BoyzForum! BoyzForum! - forum gay Indonesia www.boyzforum.com

Howdy, Stranger!

It looks like you're new here. If you want to get involved, click one of these buttons!

Selamat datang di situs Boyzforum yang diarsipkan oleh Queer Indonesia Archive. Forum untuk komunitas gay Indonesia yang populer ini didirikan pada tahun 2003, dan ditutup pada tanggal 15 Desember 2020.

Forum ini diabadikan untuk kepentingan sejarah. Tidak akan ada konten baru di forum ini. Silakan menikmati forum ini sebagai potongan dari sejarah queer Indonesia.

Persimpangan (TAMAT), book 2 di halaman 19

1111214161783

Comments

  • mana lanjutannya, jgn posting sedikit2 dunk
  • @Gabriel_Valiant, makasih dukungan dorongan nya, ku lagi tulis chapter 9 nya. Ku gak bisa kasih happy ending di bagian ini, karena perjalanan setiadi dan randy masih panjang, melewati berbagai macam cobaan sampai jalan mereka terbuka satu hari nanti
  • @erickhidayat klo ada soft copy nya. kirim ke e-mail bro. biar enak baca nya. hihi :D
  • @Ricky89, @Shuda2001, soft copy nya baru sampe chapter 8, chapter 9 baru kemarin ku tulis setelah ku bingung beberapa saat mau tulis kejadian apa aja... Nanti ku kirim per email. Minta email nya
  • katanya story ini dah selesai thn 2003...kenapa masih nulis ? kan cmn tinggal post aja..
  • Ada alur cerita yang ku tulis ulang, mulai chapter 6 ku tulis ulang, ku ubah seperti ini.
  • @erickhidayat jangan di tulis ulang ceritanya, di tuggu sad endingnya, apa si randy kawin sama si cindy, apa dia tambah kecewa sama setiadi and ngejauhin dia..
  • ku tulias ulang, tapi endingnya ku pertahanken. cuma twists nya yang ku intensified. ku blm dpt komputer nih, jadi glm bs ketik. secepatnya yah ...
  • Di part ini, aq ngrasa bahasa nya agak sedikit lebay dan sinetron yaa.. Maaf... Lanjuutt...
  • chapter 5 selese di baca.. berasa meledak gw... suka om sama gaya bahasa nya
  • maaf ku baru update lagi, minggu kemarin ku sakit.
    ===
    Chapter 9
    Untuk beberapa bulan lamanya Setiadi tidak menghubungi Randy baik Cindy. Setiadi berusaha untuk melanjutkan hidupnya. Namun setiap hari bayangan Randy masih saja setia di benaknya. Lebih berat lagi setiap ia pulang ke kamar kosnya, ia seolah melihat Randy masuk ke kamarnya, duduk di sebelah nya di atas ranjang, tidur di sebelahnya, mengobrol dengannya. Makin ia berusaha untuk melepaskan bayangan Randy, makin lekat ia menempel di hatinya, di otaknya. Sesekali secara tak sadar ia masih suka mengecek ponselnya, seolah masih menanti sms darinya.
    Kira- kira 2 bulan sesudah percakapan itu, Randy mulai sering membawa Cindy mampir, dan mereka pun jatuh hati kepada Cindy yang menurut mereka serasi dengan anak lelakinya. Orang tua Randy mulai akrab dengan Cindy dan peralahan- lahan mereka mulai berusaha menjodohkan mereka.
    Enam bulan terlewati, satu Senin sore ponsel Setiadi bunyi.
    “Halo, Ran, gimana kabarnya?”
    “Baek Di, gua ada berita buat lu, lu yang pertama yang gua hubungi. Gua baru aja selesai acara lamaran ke ortunya Cindy di Pluit. Rencana nikah nya nanti 3 bulan lagi”
    “Wah, selamat yah, sukurlah ada kabar baik dari kalian”
    “Nanti kita ketemuan yuk, rayakan ama Jimmy juga”
    “Oke”
    “Ya udah, lu mau ketemuan sekarang gak? Gua lagi senggang”
    “Gak bisa Ran, gua masih di kantor ada perbaikan computer. Kali ini local network yang harus gua general cek up” jawab Setiadi berbohong.
    “Gua bisa nyusul, toh lu di lantai 34 juga, gua tinggal mampir aja kan”
    “Hmmm... Gak usah lah, gua hari ini pretty busy”
    “Yadi... lu bohong lagi?”
    Setiadi terhenyak, ia tak sangka Randy mampu membacanya berbohong.
    “Randy, gua minta maaf yah, Cuma kalo gua jujur... gua gak siap ketemu lu...”
    “Yadi, gua gak bermaksud menjauhi lu, lu sendiri yang pull out.”
    “Iyah Ran, gua sangat sadar itu, Cuma ... gua bener- bener gak sanggup ketemu lu”
    “Yadi... koq lu jahat sih? Gua kan rindu pengen ketemu lu”
    Setiadi sudah tak mampu menahan kesedihannya.
    “Randy, maafin gua, gua beneran cinta lu, tapi gua gak sanggup memberi lu kebahagiaan. Gua harus... udahan dulu”
    “Yadi, kenapa nangis lagi? Gua gak mau lu sedih terus seperti ini? Lu jadi buat kita bersalah Di”
    “Randy, gak ada kesalahan dari lu ama Cindy, ini kan inisiasi gua untuk kalian berjodoh”
    “Yadi, pokoknya gua gak mau lu sedih terus seperti ini dan menghindar gua terus- terusan. Setiadi, please, jangan buat gua jadi keliatan jahat di mata lu”
    “Randy, lu gak pernah satu detik pun jahat ama gua, gua yang terlalu mencintai lu dan terutama GUA TAKUT KEHILANGAN LU, RANDY...”
    “Yadi, kamu pengen gua ngapain sekarang?”
    “Randy... maaf... gua lagi gak siap. Sumpah mati, gua sekarang lagi gak siap ketemu lu. Maaf, Randy, gua harus tutup hp nya yah... maafin gua Randy”
    Setiadi menenangkan dirinya sendiri sambil mengeringkan air matanya di ruangan IT. Beruntung buat nya jam kantor sudah lewat, ia menghabiskan sendiri di kantornya sampai jam 19:10. Curhat dengan Jimmy pun kali ini tidak banyak membantu. Ia tahu apa yang Jimmy nanti katakan.
    Kira- kira jam 20:00 Setiadi pun pulang. Naik bis ke Grogol hingga jam 20:40, berkeliling di Mall Citra Land, belanja barang keperluan sehari- hari. Sesampainya di kamar kosnya, ia membuka satu bungkus kueh untuk makan malamnya. Dari banyak tempat makan, ia tidak bernafsu untuk membeli satupun. Ia duduk termenung sendiri, bingung ingin mengerjakan apa, mampir ke tempat Jimmy tidak membuatnya lebih tenang, hanya ia merasa sudah agak mengganggunya. Ia menatap ke arah layar tv dengan pandangan kosong. Setiadi mengambil perlengkapan mandinya, membersihkan badannya yang penat. Ia berharap dapat membersihkan hatinya dari bayangan Randy. Sesudahnya, sambil tiduran ia melihat acara tv.
    Kira- kira menjelang jam 22:00 pintu kamarnya di ketuk.
    “Masuk aja, gak dikonci kok” jawab Setiadi, berfikir Jimmy yang sering mampir.
    Ia tak menyangka Randy ternyata yang datang, masih dengan pakaian kerja, terlihat capai.
    “Randy... gua... tumben lu mampir”
    “Yadi, gua gak ganggu lu kan”
    “Gak kok, masuk aja.”
    Randy masuk, sementara Setiadi duduk di atas ranjang, dengan kepala tertunduk. Ia dikantor habis menenangkan dirinya, sekarang harus menghadapi Randy, kali ini nyata di depan dia. Perlahan Randy menaruh tas nya di lantai dan duduk di atas ranjang sementara Setiadi pun sudah lebih dulu duduk di atas ranjang.
    “Di, may I ask you, kenapa lu sekarang jadi seperti ini?” Randy membuka pembicaraan
    “Ran, apa gua memang keliatan aneh yah di depan kalian?”
    “Iyah, jelas banget. Lu seperti sengaja jauhin gua, seperti lu sudah gak mau lagi kenal gua.”
    “Di, tolong sebutin kesalahan gua sampe lu marah seperti ini”
    “Ran, gua gak marah”
    “Tapi kenapa sikap lu yang nunjukkin seperti itu”
    Setiadi ragu, ia menunggu sebentar sambil termenung
    “Waktu kita rame- rame ama Cindy, gua liat lu salaman ama Cindy sampe melotot begitu, disitu gua seperti di sadarkan bahwa lu itu straight. Gua jadi takut sendiri, bisa aja gua mencintai lu hanya sepihak.”
    “Tapi Di, itu kan karena gua melihat kemiripan antara Cindy dan mendiang Rini... Lu terlalu cepet cemburunya. Kalopun gua ketemuan ama Cindy pun cuma sebatas temen. Yang gua gak ngerti dari lu, kenapa sesudah itu lu sempet marah- marah ama gua, suruh kita nikah... gua sendiri jadi ragu, apa lu memang mencintai gua ato...”
    “Anggap aja gua terlalu cemburu dan takut kehilangan lu...”
    “Why don’t you fight for me? Gua kan udah berkali- kali bilang, apapun itu bentuknya, gua akan selalu sayang ama lu”
    Setiadi tak mampu menjawab, ia hanya duduk dengan lunglai di sebelah Randy.
    “Yadi, lu tolong jawab jujur, apa lu masih mencintai gua?”
    Setiadi bingung di tanya se frontal itu.
    “Ran, gua sebenarnya sangat cinta ama lu, gua sudah sangat... butuh lu”
    “Kenapa sekarang lu mundur?”
    Setiadi kehabisan kata- kata
    “Gua... gua...”
    Suara Setiadi sudah tercekat.
    “Gua... gak tahu Ran”
    Randy merangkul Setiadi. Setiadi awalnya ragu, namun Setiadi pun akhirnya balas memeluk Randy dengan eratnya.
    “Di, apa lu sanggup liat gua jadi suami nya Cindy?”
    “Gak, Ran, gua gak sanggup... gua masih mencintai lu.”
    Randy tambah sedih, keadaan sudah berjalan seperti ini, proses lamaran sudah berjalan. Baginya tak ada kata mundur lagi.
    “Di, biar gua cari jalan supaya gua bisa bahagiain lu. Mungkin ada jalannya nanti”
    “Jangan Ran, gua takut Cindy marah nantinya. Biar gua ngalah aja”
    Setiadi menatap Randy, setelah mereka saling melepaskan pelukannya. Setiadi ingin sekali mencium Randy, namun ia takut. Tak di sangka Randy yang mendekatkan wajahnya ke arahnya, menciumnya. Kembali perasaan Setiadi meluap. Setiadi larut dalam balutan kasih dan sejenak ia lupa akan kesedihannya. Randy menarik Setiadi kearahnya, merapatkan tubuhnya. Tangan Randy melingkar pada pinggang Setiadi, membaringkannya di atas tempat tidur. Setiadi pun tak mampu melawan otaknya. Hatinya sudah menuntunnya untuk mencintainya, walau ia tahu selang beberapa bulan Randy akan menjadi kepunyaan Cindy. Randy semakin agresif menindih Setiadi, memeluknya lebih erat dan pinggang mereka sudah saling beradu dan perlahan- lahan mengalahkan ketakutan Setiadi, ia pun larut dalam permainan.
    Dengan beringas Randy melepas bajunya hingga hanya kaos dan celana dalam yang tersisa. Setiadi merasakan sesuatu yang menekan bagian antara pahanya, merasakan Randy mulai menggesekkan senjatanya dengan badan yang gemetar menahan nafsu. Malam itu mereka untuk pertama kalinya meminum cawan kenikmatan itu, menyirami cinta mereka dengan air kehidupan, menambah keruh masalah mereka...
    Paginya, Setiadi tersadarkan dari tidurnya. Ia berbaring terlungkup memeluk Randy yang hanya mengenakan celana boxer yang ia pinjamkan sambil bertelanjang dada. Ia melihat ke arah jam meja yang menunjukkan jam enam lewat tujuh menit. Ia tak langsung bangun. Ia berbaring sambil terus menatap kearah Randy, sambil hatinya menerawang ke dunia dimana hanya ada dia dan Randy. Apa yang semalam mereka lakukan hanya membuatnya tambah kusut, semakin ia tak rela melepas Randy. Tak lama Randy pun tersadarkan. Ia melihat Setiadi yang sedang menatapnya. Randy meregangkan badannya, meraih badan Setiadi , memeluknya dengan erat, menciumnya dengan lembut.
    “Yadi, gua sayang ama lu”
    “Randy, salah gak yah, kita kebablasan kemaren?”
    “Gak tahu, Cuma gua tahu gua sudah mulai ... mencintai lu. Lu jangan pergi jauh yah...”
    Setiadi terpana, baru kali itu ia mendengar kata cinta darinya, terucapkan pada saat Randy akan bersatu dengan temannya.
    “Randy, lu sekarang liat kan, gua masih tetep butuh lu. Gua tetep cinta lu. Lu nyesel kita gituan kemarin?”
    “Di, gua gak ragu lagi, Cuma kita musti ngapain sekarang? Kenapa lu baru sekarang tunjukkinnya?”
    Mereka saling menatap. Setiadi tak mampu menjawab. Setiadi mengecup bibir Randy, dibalas oleh Randy yang memeluknya.
    “Gua harap ada jalan bisa bahagiain lu satu hari nanti” sambung Randy.
  • /tear
    nah gw dah nemu siapa yang bikin nih problem yaitu
    si randy kenapa baru ngerasain cinta sama setiadi sekarang
  • lanjut dikit lagi
    ===

    Hari itu Setiadi berangkat kerja dengan perasaan yang bercampur aduk. Setelah selama ini ia merasa tertekan karena kehilangan Randy, kini dia dihadapkan pada Randy yang baru saja menyerahkan jiwa dan raga kepadanya. Ia sadar mereka melakukan itu pada saat yang sangat salah. Mereka baru bersatu di saat Randy akan melangsungkan pernikahannya dengan Cindy atas dorongan Setiadi dan orang tua Randy. Untuk sesaat, harapan dan cinta Setiadi seolah bersemi setelah disirami air oleh Randy.
    Randy sesering mungkin bertemu dengan Setiadi, hampir setiap kali, entah Randy di tempat Setiadi maupun sebaliknya, menghabiskan malam bersama, saling memadu kasih satu sama lainnya, hanya membuat Setiadi makin tidak sanggup melepas Randy. Untuk sesaat Setiadi lupa dengan Randy yang akan lepas dari pelukannya, Randy yang juga mabuk kepayang tidak memikirkan dia akan menjadi milik orang lain. Mereka bagai dua insan yang sangat kehausan menikmati apapun yang dapat mereka nikmati pada saat itu, tak perduli perpisahan yang tengah sabar menunggu. Randy pun tak kalah, ia bagai mendapat harapan baru memberikan segalanya kepada Setiadi, menemainya bermalam- malam berdua, memadu kasih, bersatu, mereguk anggur kenikmatan itu, membiarkan mereka berdua mabuk kepanyang. Randy mencurahkan segala- galanya untuk Setiadi dengan claim ia memang sudah mencintai Setiadi. Setiadi pun makin terlupakan dengan apa yang ia rencanakan, lupa akan Randy yang akan menjadi suami orang, ia memeluk Randy erat sekali, membiarkannya melambung ke langit ke tujuh, ia biarkan angan lepas terbang, sejauh mata memandang, hanya cinta Randy yang ia lihat, hanya dekapan desah Randy yang ia rasakan, berdua di atas peraduan, di selimuti malam penuh bintang kejora dan bulan sebagai saksi cinta mereka, menguap di tengah langit malam nan luas.
    “Yadi, gelo lu, lu yang jodohin dia ke Cindy, lu yang sekarang embat. Mereka kan bakal nikah dua bulan lagi kan”
    Jimmy tak percaya dengan penuturan Setiadi.
    “Gua kali ini udah bener- bener kebablasan Jim, gua masih belum siap lepasin Randy” jawabnya termenung, terombang- ambing diantara kebahagiaan semu dan kesedihannya.
    “Yadi, ini sama aja seperti lu nyakitin lu sendiri... ini sih udah bunuh diri namanya... kalo ketahuan Cindy gimana? Dia kan bisa murka, calon suami lu yang jodohin, lu embat sendiri... gelo kan namanya...”
    Setiadi tak menjawab. Hatinya terlalu penuh dengan luapan bahagianya.
    “Yadi, lu musti secepatnya jauhin Randy. Ini bener- bener bahaya. Lu musti konsisten dong, kalo lu mau Randy jadi straight, JANGAN LU GODA DIA DONG... kalo lu pengen di jadi cinta lu, JANGAN LU SURUH NIKAH APAPLAGI AMA CINDY. CINDY GAK ADA SALAH APA-APA...”
    Kata- kata Jimmy terdengan seperti tamparan. Kali ini Setiadi merasa hatinya disiram air es.
    “Jimmy,gua musti ngapain sekarnang?” tanyanya bingung
    “Yadi, gua gak bisa kasih nasehat, lu harus tahu apa yang lu inginkan. Cuma sekarang Randy bakal jadi suami Cindy. Lu harus siap- siap mengalah. Lu dulu pernah bilang, kalo lu hanya rela Randy kawin ama Cindy kan supaya dia gak pernah jauh dari lu. Lu sekarang harus lakukan langkah itu. Randy sekarang Cuma jadi temen saja, he’s untouchable for you ...”
    Kata: ‘he’s untouchable for you’ terngiang- ngiang dikepala Setiadi. Ia kembali sadar akan posisinya. Pikirannya sudah terlampau kusut untuk menentukan sikap terhadap Randy. Ia tahu ia yang menjodohkannya dengan Cindy, tapi ia juga sudah terlanjur cinta mati kepada Randy. Sekarang, saat Randy baru saja mengungkapkan perasaannya, ia langsung regut dengan segenap jiwa raganya. Namun pada saat lain ketika ia bersama Randy, ia tak mampu menolak ketika Randy menyentuhnya, menggiringnya bersatu dalam lingkupan kasih dan cinta. Daya tarik Randy terlalu kuat untuk ia tahan. Randy seolah- olah juga tak rela kalo harus melepas Setiadi, berusaha setiap saat membuat Setiadi menjadi miliknya. Hampir saja gelagat Randy ketahuan oleh orang tua Randy yang mulai memperhatikannya lebih sering bertemu dengan Setiadi daripada Cindy.
    Tiga minggu menjelang pernikahan, setelah Randy dan Cindy memilih baju pengantin, mengadakan sesi foto pre-wedding, mengatur daftar tamu undangan, memilih hotel, kali itu hotel Shangri la yang menjadi pilihan orang tua Randy, Randy pun masih kerap bertemu dengan Setiadi, mencuri- curi waktu, sebelum semuanya berakhir.
    Di kamar kos Setiadi, larut malam setelah mereka bersatu, mengarungi samudra keindahan cinta, mereka masih terjaga. Masing- masing sudah tahu saat indah itu sudah dihitung dengan waktu. Hanya tinggal salah satu dari mereka yang harus mengatakannya.
    “Yadi, 3 minggu lagi hari h nya...”
    “Iyah, Ran. Kenapa baru sekarang kita bersatunya?”
    “Yadi, I’ve got something to say”
    Setiadi sudah merasakan tubuhnya langsung dingin, setelah dihangatkan oleh cinta Randy beberapa saat yang lalu.
    “Ran, biar gua tebak... it’s over kan between us?”
    “... Setiadi... gua cinta lu... tapi gua sudah harus ...”
    Setiadi tak menjawab. Ia berbalik kearah dinding kamar. Sesaat kemudian Randy mendengar nafas Setiadi semakin berat, terdengar isak tangis Setiadi. Baru saja Randy memberikan benih cintanya, sudah hangus terbakar mentari musim kemarau.
    “Sorry Di, gua juga gak mau kehilangan lu. Gua juga salah gak dari dulu gua claim lu”
    Setiadi tak mampu menjawab. Kali itu ia sudah tak mampu lagi memebendung semua kesedihan yang sudah lama tercekat di kerongkongannya. Dari mulutnya keluar sejuta kesedihan, dalam isak tangis Setiadi, meratapi kehilangan orang yang makin menjauh. Randy melihat satu jiwa yang sedang mati kekeringan, merasa seolah telah membunuh orang yang ia cintai. Randy memeluk Setiadi dengan erat, membiarkan Setiadi terlarut dalam isak tangisnya.
    “Setiadi, I promise you, I will someday make you happy... I will ... by God I will” Randy pun getir melihat Setiadi yang baru saja kehilangan dirinya.
    “Yadi, kita kan akan selalu temenan, lu tetep masih bisa ketemuan ama gua...” Randy berusaha menghibur.
    Setiadi masih terisak- isak, dihadapkan kepada yang ia takutkan selama ini. Ia pun harus kehilangan Randy. Randy masih saja memeluknya dari belakang dengan erat, tak rela melepaskan Setiadi sampai detik terakhir. Setiadi dengan hati yang hancur merusaha mendekatkan dirinya kepada Randy yang sudah terlampau jauh...
    Malam itu Setiadi merasa jiwanya sungguh gelap gulita
    Harap tinggal impian
    dihempas ke tepian
    lembah hidup nan kelam
    di tengah gelap sang malam...

    Pagi harinya, Randy masih berusaha mengecup Setiadi, sementara ia melihat Setiadi dengan tatapan kosong menghantarnya pulang.
    “Yadi, I will not lose you... I do still love you” bisik Randy dengan penuh harap.
    Setiadi tak menjawab apapun. Dalam benaknya ia sudah melihat Randy berjalan dengan Cindy di pelaminan. Setelah melihat Randy berjalan menjauh dari kamarnya, ia menutup pintu kamarnya. Ia merasa kepalanya hangat, pandangannya berkunang- kunang. Hari itu ia paksakan untuk bekerja. Esoknya, ia melewatkan makan siangnya karena terlalu larut dalam kesedihannya. Dua hari kemudian, mejelang siang, ketika office boy akan menanyakan menu makan siangnya, ia melihat Setiadi sedang duduk terlungkup di depan monitor. Sang OB membangunkannya, namun Setiadi tak kunjung sadar...

Sign In or Register to comment.