini bunda” sahut ibu Widya dengan suara menahan tangis
“Iyah bunda... ada apa? Kok bunda seperti menangis?” Setiadi sudah mulai gelisah, merasakan sesuatu terjadi pada Hendra.
“Buyung... “ terdengar suara isakan tangis,
Hanya membuat Setiadi gelisah dan was- was,
“...Buyung ada di rumah sakit... kecelakaan motor”
Gagang telepon di tangan kiri Setiadi terjatuh, badan Setiadi limbung, jatuh ke lantai, matanya menatap kosong, tak percaya berita yang baru saja ia dengar...
nape kecelakaannye ƍäª dalam bentuk laen je yg maseh ada kaitannye dg moge nye.
Fiuuuh.. Nggak sabar neh...
Randy. The best person that I ever see. See? Read kaleeee....
#PLAAAKK..
lagi-lagi.. heboh sendiri...
)
"Gak usah panik Yadi, buyung cuma lepas bagian sikut kirinya, masih shok sih, tenang Yadi... He's allright..." sahut Cassandra memenangkan Setiadi yang masih panik sambil memegang tangannya yang masih gemetaran.
"Tenang Yadi, dia lagi di Röntgen..." sahut Cassandra sambil membelai tangan Setiadi berusaha memenangkannya.
"Tadi pagi udah ku suruh pake mobilku, aku lagi gak pake kan..."
"Udah Yadi, dia kan selamet, kita tunggu aja nanti."
Setiadi menghampiri orang tua Hendra, di rambut oleh pelukan mereka,
"Ayah, bunda, maafkan saya, saya harusnya anter Hendra"
"Udah Yadi, gak ada yang bisa di salahkan, asalkan dia selamat, kita bersukur saja. Jangan salahkan kamu nak," jawab bapak Wongso sambil memenangkan Setiadi.
Rontje tak tahan melihat keramahan keluarga Hendra, menangis terharu, teringat ceritanya dengan Setiadi. Mereka benar- benar takjub oleh keterbukaan mereka kepada kaum mereka. Mereka pun saling bersalaman dengan semua anggota keluarga hendra.
Mereka tidak tahu berapa lama menunggu di sana, Hendra keluar dari ruang UGD sambil berbaring. Mereka pun langsung menghampiri. Hendra masih terbaring lemah, menatap Setiadi dan keluarganya.
"Buyung, gimana nak?" tanya ibu Widya sambil menahan tangis khawatir.
“Yah, masih sakit di tangan kiri bunda” jawab Hendra dengan lemas.
“Di, jangan takut yah, jangan nangis yah, aku baek- baek aja kok, Cuma jatoh doang dari motor” Hendra berusaha menenangkan Setiadi yang terlihat tegang.
"Maaf bu, pasien akan di bawa ke ruang Röntgen." jawab salah satu suster yang membawa ranjang pasien.
Siangnya, dokter memberitahukan tulang lengan bawah Hendra terlepas akibat jatuh pada sisi kiri, juga luka gesek dengan aspal pada sepanjang lengan kiri. Hendra di putuskan menginap beberapa hari di rumah sakit sambil menunggu pemasangan gips.
“Ndra, lain kali kamu gak pernah lagi boleh naek motor yah, aku lebih pilih jadi sopir kamu saja ato pake taxi kalo kepepet” sahut Setiadi sambil duduk di sisi ranjang, ditemani oleh iby Widya.
“Buyung, denger itu nak Yadi, bunda siapin mobil ama sopir tiap hari, suruh stand by di rumah Yadi” sambungnya.
“Gak lah bunda, pake mobil Yadi masih bisa. Buyung janji motornya gak di pake dulu” jawab Hendra.
Dari situ, dimulailah proses penyembuhan Hendra mulai dari pemasangan gips pada sikut kirinya. Karena untuk alasan kenyamanan, Hendra untuk sementara tinggal di rumahnya sampai fungsi tangan kirinya bisa membaik dan bisa melakukan kegiatan sehari- hari.
Satu hari pada jam makan siang, beberapa bulan sesudah insiden itu, Hendra sedang makan siang bersama Setiadi.
“Di, aku kesepian banget di rumah, kamu nginep aja dong, temeni aku”
“Aku masih sungkan, gak enak ...”
“Gak enak apaan? Ayah ama bunda sudah terima kamu. Mereka bilang salut ama kamu dan Jimmy, Johan, Rontje, katanya setia kawan. Mereka seneng kalian pada perhatian amaku. Ayo lah, semalem aja.”
“Aku paling minta ijin bunda dulu aja”
“Ya udah aku yang nanti maintain ijinnya, nanti biar supir yang jemput.”
“Jangan, biar ku pake mobil. Nanti ngerepotin pula kalo harus ke kantor.”
Setiadi pun menyanggupi untuk menemani Hendra di rumah orang tuanya. Setiadi sampai saat itu pun masih takjub atas keramah tamahan mereka, seolah hubungan mereka adalah wajar. Bahkan kakak tertua yang kerja di Australia, Rendra pun bersikap terbuka dan ramah ketika berkunjung.
Satu pagi, sesudah mereka sarapan, Setiadi sedang duduk sendiri di pekarangan belakang.
“Nak Yadi, ini bunda ada sesuatu yang mau di bicarakan, buyung belum saya kasih tahu.” Ibu Widya menyapanya.
“Oh bunda, ada apa? Sepertinya penting.”
“Nak, kita bicara di ruang baca saja, bisa lebih privat, bunda gak mau buyung tahu dulu.”
“Oh boleh.”
“Yuk”
Ibu Widya berjalan dengan Setiadi melewati ruang makan, berbelok ke arah kanan melalui taman mungil di sebelah kanan.
“Nak, bunda dapet dari Rendra, kalo proses green card buyung tembus, jadi buyung bisa mendapatkan permanent residence untuk tinggal di Aussie. Cuma bunda tahu hubungan kalian, jadi bunda mau tanya kamu dulu, dan biar urusan ini kalian yang urus. Bunda sayang kamu, kamu terlihat benar- benar mampu mengayomi buyung, ini pertama kalinya orang luar kita ajak bicara soal seperti ini, karena kalian kan punya hubungan.” Ibu Widya membuka pembicaraan dengan menyerahkan beberapa lembar surat yang terlihat seperti dikirim dari kedutaan Australia.
Setiadi merasa dirinya di sambar petir, mukanya pucat pasi. Ia tidak menyangka perjodohannya dengan Hendra akan berakhir seperti ini.
“Nak, jangan sedih dulu, bunda dan ayah kali ini tidak akan memisahkan kalian berdua, kita sudah sepakat mendengarkan apapun pendapat buyung, demi kalian. Kami benar- benar melihat buyung bahagia sekali hidup bersama kamu. Makanya urusan ini kami serahkan kepada kalian berdua.”
Setiadi tak mampu menahan tangisnya.
“Bunda, jelas dong kalo aku lebih mau Hendra meniti karir di Aussie, sekolah S2 di sana, dapet master, kalo bisa dapet kerja di sana menyusul kakak, kenapa saya harus menghalangi...” jawab Setiadi dengan suara bergetar.
“Nak, itu memang rencana kita udah lama, sebelum kalian bertemu, hanya prosesnya lama sekali, dan baru tembus setelah kalian bertemu. Nak, bunda tidak mau memisahkan kalian, kami akan bersikap netral atas apa nanti keputusan buyung nanti.”
@Dekisugi, @arieat, @rivengold, @Gabriel_Valiant, @YANS FILAN,@the_angel_of_hell, @Lu_Chu, @hikaru, @aii, @badboykem, @Ricky89, @mr_Kim, @ananda1, @dheeotherside, @shuda2001, @paranoid, @kimo_chie, @AhmadJegeg, @A@ry, @Gigiharis_Krist, @hantuusil, @moccachino, @Monic
“Bunda melihat cinta kalian, bunda sudah memberi restu untuk kalian, sekarang kalian yang bentuk masa depan kalian...”