It looks like you're new here. If you want to get involved, click one of these buttons!
Copyright 2021 Queer Indonesia Archive. See our Privacy Policy. Contact us at [email protected]
Dengan menggunakan situs ini berarti Anda setuju dengan Aturan Pakai.
BoyzForum.com adalah situs anti pedofilia!
Comments
@kimo_chie, iyah dong... hehehehe sama- sama maen bola pula
===
Chapter 6
‘Di, temenin dong lunch, lm gk ktemu’
Sms dari Randy muncul di ponsel Setiadi.
‘Ok, nanti jam 12an gua tunggu yah’
Sudah cukup lama Randy tidak mengajaknya makan siang bersama. Sekarang kegiatan Setiadi sudah lebih terfokus dengan Hendra. Jimmy mulai lebih dekat dengan Johan lewat sms, juga Johan telah mencarikan tempat kos yang cukup dekat dengan kantornya kelak, sejak mengetahui kantor dimana Johan akan bekerja selepas wisuda. Setiadi senang sekali, akhirnya Johan mulai dekat dengan seseorang.
Jam 12 lewat, setelah membereskan beberapa file yang harus di kerjakan sore hari, Setiadi pun turun lift. Setelah sebelumnya mengirim sms kepada Hendra tentang makan siangnya dengan Randy, Setiadi sedang turun ke lantai dasar. Lalu ponsel Setiadi pun bergetar,
‘ok, makasih ud ksh tahu, have a good time’
Sms balasan dari Hendra. Setiadi sudah melihat Randy menunggunya di aula utama,
“Lama yah udah gak lunch bareng nih” sahut Randy sambil tersenyum.
“Gua Cuma takut lu masih belum bisa terima status gua aja...” jawab Setiadi.
“Relax man, I’m chill...” jawab Randy.
Setiadi pun ikut mobil Randy menuju Hard Rock Café, tempat favorit Randy. Kali itu Randy bisa memarkirkan mobilnya di pelataran parkir di gedung itu, walau sudah hampir penuh pun. Di dalam, Randy yang memesankan makanan.
“Ran, Cindy lagi kemana?”
“Dia lagi ke luar kota, ada deal ama pengerajin asesorisnya, katanya lagi cari supplier baru, bisnisnya makin maju, pesenannya makin banyak.”
“Sukur lah.”
Sebenarnya Setiadi agak canggung duduk berduaan dengan Randy, karena jika dia berbicara lebih dalam, ia kuatir pembicaraan akan kembali ke masalah lampau. Sekarang, ia sudah tidak lagi merasa canggung duduk didepannya setelah kata perpisahan 5 bulan lalu.
“Di, itu kemaren temen lu?”
“Iyah, dia baek orangnya.”
“Ada hubungan special ama dia?”
“Gua baru jadian ama dia beberapa minggu yang lalu”
Kalimat terakhir Setiadi kini menjadi kalimat yang terdengar agak pedas di hati Randy. Ia bingung dengan apa yang ia rasakan. Ia sadar, telah melukai Setiadi beberapa kali, pernikahannya dengan Cindy cukup membuat Sedih Setiadi. Ia pun tahu seharusnya ia mampu melepasnya mendapatkan kebahagiaan sendiri, namun tetap ia merasa tak rela mendengar kata itu, apalagi melihat nya duduk bersama lelaki lain bukan dirinya dengan pandangan kasih seperti waktu itu. Randy merasa egois dengan fikirannya, namun hatinya tidak mau berkompromi.
“Kenapa Ran, lu kurang suka gua ama dia?”
“...eh gak... wajar lah lu kan sudah waktunya mencintai orang lain” jawab Randy sebisanya, menutupi bibit cemburu yang baru saja bertunas.
Makanan pun siap disajikan. Tak banyak pembicaraan saat itu, Setiadi berusaha untuk tidak membuat Randy tambah galau, Randy pun berusaha untuk tenang.
Setelah makan siang itu, Randy pun mulai mengirim sms kepada Setiadi, dan Setiadi pun terpaksa berusaha menjaga jarak dengan Randy, sadar ia sekarang sudah mempunyai seseorang. Beberapa ajakan keluar Randy ia tolak secara halus, dan ia hanya mau di ajak kalau Cindy pun ada, atau dia bisa datang dengan Jimmy. Ia masih belum berani mengajak Hendra bareng, kuatir Hendra akan tersulut emosinya, walau semua tindal tanduk Randy ia beritahukan kepada Hendra sebagai bagian dari tanggung jawabnya sebagai kekasih Hendra.
Hendra pun berusaha untuk menahan diri seperti yang Setiadi minta. Ia pun sadar tak mau membuat masalah, sehingga ia pun mempercayai Setiadi dalam hal ini dan memang Setiadi terlihat bertanggung- jawab. Hendra kagum atas keseriusan Setiadi dalam membina dan menjaga hubungannya, setelah ia tahu setelah diceritakan secara rinci jejak percintaannya dengan Randy, Setiadi masih bisa menjaga posisinya ketika harus berhadapan dengan cinta lamanya.
Disisi lain, Randy dalam hatinya secara perlahan mulai meradang dengan Setiadi menjauh dari dirinya, satu hal yang tak pernah ia bayangkan akan terjadi. Selama ini, ia terbiasa Setiadi mencintainya, entah dari jauh, atau dari bahasa tubuhnya, atau dari sorot matanya. Ia merasa aman dengan Setiadi tetap berharap denganya, dan merasa ingin membahagiakan Setiadi. Ia sudah memberikan hatinya untuknya, dan ia tetap menginginkan Setiadi membutuhkan dirinya. Entah itu terdengar egois, ataukah ia memang masih mencintainya, ia selalu berkeliaran dengan fikiran Setiadi mempunyai rasa cinta terhadapnya. Kali ini ia melihat Setiadi terlihat bahagia setelah melepas cintanya. Ia merasa Setiadi seolah- olah sudah tidak memerlukan dirinya lagi. Dalam hatinya ia merasa kosong... ia merasa tidak rela Setiadi mulai terbang jauh darinya. Ia masih menginginkan Setiadi tetap dekat dengannya, sekalipun dipisahkan oleh jurang pernikahannya dengan Cindy.
“Yadi, tolong dong, gua lagi butuh temen, gua lagi butuh temen nonton movie”
“Sori Ran, gua udah ada janji ama Hendra, gua beneran gak bisa. Sori yah Ran, lain waktu gua bisa atur lagi”
Itu yang sekarang Randy dengar, hampir setiap kali ia meminta bertemu dengannya.
Satu malam, ketika Setiadi menginap di tempat kos Hendra, setelah mengetahui dari Setiadi, Hendra mulai merasakan sebal terhadap Randy,
“Di, koq dia gitu sih? Sepertinya dia mulai ganggu kamu?”
“Ndra, dari awal dia liat kita waktu di PS itu, ku sudah perhatikan dia terlihat cemburu ama kamu. Aku bisa ngerti, dan kamu liat juga kan aku juga jaga jarak.Biar aja, nanti dia mundur sendiri.”
“Cuma ini kan buat aku jadi merasa serba salah, aku gak seneng kamu diganggu ama dia. Kalau sudah putus ya putus dong, jangan dia macem- macem ama kamu. lagian dia kan suami orang, sudah beda dunia pula.”
“Ndra sabar, nanti kalo dia masih ganggu kita, aku terpaksa akan bersikap tegas ama dia.”
“Yadi, aku tahu kamu mungkin ada sayang sama dia, tapi aku harap kamu tidak menempatkan cinta aku di bawah dia. Aku ingin kamu milik aku, gak mau di goda ama seseorang dari masa lalu kamu,”
“Ndra, sabar yah, aku bukannya plintat- plintut, aku gak mau terlalu kasar ama dia. Aku pasti akan kasih peringatan ama dia.”
Hendra memeluk Setiadi.
“Yadi, ini pertama kalinya aku jatuh cinta. Aku ingin kamu milik aku seorang saja, aku gak akan rela kamu diganggu terus ama masa lalu kamu.”
“Ndra, aku ceritakan semua ini bukan untuk mengadu dombakan kamu dengan Randy, tapi kamu memang berhak tahu apa yang terjadi dengan aku. Aku kan sekarang sudah kepunyaan kamu, tapi aku juga tidak mau kamu terbawa emosi. Kalo aku sudah benar- benar butuh bantuan kamu, aku akan memintanya dari kamu.”
“Janji yah, kamu akan minta bantu aku.”
“Ndra... sekarang aku sudah kepunyaan kamu... bukan orang lain”
“Yadi, sekarang saat nya aku kenalin kamu ke orang tua aku”
Setiadi melepas pelukannya.
“Yadi, kok kenapa kamu takut?”
“Ndra, aku masih trauma dengan persoalan orang tua. Kamu tahu kan cerita aku dulu.”
“Yadi, jangan takut, orang tua aku sudah tahu aku gay, itu kejadian sudah lama, sewaktu di SMA dulu. Tenang Yadi, aku jamin, orang tua aku akan suka ama kamu. Disitu nanti aku akan buka semua nya. Saatnya aku beberkan semua tentang aku. Jangan takut, aku pasti lindungi kamu”
Pada hari Sabtu, Setiadi sudah di jemput oleh Henra, yang mengenakan kemeja lengan pendek di balut jaket hitam kulit dan memakai jeans biru, terlihat macho sekali. Setiadi sudah dari pagi terlihat takut sekali. Ia mau tak mau teringat pesan terakhir ayah tirinya: ‘kamu jangan lagi pernah pulang Bandung!’
“Yadi, kamu jangan takut dong... aku jadi sedih liat kamu. Percaya aku deh, bunda pasti suka ama kamu” Hendra berusaha menenangkan Setiadi.
Sementara Setiadi tak mampu menjawab apapun, ia tak sadar memasang raut wajah ketakutan, berjalan menunduk. Hendra membawa motornya cepat melesat melewati Daan Mogot, membuat Setiadi tambah takut,
“Ndra... , jangan ngebut dong... serem...”
Berbelok di lampu merah melewati jalan Panjang, lurus terus, berbelok di sekitar Permata Hijau, daerah yang Setiadi tahu samar- samar Cuma dihuni orang super kaya. Hatinya semakin ciut membayangkan keluarga Hendra yang ternyata orang sangat berada.
Motor Hendra pun berhenti di depan salah satu rumah yang besar, terlalu besar untuk ukuran Seitadi.
“Ndra... aku gak berani masuk...” suara Setiadi hampir gemetar menahan takut.
“Yadi...” Hendra dengan tenang memegang pundak Setiadi.
“Aku bawa kamu kesini bukan untuk mencelakakan kamu, bunda yang ingin kenalan ama kamu. Bunda sudah tahu tentang kamu, dia sudah gak sabar ingin bertemu kamu. Yadi, percaya dong aku,” ujar Hendra lembut.
“Ndra, kamu berasal dari keluarga super kaya, aku baru tahu”
“Ah, yang lebih kaya dari aku juga masih berjibun lah Di. Masuk yuk.”
Hendra menekan bel, tak lama kemudian datanglah pembantu membukakan pintu gerbang yang terlihat menakutkan Setiadi.
“Eh denmas udah dateng, bapak dan ibu udah tunggu dari pagi”
Hendra pun memarkirkan motornya di “carport” yang sangat lebar, cukup untuk minimal 3 mobil besar parkir. Hendra pun masuk ke dalam rumah,
“Ayah, bunda, buyung udah pulang...”
“Eh si buyung sudah pulang” sahut wanita dari dalam mengenakan pakaian santai namun terlihat elegan, berumur kisaran 50 tahunan.
“Bunda...” Hendra sambil menunduk mengecup tangan kanan ibunya.
“Bunda, ini Setiadi teman hidup buyung”
“Eeehh nak Setiadi, mari... jangan takut, kita santai aja”
“Selamat pagi Bu, apa kabarnya?”
“Pagi nak, kok nak Setiadi keliatan muda sekali, katanya sudah umur 27 tahun...” sahut ibu Widya dengan ramah terkesan alami.
“Makasih pujiannya Bu,” Setiadi sudah sedikit lebih tenang setelah mendapat sambutan yang hangat.
“Nak Setiadi kerja apa?”
“Di kantor Bu...”
“Panggil aja bunda, kamu sekarang sudah jadi teman hidup buyung, panggil aja bunda” sahutnya ramah sekali.
“Bunda, Yadi itu sudah direktur loh”
“Oh yah? Wah masih muda sudah punya jabatan tinggi. Buyung, kamu kali ini gak salah cari teman hidup. “ Sahutnya sambil masih memegang tangan Setiadi dan menatapnya dengan tatapan seorang ibu. Sekilas Setiadi mulai rindu ibunya.
“Yuk ke dalam, ayah sudah menuggu di perpustakaan”.
“Yadi, yuk, aku kenalin ke bokap” sahut Hendra sambil berjalan ke samping rumah, melewati taman yang cukup besar dengan dinding batu dan beberapa tananam rambat, melewati pintu kayu berukir khas Jepara, menuju satu ruangan perpustakaan yang tidak terlalu besar, namun penuh dengan buku- buku bacaan yang berat, sebagian berbahasa Belanda, sementara di tengah nya Ayah Hendra tengah duduk di satu set tempat duduk berukir motif senada, ada 4 kursi yang mengapit satu
meja dengan lampu baca model kuno di tengah meja.
“Ayah... buyung pulang” sambil bersikap sama seperti menyapa ibunya.
Bapak Wongso pun berdiri. Posturnya tinggi dan tegap dengan rambut yang sudah putih, tersisir rapih mengenakan sepatu dan kemeja batik resmi, hanya membuat Setiadi benar- benar takut kali itu.
“Selamat pagi Pak, apa kabarnya? Saya Setiadi, teman Hendra”
“Baek nak” sahut nya dengan suara berat sambil menjabat tangan Setiadi. Setiadi memberanikan diri untuk menatap ke arahnya.
“Hendra, ayah suka sama Setiadi, dia orang baik dan cocok untuk kamu. Mari, kita sarapan dulu, sudah saya siapkan makanannnya” sahut bapak Wongso ramah.
Setiadi lega bukan main, orang tua hendra ternyata ramah.
@Dekisugi, @arieat, @rivengold, @Gabriel_Valiant, @YANS FILAN,@the_angel_of_hell, @Lu_Chu, @hikaru, @aii, @badboykem, @Ricky89, @mr_Kim, @ananda1, @dheeotherside, @shuda2001, @paranoid, @kimo_chie, @AhmadJegeg, @A@ry, @Gigiharis_Krist, @hantuusil, @moccachino
@Gabriel_Valiant, di chapter 8 dan 9 nanti jawabannya...
@kimo_chie, ini nanti ada twist nya dari peristiwa ini
@YANS FILAN, ya gitu deh... Kayak Yadi itu ...
agreed with this om bro, abisnya tu cowok kyk gak punya istri aja kelakuanya. hahahaha
agreed with this om bro, abisnya tu cowok kyk gak punya istri aja kelakuanya. hahahaha